Uang Panai’; Antara Adat dan Permasalahan Sosial

Source: https://id.pinterest.com/pin/609463762085694460/

Oleh: Muhammad Fathurrahman

Di Indonesia, pernikahan memiliki ciri khasnya masing-masing di setiap daerah dari penjuru Sabang sampai Merauke. Sebab, Indonesia adalah negara yang majemuk tunggal sehingga terdiri dari berbagai macam suku bangsa, budaya dan bahasa yang berbeda. Dengan kemajemukannya inilah yang membuat Indonesia kaya akan tradisi, adat dan budaya yang mesti dilestarikan sebagai bentuk warisan budaya dari para leluhur.

Kebudayaan itu tersimpan dalam suku bangsa (etnik), terkandung di dalamnya unsur-unsur dan aspek sosial yang menjadi pembeda dengan suku bangsa lainnya. Salah satu bentuk tradisi dalam kebudayaan yang masih banyak dipertahankan sampai sekarang ada pada pernikahan.

Salah satunya tradisi yang ada pada provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah yang berada di kawasan Indonesia bagian tengah ini dengan suku Bugis-Makassar yang mendiami wilayah tersebut memiliki satu tradisi yang menjadi adat bagi masyarakat suku Bugis-Makassar sebelum melangsungkan pernikahan yaitu uang panai’.

Uang Panai'

Uang panai’ menurut beberapa masyarakat umum memandang uang panai’ merupakan tradisi yang telah ada sejak dahulu. Tradisi uang panai’ merupakan salah satu persyaratan yang wajib dilakukan sebelum kedua belah pihak calon pengantin melanjutkan pembicaraan lebih jauh mengenai pernikahan.

Adapun yang di maksud dengan uang panai’ adalah “uang hantaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.

Uang panai’ tersebut diserahkan oleh calon suami kepada orang tua calon istri, sehingga dapat dikatakan bahwa hak mutlak pemegang uang panai’ tersebut adalah orang tua si calon istri. Orang tua mempunyai kekuasaan penuh terhadap uang tersebut dan begitupun penggunaannya. Penggunaan yang dimaksud adalah membelanjakan untuk keperluan pernikahan mulai dari penyewaan gedung atau tenda, menyewa hiburan berupa pertunjukan musik, membeli kebutuhan konsumsi dan semua yang berkaitan dengan jalannya resepsi pernikahan.

Uang panai yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak dari pada mahar. Jadi uang panai’ ini beda dengan mahar dalam pernikahan. Uang Panai’ dapat diartikan sebagai uang adat dan bukan merupakan mahar, karena kedudukan uang panai’ bukanlah sebagi rukun dalam pernikahan tetapi merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon mempelai laki-laki (dan keluarganya) dalam budaya masyarakat Bugis-Makassar dan diberlakukan secara turun-temurun.

Berdasarkan sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Bosowa Makassar yang berjudul Uang Panai Dalam Budaya Bugis-Makassar (Studi Kasus Sosiologi di Kabupaten Pangkep), besaran uang panai’ untuk patokan sekarang itu, ada pada angka 25 juta untuk standar minimum. Dilansir dari idntimes.com, calon pengantin wanita yang mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat SMA, maka uang panai’ yang harus dipersiapkan berkisar pada angka 50 juta. Sedangkan untuk mereka yang berhasil menyelesaikan pendidikan sampai tingkat S1, maka uang panainya bisa mencapai 150 juta.

Tentu angka ini bukanlah tolak ukur yang pasti karena jumlah uang panai ini bisa berbeda-beda tergantung kesepakatan antara dua belah pihak yang ingin melangsungkan pernikahan. Belum lagi faktor lain yang memengaruhi seperti status keturunan calon pengantin wanita dan jenis pekerjaanya. Bahkan pada beberapa kasus, jika calon pengantin wanita memiliki keturunan darah biru, atau biasa dikenal dengan keturunan bangsawan atau dalam istilah masyarakat Bugis-Makassar keturunan “Andi” maka uang panai’ yang harus dipersiapkan oleh calon mempelai pria bisa mencapai angka satu miliar rupiah.

Histori

Adat pemberian uang panai’ ini diadopsi dari adat perkawinan suku Bugis-Makassar asli yang merupakan warisan dari nenek moyang turun-temurun. Jika dilihat dari sejarah singkatnya, uang panai’ bermula dari seorang putri bangsawan Bugis yang begitu menarik nan cantik sehingga pria asal Belanda jatuh hati kepada putri raja tersebut dan ingin menikahinya. Namun, sang raja yang tidak ingin putrinya disentuh oleh laki-laki manapun, akhirnya sang raja memberikan syarat yang saat ini kita kenal dengan uang panai’.

Uang panai’ tetap diberlakukan masyarakat Bugis-Makassar hingga menjadi sebuah tradisi sebelum melaksanakan proses pernikahan sampai saat ini, karena sebenarnya ada makna yang terkandung dalam uang panai’ tersebut, yaitu  bentuk penghargaan dan kerja keras seorang laki-laki. Jika kita melihat beberapa budaya pernikahan, uang panai merupakan bentuk budaya perkawinan yang memberikan pemahaman arti kerja keras dan bentuk penghormatan atau penghargaan jika ditinjau dari sudut pandang budaya. Tapi, disebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam uang panai’ telah dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga yang terlihat saat ini, makna sesungguhnya dari uang panai’ telah terlupakan hingga bisa dikatakan telah berubah, sehingga masyarakat kurang mengetahui atau bahkan tidak tahu akan hal tersebut.

Problem

Seberapa pentingya uang panai itu ada di dalam pernikahan suku Bugis-Makassar? Sebagaimana dilihat pandangan Koentjaraningrat mengenai fungsi uang panai’ yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena uang panai’ yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan uang panai’ merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan pernikahan.

 

Namun seiring perjalanan waktu, uang panai’ telah menjadi momok tersendiri khususnya bagi kaum muda laki-laki Bugis-Makassar. Fenomena lain yang muncul adalah orang-orang memandang uang panai’ ini sebagai hasil kesepakatan penentuan harga, sehingga budaya panai’ dipandang bersifat transaksional antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.

 

Budaya ini juga menimbulkan kegelisahan bagi pihak laki-laki maupun perempuan dari masyarakat Bugis-Makassar, berkaitan dengan mahalnya uang panai’ yang akan diberikan oleh pihak keluarga perempuan. Bagi orang tua sederhana yang mempunyai anak laki-laki akan merasa gelisah oleh masalah pendanaan yang harus disediakan untuk uang panai’. Sementara pihak wanita yang menunggu datangnya lamaran dari seorang laki-laki juga akan gelisah karena kekhawatiran tidak adanya laki-laki yang maenyanggupi uang panai’ yang ditetapkan oleh keluarganya. Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis-Makassar, persyaratan tersebut lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki. Hampir seluruh pembiayaan dalam pelaksanaan perkawinan ditanggung oleh pihak laki-laki.

 

Besaran uang panai’ yang berlaku saat ini dipengaruhi oleh status sosial yang melekat pada orang yang akan melaksanakan pernikahan terlebih dari pihak perempuan, penilaian tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, dan faktor popularitas, apalagi jika orang tersebut berketurunan ningrat atau darah biru. Semakin tinggi derajat semua status tersebut maka akan semakin tinggi pula permintaan uang panai’ nya, maka tidak jarang banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan kerena tidak terpenuhinya permintaan uang panai’ tersebut. Bahkan hal yang menjadi persyaratan utama atau menjadi pembahasan pertama pada pelamaran sebelum melangsungkan perkawinan adalah uang panai’.

 

Hal ini tentu menjadi masalah sosial yang dihadapi masyarakat Bugis-Makassar  yang harus diselesaikan sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan, permasalahan utamanya tidak lain karena jumlah atau besaran uang panai yang ditentukan oleh pihak mempelai wanita. Hingga terkadang pihak mempelai pria tidak sanggup memenuhi permintaan uang panai’ dari keluarga mempelai wanita tersebut.

 

Belum lagi faktor lain yang biasanya mempengaruhi nominal uang panai’ di masyarakat Bugis-Makassar, seperti halnya mayoritas masyarakat memandang uang panai’ yang biasa difungsikan sebagai uang belanja menjadi ajang gengsi dimata masyarakat maupun keluarga dan kerabat. Hal demikian didasari oleh perkembangan dan pola pikir masyarakat yang telah mengalami perubahan, dimana pola kehidupan masyarakatnya sudah semakin modern.

 

Sebagai contoh, ketika seseorang laki-laki menyukai dan hendak mempersunting seorang perempuan yang tingkat ekonominya tergolong mapan atau keluarga kaya yang dibuktikan dengan gelar haji, menyandang gelar bangsawan (Andi, Daeng, Ambok, Petta), tingkat pendidikan sampai strata satu, serta memiliki wajah cantik nan rupawan (makessing-kessing) maka pihak laki-laki harus siap sedia dengan uang dalam jumlah nominal yang cukup tinggi. Beberapa orang yang memang paham benar dengan budaya uang panai’ (uang belanja) ini biasanya melakukan kompromi terlebih dahulu namun tidak sedikit pula yang memang kurang memahami budaya ini memilih untuk mundur karena terbayang akan besarnya modal yang harus disiapkan.

 

Salah seorang informan yang sempat diwawancarai juga menuturkan keluh kesahnya mengenai permasalahan uang panai’ ini, dia mengatakan “Kadang kalau dipikir, jadinya kan kasihan, kenapa banyak dari kami yang belum nikah itu karena pertimbangan adat istiadat uang panai’ ini yang menghambat laki-laki Bugis-Makassar banyak memilih untuk nikah diluar dari suku Bugis-Makassar itu sendiri. Dan cowok luar sudah takut duluan, baru tahu orang Bugis-Makassar, sudah kebayang duit lamaran besar. Jadi mengundurkan diri jalan terbaik bagi saya.” Padahal, belum tentu keluarga dari pihak cewek itu benar-benar tidak bisa diajak berunding, tapi sudah semacam trauma atau takut dengan adat Bugis-Makassar itu. Dan kalau ke Sulawesi juga banyak dijumpai gadis tua, orang tua tahan anaknya tidak nikah-nikah demi mempertahankan adat. Kadang anak itu dilamar, cuma karena cowok yang melamar itu tudak cukup modal atau cara datangnya tidak sesuai adat jadi di tolak. Memang jodoh itu di tangan Tuhan, tapi kalo seperti ini sama saja orang tua itu menahan-nahan anak untuk nikah hanya karena faktor siri’ dan gengsi.

 

Memang benar adanya, semua itu sebenarnya adalah bentuk perealisasian dari budaya siri’ yang melekat dalam diri masyarakat Bugis-Makassar. Masyarakat Bugis-Makassar sangat menjunjung tinggi nilai siri’ sebagai bentuk perilaku yang mencerminkan strata sosialnya. Tapi, di sisi lain bisa juga memberatkan pihak laki-laki. 


Karena berkaitan dengan siri', timbul pertanyaan,  apa sebenarnya budaya siri’ itu? Dan mengapa uang panai’ ini sangat erat kaitannya dengan budaya siri’ yang ada pada masyarakat Bugis-Makassar? Adapun mengenai budaya siri’ ini akan dijelaaskan pada tulisan tersendiri yang akan datang.

Comments

Popular Posts