Urgensitas Modernisasi dalam Beragama
![]() |
| Source: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-grayscale-bridge-262367/ |
Oleh: Ahmad Mujaddid
Menjadi hal yang
tabu di era sekarang, ketika kita kudet tentang masalah modernisasi,
khususnya di Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang yang sudah
mendekati kata maju. Namun, justru dengan alasan modernisasi inilah banyak
orang meninggalkan agama. Tercatat pada Januari 2014, ada sebanyak 961 orang
yang mendeklarasikan diri mereka sebagai ateis, juga menurut data Direktorat
Jendral-Kependudukan dan Kedudukan Sipil (Dukcapil) di bawah Kementrian Dalam
Negeri (Kemendagri), pada tahun 2021, ada 0.04% dari 272.23 juta penduduk
Indonesia atau setara dengan 102.51 ribu orang yang yang memiliki kepercayaan
selain dari 6 agama resmi di Indonesia, atau dengan kata lain berpotensi tidak memiliki
agama (ateis). Itu baru yang didata saja, bagaimana dengan mereka yang didata
memasuki salah satu dari 6 agama tersebut, tapi hanya sebatas di KTP saja? Dan
hal ini juga tidak bisa kita nafikan keberadaannya.
Mereka memandang
agama sebagai hal yang kuno nan kaku. Pandangan mereka juga tidak bisa kita
abaikan begitu saja, karena itulah fakta lapangan yang terdapat di beberapa
lingkungan beragama masyarakat Indonesia saat ini. Meskipun demikian, ada
beberapa hal dalam agama, khususnya agama Islam itu sendiri yang sudah
menerapkan modernisasi, seperti adanya kompas kiblat, Al-Qur’an digital, dan
lain-lain, tapi hanya begitu-begitu aja. Tidak ada usaha yang lebih
daripada hal-hal tersebut dalam memodernisasi agama Islam.
Jika kita
mengamati, orang-orang yang meninggalkan agama, mayoritas justru dari kalangan
muda. Mereka merasa bahwa agama yang selalu dielu elukan para pendakwah agama,
khususnya pendakwah agama Islam, yaitu agama yang mengikut ke tuntunan para salaf
al-shǎlih, yang mana hal itu menurut mereka sudah tidak sesuai dengan zaman
mereka sekarang. Banyak masalah-masalah yang terjadi di zaman ini tapi belum
pernah terjadi di zaman sekarang. “Mereka menyuruh kita sholat di atas unta,
sedangkan sekarang sudah ada mobil”.
Eksistensi para
pendakwah yang penulis sebutkan di paragraf sebelumnya, semakin hari semakin
bertambah, juga tetap dengan slogan sama “Sesuai tuntunan dari para salaf
al-salih”. Tak bisa kita pungkiri juga, bahwa media-media di Indonesia
sekarang, mulai dari Instagram, Facebook, Tiktok, dan Twiter, yang mana
notabenenya tempat bagi para kaum muda mencari informasi, itu didominasi oleh
orang-orang dari kelompok tersebut. Penulis telah mewawancarai beberapa kaum
muda di Indonesia, dan mereka mengakui bahwa feed media sosial mereka
itu lebih banyak berisikan dakwah-dakwah dari para pendakwah tersebut.
Para “penguasa”
media sosial ini berpendapat bahwa, agama Islam ini sudah sempurna, tidak perlu
dan tidak boleh bagi kita untuk menambah, mengurangi, bahkan mengubahnya.
Jikalau ada yang melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, meski dengan
alsan apapun, maka ia akan dicap sebagai ahl al-bid’ah dan berhaklah
baginya neraka. Nah, hal inilah yang membuat para generasi muda berpendapat
bahwa agama itu bersifat kuno dan monoton. Mereka merasa terkekang dan
akhirnya, berpikir bahwa ada hal yang sebenarnya sudah tidak sesuai dengan
zaman sekarang, tapi tetap masih di elu-elukan oleh “mereka”.
Dalam agama Islam, ada frasa yang berbunyi “Al-Islam shǎlih
likulli al-zamǎn wa al-makǎn” (Islam itu sesuai pada setiap waktu dan
setiap tempat). Jelaslah bagi kita, frasa tersebut masih kontradiksi dengan
yang dialami oleh beberapa orang. Ya, hal ini memang wajar jika kita melihat
dari sudut pandang mereka sebagai orang awam, yang hanya melihat dakwah-dakwah
Islam di media media sosial yang telah dikuasai.
Gus Dur, dalam
salah satu tulisannya tentang kebenaran relatif, menjelaskan bahwasanya selain
dari hal-hal yang sudah paten, seperti tauhid dan sebagainya, ajaran islam
dapat saja berubah dikarenakan perbedaan waktu dan tempat. Beliau menentang
pendapat yang mengatakan bahwa ada ajaran Islam, selain dari hal hal tadi yang
tidak dapat dirubah. Itulah yang beliau maksud dengan kebenaran relatif, dan
kebenaran relatif inilah yang menjadikan Islam sesuai pada setiap waktu dan
tempat.
Kalau kita
memperhatikan tulisan Gus Dur tersebut, dan juga melihat sejarah-sejarah ulama
Islam dari dulu hingga sekarang, maka kita akan mendapati banyaknya usaha-usaha
ulama dalam menjadikan Islam sesuai dengan zaman mereka masing masing. Di
antara bebrapa usaha tersebut, kita mengenal yang namanya fatwa. Fatwa itu
sendiri, adalah usaha ulama yang benar-benar representasi dari frasa tadi.
Bagaimana tidak, hukum yang dikeluarkan seorang mufti (pemberi fatwa) pada
seseorang, bisa jadi akan memiliki hukum yang berbeda dengan orang lain,
meskipun masalah mereka sama.
Seperti dalam
masalah murtad. Dulu, menurut hukum Islam orang yang murtad itu dikenai hukuman
mati, namun sekarang, dapat kita lihat di media-media, orang leluasa keluar dan
masuk agama tanpa adanya ancaman akan dibunuh. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan zaman, dulu belum ada yang namanya Hak Asasi Manusia (HAM). Menjatuhi
hukuman mati kepada orang yang murtad tidak membuat nama Islam buruk. Sekarang
sudah ada namanya HAM, setiap orang memiliki hak dalam berpendapat, berekspresi
bahkan memilih agama apa ia hari ini. Menetapkan hukuman mati karena murtad,
justru sama dengan membatasi HAM seseorang dan itu bisa membuat orang lari
dari Islam.
Contoh lain dari
upaya ulama dalam memodernisasi Islam sesuai masanya, giat dalam menyusun
kitab-kitab, mulai dari tafsir, fiqh, hadits dan lain lain. Kalau
kita menelaah baik-baik, meskipun metode, mazhab, atau bahkan guru mereka sama,
tapi karena perbedaan waktu dan tempat mereka mengaplikasikan hukumnya berbeda,
maka pasti kita menemukan adanya perbedaan dalam kitab-kitab tersebut.
Dari sini bisa
kita ketahui bahwa, bahkan ulama terdahulu berupaya untuk memodernisasi Islam
sesuai masanya. Adapun dakwah-dakwah dari para penyeru salaf al-shǎlih, secara
tidak langsung adalah upaya mereka dalam menjadikan islam mundur. Betapa tidak,
hal serupa pernah terjadi di agama Kristen. Para pendeta Kristen dulu sangat
menentang yang namanya modernisasi agama. Bahkan ketika seseorang berpendapat
dan memiliki bukti-bukti yang kuat. Namun, berbeda dengan ajaran-ajaran mereka,
maka orang tersebut bisa dikenai hukuman mati. Hal inilah yang membuat para
pemikir di era renaisans meninggalkan agama Kristen dan memilih untuk tidak
beragama.
Frasa yang penulis sebutkan di paragraf terdahulu, tidak lain tidak
bukan merupakan motivasi untuk kita semua agar menjadikan agama Islam itu
sesuai dengan zaman kita masing-masing. Bukan karena Islam itu sudah dari
sananya cocok untuk semua zaman dan tempat. Allah Swt. berfirman dalam surah
Al-Ma’idah: 3, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama yang dibawa oleh
Rasulullah Saw. Ulama dalam menjelaskan makna menyempurnakan dalam ayat
tersebut mengatakan bahwa, yang disempurnakan bukan masalah furu’,
melainkan kaidah kaidah dalam menetapkan furu’.
Nah, dari
penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat mengetahui urgensitas dari
modernisasi agama itu sendiri. Kita membutuhkan pembaharuan bukan hanya dalam
bidang teknologi saja, dalam bidang agama pun kita perlu hal tersebut. Bila
kita tetap membiarkan agama Islam dengan kekunoan dan kekakuannya, maka bukan
hanya mengalami kemunduran, mungkin saja Islam hanya tinggal tulisan Islamnya
saja. Hal ini sudah lama telah disinggung oleh A.A. Navis dalam cerpennya Robohnya
Surau Kami.
Dalam tulisannya
itu, beliau menceritakan tentang sebuah surau tua nan rapuh yang hanya dijaga
oleh seorang kakek tua. Setelah kakek ini meninggal, tidak ada lagi orang yang
menjaga surau tersebut. Tak lama sepeninggal si kakek, surau tersebut roboh,
karena anak-anak menjadikannya tempat bermain, dan para ibu mengambil kayu dari
masjid tersebut untuk dijadikan kayu bakar.
Kalau kita membaca
cerpen tersebut, kita akan menemukan kesamaan antara agama Islam dengan surau
tua yang ada dalam cerpen itu. Keduanya memliki akhir yang sama, yaitu
kehancuran kalau tidak ada inisiatif untuk melakukan pembaharuan. Seandainya,
si kakek mencoba untuk memperbaiki surau tersebut, atau mengajak penduduk di
desa tersebut untuk sama sama memperbaikinya, maka meskipun kakek telah lama
meninggal, surau tersebut tidak akan roboh.
Dengan
adanya tulisan ini, penulis berharap agar para pembaca sekalian terbuka
pikirannya. Agama Islam bukan hanya berisikan sekumpulan dogma yang mengikat
dan membuat pengikutnya jalan di tempat. Agama Islam adalah tuntunan yang mesti
kita ikuti bukan karena dia adalah agama yang kita anut, tapi karena
kesesuaiannya pada setiap masa, tempat dan juga keadaan setiap orang. Dan cara
agar hal tersebut dapat diwujudkan adalah dengan modernisasi agama. Penulis
menutup tulisan ini dengan nasehat ayah Muhammad Iqbal, “Bacalah Al-Qur’an
seolah-olah ia diturunkan khusus untukmu”.




👍👍👍👍
ReplyDeleteLuar biasa..
ReplyDelete