Kesetaraan Perempuan sebagai Manusia
Oleh: Muhammad
Alim Nur
Jagad raya menjadi lebih indah karena dihuni oleh sosok bidadari
surga yang tak bersayap, saya sebut dengan nama perempuan. Di sisi lain,
juga dihuni oleh seorang laki-laki yang senantiasa menemani dan menjaga agar
sosok bidadari itu tetap merasa tenang, nyaman, dan menyejukkan hatinya.
Keberadaan laki-laki dan perempuan merupakan dua entitas yang
sering dibedakan dalam kondisi yang berbeda; jenis kelamin (seks) dan peran
yang harus dilakukan (gender). Namun, seringkali masyarakat memandang
seks dan gender sebagai ciri khas yang sama sebagai seorang laki-laki
dan perempuan. Pemahaman ini sering menempatkan derajat laki-laki sebagai sosok
yang super power dibanding perempuan. Fenomena ini saya lihat sebagai
situasi yang tidak seimbang dan menimbulkan ketidakadilan dalam kehidupan
sebagai manusia.
Tumbuhnya gerakan perempuan internasional telah membantu menjadikan
peringatan sebagai titik temu untuk membangun dukungan bagi hak-hak perempuan.
Mereka menuntut agar tetap bebas
berekspresi, namun perlu diingat bahwa ada norma dan etika yang tetap mengikat
mereka.
Saya sendiri ikut berperan aktif mendukung kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajibannya sebagai sosok
manusia. Dalam hal
ini yang membedakan hanyalah jenis
kelamin dan peran masing-masing. At-takhassus la yadullu ‘ala al-afdhaliyah, ini
hanyalah ciri khas dan peran saja, tidak menunjukkan bahwa laki-laki lebih afdhal daripada perempuan.
Sebelum pembahasan
terlalu jauh, saya akan menjelaskan sedikit perbedaan antara seks dan gender
sebagai kewajiban moral sesama manusia.
Pada dasarnya, seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada
akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan jenis kelamin yang dimiliki. Di mana, hal
ini bersifat biologis, bentuk organ
tubuh, dan ini tidak dapat diubah karena merupakan pemberian dari Sang pencipta.
Sedangkan gender
merupakan perbedaan pembentukan peran, fungsi, tanggung jawab, dan perilaku
laki-laki dan perempuan melalui proses sosial-budaya yang panjang dan sebagai
konsekuensi dari hasil kesepakatan masyarakat.
Menurut saya, karena konsekuensi kesepakatan masyarakat, maka peran
laki-laki sebagai pencari nafkah dan bekerja di sektor publik. Sedangkan
peran sosial perempuan sebagai istri di sektor domestik dan bertanggung jawab
mengurus rumah tangga. Ini hanyalah soal kesepakatan bukan sesuatu yang sudah
final, peran sosial masih dapat dipertukarkan.
Mencari nafkah dan bekerja di sektor publik juga bisa dilakukan
oleh perempuan, di samping sebagai seorang istri. Saya masih mengamini bahwa
setiap peran dan pekerjaan laki-laki bisa dikerjakan oleh perempuan. Sebaliknya, tidak semua peran dan pekerjaan perempuan bisa dilakukan oleh
laki-laki.
Namun seiring
perkembangan zaman, perbedaan ini mengalami distorsi atau pergeseran makna oleh
masyarakat. Mereka memposisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah, perannya
bukan di sektor publik, tidak layak untuk memimpin, dan tidak perlu
berpendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya hanya di dapur dan di kasur.
Sebaliknya, mereka memandang laki-laki sebagai sosok yang super power, melindungi
keluarga, memiliki hak istimewa untuk memimpin publik. Padahal, ini
hanyalah konsekuensi dari sebuah kesepakatan kehidupan sosial-masyarakat. Hal ini sepertinya akan menarik kalau kita balik kesepakatannya, perempuan
sebagai sosok yang super power dan punya hak istimewa untuk memimpin
publik.
Sebagian orang
masih beranggapan bahwa membicarakan kesetaraan gender adalah hal sia-sia yang
selalu dibesar-besarkan. Kedudukan laki-laki dan perempuan memang harus
berbeda. Masalah yang paling banyak disoroti adalah problem sekolah
tinggi-tinggi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dengan menganggap bahwa berpendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang
diperuntukkan untuk perempuan. Pemikiran yang sangat kolot menurut saya.
Perempuan maupun laki-laki, memiliki status yang setara dan memiliki kondisi yang
sama dalam mewujudkan secara penuh hak asasi mereka. Kemudian, potensinya di
segala bidang kehidupan tidak boleh ada diskriminasi dan pembakuan peran
sebagai manusia, lagi-lagi hanya soal kesepakatan.
Menurut saya, kesetaraan gender dan keadilan gender memiliki
keterkaitan. Perlakuan laki-laki dan perempuan harus dipandang adil sebagai
manusia, bukan jenis kelamin dalam hak, keuntungan, kewajiban, dan kesempatan.
Seperti dalam organisasi, keberadaan perempuan terkadang hanya dipandang sebagai
‘pengisi kursi’, bukan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berkembang.
Dalam dunia pekerjaan, jabatan perempuan seringkali hanya cukup
jadi sekretaris saja, tidak bisa menjadi pimpinan dan direktur, karena dianggap
lemah dalam memimpin dan mengambil keputusan. Padahal perempuan juga punya hak
untuk berekspresi dan berdinamika. Pandangan ini sangat menciderai perempuan
sebagai seorang manusia. Tidak ada perbedaan antara keduanya, kedudukan kita
setara di mata Tuhan.
Kita harus mengetahui dan memahami bahwa bukan sebagai kodrat
perempuan melakukan pekerjaan memasak di dapur. Hal ini
hanyalah soal pekerjaan pilihan, tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin.
Laki-laki pun bisa memilih untuk memasak di dapur walaupun sebagai pemimpin
publik. Semua jenis pilihan pekerjaan bisa dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan.
Kesetaraan gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan
laki-laki ke tangan perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban
seorang suami oleh istrinya. Jika kita maknai kesetaraan adalah pemindahan
tugas dan kewajiban, maka yang tercipta adalah penambahan beban dan penderitaan
pada perempuan. Ini hanyalah soal pilihan, mau melakukannya atau tidak.
Pada prinsipnya, kesetaraan adalah kebebasan laki-laki dan
perempuan dalam memilih peluang-peluang yang mereka inginkan. Serta kedudukan dan kesempatan yang sama dalam pengambilan keputusan yang
di dalamnya memperoleh manfaat. Dan tidak memandang suara laki-laki sebagai keputusan Tuhan yang harus didengar
dan diambil. Juga, menghargai tugas dan fungsi masing-masing tanpa ada diskriminasi
atau salah satu pihak lebih berkuasa dan merasa paling tinggi kedudukannya dan
harus didengar suaranya tanpa pertimbangan. Perempuan juga manusia yang layak
dan pantas untuk mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa mendidik seorang laki-laki, maka kita hanya mendidik seorang laki-laki. Akan tetapi, dengan mendidik seorang perempuan, maka kita telah mendidik satu generasi ke depan.




Comments
Post a Comment