Nahwu-Saraf di Era Digital; Belajar Langsung Masih Dibutuhkan!
Oleh: Mirwan Sudarmawan Rifai
Nahwu dan saraf bagi mereka yang menggeluti
ilmu bahasa Arab sudah tidak asing lagi. Mempelajarinya
pun, termasuk langkah awal dan tepat untuk mereka yang ingin mendalaminya. Selain
itu, orang yang ingin menguasai ilmu bahasa Arab, karena sangat erat kaitannya dengan khazanah agama Islam. Keterkaitan dua ilmu tersebut, sudah
tidak dapat dipisahkan lagi. Bahkan, bisa dikatakan orang yang belum menguasai nahwu
dan saraf, belum bisa dikatakan ahli dalam ilmu agama Islam.
Berangkat dari hal tersebut, sudah menjadi sebuah fakta bahwa
relevansi nahwu dan saraf di era saat ini sangat dibutuhkan. Khususnya, bagi
mereka yang ingin menjadi ahli dalam ilmu agama Islam. Betapa tidak, tanpa penguasaan nahwu dan saraf, orang belum bisa dikatakan sempurna
keilmuan agamanya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa agama Islam memiliki
kitab suci yang menggunakan bahasa Arab dan tentu untuk memahaminya perlu
mendalami komponen-komponen yang
telah disebutkan di atas.
Di sisi lain, mengkaji ilmu bahasa Arab juga tidak hanya terbatas pada potongan-potongan video. Akan tetapi, sangat perlu menekuni dengan
sungguh-sungguh, jika memang ingin ahli di dalamnya. Selain itu, diperlukan
guru yang mumpuni, waktu yang tidak sedikit, bukan sebulan, dua bulan, bahkan
tiga tahun pun, masih belum bisa dikatakan cukup.
Hal ini dikarenakan untuk mendalami ilmu bahasa Arab itu menggunakan
buku-buku yang tidak memakai baris atau lebih dikenal dengan istilah kitab
gundul. Inilah yang harus ditemukan baris-barisnya dengan tepat dan sesuai dengan
makna yang sebenarnya. Penempatan baris seperti fatah, damah, kasrah, dan sukun,
ini sangat krusial dalam pengaruh interpretasi kalimat bahasa Arab. Salah baris,
maka salah makna dan jika sudah seperti ini maka berakibat fatal dalam pemahaman ilmu agama kita.
Jika ditelusuri lebih dalam, ilmu agama Islam yang berkaitan dengan bahasa
Arab, tidak sebatas dengan nahwu dan saraf saja. Melainkan,
masih banyak lagi ilmu lainnya yang wajib dipelajari, seperti balagah, 'arudh,
fikih, ushul fikih, hadis, ushul hadis, tafsir, ushul tafsir, dan lain sebagainya.
Dalam terminologi pelajar dan pengkaji agama Islam, ilmu-ilmu tersebut disebut juga dengan “ilmu alat”. Maksudnya,
ilmu yang menjadi alat untuk memahamkan kita pada ilmu agama yang bersumber
pada kitab gundul atau biasa juga disebut kitab
kuning.
Dari penjelasan di atas, pembaca sudah bisa menggambarkan betapa
panjang dan rumitnya jalan dalam mendalami ilmu agama Islam, karena kita harus
mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Sekalipun, sudah ada teknologi
yang bisa membantu pembelajaran kita, tapi hal itu tidak dapat dijadikan
sandaran utama. Mengapa? Karena teknologi seperti YouTube ataupun media daring
lainnya, hanya diperuntukkan untuk memperkuat atau sekadar mengulangi apa yang
sudah di pelajari bersama guru secara langsung, bukan untuk menjadi sumber
satu-satunya tempat belajar kita.
Selain itu, kitab-kitab yang sudah tersedia lengkap dengan barisnya
di berbagai aplikasi pun, masih belum bisa menggantikan peran dari mempelajari
ilmu bahasa Arab, melalui urutan ilmu alat yang telah disebutkan di atas.
Tersedianya kitab-kitab yang lengkap harakatnya, bukan berarti kita bisa paham
maksudnya tanpa mempelajari ilmu-ilmu tersebut terlebih dahulu.
Sangat banyak majaz di dalam Al-Qur'an ataupun kitab gundul,
baik itu ada penempatan hurufnya, pemilihan diksi katanya, sampai dengan makna
pada satu huruf. Hal inilah yang tidak dapat dijelaskan kitab-kitab daring yang
sudah tersedia barisnya. Kekurangan lainnya, baris-baris yang terdapat pada
aplikasi kitab, terkadang salah. Sehingga berdampak sangat
fatal dan bisa membawa implikasi buruk dalam pemahaman kita pada agama Islam.
Maka jangan heran, jika beberapa orang yang sudah memberanikan diri untuk naik
ke mimbar dan menyampaikan ke khalayak umum, tapi masih saja salah
pemahamannya.
Ini merupakan
sebuah kenyataan pahit untuk
eksistensi Islam dalam menyebarkan dakwah yang benar. Lebih mirisnya lagi,
orang-orang yang mumpuni keilmuan keagamaannya justru tersingkir karena kuatnya
algoritma popularitas yang ada di media sosial.
Harus ada terobosan, untuk menjadikan media sosial sebagai sarana
dakwah bagi mereka yang sudah mapan keilmuannya. Singkat saya, untuk mempelajari nahwu dan saraf, beserta ilmu alat lainnya harus dengan
cara bertemu langsung dengan para guru. Selain mendapatkan berkah, pemahaman
kita juga bisa diverifikasi. Karena ilmu bahasa Arab memang tidak seperti
dengan ilmu lainnya, ilmu ini sangat menjaga yang namanya sanad keilmuan.
Dari berbagai penjelasan tersebut, ada beberapa
poin yang bisa kita pahami. Pertama, ilmu bahasa Arab tidak bisa disamakan dengan ilmu bahasa pada
umumnya yang bisa dipelajari melalui potongan-potongan video. Ilmu bahasa Arab
wajib diambil melalui guru yang ahli dan sanad keilmuannya jelas. Kedua, ilmu agama
Islam tidak terbatas pada nahwu dan saraf saja. Akan tetapi, masih banyak ilmu lainnya yang harus dikuasai seperti yang telah disebutkan di atas. Dan ilmu nahwu saraflah yang menjadi kunci gerbangnya.
Ketiga, tantangan nahwu dan saraf di era digital memang sangat berat,
tapi metode pembelajaran secara langsung tidak dapat digantikan dengan
kehadiran kitab-kitab elektronik yang disertai baris. Keempat, dalam mempelajari bahasa Arab, memang tidak mudah, dibutuhkan niat,
disertai kesungguhan yang kuat untuk menggali ilmu tersebut.
Sebagai
penutup, kebutuhan akan mempelajari nahwu dan
saraf secara
langsung sangat jelas. Sehingga kita tidak dapat bertumpu pada metode
pembelajaran media daring. Maka dari itu, untuk para pembaca yang
betul-betul ingin menggeluti ilmu bahasa Arab perlu mencari tempat belajar dan
guru yang ahli dalam bidang ini.
Wallahu a'lam




Comments
Post a Comment