Nihilitas Perempuan; Haruskah Berlanjut?

 

Source: https://www.pexels.com/photo/person-wearing-black-mask-2738919/

Oleh: Afwa Anna Hudiyah

Kemerdekaan adalah salah satu hal yang harus disepakati oleh segenap manusia. Kendati demikian, kebebasan menjadi hal yang tidak boleh terpisahkan dari manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kita yang membaca tulisan ini, mungkin telah memiliki kemerdekaan tersebut. Tapi kita tidak tahu, bagaimana ranah dan ruang perempuan lain di luar sana yang pergerakannya masih dibatasi dan dikekang. Mereka tetap menjalani peran meski harus disertai hambatan, bahkan sekadar membuat pilihan dan keputusan saja masih dianggap menantang. Ambisi untuk mengembangkan diri dan potensi berupa bakat yang perempuan miliki, masih sering dianggap menyalahi aturan masyarakat yang memandang perempuan seharusnya bekerja dan beraktiftas dalam ranah domestik saja.  

Patriarki

Akar patriarki sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles adalah salah satu tokoh krusial di balik derasnya hujanan nihilitas perempuan. Dia mengatakan bahwa perempuan harus dipandang oleh laki-laki sebagai ketidaksempurnaan alam. Lebih kejamnya, Aristoteles menyatakan hubungan laki-laki dan perempuan, sama dengan hubungan manusia dan hewan. Ini tertuang dalam bukunya yang bertajuk Politics.

Melihat ruang lingkup masyarakat yang lebih didominasi oleh laki-laki, membuat beberapa perempuan kurang menyadari kedudukan dan tempat mereka yang istimewa. Hingga tidak sedikit dari perempuan mencemaskan kemampuan diri mereka. Mereka memilih untuk diam, takut menyuarakan hak karena stereotip bahwa mereka adalah manusia kelas dua di bawah laki-laki telah menutup pandangan dan membungkam mereka dari hak perempuan seutuhnya. Tidak hanya itu, dilansir dari situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA), ”Bahwa asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekadar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.”

Pekerjaan di luar dari menjadi seorang ibu dan istri, memunculkan banyak kekhawatiran dan ketakutan. Padahal perempuan tidak pernah terikat dengan pilihan, perempuan layak dan berhak mendapatkan pekerjaan di luar dari itu, tanpa diliputi kekhawatiran dan celaan akan sekitar. Sebab, merdeka dalam memilih adalah hak bagi seluruh manusia. Perempuan adalah manusia. Maka, merdeka hak perempuan juga.

Najwa Shihab pernah mengatakan dalam catatannya bertajuk Dari Perempuan Untuk Perempuan “Sukses berkorelasi positif bagi laki-laki, namun membawa konsekuensi negatif bagi perempuan. Pintu-pintu yang bisa dengan mudah dibuka oleh laki-laki seringnya justru harus diketuk bahkan didobrak oleh perempuan.” Dapat dipahami dari kutipan tersebut bahwa betapa sulitnya perempuan saat ini untuk mendapatkan privilege dan kemudahan seperti yang didapatkan laki-laki baik dalam hal kepemimpinan bahkan untuk sekadar menyuarakan pendapat.

Permasalahan di atas, dapat diuraikan terlebih dahulu dari diri sendiri. Tidak ada yang lebih tahu mengenai perempuan, selain perempuan itu sendiri. Maka kita dapat lebih mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan di seluruh aspek kehidupan. Seharusnya, perempuan memiliki tingkat urgensitas dan perhatian yang tinggi dari masyarakat itu sendiri. Mengingat di era digitalisasi saat ini, sebenarnya perempuan berperan dan bekerja di berbagai bentuk yang bervariasi. Itu artinya jumlah perempuan yang berkarya di masyarakat kita sangat besar, tapi dukungan yang diberikan baik dari lingkungan maupun kebijakan, seringkali tidak selaras dengan kontribusi yang perempuan sendiri telah berikan.

Sebagai contoh, kesenjangan upah yang diterima laki-laki dan perempuan masih terjadi di Indonesia. Walaupun upah yang diterima oleh laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun karena didorong oleh regulasi kewajiban penerapan upah minimum, tetapi upah pekerja laki-laki lebih besar dibandingkan upah yang diterima pekerja perempuan.

Memiliki pekerjaan yang mumpuni dianggap egois, menyandang gelar pendidikan tinggi pun masih dicibir kesana kemari. Apa ada yang salah dari gelar pendidikan tinggi dan jabatan yang diperoleh perempuan? Ketika perempuan menunjukkan eksistensi mereka dengan bekerja untuk kemajuan dan kecerdasan masyarakat, seringkali tidak lepas dari tuntutan gender, stigma, dan doktrin masyarakat bahwa wanita yang bekerja di ranah dapur, sumur, dan kasur itu jauh lebih baik.

Berdaya

Seorang content creator yang berkonsentrasi dalam topik pemberdayaan perempuan, Puty Puar, mengatakan bahwa perempuan yang berdaya adalah mereka yang dapat mengambil keputusan, memilih, dan menjalankan keputusan dengan optimal serta bermanfaat bagi orang lain. Ini berlaku bagi semua perempuan, baik yang lajang, working mom, hingga ibu rumah tangga.

Puty Puar juga menambahkan dalam bukunya yang berjudul Empowered Me (Mother Empowers), Menjadi ibu dan berdaya adalah keharusan. Karena peran ibu adalah sebagai salah satu ujung tombak peradaban yang dimulai dari organisasi kecil yang disebut dengan "keluarga". Karena ibu memiliki peran tidak hanya sebagai istri dan ibu saja, melainkan juga bagian dari masyarakat. Seorang ibu yang berdaya, memiliki peluang untuk turut memberdayakan ibu dan perempuan lainnya, sehingga meminimalisir potensi hal-hal yang menjadi distraksi peneguhan jati diri para ibu”.

Sosok shahabiyat Nabi, Sumayyah binti Khayyat memiliki kemerdekaan dalam memilih Islam. Ini menunjukkan beliau sebagai inspirator dalam perempuan berdaya, juga sebagai sosok ibu yang memiliki kharisma dan pendirian yang teguh.

Perempuan dalam Islam

Dalam Islam, perempuan dianggap sebagai rahim peradaban yang seharusnya diberikan dukungan, kebijakan penuh, serta perilaku yang baik dari lingkungan. Bahkan, ada satu surah yang abadi dalam Al-Qur’an tentang perempuan: Al-Nisa. Bentuk ancaman dan diskriminasi terhadap perempuan sama seperti kita merusak pilar peradaban masyarakat. Begitupun sebaliknya, penjagaan dan pemeliharaan terhadap mereka berarti kita turut memelihara rahim kehidupan tersebut. Karena, keberadaan perempuan memiliki dampak positif dan pengaruh besar dalam kemajuan suatu masyarakat. Bagaimana mungkin peradaban ada jika perempuan tidak ada?

          Sebagai contoh, Sayyidah Aisyah Ra menjadi saksi sejarah atas pemberdayaan perempuan. Beliau menjadi seorang jenius, mujtahid, sekaligus menjadi salah satu periwayat hadis terbanyak. Yang memberikan hak-hak beliau adalah Rasulullah Saw secara langsung. Ini berarti mengakui eksistensi perempuan adalah bagian dari ajaran Islam.

Memberikan hak perempuan dalam segala lini sebagai mestinya, bukanlah sekadar untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman, tapi untuk mengembangkan potensi setiap orang, tak terkecuali perempuan. Bukankah hal-hal di atas adalah norma yang seharusnya kita jalankan? Tapi, mengapa perempuan tidak optimal dalam mendapatkan norma tersebut? Bagaimana mereka dapat mengoptimalisasi peran mereka jika keberadaannya sama dengan nihilnya?

Comments