Nihilitas Perempuan; Haruskah Berlanjut?
Oleh: Afwa Anna Hudiyah
Kemerdekaan adalah salah satu hal yang
harus disepakati oleh segenap manusia. Kendati demikian, kebebasan menjadi hal
yang tidak boleh terpisahkan dari manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kita yang membaca tulisan ini, mungkin telah memiliki kemerdekaan tersebut. Tapi kita tidak tahu, bagaimana ranah dan ruang perempuan lain di
luar sana yang pergerakannya masih dibatasi dan dikekang. Mereka tetap
menjalani peran meski harus disertai hambatan, bahkan sekadar membuat pilihan
dan keputusan saja masih dianggap menantang. Ambisi untuk mengembangkan diri
dan potensi berupa bakat yang perempuan miliki, masih sering dianggap menyalahi
aturan masyarakat yang memandang perempuan seharusnya bekerja dan beraktiftas
dalam ranah domestik saja.
Patriarki
Akar patriarki sudah ada sejak zaman Yunani
Kuno, Aristoteles adalah salah satu tokoh krusial di balik derasnya hujanan
nihilitas perempuan. Dia mengatakan bahwa perempuan harus dipandang oleh
laki-laki sebagai ketidaksempurnaan alam. Lebih kejamnya, Aristoteles
menyatakan hubungan laki-laki dan perempuan, sama dengan hubungan manusia dan
hewan. Ini tertuang dalam bukunya yang bertajuk Politics.
Melihat ruang lingkup masyarakat
yang lebih didominasi oleh laki-laki, membuat beberapa perempuan kurang
menyadari kedudukan dan tempat mereka yang istimewa. Hingga tidak sedikit dari
perempuan mencemaskan kemampuan diri mereka. Mereka memilih untuk diam, takut
menyuarakan hak karena stereotip bahwa mereka adalah manusia kelas dua di bawah
laki-laki telah menutup pandangan dan membungkam mereka dari hak perempuan
seutuhnya. Tidak hanya itu, dilansir dari situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA), ”Bahwa asumsi masyarakat yang
menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekadar tambahan peran dan tambahan
penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat
partisipasi tenaga kerja perempuan.”
Pekerjaan
di luar dari menjadi seorang ibu dan istri, memunculkan banyak kekhawatiran dan
ketakutan. Padahal perempuan tidak pernah terikat dengan pilihan, perempuan
layak dan berhak mendapatkan pekerjaan di luar dari itu, tanpa diliputi
kekhawatiran dan celaan akan sekitar. Sebab, merdeka dalam memilih adalah hak bagi seluruh manusia. Perempuan adalah
manusia. Maka, merdeka hak perempuan juga.
Najwa Shihab pernah mengatakan dalam
catatannya bertajuk Dari Perempuan Untuk Perempuan “Sukses berkorelasi
positif bagi laki-laki, namun membawa konsekuensi negatif bagi perempuan.
Pintu-pintu yang bisa dengan mudah dibuka oleh laki-laki seringnya justru harus
diketuk bahkan didobrak oleh perempuan.” Dapat dipahami
dari kutipan tersebut bahwa betapa sulitnya perempuan saat ini untuk
mendapatkan privilege dan kemudahan seperti yang didapatkan laki-laki
baik dalam hal kepemimpinan bahkan untuk sekadar menyuarakan pendapat.
Permasalahan di atas, dapat diuraikan terlebih dahulu dari diri sendiri. Tidak ada yang
lebih tahu mengenai perempuan, selain perempuan itu sendiri. Maka kita dapat
lebih mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan di seluruh aspek
kehidupan. Seharusnya, perempuan memiliki tingkat urgensitas dan perhatian yang tinggi dari
masyarakat itu sendiri. Mengingat di era digitalisasi saat ini, sebenarnya perempuan berperan dan bekerja di berbagai bentuk yang bervariasi. Itu
artinya jumlah perempuan yang berkarya di masyarakat kita sangat besar, tapi
dukungan yang diberikan baik dari lingkungan maupun kebijakan, seringkali tidak
selaras dengan kontribusi yang perempuan sendiri telah berikan.
Sebagai contoh, kesenjangan upah
yang diterima laki-laki dan perempuan masih terjadi di Indonesia. Walaupun upah
yang diterima oleh laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan meningkat
dari tahun ke tahun karena didorong oleh regulasi kewajiban penerapan upah
minimum, tetapi upah pekerja laki-laki lebih besar dibandingkan upah yang
diterima pekerja perempuan.
Memiliki pekerjaan yang mumpuni
dianggap egois, menyandang gelar pendidikan tinggi pun masih dicibir kesana
kemari. Apa ada yang salah dari gelar pendidikan tinggi dan jabatan yang
diperoleh perempuan? Ketika perempuan menunjukkan eksistensi mereka dengan bekerja
untuk kemajuan dan kecerdasan masyarakat, seringkali tidak lepas dari tuntutan
gender, stigma, dan doktrin masyarakat bahwa wanita yang bekerja di ranah
dapur, sumur, dan kasur itu jauh lebih baik.
Berdaya
Seorang content creator yang berkonsentrasi dalam topik pemberdayaan
perempuan, Puty Puar, mengatakan bahwa perempuan yang berdaya adalah mereka yang dapat mengambil
keputusan, memilih, dan menjalankan keputusan dengan optimal serta bermanfaat bagi orang lain. Ini berlaku
bagi semua perempuan, baik yang lajang, working mom,
hingga ibu rumah tangga.
Puty Puar juga menambahkan dalam bukunya yang berjudul Empowered Me (Mother Empowers), ”Menjadi ibu dan berdaya adalah keharusan. Karena peran ibu adalah
sebagai salah satu ujung tombak peradaban yang dimulai dari organisasi kecil
yang disebut dengan "keluarga". Karena ibu memiliki peran tidak hanya
sebagai istri dan ibu saja, melainkan juga bagian dari masyarakat. Seorang ibu
yang berdaya, memiliki peluang untuk turut memberdayakan ibu dan perempuan
lainnya, sehingga meminimalisir potensi hal-hal yang menjadi distraksi
peneguhan jati diri para ibu”.
Sosok
shahabiyat Nabi, Sumayyah binti Khayyat memiliki kemerdekaan dalam
memilih Islam. Ini menunjukkan beliau sebagai inspirator dalam perempuan berdaya,
juga sebagai sosok ibu yang memiliki kharisma dan pendirian yang teguh.
Perempuan dalam Islam
Dalam Islam, perempuan
dianggap sebagai rahim peradaban yang seharusnya diberikan dukungan, kebijakan
penuh, serta perilaku yang baik dari lingkungan. Bahkan, ada satu surah yang abadi dalam Al-Qur’an
tentang perempuan: Al-Nisa. Bentuk
ancaman dan diskriminasi terhadap perempuan sama seperti kita merusak pilar
peradaban masyarakat. Begitupun sebaliknya, penjagaan dan
pemeliharaan terhadap mereka berarti kita turut memelihara rahim
kehidupan tersebut. Karena, keberadaan perempuan memiliki dampak positif dan pengaruh
besar dalam kemajuan suatu masyarakat. Bagaimana mungkin peradaban ada jika perempuan tidak ada?
Sebagai contoh, Sayyidah Aisyah Ra menjadi saksi sejarah atas
pemberdayaan perempuan. Beliau menjadi seorang jenius, mujtahid, sekaligus
menjadi salah satu periwayat hadis terbanyak. Yang memberikan hak-hak beliau
adalah Rasulullah Saw secara langsung. Ini berarti mengakui eksistensi
perempuan adalah bagian dari ajaran Islam.
Memberikan hak perempuan dalam
segala lini sebagai mestinya, bukanlah sekadar untuk menyesuaikan dengan
tuntutan zaman, tapi untuk mengembangkan potensi setiap orang, tak terkecuali
perempuan. Bukankah hal-hal di atas adalah norma
yang seharusnya kita jalankan? Tapi, mengapa
perempuan tidak optimal dalam mendapatkan norma tersebut? Bagaimana mereka dapat
mengoptimalisasi peran mereka jika keberadaannya sama dengan nihilnya?




Comments
Post a Comment