Realitas Nir-Batas; Perspektif Epistemik-Ontologis

 

Source: https://www.livescience.com/multiverse

Oleh: Muhammad Said Anwar

Dalam kajian filsafat, ada tiga jenis objek kajian; 1) Epistemologi; yang sibuk membahas kebenaran, 2) Aksiologi; yang berkecimpung dalam nilai, dan 3) Ontologi; yang menyelami aspek realitas. Saya hanya akan membatasi pada kajian ontologi dan epistemologi. Alasannya, poin sasarannya adalah realitas. Namun, perlu mengikutseratakan epistemologi. Karena akar dari epistemologi adalah ontologi. Keduanya tidak bisa dipisahkan.

Para teolog membuka kajiannya dengan memperkenalkan apa itu eksistensi dan realitas dalam deretan buku teologi. Kalau kita mau pikir, bukankah Tuhan adalah entitas nir-materi yang tidak bisa dinalar? Dalam kajian teologis apakah yang dibahas adalah esensi Tuhan ataukah Tuhan yang memiliki peran “sebagai”? Jelas, untuk yang pertama, akal manusia terbatas untuk mengetahuinya. Sementara untuk yang kedua, manusia bisa mengetahuinya. Makanya bagian yang kedua ini menjadi kajian khusus dalam ilmu teologi. Apakah entitas yang memiliki peran sebagai Tuhan itu adalah Tuhan? Kita tidak akan menyentuh perdebatan ini. Satu yang menjadi asas dalam keimanan kita; Tuhan itu ada dan tidak ada yang serupa dengan-Nya.

Salah satu konsekuensi dari mengafirmasi entitas Tuhan nir-materi dan nir-batas, mengakui adanya realitas yang lebih tinggi; melampaui dimensi perspektif manusia, atau bahasa sainsnya; kerangka acuan dari realitas yang teramati. Bagaimana mungkin ada entitas nir-batas di realitas terbatas? Namun, sengketa realitas lebih tinggi itu menuai perdebatan serius antar teolog, filusuf, dan saintis-materialis. Mungkinkah realitas seperti itu ada? Inilah yang menjadi titik kritis kita kali ini.

Kaum materialis sendiri terpecah menjadi dua dalam menyikapi entitas metafisik; herd-materialist dan soft-materialist. Tipe pertama, jangankan realitas lebih tinggi, aspek emosional seperti kebahagiaan pun, mereka tolak sebagai entitas eksis metafisik. Hal itu‒kata mereka‒hanyalah reaksi yang disebabkan oleh hormon tertentu dalam tubuh, tanpa harus melibatkan unsur metafisik, termasuk kejiwaan. Sementara tipe kedua, masih agak toleran terhadap entitas metafisik. Emosi menurut mereka adalah reaksi psikologis. Pendapat mereka ini menyisipkan isyarat pengakuan terhadap jiwa yang notabenenya metafisik.

Teolog dan sebagian filusuf menemui satu kesepakatan, bahwa ada realitas lebih tinggi dari kita; realitas tiga dimensi. Mereka menganggapnya mungkin atas dasar kontigensi epistemik, maupun ontologis.

Postulat

Ada sebuah postulat aksiomatis dalam kajian teologi; asas pengetahuan yang terbatas menjadi tiga; 1) Teks, 2) Akal, dan 3) Indra. Syekh Said Fodah dalam risalahnya Syarh Muthawwal ‘ala Aqsâm Hukm Al-‘Aqliy menjelaskan bahwa masing-masing asas pengetahuan tersebut memiliki tugasnya, tidak membabat wilayah yang lain. Misalnya, mata memiliki tugas untuk mengetahui warna, gerak, gelap, dan lain-lain. Begitu juga telinga bertugas untuk mengetahui suara. Tentu, kita tidak menuntut mata untuk mengetahui suhu.

Indra, menurut mayoritas teolog, dia terbatas pada zahir saja. Itulah yang kita kenal dengan sebutan panca-indra (lima indra); penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Sedangkan sebagian teolog dan filusuf paripatetik mengafirmasi keberadaan indra batin; indra keenam. Kita juga tidak akan menyentuh perdebatan apakah indra keenam ini merupakan teori valid atau tidak.

Sementara akal, memiliki ranah untuk mengetahui sesuatu yang bersifat universal. Akal tidak mampu mengetahui sesuatu yang parsial tanpa adanya pancaindra. Buktinya, orang buta memiliki akal, tapi dia tidak mengetahui objek pengetahuan parsial seperti warna.

Teks‒dalam hal ini Al-Qur’an dan sunnah‒merupakan asas pengetahuan yang mencakup hal-hal di atas nalar (teolog menyebutnya: supra-rasional). Sebagian teolog juga memberikan tambahan bahwa kita bisa mengetahui sesuatu melalui intuisi. Ini sebagaimana yang dialami oleh Imam Al-Ghazali (w. 505 H). Kita akan membahasnya dalam segmen yang akan datang.

Pengetahuan Universal-Parsial

Pengetahuan itu, sebagaimana yang ditulis oleh Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam bukunya Mulakhash fi Al-Manthiq wa Al-Hikmah bahwa objek pengetahuan itu ada dua jenis. Pertama, pengetahuan universal. Kedua, pengetahuan parsial. Yang pertama merupakan pengetahuan yang sifatnya konseptual dan berbasis nalar rasional. Misalnya, mengetahui manusia sebagai sebuah konsep tanpa memandang eksistensinya di alam nyata. Sedangkan yang kedua mencakup pengetahuan terhadap sesuatu yang sifatnya teramati secara empiris dan tidak. Misalnya mengetahui individu manusia sebagaimana adanya di realitas kita dan individu kuantum sebagai sebuah probabilitas dimensi paralel.

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa akal itu memiliki tugas mengetahui sesuatu yang universal. Sementara untuk mengetahui sesuatu yang parsial, maka butuh pancaindra. Lebih lanjut, Imam Fakhruddin Al-Razi memaparkan pandangan filusuf paripatetik mengenai indra batin; apakah sesuatu itu diketahui tanpa dieksekusi oleh potensialitas apapun ataukah menggunakan potensialitas tertentu? Jika yang pertama, maka ada dua kemungkinan; Pertama, sesuatu yang parsial itu diketahui formatnya; inilah yang dikenal dengan fantasi dan menghasilkan pengetahuan imajiner. Kedua, sesuatu yang parsial itu diketahui maknanya; inilah yang dikenal dengan ilusi dan objek pengetahuannya adalah ingatan. Jika yang kedua, maka pengetahuan itu dieksekusi menggunakan potensialitas tertentu, baik itu potensialitas hewani; daya imajiner ataupun potensialitas manusiawi; daya pikir.

Fungsi bagian-bagian saraf otak, sebagaimana yang disinggung oleh Imam Saifuddin Al-Amidi (w. 631 H) dalam Al-Mubin fi Syarh Ma’âni Alfâzh Al-Mutakallimîn wa Al-Hukamâ’, bahwa daya ilusif juga dimiliki hewan, seperti kambing yang datang tatkala makanan disajikan. Karena daya ilusif ini ada pada saraf kedua di otak. Dengan kata lain, hewan bisa mengetahui, tapi tidak punya daya pikir untuk mengetahui hal parsial di semesta.

Hewan, Manusia, dan Batas

Sebagaimana yang telah disentuh dalam segmen postulat, bahwa asas pengetahuan itu ada tiga dan masing-masing dari bagian tersebut memiliki batasnya. Pancaindra memiliki batas. Batas itulah kali pertama akal menapaki arena realitas. Batas akal, merupakan awal dari intuisi.

Dari sini saya ingin mengatakan bahwa hewan selain manusia, juga memiliki pancaindra. Mereka bisa mengetahui tapi mereka tidak punya potensialitas berpikir seperti yang dimiliki manusia. Makanya realitas yang mereka miliki hanya terbatas pada hal yang parsial saja. Mereka mengetahui warna, bentuk, suhu, rasa, dan lain-lain. Tapi mereka tidak mengetahui konsep. Inilah yang menjadi keunggulan manusia; mereka bisa mengetahui pengetahuan universal dengan asas pengetahuan kedua; akal. Manusia bisa mengetahui realitas parsial melalui pancaindra dan realitas universal menggunakan akal. Dengan kata lain, realitas yang dilihat manusia lebih tinggi daripada hewan lain. Itulah kenapa manusia bisa membuat peradaban dan mendayagunakan spesies lain.

Kendati demikian, ada juga yang menolak kebenaran akal. Ini seperti yang digaungkan oleh kaum sofis sekitar 25 abad silam. Namun, Plato mengkritisi pandangan empiris-materialis mereka bahwa jika memang kebenaran hanya bisa diketahui melalui pancaindra semata, maka hewan lain lebih mengetahui kebenaran itu daripada manusia. Ini akan menciderai martabat dan kehormatan manusia. Maka manusia harus mendayagunakan akalnya agar levelnya lebih tinggi.

Tapi, bukankah akal memiliki ujung dan itu merupakan permulaan dari pintu intuisi? Kita perlu mengurai dulu, di mana batas akal? Ini agak susah dijawab. Kita bisa menggunakan jawaban asas prinsipil maupun domain.

Batas Akal

Kita akan melihat, bagaimana akal itu menjadi terbatas. Kita perlu dulu melihat, mana batas pancaindra. Sederhananya, akal mengetahui hukum non-kontradiksi, satu tambah satu sama dengan dua, dan lain-lain. Itulah wilayah yang tidak dimasuki oleh pancaindra. Lalu, di mana limitasi akal? Kita bagi menjadi dua; asas prinsipil dan asas domain.

Secara prinsipil, kata Syekh Muhammad Abduh (w. 1323 H), keterbatasan akal tidak menunjukkan kelemahannya. Tapi, keterbatasan akal ini karena secara prinsipil “memang begitu”. Kita tidak bisa menyatakan telinga itu lemah karena tidak dapat melihat, karena secara prinsipil telinga tidak dirancang untuk melihat. Begitu juga akal, terbatas karena ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau olehnya; semisal entitas gaib. Tapi, tidak kita katakan akal itu lemah. Sebab, sifat akal “memang begitu”. Kita akan mengerucutkan diksi “memang begitu” ini.

Ada yang mendefinisikan akal sebagai substansi independen dan materi. Ada juga yang mendefinisikan akal sebagai aksiden dan sifat. Ada juga yang mendefinisikan sebagai idrâk râsikhah (malakah). Pandangan pertama berangkat dari postulat filsafat Yunani Kuno. Pandangan kedua berangkat dari pandangan agama samawi. Pandangan ketiga, berangkat dari agama Islam. Semuanya bertemu pada satu spektrum; akal memiliki batasnya.

Pertama, akal sebagai substansi nir-materi itu terbatas. Sebab, tidak dapat mencakup hal-hal indrawi-material (mahsȗsât-mâddiyyât).

Kedua, akal sebagai materi akan terbatas. Sebab, sukar menemui pengetahuan universal.

Ketiga, akal sebagai sifat terbatas. Karena akal menjadi muktasab. Lemah jika tidak dilatih dan menemukan kemampuannya jika dilatih.

Keempat, akal sebagai aksiden terbatas. Karena jika tidak ada aktivitas (fi’il) berpikir, maka akal hanyalah entitas semu.

Singkatnya, bagaimana pun mereka mendefinisikan akal, tetap saja bermuara pada satu titik; keterbatasan akal. Ini melihat akal dari segi prinsipil; bagian pertama. Selanjutnya, kita akan menguliti batas akal dari segi domainnya.

Imam Al-Ghazali melihat bahwa ada dua poin yang perlu digarisbawahi terkait batas akal ini:

Pertama, akal tidak mampu mencerna kabar (khabar) yang dihadirkan agama. Akal memiliki domain yang terbatas, sehingga tidak bisa membayangkan apa itu surga, neraka, alam kubur, dan lain-lain. Apapun yang manusia bayangkan, tidak ada yang dapat memberikan konfirmasi bahwa bayangannya itu benar. Tidak ada yang mengetahui ini kecuali Tuhan dan Rasul-Nya.

Akan tetapi, jika memang demikian, untuk apa teolog menggunakan akal (sebagai penyeimbang dari teks) dalam kajian teologis? Syekh Salim Abu ‘Ashi dalam bukunya Asy’ariyyun Anâ menjelaskan bahwa akal memiliki tugas untuk membuktikan kredibilitas dan otorisasi informasi yang datang dari teks. Sebab, mengambil teks sembari “melecehkan” akal akan bermuara para daur (infinite circulation). Maka akal dibutuhkan untuk mengafirmasi ketuhanan (ilahiyyât) dan kenabian (nubuwwat), agar lahir antiseden mengafirmasi domain gaib (sam’iyyât).

Pun, tegas Imam Al-Ghazali, secara global pengetahuan yang tidak bisa dinalar akal dibagi menjadi dua poin;

1.      Pahala dan dosa;

2.      Sam’iyyât; baik itu peristiwa setelah kematian ataupun peristiwa gaib di masa lalu, sekarang, dan mendatang.

Dalam kajian teologis juga, ranah akal terbatas dalam mengetahui:

1.      Kebaruan semesta (creatio ex nihilo);

2.      Eksistensi Tuhan; dan

3.      Sifat-sifat Tuhan.

Sedangkan hal yang hanya diketahui melalui agama:

1.      Surga;

2.      Neraka;

3.      Malaikat;

4.      Mizan;

5.      Hari akhir;

6.      Dan lain-lain.

Kedua, adapun hal-hal yang tidak dapat dicerna akal, maka itu wajib diimani. Seperti persoalan akhirat, wajib diimani karena tidak bertentangan dengan akal. Adapun jika ada ayat yang bertentangan dengan akal, maka dilakukan takwil; baik itu ijmâli maupun tafshîliy, semisal teks antropomorfis. Toh, para teolog tidak pernah mengklaim, apalagi menjamin bahwa dengan kajian teologis, maka pengkajinya mengetahui Tuhan dengan pasti. Sekali lagi, yang dibahas teolog adalah Tuhan sebagai sesuatu yang memiliki peran wujud niscaya (wâjib al-wujȗd) dan sifat yang berkaitan dengannya.

Di sinilah wilayah intuisi mulai masuk untuk melanjutkan estafet kebenaran yang dibawa oleh pancaindra dan akal. Kita akan masuk ke segmen berikutnya.

Supra-Manusia dan Tingkatan Realitas

Setelah kita bertemu dengan batas akal, maka kita akan menegaskan bahwa wilayah intuisi adalah daerah luar kekuasaan akal, seperti masalah intuisi di atas. Ini akan membawa kita kepada autobiografi Imam Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min Al-Dhalal bahwa beliau pernah meragukan (skeptis metodologis, bukan skeptis mutlak) pengetahuannya. Itu terjadi kisaran umur beliau 20 sampai 50 tahun. Kita akan memetakannya beberapa poin:

Pertama, Imam Al-Ghazali “memeriksa” ulang ilmunya dan mendapati dua jenis pengetahuan yang kuat; Pertama, pengetahuan aposteriori-empiris (mahsȗsât). Kedua, pengetahuan apriori (dharuriy).

Kedua, setelah Imam Al-Ghazali memetakan asas pengetahuan menjadi dua spektrum primordial, mulailah “hasil akhir” itu diuji. Pengetahuan indrawi tersebut diuji dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana menjadikan pancaindra sebagai sebuah pegangan?”. Ada dua argumen yang diajukan. Pertama, awan yang terlihat diam oleh pancaindra. Tapi, melalui penelitian ilmu astronomi, sejatinya awan bergerak cepat. Seharusnya pancaindra melihatnya bergerak cepat pula. Kedua, ketika melihat bintang dan benda astronomi lainnya di langit, semuanya terlihat kecil, tak ubahnya dengan kepingan koin. Tapi, melalui bukti-bukti penelitian lainnya, terbukti bahwa bintang itu berkali-kali lipat lebih besar dibanding Bumi, lebih-lebih sekeping koin yang muat masuk di kantung. Seharusnya, mata melihatnya juga besar. Apa yang bisa dipercaya dari pancaindra?

Ketiga, Imam Al-Ghazali kemudian mendebati indra “Bagaimana mungkin engkau percaya dengan akal, sementara engkau lebih dulu percaya dengan indra?”. Jika posisi pertama terkuat saja diragukan kebenarannya (dalam hal ini pancaindra), terlebih lagi yang ada di posisi kedua. Runtuhlah dua epistemik pengetahuan ini, sehingga membuat Imam Al-Ghazali galau berat di usianya yang ke-38 tahun itu. Dalam salah satu penggalan Al-Munqidz, disebutkan bahwa ada penyakit di lidah beliau sehingga susah untuk mengeluarkan patahan kata. Tak ada pula dokter yang sanggup menyembuhkannya, karena penyakit ini berasal dari jiwanya. Ini diderita beliau selama dua bulan.

Keempat, setelah indra itu didebat, ia mengajak Imam Al-Ghazali untuk mengarungi samudera mimpi. “Bagaimana engkau mengetahui sesuatu, sementara engkau ada dalam tidur?. Ketika seseorang tertidur, pancaindra dan akalnya tidak ada dalam bayang-bayang kesadaran. Tapi, tenggelam dalam lautan kegelapan. Namun, apa yang membuat seseorang mengetahui sesuatu dari mimpi? Mana yang lebih nyata, apakah mimpi atau kenyataan itu sendiri? Ini juga diperkuat dengan hadis Nabi Saw. “Manusia itu tertidur. Tatkala mereka mati, barulah mereka sadar”.

Kelima, setelah Tuhan menyembuhkan Imam Al-Ghazali dengan nur-Nya, mulailah beliau memasuki fase barunya; tasawuf. Di sinilah Imam Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyangka bahwa kasyaf hanya terbatas pada pembuktian dalil semata, maka dia menyempitkan rahmat Allah yang begitu luas. Dengan kata lain, Imam Al-Ghazali ingin menyatakan bahwa rahmat Tuhan begitu luas untuk mengantarkan hamba-Nya menuju kebenaran. Ada yang melalui perjalanan pembuktian, ada juga tidak. Di sinilah titik intuisi itu dimulai.

Dari beberapa poin penting di atas, ada jenis kebenaran yang sifatnya yakin (bahkan lebih meyakinkan daripada akal) tanpa membutuhkan pembuktian akal. Imam Al-Ghazali adalah tokoh yang mencapai kebenaran melalui “jalan pintas”, yaitu kasyaf yang dianugerahkan Tuhan.

Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, bahwasanya hewan memiliki realitas yang lebih rendah dibanding manusia karena limitasi asas pengetahuan yang mereka miliki. Jelas, ini beda dari manusia. Maka berdasarkan daya yang dianugerahkan Tuhan kepada manusa; intuisi, akal, dan pancaindra, maka tingkatan realitas juga mereka berbeda:

Pertama, realitas hewani. Ini hanya sebatas pancaindra dan pengetahuan parsial semata. Hewan hanya mengetahui hal-hal empiris, tanpa mengetahui konsep di baliknya.

Kedua, realitas insani. Ini adalah tingkatan lanjutan yang melampaui alat pancaindra. Dari sini, manusia dapat membangun peradaban dengan daya nalar dan visioner yang dimilikinya. Manusia dapat membentuk konsep sebelum mengeksekusi sebuah proyek. Tapi, setelah kita melihat uraian di atas, ternyata ada yang lebih hebat daripada akal.

Ketiga, realitas intuitif. Ini adalah dunia yang tidak bisa diakses sembarangan manusia. Karena akal akan bertekuk lutut. Imam Al-Ghazali adalah salah satu manusia terpilih dalam mengakses dunia ini. Di sinilah arena para Nabi dan sufi melihat dan menjalani realitas lebih tinggi dibanding manusia biasa. Inilah tingkatan supra-manusia, alias melampaui manusia biasa.

Di sini sudah jelas mengapa para sufi tidak butuh lagi argumen kosmologi untuk mengetahui keberadaan Tuhan, karena bagi mereka keberadaan Tuhan terlalu jelas untuk dibuktikan. Mereka dengan realitasnya yang lebih tinggi, sudah bisa menyaksikan kejelasan keberadaan Tuhan dan melihat apa yang tidak kita lihat.

Dimensi Ruang dan Waktu; Teori Kategoris dan Reltivitas Umum Einstein

Secara ontologis, manusia hidup dalam ruang yang diinangi korpus (jism), baik bersifat substansial maupun aksidental. Dalam sudut pandang ilmu kategori, sebuah substansi dalam semesta diiringi dengan kuantitas dan kualitas, walaupun secara teori mungkin saja ada substansi tanpa aksiden.

Imam Al-Syuja’i (w. 1197 H) dalam Al-Maqȗlât Al-‘Asyr menjelaskan bahwa kuantitas yang mengiringi substansi itu terbagi menjadi dua; kuantitas terhubung dan terpisah. Kuantitas terhubung kemudian terbagi menjadi dua; tetap dan tidak tetap. Sedangkan kuantitas terpisah tidak terbagi, hanya bilangan yang menjadi turunannya.

Kuantitas tetap itu kemudian terbagi menjadi tiga. Pertama, garis. Kedua, permukaan. Ketiga, korpus aksidental. Tiga kuantitas ini kemudian dikenal dengan dimensi. Dimensi pertama, hanya terbatas pada garis. Dimensi kedua terbatas pada panjang dan tinggi. Dimensi ketiga memiliki panjang, lebar, dan tinggi. Sedangkan kuantitas tidak tetap adalah waktu. Manusia hidup pada realitas tiga dimensi. Dalam matematika, ruang tiga dimensi diterjemahkan dengan koordinat x, y, dan z dan para teolog mengistilahkan dengan enam arah (al-jihhât al-sittah); kiri, kanan, atas, bawah, depan, dan belakang.

Carl Sagan (w. 1996 M), Astronom Amerika Serikat, pernah menjelaskan interaksi antar dimensi. Sampel contoh yang diberikan adalah bangun datar dan sebuah apel. Bangun datar hanya sebatas panjang dan tinggi. Sedangkan apel, memiliki panjang, tinggi, dan lebar. Ketika apel menapakkan bagian bawahnya ke bangun datar tadi, maka bangun datar hanya bisa menyadari keberadaan bagian bawah apel itu, itupun yang memasuki ruang dua dimensi saja. Ini berarti, jika ada dimensi lebih tinggi, maka dia bisa melihat dimensi lebih di bawah. Sedangkan jika ada dimensi lebih di bawah, maka dimensi di bawah tidak bisa melihat keseluruhan dimensi lebih tinggi, kecuali sedikit.

Namun, para ahli dan ilmuwan masih mempertanyakan, adakah dimensi keempat? Salah satu yang mencoba menjawab itu adalah Albert Einstein (w. 1955 M), Fisikawan Besar, dengan teori relativitas umum. Albert Einstein dalam Relativity: The Special and General Theory menjelaskan bahwa dimensi keempat adalah waktu (x, y, z, dan t). Tapi, waktu ini dilihat sebagai satu bangunan struktur dengan tiga dimensi lainnya. Sehingga, semua kejadian terlihat seperti kepingan-kepingan realitas, terhimpun dalam satu blok; seolah-olah masa lalu, sekarang, dan akan datang menjadi satu. Ujungnya, setiap kejadian bisa dilihat dalam lintasan waktu.

Einstein memberikan contoh benda jatuh. Jika benda itu berada pada ketinggian tertentu pada satuan waktu 1, maka ketika bergerak pada satuan waktu 2 dan seterusnya, maka yang terlihat dari sudut pandang dimensi korpus hanyalah satuan waktu saja. Adapun dalam sudut pandang dimensi ruang-waktu, benda jatuh itu terlihat melengkung ke arah tanah.

Titik kritis yang menjadi fokus kita adalah dimensi waktu itu. Kelengkungan ruang-waktu itu sama-sama terjadi di dimensi keempat. Tapi, karena manusia adalah korpus yang hidup dalam dimensi ketiga, maka manusia tidak bisa melihat lintasan waktu itu. Satu-satunya cara manusia melacak keberadaan dimensi itu dengan mengasumsikan bahwa setiap titik ruang, di sana ada waktu. Ketika ada massa di tengah ruang, maka geometri ruang-waktu akan melengkung.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya global policy and strategy (GPS) yang terkadang tidak akurat dengan gawai kita. Kip Stephen Thorne, Fisikawan Amerika, menjelaskan bahwa pada dasarnya waktu di Bumi lebih lambat daripada waktu di satelit yang mengelilingi Bumi. Solusi yang dihadirkan sehingga membuat waktu satelit dan gawai kita sama adalah sistem koreksi. Ini menunjukkan bahwa waktu di Bumi melengkung (relativitas waktu) karena Bumi memiliki massa yang besar. Ini berarti, dimensi waktu itu ada. Hanya saja, Carl Sagan memberi catatan bahwa kita tidak akan bisa membayangkan dimensi keempat, kecuali hanya mengira-ngirakannya.

Relativitas Dimensi dan Eksistensi Tuhan

Dari uraian di atas, kita bisa menarik benang merah bahwa tidak menutup kemungkinan ada sebuah dimensi yang tidak bisa dicapai manusia, tapi keberadaannya dimungkinkan akal, baik secara epistemik, mapun ontologis. Jika ada dimensi lebih di atas dan kita tidak pernah merabanya, maka bisa saja ada entitas lebih yang tidak pernah kita tahu dan realitasnya lebih tinggi.

Sampai di titik ini, ada asumsi yang mungkin muncul: “Berarti Tuhan berada di dimensi atas daripada manusia”. Jelas asumsi ini akan ditolak, walaupun dengan iming-iming entitas dan realitas lebih tinggi. Mazhab Asy’ariyyah sudah jauh hari menetapkan transendensi Tuhan dan menafikan imanensi Tuhan dari sifat-sifat makhluk, termasuk “berdimensi”. Sebab, jika Tuhan terpenjara dalam dimensi ruang-waktu, di mana Tuhan sebelum dimensi itu ada?

Jika Tuhan tidak terkurung dalam dimensi, berarti Tuhan memiliki realitas tertinggi. Karena jika dimensi menjadi sekat dan petak, maka yang terkurung dalam dimensi memiliki realitas terbatas. Berarti, bagi Tuhan itu sebaliknya; tidak terbatas, tanpa sekat maupun petak. Juga, dengan realitas yang dimiliki dan layak bagi Tuhan, itu tidak membatasi ilmu-Nya. Toh, mazhab Asy’ariyah sudah mendeskripsikan sifat ilmu-Nya dengan diksi kritis: “Sifat yang menyingkap segala hal”. Baik berdimensi maupun tidak, tetap tersingkap oleh Tuhan.

Pada akhirnya, kita akan sadar bahwa realitas yang kita jalani adalah realitas terbatas pada tiga dimensi saja. Kita tidak akan pernah benar-benar mengetahui realitas itu apa adanya secara universal. Meminjam bahasanya Immanuel Kant (w. 1804 M), bahwa sesuatu itu sendiri tanpa “sebagai sesuatu yang lain, disebut nomena. Sedangkan sudut pandang atau perspektif manusia terhadap nomena disebut fenomena. Manusia tidak akan mengetahui semesta dalam status nomena, kecuali dalam batas fenomena saja. Ada realitas yang lebih luas dan tidak pernah terpikirkan manusia. Itulah, realitas nir-batas.

Wallahu a'lam

Comments

Post a Comment