Realitas Nir-Batas; Perspektif Epistemik-Ontologis
Oleh: Muhammad Said Anwar
Dalam kajian
filsafat, ada tiga jenis objek kajian; 1) Epistemologi; yang sibuk membahas
kebenaran, 2) Aksiologi; yang berkecimpung dalam nilai, dan 3) Ontologi; yang
menyelami aspek realitas. Saya hanya akan membatasi pada kajian ontologi dan
epistemologi. Alasannya, poin sasarannya adalah realitas. Namun, perlu
mengikutseratakan epistemologi. Karena akar dari epistemologi adalah ontologi.
Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Para teolog
membuka kajiannya dengan memperkenalkan apa itu eksistensi dan realitas dalam
deretan buku teologi. Kalau kita mau pikir, bukankah Tuhan adalah entitas
nir-materi yang tidak bisa dinalar? Dalam kajian teologis
apakah yang dibahas adalah esensi Tuhan ataukah Tuhan yang memiliki peran “sebagai”? Jelas, untuk
yang pertama, akal manusia terbatas untuk mengetahuinya. Sementara untuk yang
kedua, manusia bisa mengetahuinya. Makanya bagian yang kedua ini menjadi kajian
khusus dalam ilmu teologi. Apakah entitas yang memiliki peran sebagai Tuhan itu
adalah Tuhan? Kita tidak akan menyentuh perdebatan ini. Satu yang menjadi asas dalam keimanan kita; Tuhan itu ada dan tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Salah satu konsekuensi
dari mengafirmasi entitas Tuhan nir-materi dan nir-batas, mengakui adanya
realitas yang lebih tinggi; melampaui dimensi perspektif manusia, atau bahasa
sainsnya; kerangka acuan dari realitas yang teramati. Bagaimana mungkin ada entitas nir-batas di realitas terbatas? Namun, sengketa realitas lebih
tinggi itu menuai perdebatan serius antar teolog, filusuf, dan saintis-materialis.
Mungkinkah realitas seperti itu ada? Inilah yang menjadi titik kritis kita kali ini.
Kaum materialis
sendiri terpecah menjadi dua dalam menyikapi entitas metafisik; herd-materialist
dan soft-materialist. Tipe pertama, jangankan realitas lebih tinggi,
aspek emosional seperti kebahagiaan pun, mereka tolak sebagai entitas eksis
metafisik. Hal itu‒kata mereka‒hanyalah reaksi yang disebabkan oleh
hormon tertentu dalam tubuh, tanpa harus melibatkan unsur metafisik, termasuk kejiwaan. Sementara tipe
kedua, masih agak toleran terhadap entitas metafisik. Emosi menurut mereka
adalah reaksi psikologis. Pendapat mereka ini menyisipkan isyarat pengakuan terhadap jiwa yang notabenenya metafisik.
Teolog dan sebagian
filusuf menemui satu kesepakatan, bahwa ada realitas lebih tinggi dari kita; realitas tiga dimensi.
Mereka menganggapnya mungkin atas dasar kontigensi epistemik, maupun ontologis.
Postulat
Ada sebuah
postulat aksiomatis dalam kajian teologi; asas pengetahuan yang terbatas
menjadi tiga; 1) Teks, 2) Akal, dan 3) Indra. Syekh Said Fodah dalam risalahnya Syarh
Muthawwal ‘ala Aqsâm Hukm Al-‘Aqliy menjelaskan bahwa masing-masing asas
pengetahuan tersebut memiliki tugasnya, tidak membabat wilayah yang lain.
Misalnya, mata memiliki tugas untuk mengetahui warna, gerak, gelap, dan
lain-lain. Begitu juga telinga bertugas untuk mengetahui suara. Tentu, kita
tidak menuntut mata untuk mengetahui suhu.
Indra, menurut
mayoritas teolog, dia terbatas pada zahir saja. Itulah yang kita kenal dengan sebutan
panca-indra (lima indra); penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan
penciuman. Sedangkan sebagian teolog dan filusuf paripatetik mengafirmasi
keberadaan indra batin; indra keenam. Kita juga tidak akan menyentuh perdebatan
apakah indra keenam ini merupakan teori valid atau tidak.
Sementara akal,
memiliki ranah untuk mengetahui sesuatu yang bersifat universal. Akal tidak
mampu mengetahui sesuatu yang parsial tanpa adanya pancaindra. Buktinya, orang
buta memiliki akal, tapi dia tidak mengetahui objek pengetahuan parsial seperti
warna.
Teks‒dalam hal
ini Al-Qur’an dan sunnah‒merupakan asas pengetahuan yang mencakup hal-hal di
atas nalar (teolog menyebutnya: supra-rasional). Sebagian teolog juga
memberikan tambahan bahwa kita bisa mengetahui sesuatu melalui intuisi. Ini
sebagaimana yang dialami oleh Imam Al-Ghazali (w. 505 H). Kita akan membahasnya
dalam segmen yang akan datang.
Pengetahuan
Universal-Parsial
Pengetahuan
itu, sebagaimana yang ditulis oleh Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam
bukunya Mulakhash fi Al-Manthiq wa Al-Hikmah bahwa objek pengetahuan itu
ada dua jenis. Pertama, pengetahuan universal. Kedua, pengetahuan
parsial. Yang pertama merupakan pengetahuan yang sifatnya konseptual dan
berbasis nalar rasional. Misalnya, mengetahui manusia sebagai sebuah konsep
tanpa memandang eksistensinya di alam nyata. Sedangkan yang kedua mencakup
pengetahuan terhadap sesuatu yang sifatnya teramati secara empiris dan tidak. Misalnya mengetahui individu
manusia sebagaimana adanya di realitas kita dan individu kuantum sebagai sebuah probabilitas dimensi paralel.
Sebagaimana
yang disebutkan sebelumnya bahwa akal itu memiliki tugas mengetahui sesuatu
yang universal. Sementara untuk mengetahui sesuatu yang parsial, maka butuh
pancaindra. Lebih lanjut, Imam Fakhruddin Al-Razi memaparkan pandangan filusuf
paripatetik mengenai indra batin; apakah sesuatu itu diketahui tanpa dieksekusi
oleh potensialitas apapun ataukah menggunakan potensialitas tertentu? Jika yang
pertama, maka ada dua kemungkinan; Pertama, sesuatu yang parsial itu
diketahui formatnya; inilah yang dikenal dengan fantasi dan menghasilkan
pengetahuan imajiner. Kedua, sesuatu yang parsial itu diketahui
maknanya; inilah yang dikenal dengan ilusi dan objek pengetahuannya adalah
ingatan. Jika yang kedua, maka pengetahuan itu dieksekusi menggunakan
potensialitas tertentu, baik itu potensialitas hewani; daya imajiner ataupun
potensialitas manusiawi; daya pikir.
Fungsi
bagian-bagian saraf otak, sebagaimana yang disinggung oleh Imam Saifuddin
Al-Amidi (w. 631 H) dalam Al-Mubin fi Syarh Ma’âni Alfâzh Al-Mutakallimîn wa
Al-Hukamâ’, bahwa daya ilusif juga dimiliki hewan, seperti kambing yang
datang tatkala makanan disajikan. Karena daya ilusif ini ada pada saraf kedua
di otak. Dengan kata lain, hewan bisa mengetahui, tapi tidak punya daya pikir
untuk mengetahui hal parsial di semesta.
Hewan,
Manusia, dan Batas
Sebagaimana
yang telah disentuh dalam segmen postulat, bahwa asas pengetahuan itu ada tiga
dan masing-masing dari bagian tersebut memiliki batasnya. Pancaindra memiliki
batas. Batas itulah kali pertama akal menapaki arena realitas. Batas akal,
merupakan awal dari intuisi.
Dari sini saya
ingin mengatakan bahwa hewan selain manusia, juga memiliki pancaindra. Mereka
bisa mengetahui tapi mereka tidak punya potensialitas berpikir seperti yang
dimiliki manusia. Makanya realitas yang mereka miliki hanya terbatas pada hal
yang parsial saja. Mereka mengetahui warna, bentuk, suhu, rasa, dan lain-lain.
Tapi mereka tidak mengetahui konsep. Inilah yang menjadi keunggulan manusia;
mereka bisa mengetahui pengetahuan universal dengan asas pengetahuan kedua;
akal. Manusia bisa mengetahui realitas parsial melalui pancaindra dan realitas
universal menggunakan akal. Dengan kata lain, realitas yang dilihat manusia
lebih tinggi daripada hewan lain. Itulah kenapa manusia bisa membuat peradaban
dan mendayagunakan spesies lain.
Kendati
demikian, ada juga yang menolak kebenaran akal. Ini seperti yang digaungkan
oleh kaum sofis sekitar 25 abad silam. Namun, Plato mengkritisi pandangan
empiris-materialis mereka bahwa jika memang kebenaran hanya bisa diketahui
melalui pancaindra semata, maka hewan lain lebih mengetahui kebenaran itu daripada
manusia. Ini akan menciderai martabat dan kehormatan manusia. Maka manusia
harus mendayagunakan akalnya agar levelnya lebih tinggi.
Tapi, bukankah
akal memiliki ujung dan itu merupakan permulaan dari pintu intuisi? Kita perlu
mengurai dulu, di mana batas akal? Ini agak susah dijawab. Kita bisa
menggunakan jawaban asas prinsipil maupun domain.
Batas Akal
Kita akan
melihat, bagaimana akal itu menjadi terbatas. Kita perlu dulu melihat, mana
batas pancaindra. Sederhananya, akal mengetahui hukum non-kontradiksi, satu
tambah satu sama dengan dua, dan lain-lain. Itulah wilayah yang tidak dimasuki
oleh pancaindra. Lalu, di mana limitasi akal? Kita bagi menjadi dua; asas prinsipil
dan asas domain.
Secara
prinsipil, kata Syekh Muhammad Abduh (w. 1323 H), keterbatasan akal tidak
menunjukkan kelemahannya. Tapi, keterbatasan akal ini karena secara prinsipil
“memang begitu”. Kita tidak bisa menyatakan telinga itu lemah karena tidak
dapat melihat, karena secara prinsipil telinga tidak dirancang untuk melihat.
Begitu juga akal, terbatas karena ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau
olehnya; semisal entitas gaib. Tapi, tidak kita katakan akal itu lemah. Sebab,
sifat akal “memang begitu”. Kita akan mengerucutkan diksi “memang begitu” ini.
Ada yang
mendefinisikan akal sebagai substansi independen dan materi. Ada juga yang
mendefinisikan akal sebagai aksiden dan sifat. Ada juga yang mendefinisikan
sebagai idrâk râsikhah (malakah). Pandangan pertama berangkat dari
postulat filsafat Yunani Kuno. Pandangan kedua berangkat dari pandangan agama
samawi. Pandangan ketiga, berangkat dari agama Islam. Semuanya bertemu pada
satu spektrum; akal memiliki batasnya.
Pertama, akal sebagai substansi nir-materi itu terbatas. Sebab, tidak dapat mencakup
hal-hal indrawi-material (mahsȗsât-mâddiyyât).
Kedua, akal sebagai materi akan terbatas. Sebab, sukar menemui
pengetahuan universal.
Ketiga, akal sebagai sifat terbatas. Karena akal menjadi muktasab.
Lemah jika tidak dilatih dan menemukan kemampuannya jika dilatih.
Keempat, akal sebagai aksiden terbatas. Karena jika tidak ada aktivitas
(fi’il) berpikir, maka akal hanyalah entitas semu.
Singkatnya,
bagaimana pun mereka mendefinisikan akal, tetap saja bermuara pada satu titik;
keterbatasan akal. Ini melihat akal dari segi prinsipil; bagian pertama.
Selanjutnya, kita akan menguliti batas akal dari segi domainnya.
Imam
Al-Ghazali melihat bahwa ada dua poin yang perlu digarisbawahi terkait batas
akal ini:
Pertama, akal tidak mampu mencerna kabar (khabar) yang
dihadirkan agama. Akal memiliki domain yang terbatas, sehingga tidak bisa membayangkan
apa itu surga, neraka, alam kubur, dan lain-lain. Apapun yang manusia
bayangkan, tidak ada yang dapat memberikan konfirmasi bahwa bayangannya itu
benar. Tidak ada yang mengetahui ini kecuali Tuhan dan Rasul-Nya.
Akan tetapi,
jika memang demikian, untuk apa teolog menggunakan akal (sebagai penyeimbang
dari teks) dalam kajian teologis? Syekh Salim Abu ‘Ashi dalam bukunya Asy’ariyyun
Anâ menjelaskan bahwa akal memiliki tugas untuk membuktikan kredibilitas
dan otorisasi informasi yang datang dari teks. Sebab, mengambil teks sembari
“melecehkan” akal akan bermuara para daur (infinite circulation). Maka
akal dibutuhkan untuk mengafirmasi ketuhanan (ilahiyyât) dan kenabian (nubuwwat),
agar lahir antiseden mengafirmasi domain gaib (sam’iyyât).
Pun, tegas
Imam Al-Ghazali, secara global pengetahuan yang tidak bisa dinalar akal dibagi
menjadi dua poin;
1. Pahala dan dosa;
2. Sam’iyyât; baik itu peristiwa setelah kematian ataupun peristiwa
gaib di masa lalu, sekarang, dan mendatang.
Dalam kajian
teologis juga, ranah akal terbatas dalam mengetahui:
1. Kebaruan semesta (creatio ex nihilo);
2. Eksistensi Tuhan; dan
3. Sifat-sifat Tuhan.
Sedangkan hal
yang hanya diketahui melalui agama:
1. Surga;
2. Neraka;
3. Malaikat;
4. Mizan;
5. Hari akhir;
6. Dan lain-lain.
Kedua, adapun hal-hal yang tidak dapat dicerna akal, maka itu
wajib diimani. Seperti persoalan akhirat, wajib diimani karena tidak
bertentangan dengan akal. Adapun jika ada ayat yang bertentangan dengan akal,
maka dilakukan takwil; baik itu ijmâli maupun tafshîliy, semisal
teks antropomorfis. Toh, para teolog tidak pernah mengklaim, apalagi menjamin
bahwa dengan kajian teologis, maka pengkajinya mengetahui Tuhan dengan pasti.
Sekali lagi, yang dibahas teolog adalah Tuhan sebagai sesuatu yang memiliki
peran wujud niscaya (wâjib al-wujȗd) dan sifat yang berkaitan dengannya.
Di sinilah
wilayah intuisi mulai masuk untuk melanjutkan estafet kebenaran yang dibawa
oleh pancaindra dan akal. Kita akan masuk ke segmen berikutnya.
Supra-Manusia
dan Tingkatan Realitas
Setelah kita
bertemu dengan batas akal, maka kita akan menegaskan bahwa wilayah intuisi
adalah daerah luar kekuasaan akal, seperti masalah intuisi di atas. Ini akan
membawa kita kepada autobiografi Imam Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min
Al-Dhalal bahwa beliau pernah meragukan (skeptis metodologis, bukan skeptis
mutlak) pengetahuannya. Itu terjadi kisaran umur beliau 20 sampai 50 tahun.
Kita akan memetakannya beberapa poin:
Pertama, Imam Al-Ghazali “memeriksa” ulang ilmunya dan mendapati
dua jenis pengetahuan yang kuat; Pertama, pengetahuan aposteriori-empiris
(mahsȗsât). Kedua, pengetahuan apriori (dharuriy).
Kedua, setelah Imam Al-Ghazali memetakan asas pengetahuan
menjadi dua spektrum primordial, mulailah “hasil akhir” itu diuji. Pengetahuan indrawi
tersebut diuji dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana menjadikan pancaindra
sebagai sebuah pegangan?”. Ada dua argumen yang diajukan. Pertama, awan
yang terlihat diam oleh pancaindra. Tapi, melalui penelitian ilmu astronomi,
sejatinya awan bergerak cepat. Seharusnya pancaindra melihatnya bergerak cepat
pula. Kedua, ketika melihat bintang dan benda astronomi lainnya di
langit, semuanya terlihat kecil, tak ubahnya dengan kepingan koin. Tapi,
melalui bukti-bukti penelitian lainnya, terbukti bahwa bintang itu berkali-kali
lipat lebih besar dibanding Bumi, lebih-lebih sekeping koin yang muat masuk di kantung.
Seharusnya, mata melihatnya juga besar. Apa yang bisa dipercaya dari pancaindra?
Ketiga, Imam Al-Ghazali kemudian mendebati indra “Bagaimana
mungkin engkau percaya dengan akal, sementara engkau lebih dulu percaya dengan indra?”.
Jika posisi pertama terkuat saja diragukan kebenarannya (dalam hal ini
pancaindra), terlebih lagi yang ada di posisi kedua. Runtuhlah dua epistemik
pengetahuan ini, sehingga membuat Imam Al-Ghazali galau berat di usianya yang
ke-38 tahun itu. Dalam salah satu penggalan Al-Munqidz, disebutkan bahwa
ada penyakit di lidah beliau sehingga susah untuk mengeluarkan patahan kata.
Tak ada pula dokter yang sanggup menyembuhkannya, karena penyakit ini berasal
dari jiwanya. Ini diderita beliau selama dua bulan.
Keempat, setelah indra itu didebat, ia mengajak Imam Al-Ghazali
untuk mengarungi samudera mimpi. “Bagaimana engkau mengetahui sesuatu,
sementara engkau ada dalam tidur?”. Ketika seseorang tertidur,
pancaindra dan akalnya tidak ada dalam bayang-bayang kesadaran. Tapi, tenggelam
dalam lautan kegelapan. Namun, apa yang membuat seseorang mengetahui sesuatu
dari mimpi? Mana yang lebih nyata, apakah mimpi atau kenyataan itu sendiri? Ini
juga diperkuat dengan hadis Nabi Saw. “Manusia itu tertidur. Tatkala mereka
mati, barulah mereka sadar”.
Kelima, setelah Tuhan menyembuhkan Imam Al-Ghazali dengan nur-Nya,
mulailah beliau memasuki fase barunya; tasawuf. Di sinilah Imam Al-Ghazali
berkata: “Barangsiapa menyangka bahwa kasyaf hanya terbatas pada pembuktian
dalil semata, maka dia menyempitkan rahmat Allah yang begitu luas”.
Dengan kata lain, Imam Al-Ghazali ingin menyatakan bahwa rahmat Tuhan begitu
luas untuk mengantarkan hamba-Nya menuju kebenaran. Ada yang melalui perjalanan
pembuktian, ada juga tidak. Di sinilah titik intuisi itu dimulai.
Dari beberapa
poin penting di atas, ada jenis kebenaran yang sifatnya yakin (bahkan lebih
meyakinkan daripada akal) tanpa membutuhkan pembuktian akal. Imam Al-Ghazali
adalah tokoh yang mencapai kebenaran melalui “jalan pintas”, yaitu kasyaf yang
dianugerahkan Tuhan.
Sebagaimana
yang sudah disinggung di atas, bahwasanya hewan memiliki realitas yang lebih
rendah dibanding manusia karena limitasi asas pengetahuan yang mereka miliki.
Jelas, ini beda dari manusia. Maka berdasarkan daya yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusa; intuisi, akal, dan pancaindra, maka tingkatan realitas juga
mereka berbeda:
Pertama, realitas hewani. Ini hanya sebatas pancaindra dan
pengetahuan parsial semata. Hewan hanya mengetahui hal-hal empiris, tanpa
mengetahui konsep di baliknya.
Kedua, realitas insani. Ini adalah tingkatan lanjutan yang
melampaui alat pancaindra. Dari sini, manusia dapat membangun peradaban dengan
daya nalar dan visioner yang dimilikinya. Manusia dapat membentuk konsep
sebelum mengeksekusi sebuah proyek. Tapi, setelah kita melihat uraian di atas,
ternyata ada yang lebih hebat daripada akal.
Ketiga, realitas intuitif. Ini adalah dunia yang tidak bisa
diakses sembarangan manusia. Karena akal akan bertekuk lutut. Imam Al-Ghazali
adalah salah satu manusia terpilih dalam mengakses dunia ini. Di sinilah arena
para Nabi dan sufi melihat dan menjalani realitas lebih tinggi dibanding
manusia biasa. Inilah tingkatan supra-manusia, alias melampaui manusia biasa.
Di sini sudah
jelas mengapa para sufi tidak butuh lagi argumen kosmologi untuk mengetahui
keberadaan Tuhan, karena bagi mereka keberadaan Tuhan terlalu jelas untuk
dibuktikan. Mereka dengan realitasnya yang lebih tinggi, sudah bisa menyaksikan kejelasan keberadaan Tuhan dan melihat apa yang tidak kita lihat.
Dimensi Ruang
dan Waktu; Teori Kategoris dan Reltivitas Umum Einstein
Secara
ontologis, manusia hidup dalam ruang yang diinangi korpus (jism), baik
bersifat substansial maupun aksidental. Dalam sudut pandang ilmu kategori,
sebuah substansi dalam semesta diiringi dengan kuantitas dan kualitas, walaupun
secara teori mungkin saja ada substansi tanpa aksiden.
Imam
Al-Syuja’i (w. 1197 H) dalam Al-Maqȗlât Al-‘Asyr menjelaskan bahwa
kuantitas yang mengiringi substansi itu terbagi menjadi dua; kuantitas
terhubung dan terpisah. Kuantitas terhubung kemudian terbagi menjadi dua; tetap
dan tidak tetap. Sedangkan kuantitas terpisah tidak terbagi, hanya bilangan
yang menjadi turunannya.
Kuantitas tetap
itu kemudian terbagi menjadi tiga. Pertama, garis. Kedua, permukaan.
Ketiga, korpus aksidental. Tiga kuantitas ini kemudian dikenal dengan dimensi.
Dimensi pertama, hanya terbatas pada garis. Dimensi kedua terbatas pada panjang
dan tinggi. Dimensi ketiga memiliki panjang, lebar, dan tinggi. Sedangkan
kuantitas tidak tetap adalah waktu. Manusia hidup pada realitas tiga dimensi. Dalam
matematika, ruang tiga dimensi diterjemahkan dengan koordinat x, y, dan z dan para
teolog mengistilahkan dengan enam arah (al-jihhât al-sittah); kiri,
kanan, atas, bawah, depan, dan belakang.
Carl Sagan (w.
1996 M), Astronom Amerika Serikat, pernah menjelaskan interaksi antar dimensi.
Sampel contoh yang diberikan adalah bangun datar dan sebuah apel. Bangun datar
hanya sebatas panjang dan tinggi. Sedangkan apel, memiliki panjang, tinggi, dan
lebar. Ketika apel menapakkan bagian bawahnya ke bangun datar tadi, maka bangun
datar hanya bisa menyadari keberadaan bagian bawah apel itu, itupun yang memasuki
ruang dua dimensi saja. Ini berarti, jika ada dimensi lebih tinggi, maka dia
bisa melihat dimensi lebih di bawah. Sedangkan jika ada dimensi lebih di bawah,
maka dimensi di bawah tidak bisa melihat keseluruhan dimensi lebih tinggi,
kecuali sedikit.
Namun, para
ahli dan ilmuwan masih mempertanyakan, adakah dimensi keempat? Salah satu yang
mencoba menjawab itu adalah Albert Einstein (w. 1955 M), Fisikawan Besar,
dengan teori relativitas umum. Albert Einstein dalam Relativity: The Special
and General Theory menjelaskan bahwa dimensi keempat adalah waktu (x, y, z,
dan t). Tapi, waktu ini dilihat sebagai satu bangunan struktur dengan tiga
dimensi lainnya. Sehingga, semua kejadian terlihat seperti kepingan-kepingan
realitas, terhimpun dalam satu blok; seolah-olah masa lalu, sekarang, dan akan
datang menjadi satu. Ujungnya, setiap kejadian bisa dilihat dalam lintasan
waktu.
Einstein
memberikan contoh benda jatuh. Jika benda itu berada pada ketinggian tertentu
pada satuan waktu 1, maka ketika bergerak pada satuan waktu 2 dan seterusnya,
maka yang terlihat dari sudut pandang dimensi korpus hanyalah satuan waktu
saja. Adapun dalam sudut pandang dimensi ruang-waktu, benda jatuh itu terlihat
melengkung ke arah tanah.
Titik kritis
yang menjadi fokus kita adalah dimensi waktu itu. Kelengkungan ruang-waktu itu sama-sama
terjadi di dimensi keempat. Tapi, karena manusia adalah korpus yang hidup dalam
dimensi ketiga, maka manusia tidak bisa melihat lintasan waktu itu.
Satu-satunya cara manusia melacak keberadaan dimensi itu dengan mengasumsikan bahwa
setiap titik ruang, di sana ada waktu. Ketika ada massa di tengah ruang, maka
geometri ruang-waktu akan melengkung.
Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya global policy and strategy (GPS) yang terkadang
tidak akurat dengan gawai kita. Kip Stephen Thorne, Fisikawan Amerika,
menjelaskan bahwa pada dasarnya waktu di Bumi lebih lambat daripada waktu di
satelit yang mengelilingi Bumi. Solusi yang dihadirkan sehingga membuat waktu
satelit dan gawai kita sama adalah sistem koreksi. Ini menunjukkan bahwa waktu
di Bumi melengkung (relativitas waktu) karena Bumi memiliki massa yang besar.
Ini berarti, dimensi waktu itu ada. Hanya saja, Carl Sagan memberi catatan
bahwa kita tidak akan bisa membayangkan dimensi keempat, kecuali hanya
mengira-ngirakannya.
Relativitas
Dimensi dan Eksistensi Tuhan
Dari uraian di
atas, kita bisa menarik benang merah bahwa tidak menutup kemungkinan ada sebuah
dimensi yang tidak bisa dicapai manusia, tapi keberadaannya dimungkinkan akal, baik secara epistemik, mapun
ontologis. Jika ada
dimensi lebih di atas dan kita tidak pernah merabanya, maka bisa saja ada
entitas lebih yang tidak pernah kita tahu dan realitasnya lebih tinggi.
Sampai di
titik ini, ada asumsi yang mungkin muncul: “Berarti Tuhan berada di dimensi ‘atas’ daripada manusia”. Jelas asumsi ini akan
ditolak, walaupun dengan iming-iming entitas dan realitas lebih tinggi. Mazhab
Asy’ariyyah sudah jauh hari menetapkan transendensi Tuhan dan menafikan imanensi
Tuhan dari sifat-sifat makhluk, termasuk “berdimensi”. Sebab, jika Tuhan
terpenjara dalam dimensi ruang-waktu, di mana Tuhan sebelum dimensi itu ada?
Jika Tuhan
tidak terkurung dalam dimensi, berarti Tuhan memiliki realitas tertinggi.
Karena jika dimensi menjadi sekat dan petak, maka yang terkurung dalam dimensi
memiliki realitas terbatas. Berarti, bagi Tuhan itu sebaliknya; tidak terbatas, tanpa sekat maupun petak. Juga, dengan realitas yang dimiliki dan layak bagi
Tuhan, itu tidak membatasi ilmu-Nya. Toh, mazhab Asy’ariyah sudah
mendeskripsikan sifat ilmu-Nya dengan diksi kritis: “Sifat yang
menyingkap segala hal”. Baik berdimensi maupun tidak, tetap tersingkap oleh
Tuhan.
Pada akhirnya,
kita akan sadar bahwa realitas yang kita jalani adalah realitas terbatas pada
tiga dimensi saja. Kita tidak akan pernah benar-benar mengetahui realitas itu apa
adanya secara universal. Meminjam bahasanya Immanuel Kant (w. 1804 M), bahwa
sesuatu itu sendiri tanpa “sebagai” sesuatu yang lain, disebut nomena.
Sedangkan sudut pandang atau perspektif manusia terhadap nomena disebut
fenomena. Manusia tidak akan mengetahui semesta dalam status nomena,
kecuali dalam batas fenomena saja. Ada realitas yang lebih luas dan tidak
pernah terpikirkan manusia. Itulah, realitas nir-batas.
Wallahu a'lam




TOP
ReplyDelete