Al-Azhar Bukan Hanya Sekadar Masjid
Oleh: Muhammad
Alim Nur
Bagi umat muslim, nama al-Azhar saya rasa tidak asing lagi di
telinga mereka. Nama ini sangat erat kaitannya dengan universitas Islam ternama
di Mesir. Universitas al-Azhar tampaknya memang lebih dikenal daripada
masjidnya. Padahal keduanya saling berkaitan. Masjid yang terletak di Kairo,
Mesir ini merupakan salah satu masjid tertua di dunia Islam. Dan inilah fokus
tulisan saya, mengkaji bangunan masjid al-Azhar.
Ramai orang yang tidak mengenal al-Azhar dari segi historisitasnya.
Sebagian hanya tahu bahwasanya al-Azhar dibangun pada masa Dinasti Fatimiyah,
akan tetapi belum tahu secara detail perkembangannya, sehingga berdirilah
masjid al-Azhar yang bisa kita lihat sekarang dengan segala keagungan dan
keindahan arsitekturnya.
Pada tulisan kali ini saya akan menyajikan al-Azhar dari
arsitekturnya. Dari hasil studi lapangan, saya akan melampirkan beberapa gambar
berupa foto yang berkaitan dengan arsitektur bangunan al-Azhar yang saya
jelaskan dalam tulisan ini. Foto yang terlampir merupakan hasil dokumentasi
pribadi saya dan pengambilannya sudah diberikan izin oleh pihak keamanan.
Tulisan ini merupakan koleksi karya yang sudah lama saya tulis,
akan tetapi untuk memeriahkan milad al-Azhar yang ke-1083 tahun, maka
saya merasa terpanggil untuk memperkenalkan al-Azhar lebih dalam lagi.
Tulisan ini merupakan catatan-catatan kecil yang saya rangkum dari
berbagai literatur tentang fakta sejarah pembangunan masjid al-Azhar. Dan saya
tidak banyak menjelaskan tentang dinamika pergolakan sosial-politik yang
terjadi dari beberapa dinasti yang akan saya paparkan nanti, karena akan saya
jelaskan di tulisan saya yang lain.
Pada Masa Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari dinasti Syiah dalam Islam
yang berdiri pada tahun 909 M di Tunisia oleh Khalifah pertama Said bin Husain
yang bergelar Ubaidillah al-Mahdi. Dinasti ini sebagai tandingan bagi penguasa
dunia muslim yang berpusat di Baghdad, yaitu Dinasti Abbasiyah.
Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, mulai dari tahun 909 M
sampai 1171 M, yang awalnya hanya sebuah pergerakan keagamaan yang berkedudukan
di Afrika Utara dan kemudian berpindah ke Mesir.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra putri Nabi Muhammad
Saw, sekaligus istri Ali ibn Abi Thalib ra. Dinasti ini mengklaim dirinya
sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Sayyidina Ali dan Sayyidatina
Fatimah. Namun masalah nasab dinasti ini masih jadi perdebatan antara para
sejarawan.
Dinasti ini melemah saat kepemimpinan Sultan Nuruddin Zenki. Tampuk
pemerintahan lalu diberikan ke Khalifah Salahuddin al-Ayyubi yang kemudian
mengganti nama menjadi Dinasti Ayyubiyah.
Masjid al-Azhar yang terlihat sekarang, bukanlah masjid asli yang
dibangun pada masa Dinasti Fatimiyah oleh Jauhar as-Syiqili, yang selesai
pembangunannya pada tahun 972 M, akan tetapi merupakan hasil karya peninggalan
dari berbagai dinasti yang berbeda-beda.
Pada tahun 969 M Dinasti Fatimiyah di bawah kepemimpinan pasukan
Jauhar ash-Shyqili berhasil menduduki Mesir, penaklukan Mesir dilakukan hanya
setahun. Kemudian satu tahun setelahnya, tepat pada tahun
970 M, Jauhar membangun masjid al-Azhar yang memakan waktu kurang lebih dua
tahun lamanya. Pada 22 Juni tahun 972 M pembangunan al-Azhar selesai.
Pada tahun 973 M, Khalifah Al-Muiz mengumumkan bahwa masjid
al-Azhar sudah bisa digunakan untuk melaksanakan salat Jumat. Abu Hasan
al-Khoirawan yang bertindak sebagai khatib dan kebetulan qhadi pada masa itu.
Selain digunakan untuk ibadah juga dijadikan sebagai pusat pemerintahan.
Pola masjid al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah berbentuk segi
empat dengan halaman terbuka di bagian tengah. Ukurannya sekitar setengah dari
yang terlihat sekarang. Pola asli arsitektur masjid al-Azhar biasa disebut Hypostyle
dalam kajian ilmu arsitektur. Mempunyai ruang-ruang, pola bangunan yang
memiliki ruang terbuka atau halaman segi empat di bagian tengah, seperti juga
di antaranya masjid Sultan Hasan dan masjid Ibn Thulun.
Terdapat hiasan pada dinding sekitar shohn atau ruang yang
terbuka di dalam masjid al-Azhar. Terlihat ukiran yang terbuat dari stucco atau
plester semen, bentuk lingkaran dan kapal yang dilihat dari atas atau istilah
arsitektur disebut keel-arche. Hiasan itu asli peninggalan dari Dinasti
Fatimiyyah. Jadi teman-teman jika masuk ke masjid al-Azhar sekali-sekalilah
melirik keindahan hiasan dindingnya.
| Bagan 1 Shohn dengan hiasan dinding peninggalan Dinasti Fatimiyyah |
| Bagan 2 Mihrab asli peninggalan Dinasti Fatimiyyah |
Selain hiasan di bagian shohn¸ Dinasti Fatimiyyah juga meninggalkan hiasan dinding di bagian ruang salat.
| Bagan 3 ukiran dinding peninggalan Dinasti Fatimiyyah |
Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Dinasti Fatimiyyah runtuh pada masa Khalifah Nuruddin Zenki. Pada
awalnya, Shalahuddin dan pamannya, Asaduddin Syirkuh mengabdi sebagai pemimpin
pasukan Nuruddin Zenki. Karena pengabdiannya, Shalahuddin dijadikan khalifah
saat Nuruddin Zenki wafat. Pada saat Shalahuddin menjadi khalifah barulah dia
mengganti nama dari Fatimiyyah ke Ayyubiyah yang dinisbahkan ke namanya
sendiri.
Dinasti Ayyubiyah berdiri pada tahun 1171 M oleh Shalahuddin Yusuf
al-Ayyubi yang kemudian runtuh dan jatuh ke tangan Dinasti Mamalik pada tahun
1250 M. Dinasti Ayyubiyah berkuasa 79 tahun. Masjid al-Azhar pada masa Dinasti
Ayyubiyah tidak mengalami perubahan arsitektur karena pada saat itu, al-Azhar
dikosongkan dan semua kegiatan
belajar-mengajar dialihkan ke masjid al-Hakim Biamrillah.
Pelaksanaan salat jumat pun dipindahkan ke masjid al-Hakim, karena
mereka berpaham tidak boleh ada dua khotbah dalam satu kota. Pengosongan ini guna
untuk menghilangkan paham syiah pada saat itu. Selain meghilangkan
pergerakannya juga menutup tempat kajiannya.
Pada Masa Dinasti Mamalik
Pada masa Fatimiyah, al-Azhar belum memiliki menara yang menjulang
tinggi ke atas, hanya sebuah menara dengan batu-bata yang tidak begitu tinggi
di bagian pintu utama masjid al-Azhar seperti yang terlihat sekarang.
Tahun 1250 M, kepemimpinan Mesir beralih ke Dinasti Mamalik. Tidak
seperti Ayyubiyah yang sedikit mengabaikan perkembangan al-Azhar. Dinasti
Mamalik memberikan perhatian yang lebih terhadap perkembangan al-Azhar, mulai
dari aspek keilmuan dan arsitekturnya.
Perkembangan masjid al-Azhar dimulai pada masa kepemimpinan Sultan
Baibars, yang memutuskan penggunaan kembali masjid al-Azhar sebagai tempat
ibadah sekaligus kegiatan masyarakat. Pada tahun 1966 M, Sultan Baibars mulai
melakukan renovasi terhadap masjid al-Azhar.
Dinasti Mamalik sangat terkenal dengan jiwa seninya yang tinggi,
mereka pandai merancang seni arsitektur bangunan. Salah satu karyanya yang
terlihat sampai sekarang pada arsitektur
masjid al-Azhar.
Pada masa Dinasti Mamalik terdapat penambahan tiga madrasah yang
mengajarkan fikih Sunni dan beberapa mazhab.
a. Pembangunan Madrasah Thoibarsiyah
Sultan Baibars wafat sebelum pembangunan Madrasah Thoibarsiyah selesai dibangun. Kemudian pembangunan dialihkan ke Badruddin bin Abdillah, beliau tangan kanan Sultan Baibars dan merupakan salah satu menteri pada masa itu. Pada tahun 1309 M Madrasah Thoibarsiyah dibangun oleh Amir Alauddin Thoibarsi, seorang kapten militer pada masa itu.
| Bagan 4 Madrasah al-Thaibarsiah |
b. Pembangunan Madrasah Aqbughawiyyah
Pada tahun 1340 M, dilakukan penambahan ruang madrasah yang diberi
nama Madrasah Aqbughowiyyah yang didirikan oleh Al-Amir Alauddin Aqbugho Abdul
Wahid. Belia
| Bagan 5 Madrasah al-Aqbughayiyyah |
c. Pembangunan Madrasah Jauhar al-Qanaqba’i
Setelah beberapa lama, pada tahun 1440 M dibangun sebuah madrasah yang dinamakan Jauhar al-Qanaqba’i. Beliau adalah seorang pelajar dari Sudan dan diangkat menjadi bendahara pada masa Sultan Baibars.
| Bagan 6 Madrasah al-Qanaqba'i |
Madrasah ini dipakai untuk mengkaji hukum fikih Sunni mazhab
Syafi’i dan Maliki. Dinasti Fatimiyah
hanya fokus pada pengajaran fikih Syi’ah mazhab Ismailiyah. Dinasti Ayyubiyah
fokus pada pengajaran fikih sunni dengan empat mazhab.
Pembangunan menara pada masa Dinasti Mamalik
Dinasti Mamalik unggul pada bidang seni, sehingga terdapat menara dengan keindahan arsitekturnya yang bisa kita saksikan sampai saat ini.
a. Pergantian menara pada masa Sultan Baibars
Masjid al-Azhar pada masa Fatimiyah sudah mempunyai menara akan tetapi dinilai tetrlalu pendek oleh Sultan Baibars, kemudian sultan merenovasi dan meninggikan menara tersebut. Akan tetapi menara itu tidak dapat dilihat sampai saat ini karena telah rusak dan hancur.
b. Pembangunan menara oleh Amir Aqbughawiyyah Tahun 1340
Al-Azhar mengalami perluasan dengan penambahan madrasah al-Aqbughawiyyah. Madrasah ini di atasnya dibangun sebuah menara yang menggunakan seni pahatan dan ukiran pada masjid al-Azhar. Menara ini terdiri dari dua tingkat dan di atasnya terdapat kubah kecil.
| Bagan 7 menara al-Aqbughawiyyah |
Pada tahun 1397 M, menara asli al-Azhar direnovasi dan ditinggikan
oleh Sultan Barquq. Namun, menara tersebut tidak dapat dilihat lagi karena
rusak dan hancur.
d. Pembangunan menara al-Azhar oleh Sultan al-Mu’ayyad
Pada tahun 1424 M, menara masjid al-Azhar kembali direnovasi oleh
Sultan al-Mu’ayyad yang sama dengan menara asli peninggalan Fatimiyyah, namun
menara tersebut mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat terlihat sampai
sekarang.
e. Pembangunan menara oleh Sultan Qaytbay
Pada tahun 1483 M, dengan keahliannya sebagai arsitektur, Sultan Qaytbai membangun menara yang sangat indah yang berdiri kokoh sehingga dapat bertahan sampai sekarang. Menara ini terdiri dari tiga tingkat dan dilengkapi dengan kubah kecil di atasnya.
| Bagan 8 menara Qatbay |
| Bagan 9 menara al-Ghuri |
Sebanyak enam menara yang pernah dibangun oleh Dinasti Mamalik, akan tetapi yang bertahan sampai sekarang hanya tiga menara. Sedangkan yang lainnya mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dilihat keindahannya sampai sekarang.
Selain menara, juga terdapat beberapa peninggalan hiasan masjid
al-Azhar yang dibuat oleh dinasti Mamalik. Masrabiya, hiasan ini
termasuk maha karya Sultan Qaytbay. Saat kita berada di ruang terbuka al-Azhar
atau shohn kita bisa melihatnya di bagian atas dekat menara, terbuat
dari kayu menjorok ke luar.
| Bagan 10 Masrabiya |
Tempat ini biasa dipakai untuk menyampaikan pengumuman atau fatwa
pada saat itu.
Muqornas, hiasan ini umumnya menghiasi bagian atas pada di pintu atau dinding
biasa juga disebut stalaktik.
| Bagan 11 Muqarnas |
Pada masa Dinasti Utsmaniyyah
Setelah jatuhnya Dinasti Mamalik pada tahun 1571 M, Dinasti Utsmaniyyah berhasil menguasai Mesir di bawah pimpinan Sultan Salim Sholih. Beliau salat di masjid al-Azhar dan bersedekah untuk pembangunan dan perkembangannya. Akan tetapi tidak banyak perkembangan masjid al-Azhar pada saat itu. Barulah pada masa kepemimpinan Sultan Abdurrahman Katkhuda terdapat beberapa perluasan dan renovasi besar-besaran.
Langkah pertama
yang dilakukan Sultan Katkhuda adalah dengan memperluas ruang utama salat di
bagian belakang mihrab asli buatan Fatimiyyah. Perluasan ini karena banyaknya
pengunjung yang datang ke masjid al-Azhar untuk belajar keilmuan.
| Bagan 12 tampak ruang utama salat yang ditambahkan pada masa Dinasti Usmaniyyah |
Kemudian Sultan Katkhuda melakukan perluasan riwaq al-Atrak.
Riwaq ini dibangun pada masa Sultan Qaytbay yang terletak di samping kanan
masjid. Bangunan ini bertingkat, di lantai
pertama digunakan sebagai perpustakaan dan lantai dua untuk kegiatan
para murid. Beliau juga membangun mihrab yang terbuat dari marmer dengan hiasan
yang sangat teliti dan sebuah kubah di bagian atasnya.
| Bagan 13 Riwaq al-Atrak |
Pada tahun 1798 M, pasukan Prancis berhasil menduduki Mesir di
bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Al-Azhar sempat mengalami kerusakan karena
peperangan saat itu, dan sempat ditutup beberapa lama, penulis belum menemukan
literatur yang membahas tentang berapa tahun al-Azhar ditutup. Kemudian pada
tahun 1801 kegiatan masjid al-Azhar dibuka kembali.
Pada tahun 1892 M, wilayah Mesir dipimpin oleh Abbas Hilmi II, yang kemudian pada tahun 1897
M membangun riwaq yang dinamakan riwaq
Abbas II, karena dibangun pada masa Sultan Abbas Hilmi II. Bangunan ini
berukuran kecil dan digunakan sebagai ruang bagi para pengurus masjid al-Azhar,
perpustakaan, dan ruang bagi fasilitas mahasiswa. Riwaq Abbas II
merupakan riwaq terakhir yang dibangun pada masa Dinasti
Utsmaniyyah.
Dinasti Utsmaniyah
juga meninggalkan sebuah kubah yang cukup sederhana yang berdampingan dengan
menara yang dibangun pada masa Dinasti Mamalik. Dan masih bisa kita lihat
keindahannya sampai sekarang.
Maha karya yang
ditinggalkan oleh Dinasti Utsmaniyyah adalah Bab al-Muzayyinin, yang
dibangun pada tahun 1853 M. Penulis singgah untuk sejenak melirik dan memperhatikan
secara saksama, cukup sederhana akan tetapi memiliki nilai seni yang sangat
tinggi. Pintu ini terletak di pintu Utama masjdi al-Azhar yang terdiri dari dua
pintu, akan tetapi pintu yang satunya selalu tertutup, hanya satu pintu yang
terbuka sebagai jalan keluar masuk oleh jamaah dan pengunjung.
| Bagan 14 Bab Muzayyinin |
Jadi jelas bahwa al-Azhar bukan hanya sekedar masjid. Terdapat beberapa madrasah yang mengelilinginya.
| Bagan 15 Riwaq Abbas II |
Masa Dinasti Mamalik meninggalkan tiga menara, muqarnas dan masrabiya. Pembangunan dan perluasan pada masjid al-Azhar di masa Dinasti Utsmaniyyah di antaranya perluasan ruang utama ibadah, memperluas riwaq al-Atrak dan menambahkan satu riwaq yang kita kenal dengan nama riwaq Abbas II. Kemudian pada masa Sultan Katkhuda ditambahkan bab al-muzayyinin yang terletak di bagian depan pintu utama masjid al-Azhar.
| Bagan 16 Riwaq Abbas II tampak dari luar |
Tak dapat dimungkiri dinamika pembangunan masjid al-Azhar dari masa
ke masa menunjukkan begitu agung dan jayanya umat Islam dari segi seni
arsitektur, sehingga teciptalah masjid al-Azhar yang keindahan dan keagungan
arsitekturnya bisa kita saksikan sampai
sekarang.
Saya sadar betul bahwa tulisan ini belum bisa mewakili sejumlah
fakta sejarah keagungan dan keindahan masjid al-Azhar, akan tetapi, setidaknya
kita sebagai santri al-Azhar tahu sedikit tentang dinamika perkembangan
pembangunan al-Azhar dari masa ke masa yang masih bisa kita saksikan sampai
saat ini.
Tulisan ini juga mudah-mudahan bisa menjadi edukasi kepada mereka
yang hanya mengenal al-Azhar hanya dari luarnya saja. Pun yang belum pernah
secara detail mengkaji sejarah masjid al-Azhar sehingga sampai saat ini sudah
berbentuk universitas dengan beberapa kajian keilmuan yang bisa dikatakan
kampus terbaik di dunia dalam mengkaji ajaran Islam.
Harapan saya, dengan tulisan ini, bisa memantik jiwa kawan-kawan
untuk lebih memperdalam lagi tentang Azhar, mungkin bisa dimulai dengan kajian
Grand Syekh dari masa ke masa, kajian ulama-ulama Azhar, agar kita tidak hanya
mengambil ilmu, akan tetapi tau dengan siapa kita mengambil ilmu.
Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa orang non-arab pada umumnya
kurang mampu dalam mempelajari Islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab.
Sehingga rumusan Islam dengan model Arabisme tidak dapat dielakkan ataupun
ditolak eksistensinya. Jadi orang yang melecehkan nama Azhar, saya katakan
mereka menggadaikan eksistensinya sendiri.
Paling terakhir, penulis mengutip perkataan ulama yang dipaparkan oleh Ust. Amirul Mukminin, Lc. pada diskusi yang dilaksanakan pada Kamis, 28 April 2022 di acara Kongkow Ramadan memperingati Milad Al-Azhar Ke-1082 di Aula KAHHA PCINU Mesir dengan tema Membincang Sejarah al-Azhar: Arsitektur, Tradisi Keilmuan, dan Undang-undang. Beliau mengatakan bahwa man lam ya’rifu al-Qohiroh la ya’rifu ‘izzatul al-Islam, siapa yang tidak mengenal Kairo dengan baik, maka dia tidak akan mengetahui keagungan ajaran Islam.



Comments
Post a Comment