Evolusi Logika; Dari Klasik ke Modern
Di dalam kehidupan ini,
manusia selalu berdialektika dengan insan lainnya. Di dalam dialektika tersebut
manusia kadang mengalami keributan dan kerancuan yang disebabkan oleh beberapa masalah.
Salah satunya adalah perbedaan persepsi sudut pandang di dalam
suatu permasalahan. Padahal, penyatuan persepsi dan objek permasalahan
merupakan hal yang fundamental di dalam dunia diskusi maupun perdebatan. Di sinilah
pentingnya peran dari Ilmu Logika yang bertumpu pada akal sehat.
Kata ‘logika’ terambil dari bahasa Latin, berasal dari kata ‘logos’ yang
berarti perkataan. Adapun di dalam bahasa Arab disebut dengan manthiq,
terambil dari kata nataqa yang berarti berkata, berpikir, atau
melafazkan. Seorang filsuf kelahiran Amerika, Irving M. Copi di dalam bukunya Introduction to Logics mendefinisikan
logika sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan
untuk membedakan penalaran yang benar dengan penalaran yang keliru. Logika punya peran yang begitu besar sebagai ilmu alat (‘ilm al-wasilah)
untuk perkembangan ilmu pengetahuan dari masa dulu sampai sekarang. Peranan
besar tersebut bisa dilihat dari perkembangan logika dari masa ke masa.
Berangkat dari hal tersebut, pada tulisan ini penulis akan memaparkan terkait
perjalanan Ilmu Logika dari masa ke masa serta evolusi dan
pengaruhnya dalam dunia keilmuan dari masa klasik hingga
ke masa modern.
Sekilas
Tentang Ilmu Logika Periode Helenistik
Logika sudah lama berkembang dan diperbincangkan, bahkan jauh sebelum
Masehi. Adapun logika sebagai disiplin ilmu ada perbedaan pendapat di kalangan peneliti. Akan tetapi, pendapat yang populer bahwasanya
Ilmu Logika pertama kali dikodifikasi di Yunani atau yang biasa dikenal dengan nama negeri para
filsuf. Berawal dari kaum Sofis di Yunani yang dikenal sering melakukan
permainan kata (talaa’ub fi al-alfadzh), memutarbalikkan fakta demi
kepentingan pribadi semata. Tidak
hanya itu, kaum Sofis mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Artinya
semua hal itu bisa dipandang sebagai suatu kebenaran atau kekeliruan tergantung
dari sudut mana kita memandangnya.
Hingga
kemudian hari datanglah Socrates, filsuf
Yunani kelahiran Athena. Socrates datang sebagai manifestasi perlawanan atas ulah
dari kaum Sofis yang menyebabkan kegaduhan dan kerusuhan di masyarakat. “Define your terms!” Merupakan ungkapan dari Socrates yang meminta kaum Sofis untuk memperjelas makna
dari perkataannya. Di sinilah cikal-bakal munculnya pembahasan definisi (al-ta’rif) dalam Ilmu Logika. Lalu kemudian
datanglah Plato, murid dari Socrates,
inilah yang kemudian melanjutkan perjuangan Socrates untuk melawan kaum Sofis.
Menurut kaum Sofis pengetahuan hanya bisa didapatkan melalui pancaindera,
seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kaum Sofis mengingkari adanya
kebenaran mutlak. Inilah kemudian yang dikritisi oleh Plato. Plato memiliki
pandangan bahwa dalam memperoleh
pengetahuan, ada yang lebih tinggi dari pancaindera, yaitu akal. Plato mengedepankan
berpikir kritis terhadap segala sesuatu, termasuk dari apa yang kita dapatkan dari
pancaindera.
Kemudian
datanglah Aristoteles yang dikenal dengan julukan “Bapaknya ilmu pengetahuan”
karena jasanya yang begitu besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dialah
orang yang menyusun, mengumpulkan, serta memperbaiki kaidah-kaidah berpikir
dari apa yang dia dapatkan dari dua gurunya yaitu Socrates dan Plato.
Aristoteles juga menambahkan materi silogisme (qiyas) yang kita dapati dalam metode
berpikir deduksi.
Ilmu
Logika Era Klasik
Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan semakin berkembang dan meluas
ke belahan dunia, termasuk negara-negara Arab. Penerjemahan buku-buku berbahasa
asing ke dalam bahasa Arab sudah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah yang
mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada periode inilah ilmu
pengetahuan benar-benar berkembang pesat dalam dunia Islam. Pada masa al-Ma’mun
hingga akhir abad ke-10 muncul banyak penerjemah-penerjemah unggul seperti ibn
Muqaffa’, ibn Na’imah, al-Kindi, Hunain bin Ishaq dan lain-lain. Penerjemahan
berbagai macam ilmu ke dalam bahasa Arab sudah mulai gencar, termasuk buku-buku
filsafat dari Yunani.
Dalam proses penerjemahan tersebut, para ulama tidak serta-merta menerima
ajaran-ajaran filsafat dari Yunani. Pada awalnya pun tidak sedikit dari
kalangan ulama yang mengkritisi akan ilmu ini. Seperti, Ibn Taimiyah
dalam kitabnya al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin yang mengkritik ajaran-ajaran
logika kuno seperti pembahasan definisi, pembahasan silogisme. Sebagiannya lagi
memilah, menyaring, dan memperbaiki ajaran-ajaran filsafat tersebut dan
meninggalkan ajaran-ajaran yang menyalahi atau menyelisih dasar-dasar agama.
Para ulama Islam memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu logika dengan
mengurangi pembahasan yang tidak relevan, dan menambahkan pembahasan penting
seperti pengamatan (mulahazah), eksperimen (tajribah), serta
hipotesa (ifthirad al-furudh) yang semuanya merupakan cikal-bakal dari
logika modern (mantiq hadits).
Banyak dari kalangan ulama Islam yang mengembangkan logika menjadi ilmu
yang lebih sistematis, praktis, dan memberikan kebermanfaatan. Sehingga
akhirnya bisa memberikan dampak positif pada perkembangan ilmu pengetahuan
seperti ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu biologi dan lain sebagainya. Dalam
ilmu kedokteran kita mengenal Ibn Sina, seorang dokter yang menyembuhkan banyak
penyakit dengan pengamalan mulahazah dan tajribah yang merupakan
bagian dari logika modern. Ini bisa kita liat dari kitab al-Qanun fi al-Thibb
karya Ibn Sina yang menjadi buku pedoman dalam dunia kedokteran di akhir abad
ke-17 sampai awal abad ke-18. Dan masih banyak lagi ilmuwan muslim lainnya yang sukses dalam menemukan serta mengembangkan logika modern ini.
Pada masa ini, Islam benar-benar mencapai
kemajuan yang begitu pesat dalam dunia keilmuan. Ini disebabkan karena Islam
adalah agama yang menekankan dan mendorong penganutnya untuk mencari ilmu
pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sebagaimana yang kita dapati dalam Al-Qur’an
surah al-‘Alaq perintah untuk membaca (iqra’). Dan masih banyak lagi
dalil-dalil agama yang memerintahkan hal demikian. Di saat yang bersamaan bangsa
Eropa justru mengalami kemunduran dalam hal keilmuan dan lebih berfokus pada
isu-isu keagamaan. Salah satu
penyebabnya dikarenakan kuatnya doktrin gereja yang membatasi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Ilmu
Logika Era Modern
Seiring
waktu berjalan, ilmu logika yang diprakarsai oleh Aristoteles ini mengalami penurunan. Para kaum peripatetik menjadikan logika sebagai suatu ilmu yang hanya terpaku pada
premis-premis (muqaddimah)
tanpa memperhatikan realitas dan meneliti kebenaran dari premis tersebut. Mereka juga
mengklaim kesesuaian logika Aristoteles untuk semua ilmu secara umum. Tentu ini
tidak bisa kita terima begitu saja, melihat urgensi dari mulahazah dan tajribah
dalam pembentukan premis agar kiranya bisa menghasilkan konklusi (natijah)
yang benar dan tepat. Dan juga setiap ilmu punya metode (manhaj)
masing-masing. Masa ini berlangsung sampai awal abad ke-17 M.
Pada abad ke-13, ketika terjadinya pergerakan keilmuan (al-harakah
al-‘ilmiah) para ilmuwan muslim dari negara Arab menyebarkan ilmu
pengetahuan ke berbagai pelosok negara termasuk Eropa. Hingga akhirnya
muncullah nama Roger Bacon, seorang filsuf Inggris yang banyak mengambil istifadah
(manfaat) dari para ilmuwan Islam tersebut.
Terkhusus kitab-kitab yang dikarang oleh Ibn Sina, Hasan bin Haitsam, dan ilmuwan
Islam lainnya.
Melihat degradasi keilmuan yang terjadi di bangsanya, Roger Bacon kemudian
bertekad untuk kembali membangkitkan khazanah keilmuan di bangsa Eropa yang
pada masa itu mengalami kejumudan dan kemunduran. Orang-orang Eropa di masa ini
hanya bersandar pada pada logika kuno yang hanya terpaku pada format premis
tanpa memperhatikan realitas dan kebenaran dari premis tersebut. Roger Bacon
berpendapat inilah sebab dari kemunduran dan kejumudan ilmu pengetahuan di
negerinya. Setelah Roger Bacon, muncullah kemudian nama-nama
filsuf Eropa lain seperti Leonardo da Vinci, Francis Bacon, John Stuart Mill,
dan lain-lainnya.
Titik Evolusi
Gagasan bahwasanya ilmuwan muslim lebih dulu mempelajari dan mengembangkan
ilmu pengetahuan sebelum orang-orang Eropa seperti Roger Bacon adalah fakta
yang berusaha disembunyikan. Mereka yang mengklaim bahwa ilmu pengetahuan
khususnya logika modern itu dikembangkan dari orang-orangnya sendiri, adapun
bangsa Arab tidak memiliki peran dalam perkembangannya. Padahal kenyataannya, para ilmuwan muslim sudah
lebih dahulu meletakkan kaidah-kaidah logika modern yang menggunakan metode
induksi (istiqra). Senada seperti yang dijelaskan oleh Gustave Le Bon
bahwa mulahazah dan tajribah serta cakupan ilmu logika modern
yang disandarkan ke Francis Bacon merupakan hasil karya tangan dari bangsa Arab yang harus diakui.
Para ilmuwan muslim sudah lebih dahulu mempelajari konsep sebab akibat (al-‘illat
wa al-ma’lul) serta cara penetapannya sebelum akhirnya diperkenalkan
kembali oleh Francis Bacon dan John Stuart Mill setelah beberapa abad. Kita
mengenal Ibn al-Haitsam yang sudah lebih dulu menggunakan perangkat keilmuan
logika eksperimen yang kemudian diaplikasikan juga oleh ilmuan Eropa seperti
Kepler, Galileo Galilei, dan Issac Newton. Ada juga Ibn Nafis, seorang ilmuwan muslim penemu sirkulasi darah dari jantung menuju paru-paru yang kemudian
penemuan ini disandarkan kepada ilmuwan berkebangsaan Inggris bernama Harvey.
Semua itu adalah penemuan-penemuan yang merupakan bagian dari pengamalan logika
modern dari para ilmuwan muslim, sebelum akhirnya diklaim oleh orang-orang
Barat.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui mengenai perjalanan ilmu logika dari masa ke masa serta
evolusinya dari masa klasik ke masa modern. Para ilmuwan muslim banyak
berkonstribusi untuk perkembangan logika sebagai sebuah ilmu yang memiliki
manfaat dan pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga peranan
vitalnya sebagai ilmu alat bagi ilmu-ilmu lainnya. Begitupula kenyataan bahwa
orang-orang Islam sudah lebih dahulu mengetahui dan mengembangkan logika modern
sebelum akhirnya diklaim sebagai produk ilmuwan Barat. Maka dari itu, hendaknya ilmu
pengetahuan harus selalu dijaga kemurniannya demi mengindahkan amanah keilmuan
tanpa dipengaruhi oleh provinsialisme atau fanatisme.



Comments
Post a Comment