Evolusi Logika; Dari Klasik ke Modern


 Oleh: Abdul Mughni Mukhtar

    Di dalam kehidupan ini, manusia selalu berdialektika dengan insan lainnya. Di dalam dialektika tersebut manusia kadang mengalami keributan dan kerancuan yang disebabkan oleh beberapa masalah. Salah satunya adalah perbedaan persepsi sudut pandang di dalam suatu permasalahan. Padahal, penyatuan persepsi dan objek permasalahan merupakan hal yang fundamental di dalam dunia diskusi maupun perdebatan. Di sinilah pentingnya peran dari Ilmu Logika yang bertumpu pada akal sehat.

    Kata ‘logika’ terambil dari bahasa Latin, berasal dari kata ‘logos’ yang berarti perkataan. Adapun di dalam bahasa Arab disebut dengan manthiq, terambil dari kata nataqa yang berarti berkata, berpikir, atau melafazkan. Seorang filsuf kelahiran Amerika, Irving M. Copi di dalam bukunya Introduction to Logics mendefinisikan logika sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dengan penalaran yang keliru. Logika punya peran yang begitu besar sebagai ilmu alat (‘ilm al-wasilah) untuk perkembangan ilmu pengetahuan dari masa dulu sampai sekarang. Peranan besar tersebut bisa dilihat dari perkembangan logika dari masa ke masa.

    Berangkat dari hal tersebut, pada tulisan ini penulis akan memaparkan terkait perjalanan Ilmu Logika dari masa ke masa serta evolusi dan pengaruhnya dalam dunia keilmuan dari masa klasik hingga ke masa modern.

Sekilas Tentang Ilmu Logika Periode Helenistik

    Logika sudah lama berkembang dan diperbincangkan, bahkan jauh sebelum Masehi. Adapun logika sebagai disiplin ilmu ada perbedaan pendapat di kalangan peneliti. Akan tetapi, pendapat yang populer bahwasanya Ilmu Logika pertama kali dikodifikasi di Yunani atau yang biasa dikenal dengan nama negeri para filsuf. Berawal dari kaum Sofis di Yunani yang dikenal sering melakukan permainan kata (talaa’ub fi al-alfadzh), memutarbalikkan fakta demi kepentingan pribadi semata. Tidak hanya itu, kaum Sofis mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Artinya semua hal itu bisa dipandang sebagai suatu kebenaran atau kekeliruan tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

    Hingga kemudian hari datanglah Socrates, filsuf Yunani kelahiran Athena. Socrates datang sebagai manifestasi perlawanan atas ulah dari kaum Sofis yang menyebabkan kegaduhan dan kerusuhan di masyarakat. Define your terms!” Merupakan ungkapan dari Socrates yang  meminta kaum Sofis untuk memperjelas makna dari perkataannya. Di sinilah cikal-bakal munculnya pembahasan definisi (al-ta’rif) dalam Ilmu Logika. Lalu kemudian datanglah Plato, murid dari Socrates, inilah yang kemudian melanjutkan perjuangan Socrates untuk melawan kaum Sofis. Menurut kaum Sofis pengetahuan hanya bisa didapatkan melalui pancaindera, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kaum Sofis mengingkari adanya kebenaran mutlak. Inilah kemudian yang dikritisi oleh Plato. Plato memiliki pandangan bahwa  dalam memperoleh pengetahuan, ada yang lebih tinggi dari pancaindera, yaitu akal. Plato mengedepankan berpikir kritis terhadap segala sesuatu, termasuk dari apa yang kita dapatkan dari pancaindera.

    Kemudian datanglah Aristoteles yang dikenal dengan julukan “Bapaknya ilmu pengetahuan” karena jasanya yang begitu besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dialah orang yang menyusun, mengumpulkan, serta memperbaiki kaidah-kaidah berpikir dari apa yang dia dapatkan dari dua gurunya yaitu Socrates dan Plato. Aristoteles juga menambahkan materi  silogisme (qiyas) yang kita dapati dalam metode berpikir deduksi.

Ilmu Logika Era Klasik

    Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan semakin berkembang dan meluas ke belahan dunia, termasuk negara-negara Arab. Penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab sudah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah yang mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada periode inilah ilmu pengetahuan benar-benar berkembang pesat dalam dunia Islam. Pada masa al-Ma’mun hingga akhir abad ke-10 muncul banyak penerjemah-penerjemah unggul seperti ibn Muqaffa’, ibn Na’imah, al-Kindi, Hunain bin Ishaq dan lain-lain. Penerjemahan berbagai macam ilmu ke dalam bahasa Arab sudah mulai gencar, termasuk buku-buku filsafat dari Yunani.

    Dalam proses penerjemahan tersebut, para ulama tidak serta-merta menerima ajaran-ajaran filsafat dari Yunani. Pada awalnya pun tidak sedikit dari kalangan ulama yang mengkritisi akan ilmu ini. Seperti, Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin yang mengkritik ajaran-ajaran logika kuno seperti pembahasan definisi, pembahasan silogisme. Sebagiannya lagi memilah, menyaring, dan memperbaiki ajaran-ajaran filsafat tersebut dan meninggalkan ajaran-ajaran yang menyalahi atau menyelisih dasar-dasar agama. Para ulama Islam memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu logika dengan mengurangi pembahasan yang tidak relevan, dan menambahkan pembahasan penting seperti pengamatan (mulahazah), eksperimen (tajribah), serta hipotesa (ifthirad al-furudh) yang semuanya merupakan cikal-bakal dari logika modern (mantiq hadits).

    Banyak dari kalangan ulama Islam yang mengembangkan logika menjadi ilmu yang lebih sistematis, praktis, dan memberikan kebermanfaatan. Sehingga akhirnya bisa memberikan dampak positif pada perkembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu biologi dan lain sebagainya. Dalam ilmu kedokteran kita mengenal Ibn Sina, seorang dokter yang menyembuhkan banyak penyakit dengan pengamalan mulahazah dan tajribah yang merupakan bagian dari logika modern. Ini bisa kita liat dari kitab al-Qanun fi al-Thibb karya Ibn Sina yang menjadi buku pedoman dalam dunia kedokteran di akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dan masih banyak lagi ilmuwan muslim lainnya yang sukses dalam menemukan serta mengembangkan logika modern ini.

    Pada masa ini, Islam benar-benar mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam dunia keilmuan. Ini disebabkan karena Islam adalah agama yang menekankan dan mendorong penganutnya untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sebagaimana yang kita dapati dalam Al-Qur’an surah al-‘Alaq perintah untuk membaca (iqra’). Dan masih banyak lagi dalil-dalil agama yang memerintahkan hal demikian. Di saat yang bersamaan bangsa Eropa justru mengalami kemunduran dalam hal keilmuan dan lebih berfokus pada isu-isu keagamaan. Salah satu penyebabnya dikarenakan kuatnya doktrin gereja yang membatasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Ilmu Logika Era Modern

    Seiring waktu berjalan, ilmu logika yang diprakarsai oleh Aristoteles ini mengalami penurunan. Para kaum peripatetik menjadikan logika sebagai suatu ilmu yang hanya terpaku pada premis-premis (muqaddimah) tanpa memperhatikan realitas dan meneliti kebenaran dari premis tersebut. Mereka juga mengklaim kesesuaian logika Aristoteles untuk semua ilmu secara umum. Tentu ini tidak bisa kita terima begitu saja, melihat urgensi dari mulahazah dan tajribah dalam pembentukan premis agar kiranya bisa menghasilkan konklusi (natijah) yang benar dan tepat. Dan juga setiap ilmu punya metode (manhaj) masing-masing. Masa ini berlangsung sampai awal abad ke-17 M.

    Pada abad ke-13, ketika terjadinya pergerakan keilmuan (al-harakah al-‘ilmiah) para ilmuwan muslim dari negara Arab menyebarkan ilmu pengetahuan ke berbagai pelosok negara termasuk Eropa. Hingga akhirnya muncullah nama Roger Bacon, seorang filsuf Inggris yang banyak mengambil istifadah (manfaat) dari para ilmuwan Islam tersebut. Terkhusus kitab-kitab yang dikarang oleh Ibn Sina, Hasan bin Haitsam, dan ilmuwan Islam lainnya.

   Melihat degradasi keilmuan yang terjadi di bangsanya, Roger Bacon kemudian bertekad untuk kembali membangkitkan khazanah keilmuan di bangsa Eropa yang pada masa itu mengalami kejumudan dan kemunduran. Orang-orang Eropa di masa ini hanya bersandar pada pada logika kuno yang hanya terpaku pada format premis tanpa memperhatikan realitas dan kebenaran dari premis tersebut. Roger Bacon berpendapat inilah sebab dari kemunduran dan kejumudan ilmu pengetahuan di negerinya. Setelah Roger Bacon, muncullah kemudian nama-nama filsuf Eropa lain seperti Leonardo da Vinci, Francis Bacon, John Stuart Mill, dan lain-lainnya.

Titik Evolusi

    Gagasan bahwasanya ilmuwan muslim lebih dulu mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebelum orang-orang Eropa seperti Roger Bacon adalah fakta yang berusaha disembunyikan. Mereka yang mengklaim bahwa ilmu pengetahuan khususnya logika modern itu dikembangkan dari orang-orangnya sendiri, adapun bangsa Arab tidak memiliki peran dalam perkembangannya.  Padahal kenyataannya, para ilmuwan muslim sudah lebih dahulu meletakkan kaidah-kaidah logika modern yang menggunakan metode induksi (istiqra). Senada seperti yang dijelaskan oleh Gustave Le Bon bahwa mulahazah dan tajribah serta cakupan ilmu logika modern yang disandarkan ke Francis Bacon merupakan hasil karya tangan dari bangsa Arab yang harus diakui.

    Para ilmuwan muslim sudah lebih dahulu mempelajari konsep sebab akibat (al-‘illat wa al-ma’lul) serta cara penetapannya sebelum akhirnya diperkenalkan kembali oleh Francis Bacon dan John Stuart Mill setelah beberapa abad. Kita mengenal Ibn al-Haitsam yang sudah lebih dulu menggunakan perangkat keilmuan logika eksperimen yang kemudian diaplikasikan juga oleh ilmuan Eropa seperti Kepler, Galileo Galilei, dan Issac Newton. Ada juga Ibn Nafis, seorang ilmuwan muslim penemu sirkulasi darah dari jantung menuju paru-paru yang kemudian penemuan ini disandarkan kepada ilmuwan berkebangsaan Inggris bernama Harvey. Semua itu adalah penemuan-penemuan yang merupakan bagian dari pengamalan logika modern dari para ilmuwan muslim, sebelum akhirnya diklaim oleh orang-orang Barat.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui mengenai perjalanan ilmu logika dari masa ke masa serta evolusinya dari masa klasik ke masa modern. Para ilmuwan muslim banyak berkonstribusi untuk perkembangan logika sebagai sebuah ilmu yang memiliki manfaat dan pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga peranan vitalnya sebagai ilmu alat bagi ilmu-ilmu lainnya. Begitupula kenyataan bahwa orang-orang Islam sudah lebih dahulu mengetahui dan mengembangkan logika modern sebelum akhirnya diklaim sebagai produk ilmuwan Barat. Maka dari itu, hendaknya ilmu pengetahuan harus selalu dijaga kemurniannya demi mengindahkan amanah keilmuan tanpa dipengaruhi oleh provinsialisme atau fanatisme.

Comments