Ketika Inflasi Mengubah Harga, Apakah Juga Mengubah Nominal Utang?
Oleh:
Sayyid Syahdan Al-Mahdaly
Insiden antara Rusia-Ukraina
berdampak buruk bagi banyak negara, termasuk Mesir. Salah satu yang paling
memprihatinkan adalah memburuknya keadaan perekonomian Mesir sebagai salah satu importir
biji-bijian terbesar di dunia. Alhasil, Mesir berada di ambang kemerosotan.
Harga barang terus naik
seiring berganti hari. Harga gandum sebagai bahan pokok juga semakin
melonjak. Keadaan inilah yang dalam
istilah perekonomian dinamakan sebagai inflasi.
Lantas muncul sebuah
pertanyaan di benak kita, apa dampak yang terjadi terhadap masyarakat karena
hal ini?
Tentang Inflasi; Definisi dan Analogi
Sebelum kita membahas tentang
dampak inflasi dari berbagai segi, alangkah baiknya kita mengetahui maksud dari
inflasi tersebut.
Inflasi menurut peneliti,
Prof. Dr. Al-Maghari Muhammad Abdul Rahman Al-Faqih ialah “Naiknya suatu harga
barang secara berkelanjutan dikarenakan banyaknya mata uang yang dicetak
dibandingkan pasokan barang dan jasa yang tersedia”.
Pengertian tersebut semakna
dengan pernyataan Bank Indonesia (BI), “Inflasi adalah kecenderungan
harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus”.
Definisi di atas sesuai dengan
keadaan yang menimpa Mesir saat ini. Harga sembako seperti telur, beras, ayam,
dan daging sapi terus naik dalam kurun beberapa bulan saja. Sebelumnya, harga
beras hanya kisaran £10
(Sepuluh Pound Mesir), sekarang sudah di kisaran £20-30.
Begitu pula dengan makanan
pokok penduduk setempat itu, yaitu roti isy. Sebelumnya dengan uang koin
£1 saja itu kita sudah
mendapatkan dua lembar roti yang dapat mengenyangkan, namun dikarenakan inflasi
ini, harga isy naik dua kali lipat dari harga biasanya.
Inflasi menyebabkan Pound
Mesir (EGP) tiap harinya semakin melemah sampai pada penghujung bulan Februari
2023. EGP terpukul oleh dolar Amerika Serikat. $1 pada 20 Februari 2023 setara
dengan £30.
Dampak Inflasi di Berbagai Aspek
Bisa dikatakan Mesir dipaksa
menikmati penderitaan akibat inflasi. Karena kelewat mahal, masyarakat perlu
berpikir dua kali untuk membeli
kebutuhan pokok mereka. Minyak, nasi, telur, dan kebutuhan lain terasa semakin
jauh dari jangkauan. Dan tentu, hal ini menyengsarakan terutama masyarakat di
kalangan menengah dan bawah.
Dari segi ekonomi, inflasi
mengakibatkan turunnya tingkat investasi. Menyebabkan mata uang turun sehingga
minat para investor pun ikut menurun, hal ini tentunya akan merusak perputaran
uang bagi perusahaan tertentu di negeri ini.
Inflasi juga membuat biaya
produksi suatu barang akan naik sehingga barang yang siap didistribusi akan
tinggi harganya dan daya saing produk nasional pun menurun. Hal ini juga
mengakibatkan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat,
seperti bertambahnya angka pengangguran, kemiskinan, dan PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja).
Dari aspek sosial, inflasi
juga berdampak pada hubungan masyarakat dalam masalah perhutangan. Hal ini telah
dibahas di permasalahan Fikih Kontemporer.
Apa yang terjadi jika
seseorang meminjam uang kepada teman sebesar £50.000 pada pertengahan 2022 (sebelum
terjadinya inflasi) kemudian ingin membayar utangnya pada awal tahun 2023
(setelah terjadinya inflasi)?
Apakah Si Peminjam tetap
membayar utangnya dengan nominal uang yang sama yaitu £50.000 ataukah membayar utangnya dengan
nilai yang setara dengan £50.000
setelah inflasi? Masalahnya, £50.000 yang dulu telah berubah nilainya dengan £50.000 sekarang setelah inflasi.
Lebih sederhana, kalau harga
produk Indomie sebelum inflasi berkisar £2,5 kemudian setelah inflasi berkisar £5. Maka ketika seseorang meminjam uang £2,5
sebelum inflasi kemudian ketika peminjam hendak membayar hutangnya
setelah inflasi, apakah Si Peminjam membayar hutangnya dengan nominal hutangnya
tersebut yaitu £2,5
atau Si Peminjam membayar hutangnya dengan nilai nominal hutangnya tersebut
yaitu £5?
Hal ini menarik untuk dibahas.
Terkhusus Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) sebagai golongan yang ikut
merasakan dampak dari inflasi ini.
Para ulama kontemporer berbeda
pendapat mengenai keadaan ini. Berikut uraiannya:
Pendapat
Pertama,
yang wajib bagi peminjam ialah membayar nominal uang yang dipinjami saja tanpa
memerhatikan naik atau turunnya kekuatan jual beli pada saat itu. Hal ini
ditujukan agar kedua belah pihak tidak terjatuh dalam perkara riba, yaitu
adanya tambahan pembayaran pada hutang tersebut.
Pendapat
Kedua,
yang wajib bagi peminjam ialah membayar nilai nominal uang yang dipinjami
ketika berakad dengan nilai yang sesuai dengan harga barang tertentu setelah
inflasi.
Jika seseorang meminjam uang £1000 sebelum inflasi, kemudian
nilai nominal tersebut berubah menjadi setara dengan £2000 (akibat inflasi). Maka
peminjam diharuskan membayar hutangnya dengan jumlah £2000.
Pendapat ini bermaksud agar tidak
menzalimi
Si Pemberi utang karena £1000
setelah inflasi hanya setara dengan £500.
Pendapat ini diprakarsai oleh sebagian
peneliti kontemporer seperti Dr. Nasr Farid Wasil dan Dr. Muhammad Sulaiman
al-Asyqar.
Pendapat
Ketiga, membedakan
keadaan antara berubahnya nilai mata uang pada masa tempo dengan keadaan
berubahnya mata uang jika sudah jatuh
tempo. Ketika perubahan tersebut terjadi pada masa tempo pembayaran utang maka
yang wajib bagi peminjam ialah membayar nominal uutangnya.
Jika perubahan itu terjadi
setelah jatuh tempo maka perlu pertimbangan; jika peminjam terlambat membayar
utang pada waktu yang telah ditentukan dalam keadaan kesusahan, maka yang wajib
dilakukannya ialah membayar nominal utang itu juga ketika sudah mampu, jika
terlambat membayar sedangkan dia mampu tapi dia menunda-nunda sampai terjadi
inflasi maka yang wajib baginya adalah membayar nilai nominal hutang tersebut.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Dr. Yusuf Qasim dan Dr. Mahmud
Syair.
Pendapat
Keempat,
wajib bagi peminjam membayar nominal kecuali terjadinya inflasi yang drastis
(nominal yang sama tanpa dipengaruhi efek inflasi), maka dalam keadaan ini
wajib baginya membayar nilai nominal. Dr. Naaji bin Muhammad Syafiq ‘Ajm
merupakan tokoh yang memegang pendapat ini
Pendapat
Kelima, wajib
mengambil tindakan perdamaian antara kedua belah pihak jika terjadi inflasi
yang drastis –seperti terjadinya peperangan- ataukah inflasi yang bertahap
menurun tapi lama kelamaan semakin parah.
Pendapat Yang Terpilih
Adapun pendapat yang dianggap lebih
kuat ialah pendapat kelompok pertama. Ketika suatu yang wajib bagi peminjam
sebelum inflasi kemudian ketika hendak membayar terjadi inflasi ialah membayar
nominal uang dipinjami saja agar tidak terjatuh dalam perkara riba.
Bagi yang memiliki utang sebelum
inflasi, maka ketika hendak membayarnya, yang wajib ialah membayar nominal
hutang tersebut saja. Hal ini mengikuti pendapat yang kuat. Namun tentunya,
kembali lagi terhadap kebiasaan suatu tempat tertentu dalam pembayaran hutang.



Comments
Post a Comment