Rufaidah Al-Aslamiyah: Perawat Pertama dalam Sejarah Islam
Oleh : Muhimma Aini Rahayu
Ketika Rasulullah
menyebarkan agama Islam, kita ketahui bahwasanya perang dengan musuh Islam
tidak dapat dihindari. Sewaktu turun ayat yang menyerukan perintah untuk jihad
fii sabiilillah, seluruh kaum muslimin mengerahkan segala hal yang mereka
miliki guna menegakkan panji-panji Islam. Para lelaki berbondong-bondong turun
tangan, perempuan juga tidak kalahnya turut mengambil peran. Jangankan harta,
jiwa dan raga pun mereka siap pertaruhkan.
Peperangan yang terjadi pada periode itu melayangkan nyawa dan mengakibatkan cacat fisik maupun mental. Ada yang terluka karena tebasan pedang, tertusuk tombak, ataupun dihujani anak panah. Mereka yang menjadi korban kemudian dibawa ke salah seorang muslimah yang paling berjasa dalam hal pengobatan, Rufaidah al-Aslamiyah.
Di antara catatan sejarah, ada yang menuliskan namanya dengan Rufaidah binti Sa’ad al-Aslami al-Kharaj, Ku’aibah binti Sa’ad dan Rumaitsah al-Ansariyah. Namun dari beberapa nama tersebut, yang umum dikenal adalah Rufaidah. Lahir di kota Yatsrib sekitar tahun 597 M, 25 tahun sebelum kedatangan Rasulullah. Sebab itu, ia dianggap sebagai mukhadram, kondisi di mana seseorang hidup di masa jahiliah dan Islam sekaligus.
Sayidah
Rufaidah merupakan putri dari sosok lelaki yang hebat. Ayahnya adalah seorang tabib
terkenal, Sa’ad al-Aslami dikenal sebagai imam para tabib di kalangan
masyarakat Madinah. Bahkan masyarakat pada saat itu beranggapan kalau ayahnya dapat menyembuhkan penyakit melalui doa-doa dan jimat yang ia miliki.
Ilmu pengobatan ayahnya berasal dari Arab, Persia, Romawi, Siria dan India. Ia belajar
melalui relasinya yang merupakan pedagang dari bangsa Arab dan bangsa lainnya. Sang ayahlah yang mengajarkan Rufaidah mengenai dasar-dasar ilmu pengobatan.
Awalnya Rufaidah menjadi
asisten ayahnya dalam mengobati pasien, sesekali melakukan penanganan di
keadaan darurat atau ketika ayahnya sedang tidak ada. Namun ketika ayahnya
melihat keahliannya sudah sangat berkembang, ia memberikan Rufaidah tanggung
jawab untuk merawat pasiennya sendiri.
Di
tengah semua aktivitas yang ia jalani di tempat tinggalnya, Kota Madinah,
Rufaidah mendengar kabar mengenai adanya seorang Rasul di Mekah yang membawa
risalah baru. Risalah keselamatan, yang senantiasa mengajak kepada kebaikan dan
meninggalkan kebatilan. Berangkat dari hal itu, Rufaidah memeluk Islam ketika
Rasulullah hijrah ke Madinah, berbaiat langsung kepada Sang Kekasih Allah.
Sebagai
sosok wanita muslimah, Rufaidah teramat sangat dibutuhkan untuk berada di
belakang prajurit tempur selama proses peperangan, sejak awal hingga akhir.
Karena
telah mengenal syariat Islam, wanita cerdas itu mengubah metode pengobatan
ayahnya dengan menyesuaikan ajaran Islam, membersihkan tempat pengobatan
menjadi tempat yang nyaman; dikarenakan sebelumnya tempat pengobatan tersebut
tidak diperhatikan kenyamanannya, dan menghilangkan metode jimat untuk
mengobati pasien.
Rufaidah
juga selalu
mengingatkan pasiennya untuk senantiasa meminta kesembuhan hanya kepada Allah
dan tidak bergantung dengan jimat yang sebelumnya kerap digunakan ayahnya.
Tak
hanya sampai di situ, Rufaidah terus berusaha memberikan manfaat yang lebih
besar. Ia
mendirikan sekolah keperawatan, memimpin dan mendidik langsung para perempuan
muslim di bidang keperawatan atas izin Rasul. Mereka inilah yang nantinya terkenal dengan
perawat pertama dalam periode Islam dengan sebutan “al-Asiyah” yang di mana
berasal dari kata kerja “aasa” yang mempunyai arti menyembuhkan luka.
Rufaidah dan kelompok al-Asiyah inilah yang turut
membantu dalam mengobati para tentara yang terluka selama
peperangan,
mereka juga membawakan bekal makanan dan minuman untuk semua
orang yang ikut berperang. Guna membantu tugas mulia ini, mereka mendirikan
rumah sakit lapangan yang dikenal dengan nama Khaimah Rufaidah (Tenda
Rufaidah), rumah sakit inilah yang kemudian menjadi tenda palang merah pertama
dalam sejarah manusia. Rufaidah membangun tenda ini pada saat perang Badar,
Uhud, Khandaq, dan perang Khaibar.
Rufaidah tidak hanya
berperan ketika sebelum dan ketika peperangan Islam terjadi, pasca peperangan
pun Rufaidah tetap memberikan bantuan kepada orang lain. Dengan membangun rumah
sakit di samping Masjid Nabawi, ia memberikan pelayanan kesehatan kepada kaum
muslim secara gratis dan juga membantu serta merawat anak-anak yatim.
Atas jasa-jasa Rufaidah yang
begitu besar terkhusus ketika perang, Rasul memberikan penghargaan khusus kepada Rufaidah
dengan memberikannya sebuah kalung yang indah. Saking senangnya atas pemberian Rasul, ia
sampai menyatakan “Demi Allah, kalung ini tidak akan terpisah dari jiwaku,
dalam tidur dan bangunku, sampai aku menemui kematian”.
Bukan hanya dalam dunia Islam, pengaruh Rufaidah dalam bidang keperawatan secara global pun sama besarnya. Setelah menciptakan rumah sakit lapangan dan sekolah perawat, ia juga menciptakan kode etik keperawatan guna mengawasi para perawat yang telah ia didik. Kode etik ini berkaitan dengan bagaimana cara merawat pasien dengan berlandaskan ajaran yang ada dalam agama Islam, yang kemudian kode etik ini berubah di setiap zamannya menyesuaikan kebutuhan yang terdapat pada saat itu.
Dari kisah Rufaidah ini, menyadarkan kita tentang beberapa sifat teladan yang bisa kita tiru. Di antaranya sifat bersungguh-sungguh, yang di mana bisa kita lihat dari kegigihan Rufaidah dalam mempelajari ilmu keperawatan. Bukan hanya bersungguh-sungguh dalam belajar, namun beliau juga dermawan lagi suka menolong, terbukti ketika beliau menyembuhkan orang banyak tanpa pamrih dan merawat anak-anak yatim.
Sebagai perempuan, kita juga bisa mengetahui betapa besarnya peran Rufaidah pada zaman itu. Bagaimana beliau mendidik perempuan-perempuan untuk menjadi perawat demi ikut serta dalam peperangan dan karena jasa-jasa Rufaidah itulah ia diberi penghargaan dari baginda rasul. Hal ini menjadi simbol bahwasanya baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama punya kesempatan yang sama dalam berbuat kebaikan, tidak ada perbedaan sedikitpun diantara keduanya.



Comments
Post a Comment