Ada Apa dengan HAM?

Tulisan ini merupakan hasil dari diskusi kelompok dimensi literasi yang membahas tentang isu HAM, khususnya HAM pada konsep kebebasan berekspresi. Sebuah dilematis antara kebebasan mutlak dan adanya batasan pada kata HAM tersebut. Dengan konsep diskusi antara dua kelompok yang saling adu argumen, diskusi itu pun berjalan dengan beragam pandangan yang saling pro-kontra.

HAM dan Kebebasan Berekspresi

Andi Tenri, salah satu anggota dari dua kelompok diskusi tersebut menyatakan pandangannya bahwa kebebasan berekspresi yang melekat pada HAM adalah bentuk kebebasan secara mutlak yang dicetus oleh pemikiran barat, di mana mereka menancapkan HAM yang bersifat antrofosenstrik yakni manusia dilihat sebagai pemilik mutlak sehingga memiliki kekuasaan penuh.

Namun, dikarenakan beberapa dari nilai-nilai yang terkandung dalam HAM dan tidak sesuai dengan norma ataupun aturan sosial yang berlaku di negara-negara seperti Indonesia ataupun negara Islam lainnya. Maka nantinya HAM ini disaring kembali dan disesuaikan dengan Undang-Undang di setiap negara.

Dengan demikian HAM dan kebebasan berekspresi, baik secara mutlak ataupun terbatas, itu tetap berpotensi menjadi salah satu faktor penyimpangan sosial. Selain itu, dapat dikatakan ini merupakan hasil dari penyuaraan dan kesadaran akan kewajiban-kewajiban sosial yang tidak diberikan porsi yang sama sebagaimana propaganda HAM yang terus disuarakan dan diangkat ke permukaan.

HAM dan Kebebasan Mutlak

          Di sisi lain, kelompok satunya lagi berpandangan bahwa HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan (kesetaraan) dan hak kebebasan (merdeka). Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Akan tetapi makna kebebasan dalam perspektif HAM, orang orang masih kerap keliru dalam memahami serta meyimpang dari esensi hak kebebasan yang sebenarnya.

Kebebasan merupakan salah satu hak manusia yang tidak dapat diganggu dan dipertentangkan lagi tanpa alasan yang benar. Lawan dari kebebasan adalah perbudakan, dan tidak ada satu pun yang berhak memperbudak orang lain serta menundukkan mereka demi tujuan-tujuannya, lalu merenggut hak kebebasan mereka dalam memilih apa yang mereka inginkan tanpa adanya tekanan maupun paksaan.

          Dari sinilah Umar bin Khattab pernah berkata, "Semenjak kapan jalan memperbudak manusia, sedangkan mereka telah dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?"

Namun, hak kebebasan bagi manusia ini bukanlah hak mutlak, dan selamanya takkan pernah bisa menjadi hak yang mutlak. Sebab, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri di dunia ini. Di sana terdapat orang lain yang juga turut hidup bersama mereka dan memiliki hak kebebasan persis dengan mereka. Oleh karena itu, harus ada penyelarasan antara hak-hak mereka, agar hak kebebasan ini tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu tanpa sekelompok yang lain. Mereka sama rata dalam hak tersebut, tanpa memandang gender, ras dan keyakinan mereka. Neraca kemanusiaan itulah satu-satunya yang dijadikan patokan.

Islam dalam hal ini telah meletakkan sebuah kaidah umum yang mengatur hubungan antara manusia.

Dalam konteks ini telah terdapat sebuah kaidah yang mengatakan:

 “لا ضرر ولا ضرار"

"Tiada bahaya atas diri sendiri dan tiada membahayakan pihak lain."

Maka jika seseorang ingin menerapkan kebebasan, hendaknya penggunaan kebebasan ini tidaklah melukai perasaan orang lain dengan bentuk apa pun. Ini adalah kaidah yang diketahui, dan masyarakat di negara maju pun senantiasa menjaga diri untuk tidak saling mengganggu satu dengan yang lain, serta saling menghargai hak orang lain. Segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang harus diperhatikan agar tindakan tersebut, tidak membahayakan orang lain dan jika menimbulkan bahaya bagi orang lain dengan bentuk apapun maka harus diberhentikan dan dicegah agar tidak terjadi, demi menjaga hak orang lain.

Jadi kesimpulan dalam memaknai kebebasan dalam perspektif HAM, jika ditinjau dari neraca kemanusiaan dan akhlak maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk melangkahi hak orang lain dengan alasan bahwa ia bebas melakukan apa saja. Benar, dia bebas melakukan apa saja, tapi dengan syarat tidak mengganggu kebebasan orang lain dalam hak mereka. Ini artinya, tidak ada kebebasan mutlak bagi manusia di dunia ini, yang ada adalah kebebasan terorganisir yang diatur oleh Undang-Undang, norma sosial, akhlak dan agama. Kemudian masyarakat dan negara berperan dalam merawat serta menjaganya.

 


Comments