Serangan Mendadak Hamas, Perlawanan atas Penjajahan yang Tak Kunjung Usai

Gambar: (Dok. BAIT)

Penulis: Muhammad Naufal, Lc. | Editor: Ismail Sanusi

”Satu-satunya solusi dari berbagai solusi yang buntu adalah pengakuan atas kemerdekaan Palestina oleh dunia internasional. Terhitung per April, 2022 hanya 138 dari 193 anggota PBB yang mengakui kemerdekaan Palestina”.


Pasukan Hamas (7/10/) berhasil memberikan serangan kejutan dan memborbardir Israel dari berbagai penjuru, darat, laut dan udara. Serangan tersebut dimulai dini hari dengan lesatan 5.000 roket ke utara dekat perbatasan Gaza. Bahkan 150an roket juga diarahkan ke Tel Aviv, ibukota Israel. Serangan ini menewaskan setidaknya 260 warga Israel di wilayah selatan Israel, bersamaan dengan festival musik kala itu. Dikatakan pula bahwa serangan ini adalah yang terparah sejak perang Yom Kippur antara Israel dengan aliansi Arab yang dipimpin Mesir dan Suriah, 50 tahun yang lalu.

Sehari kemudian (8/10), Israel secara resmi mengumumkan perang dan melancarkan serangan skala besar ke jalur Gaza. Baku tembak antara kedua pihak menjadi tidak terelakkan. Hingga hari kedua situasi memanas ini, tercatat lebih dari 2.700 korban nyawa telah melayang dari kedua belah pihak bahkan hingga saat ini korban masih terus bertambah. Belum termasuk luka berat dan luka ringan yang diperkirakan akan terus bertambah hingga beberapa hari ke depan.


Tamu yang Berbalik Menyerang Tuan Rumah


Konflik antara Palestina dan Israel bukan terjadi setahun dua tahun kemarin. Ini adalah konflik panjang berusia puluhan tahun sejak kedatangan pengungsi Yahudi dari Barat ke bumi Palestina. Sambutan hangat masyarakat Palestina untuk para pengungsi ini malah dibalas dengan perebutan tanah yang berakhir dengan penjajahan, alih alih persahabatan.

Migrasi Yahudi dari Eropa ke Palestina awalnya dimulai sekitar tahun 1918,  dibawah payung legitimasi perjanjian Sykes-Piscot dan Deklarasi Balfour, Inggris (2/11/1917) yang mendukung gerakan zionisme dan pendirian negara Israel di Palestina. Sejak saat itu, warga Yahudi mulai bertambah secara terus menerus dari tahun 1920-1940an.

Kontak senjata antara Israel dan Dunia Arab akhirnya terjadi pada tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel (14/5/48). Hari itu kemudian dikenal dengan Hari Nakba atau Malapetaka Besar, yaitu pengusiran besar-besaran warga Palestina dari tanah leluhur mereka. Akibatnya mereka terpaksa keluar dan menetap di kamp-kamp pengungsi di tepi Barat (Jordania), Jalur Gaza, dan Suriah.


Sikap Hipokrit Dunia Barat


Sehari setelah serangan Hamas berhasil menembus jantung pertahanan Israel, Tel Aviv, dunia Barat beramai-ramai mengutuk tindakan pasukan Hamas. Kekerasan, tindakan gila, tidak berprikemanusiaan, aksi teror, dan lain-lain dilekatkan pada mereka. Menyusul bantuan-bantuan kemanusiaan dan pemulihan ekonomi oleh Eropa distop tidak lama setelahnya. Tindakan ini dengan jelas mempertontonkan kemunafikan Barat dalam merespon segala bentuk tindak kekerasan. Ketika serangan dimulai oleh Israel mereka diam, bungkam seribu bahasa. Namun ketika Palestina yang memulainya, mereka dengan lantang berkoar-koar mengenai pentingnya menjaga stabilitas dan perdamaian. Aneh memang, namun inilah fakta menyakitkan yang kita saksikan sekarang.

 Resolusi perdamaian sejak tahun 1988 yang diusung PBB nyatanya gagal membuahkan hasil. Sebagai lembaga otonom yang berusaha menjaga perdamaian dunia, PBB telah kehilangan wibawanya, menjadi lemah tak berdaya dihadapan kedigdayaan Amerika dan sekutunya. Akibatnya Barat tidak pernah memandang bahwa situasi berbahaya saat ini adalah akibat dari pendudukan Israel yang terus berlanjut, perampasan dan pelanggaran hak-hak  rakyat Palestina, juga tindakan provokasi yang sistematis.


Masa Depan Dunia Arab-Israel


Penyerangan secara mendadak oleh pasukan Hamas dinilai terjadi setelah isu normalisasi  Saudi-Israel kiat menguat. Adalah Amerika Serikat, dalang dibalik keinginan ambisius ini. Joe Biden (9/7/) bahkan menyatakan bahwa meskipun harus melewati jalan yang panjang, normalisasi tetap harus dilakukan, sebagaimana normalisasi hubungan Saudi-Iran yang dijembatani Tiongkok. Melihat hal ini, pengamat menilai bahwa masa depan cerah hubungan dunia Arab-Israel selangkah lagi menjadi sempurna.

 Sebenarnya negeri Petro dollar tersebut bukanlah yang pertama membicarakan normalisasi hubungan diplomatik. Sebelumnya ada Unit Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan yang telah lebih dulu meresmikan hubungan diplomasi dengan Israel melalui kesepakatan Abraham Accords yang dimediasi oleh Donald Trump pada tahun 2020. Kesepakatan ini dinilai sebagai bentuk pengkhianatan atas solidaritas rakyat Palestina dan Al-Quds. Sebagai bentuk protes, presiden Palestina, Mahmud Abbad menarik duta besarnya dari Abu Dhabi.

 Jika mundur lebih jauh ke belakang, kita akan mendapati bahwa perjanjian non agresi dan perdamaian telah dilakukan Mesir, tepatnya setelah negara itu berhasil merebut Kembali semenanjung Sinai dalam perang Oktober, 1977. Jordania, 1994 juga menyusul mengadakan perjanjian damai setelah menyelesaikan sengketa kedua negara tersebut.

Dari rangkaian peristiwa ini, tidak salah apabila kita mengatakan bahwa sekarang Palestina berjuang sendirian dalam menghadapi penjajahan Israel. Memang Iran kerap dinyatakan  mengadakan bantuan perlengkapan dan persenjataan untuk pasukan Hamas, namun dalam menyuarakan hak-hak rakyatnya di panggung internasional, Palestina telah kehilangan dukungan dari dunia Arab. Palestina benar-benar terisolasi dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi tindak kekerasan tepat di depan mata mereka.


Comments