Kamu Pemuda Azhary? Wajib Baca Ini!

Gambar: (Sc. Google)

Kairo, BAIT— 28 Oktober 1928, sebuah hari yang sangat bersejarah bagi para pemuda Indonesia. Telah tercatat peristiwa tersebut menjadi awal lahirnya sikap nasionalisme pemuda di masa itu, dan juga fakta historis menjadi bukti bahwa pemuda sebagai perintis gerakan perjuangan, pembaruan dan pembangunan.

Oleh karena itu, sebagai pemuda pemudi bangsa yang mengaku menghargai perjuangan para pahlawan kemerdekaan dengan persatuan yang sudah tertanam dalam nilai-nilai sumpah pemuda dan melanjutkan kembali cita-cita bangsa hingga terwujud. Sehingga hal ini pun menggambarkan bagaimana seharusnya pemuda bersikap.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, melihat banyaknya kemirisan yang hadir saat ini di mana kondisi pemuda yang rasa nasionalisnya itu mulai pudar serta moral dan akhlaknya telah terkikis oleh perkembangan zaman yang begitu pesat.

Terkait dengan permasalahan yang telah disebutkan, kalau kita hubungkan dengan pemuda azhar apakah rasa nasionalisme dan nilai-nilai sumpah pemuda masih melekat pada mereka atau justru sebaliknya?  Berangkat dari hal tersebut, kami dari kru bait telah melakukan sesi wawancara bersama salah satu penasihat FK-Baiquni sekaligus guru kami Ustaz Bahtiar Nawir, Lc,. Dipl., yang akan diterangkan dalam tulisan ini.

Perbedaan Mahasiswa al-Azhar Sekarang dan Dulu

Dikutip dari perkataan beliau, pemuda dulu itu hidup di zaman di mana teknologi belum berkembang seperti handphone, laptop, akses internet dan lain sebagainya. Pemuda dulu menyibukkan diri dengan membaca, menulis diskusi ilmiah, dan juga aktif talaqqi bahkan semua itu dibaluti dengan ketekunan dan keseriusan belajar.

Namun sebaliknya, dengan kemudahan dan teknologi yang ada tentu berdampak positif dan negatif untuk pemuda zaman sekarang. Misalnya, memberikan kemudahan dalam mengakses informasi tanpa kenal waktu dan tempat. Di sisi lain, mereka bisa memperoleh ilmu tanpa memerlukan pengajaran guru sehingga tidak sedikit dari mereka yang belajar secara otodidak baik itu dengan cara menonton video atau sekadar mendengar rekaman.

Dari hal itu pun Ustaz Bahtiar menilai, “Seorang yang pintar pastinya akan ditanya dengan siapa kau berguru, karena murid yang hebat dibentuk oleh guru yang hebat,” hal ini ia ungkapkan karena pemuda sekarang cara belajarnya kebanyakan ditempuh di depan layar dibanding di depan guru secara langsung.

Hal ini pun senada dengan perkataan Ibnu Farabi bahwasanya di akhir zaman, Allah memudahkan tiga hal salah satu di antaranya, “Allah memudahkan ilmu tetapi kurangnya ulama”. Sekarang sudah berbeda,  maktabah ada di mana-mana, bahkan sudah ada buku yang disajikan berbentuk PDF e-book tanpa menyulitkan kita membawanya dalam bentuk fisik, bahkan kita juga bisa mendapatkannya dengan sekali klik saja.

Namun sebaliknya, dulu kitab atau buku yang ada di maktabah hanya sedikit. Akan tetapi, keterbatasan buku-buku tersebutlah yang membuat pemuda zaman dulu itu lebih menguasai setiap cabang ilmu dan memaksimalkan buku-buku yang mereka punyai sehingga memunculkan kreativitasan mereka.

Terkait hal ini Ustaz bahtiar juga menambahkan, “Pemuda dulu itu tekad belajarnya kuat tapi dibatasi dengan fasilitas yang tidak memadai. Andai saja pemuda masa kini lebih menggunakan teknologi untuk memperluas wawasan keilmuan mereka maka bisa dipastikan pemuda hari ini lebih baik ketimbang dulu diranah keilmuan.” Hal itu ia sampaikan karena melihat pemuda sekarang justru lebih malas dibanding dulu. Mereka lebih banyak menggunakan kemajuan teknologi sebagai akses hiburan dibanding  penunjang untuk memudahkan belajar, di mana mereka hanya berleha-leha dan membuang waktu begitu saja.

Mahasiswa al-Azhar Merekonstruksi Moral dan Akhlak Dikancah Politik

Pemuda pemudi azhary tentunya memiliki peranan khusus dalam melakukan perubahan dan bukan hanya sekadar belajar agama saja. Akan tetapi, mereka juga perlu merekonstruksi moral dan akhlak yang mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman.

Di sisi lain, keterkaitan antara politik dan moral pastinya perlu kita soroti karena hingga kini kebanyakan yang sering kita dengar adalah politik itu kotor. Ustaz Bahtiar juga menanggapi hal tersebut bahwasanya politik yang kotor itu adalah politik mutlak yang dianut oleh orang barat. Berbeda dengan politik yang dianut oleh al-Azhar. Beliau juga menekankan bahwa pemuda azhary perlu memperhatikan ekonomi, jangan hanya terbatas di agama saja. “Perhatikan politik karena sekarang anda dibutuhkan, pesannya”.

Di Indonesia tidak kekurangan orang pintar tetapi kekurangan orang pintar yang bermoral. Para guru dan ulama sudah memperlihatkan contoh, maka kita sebagai pemuda azhary harus mengikuti jejak mereka. Karena ketika seorang azhary sendiri telah mumpuni di bidang agama, ekonomi, dan politik, maka negara kedepannya akan sukses dan maju.

Berangkat dari sebuah penggalan perjuangan dalam Ikrar Sumpah Pemuda, rasanya tak elok jika generasi muda sekarang tidak melanjutkan perjuangan pemuda dulu untuk mengabdi kepada negara. Terlebih Indonesia digadang-gadang akan menjadi negara maju yang akan mendominasi dunia yang dikenal dengan istilah “Menuju Indonesia Emas 2045”. Oleh karena itu, pemuda dituntut agar bisa ikut andil dalam pembangunan. Karena dengan berpolitik adalah salah satu cara yang mampu memberikan perubahan yang signifikan.

Stigma Mahasiswa al-Azhar Minim Politik

Timbul sebuah tudingan buruk terhadap Mahasiswa al-Azhar, salah satu contohnya pada acara seminar 2000 Lc Untuk Negeri salah satu pematerinya yaitu  K.H. Imam Jazuli, Lc., M.A., “Alumni al-Azhar itu lemah di bidang sosial politik, sains dan non-agama, dan juga ia mengaminkan hal demikan bahwasanya tidak sedikit mahasiswa al-Azhar hanya ahli di bidang agama saja.

Timbulnya stigma bahwasanya Mahasiswa al-Azhar minim berpolitik ataupun pendidikan non-agama merupakan persepsi yang muncul di masyarakat yang disebabkan oleh kondisi pada masa pasca sebelum reformasi Mesir.

Berbeda dengan sekarang, kita melihat di Mesir yang sekarang sudah begitu maju dan salah satu perkembangan tersebut merupakan peranan azhar di ranah keilmuan dan politik sosial. Kita bisa menilik jejak para alumni azhar di bidang politik setelah reformasi, Dr. Usamah Azhary menjadi penasihat presiden Mesir, begitupun Dr. Ma’bad pernah duduk di parlemen dan juga Syeikh Prof. Dr. Ali Jum’ah pakar di bidang politik bahkan Syekh Ali Jum’ah membuat suatu narasi tentang Maqhasid  Ad-din  sittah : hifzh al-diin (Menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga nyawa), hifzh al-'aql (menjaga akal), hifzh al-maal (menjaga harta), hifzh 'al-'irdh wa al-nasl (menjaga kehormatan dan keturunan) dan hifzh wathaniyyah (menjaga Negara).

Pada poin yang keenam, Syekh Ali Jum’ah menambahkan hifzh wathan karena dengan berpolitiklah yang menjadi salah satu cara menjaga negara dan melestarikannya. Sehingga dari narasi tersebut, artinya azhar membuka gerbang bahwa sudah saatnya kita berpolitik, bukan hanya menekuni di bidang agama saja tetapi juga sosial politik agar tercapainya poin keenam (hifzh wathan).

Pemuda Azhary tentu harus tau cara menyeimbangkan dan menyinkronkan antara agama dan perubahan zaman “المسلم عالم بشأن عارف بالزمان” orang muslim itu harus tau kondisinya dan harus tau keadaannya. Kenapa dulu Mahasiswa al-Azhar tidak hidup dalam politik? Karena kondisi tekanan politik yang terjadi pada masa itu berbeda dengan sekarang. Saat ini sudah bebas makanya tak heran kebanyakan anggota berekonomi, berbisnis, dan berpolitik.

Jadi Masisir mempunyai perananya kedepan untuk tanah air sangat penting, makanya tidak jarang didapati di beberapa daerah alumni azhar sendiri mempunyai otoritas di pemerintahan karena kebanyakan dari mereka belajar politik secara praktis juga belajar ekonomi secara mandiri, jelasnya dalam sesi tanya jawab.

Peran Masisir dalam Mengimplementasikan Nilai-nilai Sumpah Pemuda

Al-Azhar merupakan universitas tertua kedua di dunia yang menganut manhaj washatiyah La ifrath wa la tafrith, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, dalam artian berada di tengah-tengah yang tentunya mengedepankan nasionalisme. Jika kita mengaitkannya dengan nilai sumpah pemuda, tentu Masisir mempuyai peran penting di balik nilai-nilai tersebut. Kemudian apabila kita tinjau lebih jauh, antara sumpah pemuda dan manhaj al-Azhar, terdapat titik temu yaitu nasionalisme dan persatuan.

Lantas sebagai Mahasiswa al-Azhar, bagaimana cara mereka untuk mengiplementasikan  keduanya dalam nilai-nilai nasionalisme dan persatuan?

Sebagai generasi muda, tentunya agak sulit untuk menerapkan tersebut terhadap dua hal yaitu nasionalisme dan persatuan. Salah satu penyebabnya adalah munculnya paham egoisme dan ekstremisme, yang menjangkiti para pemuda. Pemikiran inilah yang kemudian mengikis nilai-nilai  falsafah sumpah pemuda.

Singkatnya, sampai di sini kita telah menemukan benang merah di balik perseteruan antara pemikiran ekstremisme dan manhaj al-Azhar yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi dan nasionalisme.

Bisa dikatakan bahwasanya dengan manhaj azhar, kita bisa memerangi paradigma yang tidak senada dengan nilai sumpah pemuda itu sendiri. Sebagai azhary, peran utama kita adalah mempelajari dan menekuni ilmu-ilmu yang diajarkan para masyayikh  al-Azhar. Sehingga pemuda pemudi azhar bisa mengimplementasikan nilai –nilai sumpah pemuda (nasionalisme dan persatuan), juga membendung pola pikir yang mengantarkan kepada penyimpangan.

Barangkali dinamika yang dialami azhary adalah memahami nilai sumpah pemuda tetapi tidak mengamalkannya, bahkan bisa jadi sama sekali tidak memahami nilai-nilai sumpah pemuda. Jadi, “kunci untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai sumpah pemuda adalah pemahaman yang selaras dengan kesadaran,” ujar beliau.

Betapa banyak kasus yang terjadi di Indonesia, seperti korupsi, penggelapan, dan penyelewengan, yang pelakunya dari kalangan pejabat terdidik, tetapi karena kurangnya moral dan akhlak sehingga mereka melakukan hal demikian.

Nilai-nilai sumpah pemuda bisa terealisasi jika ilmu bergandengan dengan amal, adab dan akhlak. Ibarat ketika seseorang berjalan dalam keadaan pincang tanpa kedua kaki maka pasti sulit untuk mencapai tujuan. Sementara keistimewaan azhary  adalah mereka bisa menyelaraskan antara dunia dengan akhirat, ruh dengan jasad, akal dengan hati.

Di akhir sesi Tanya jawab beliau berpesan “Wahai pemuda azhary, jangan mengambil apa yang bisa diambil oleh negara. Akan tetapi kerahkan seluruh kemampuanmu untuk mnghasilkan sesuatu yang mutakhir untuk negara”.

Reporter: Ashabul Kahfi

Editor: Akmal Sulaeman

 

Comments