Refleksi Singkat Hari Pahlawan: Kilas Balik Prinsip dan Harapan Ki Hajar Dewantara dan Bung Hatta untuk Bangsa ke Depannya
![]() |
| Gambar: (dok.BAIT |
Oleh: Ahmad Faqih Al-Fadhli
Para pahlawan telah menumpahkan darahnya demi melindungi negeri
kita tercinta ini, dan setiap tetes darah dari mereka pasti juga memiliki
sebuah tetesan pengharapan terhadap bangsa yang ia perjuangkan ke depannya. Namun apakah kita sebagai bangsanya saat ini telah
berhasil memberikan sesuai dengan apa yang mereka ekspektasikan?
Lahirnya generasi
dengan karakter yang baik, jujur,
dan bermoral
adalah harapan para pahlawan kita. Hal itulah yang mereka yakini tatkala turun
berjuang demi memerdekakan bangsa. Bagaimana agar orang-orang yang lahir
setelah mereka dapat merasakan kebebasan serta keleluasaan untuk berkreativitas
dan berkarya.
Namun, yang
terjadi di realita saat ini justru sebaliknya. Generasi kita, sadar atau tidak,
malah mempersempit keleluasaan yang para pahlawan tersebut telah perjuangkan di
masa lampau. Negara kita terus diterjang dengan konflik-konflik yang
menghalanginya untuk maju, baik dalam skala besar maupun kecil. Seperti
narkoba, korupsi, pembunuhan, pelecehan seksual, dan sebagainya.
Sebagai contoh, kasus
narkoba di Indonesia saat ini kian melunjak, Kepala Badan Narkotika Nasional
Komisaris Jendral Petrus Reinhard Golose mengatakan, pravelensi pengguna
narkoba di Indonesia tahun 2021 adalah sekitar 1,95% atau naik 0,15% dari tahun
2019, yakni sebesar 1,80%. Itu berarti sekitar 3,99 juta jiwa di Indonesia.
Belum lagi kasus korupsi, di mana pada semester pertama tahun 2023 KPK sudah menerima 2.707 laporan dugaan
korupsi dalam ruang lingkup pemerintahan. Terdapat kasus-kasus lainnya seperti
pembunuhan, yang meskipun presentasi tahunannya turun, angkanya masih tetap berada
di ranah yang bisa dibilang menakjubkan. Bayangkan saja, lebih dari 3000 nyawa
melayang akibat dibunuh dalam 4 tahun terakhir ini.
Contoh-contoh di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana kesenjangan antara kondisi kita saat ini dengan apa yang diharapkan oleh para pahlawan di masa perjuangan mereka. Melihat fenomena ini, saya sebagai penulis ingin sedikit mengajak kita untuk bermediasi kembali, setidaknya dengan sejarah dan pemikiran beberapa tokoh pejuang bangsa ini. Hal ini diperuntukkan sebagai refleksi ulang bagi diri kita masing, perihal adanya harapan yang dibebankan di pundak kita sebagai calon penerus bangsa ini, baik secara individu ataupun komunitas.
1. Ki Hajar Dewantara, Sang Bapak Pendidikan
Ki Hajar Dewantara
atau yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Riwayat
pendidikannya dimulai di ELS (Eurespeeche Lagere School), lalu dilanjutkan ke
STOVIA yang merupakan sekolah dokter pada tahun 1905. Menariknya, Ki Hajar
Dewantara pada dasarnya tidak pernah menamatkan sekolah tingginya, salah satu
alasannya adalah karena dirinya yang dianggap kerap sakit. Namun, sejumlah
sumber lain mengatakan bahwa pemerintah Belandalah memutus beasiswanya di tahun
1910.
Kendati demikian,
seperti yang dikutip dari Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap karya
Minarwati, Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang gemar mencari ilmu dan lapar
akan hal-hal baru. Di mana selain aktif di Budi Utomo demi menstimulasi
kesadaran masyarakat untuk bersatu mewujudkan kemerdekaan, ia juga aktif
menjalani peran sebagai wartawan dan menulis di beberapa surat kabar pada masa
itu seperti Kaoem Moeda, Midden Java, dan Oetoesan Hindia. Selain itu, ia
jugalah sosok yang memprakarsai Indische Partij, partai politik nasionalisme
pertama bersama Douwes Dekker, dan Dr. Cipto Mangunkusumo.
Namun, di antara
semua yang telah ia bangun dan geluti di masa perjuangannya, yang paling
berdampak dalam salah satu aspek kemajuan bangsa adalah didirikannya Taman
Siswa pada tahun 3 Juli 1922. Berawal dari diasingkan ke Belanda akibat
pergerakannya, Ki Hajar Dewantara memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
mendalami masalah pendidikan dan pengajaran di sana, hingga memperolah
Eusropeeshe Akte, ijazah Pendidikan bergengsi di Belanda. Setelah itu barulah
ia kembali ke tanah air, dengan fokus untuk membangun pendidikan sebagai salah
satu alat untuk meraih kemerdekaan.
Dalam filosofi
pendidikannya, selain menyisipkan nilai-nilai dan semangat kebangsaan, Ki Hajar
Dewantara juga berfokus untuk menanamkan prinsip memanusiakan manusia, sehingga
ide kemerdekaan muncul bukan hanya karena idealisme terhadap bangsa, tapi lebih
kepada karena kita sama-sama manusia, maka kita punya hak yang sama untuk
merdeka.
Selain itu, filosofi pendidikannya juga secara
implisit membawa warna kemerdekaan itu sendiri. Di mana sistem yang ia ampu
lebih menitikberatkan pada keleluasaan bagi seseorang untuk belajar sesuatu
yang ia ahli, pun minati di bidang tersebut. Menurutnya, pengajaran tidak boleh
membebankan aspek kualitatif pada siswa. Namun, lebih pada upaya meningkatkan
kemerdekaan murid yang memiliki budi pekerti dalam belajar mengeksplorasi
kompetensi diri sesuai latar belakang sosial dan emosionalnya sendiri.
Sebagai contoh,
bisa kita lihat dari bagaimana status seorang anak yang mendapat rangking
paling bawah di antara teman-temannya. Umumnya, anak-anak semacam ini akan
mendapat julukan sebagai si bodoh, pemalas, dan lain-lain baik dari teman-teman
sekolahnya, ataupun dari para guru. Di sisi lain, ternyata si anak ini punya
kelebihan di bidang seni dan olahraga, sayangnya hal itu tidak terlalu berarti
sebab nilainya secara keseluruhan masih bobrok.
Dengan sistem yang
berlaku sekarang, meskipun mungkin akan ada beberapa orang yang menyadari
kecenderungannya terhadap suatu bidang, dan kelemahannya di bidang lain. Tapi
hal itu juga tidak dapat membantu si anak, sebab sistem mengharuskannya belajar
dan pintar secara kualitatif.
Akibat yang tidak
banyak disadari banyak orang adalah matinya secara perlahan gairah dan semangat
si anak untuk terus mendalami sesuatu yang ia punya potensi di dalamnya. Ada
banyak faktor, selain karena fokusnya harus terbagi untuk mempelajari hal yang
lain dengan komposisi pelajaran yang sama beratnya di setiap subjek. Ada juga
sebab psikologis, di mana sang anak secara bertahap akan berpikir bahwa ia
tidak kompeten, dan kelebihan yang ia miliki tidaklah memiliki urgensitas
tinggi. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan diri dan pola pikir sang anak
dalam pertumbuhannya. Tidak menutup kemungkinan ia akhirnya akan berujung
kehilangan kemahiran juga arah dalam proses tumbuh kembangnya.
Saya sendiri tak ingin
secara eksplisit mengkritik sistem pendidikan saat ini, yang mengharuskan para
murid untuk mendapatkan nilai bagus di semua subjek. Namun, lebih kepada ingin
menyadarkan kita terkait adanya kesenjangan yang terjadi antara prinsip dan
harapan yang dibawa Ki Hajar Dewantara dan kondisi kita saat ini.
Hal ini perlu
menjadi perhatian bagi kita. Tidak perlu dengan pergantian sistem pendidikan
secara signifikan (kita akan membicarakan itu dalam situasi dan kondisi yang
lebih memungkinkan). Namun, bisa dimulai dari kesadaran kecil dari tiap
individu dan komunitas yang bergerak dalam aspek terkait, tentang pentingnya untuk
memberikan perhatian lebih pada problematika ini.
Para guru harus
lebih memperhatikan kecenderungan bakat dan minat para siswa. Jika saja
nilai mereka anjlok di kelas, ketika kita sudah sedikit banyak paham ke arah
mana siswa kita akan melangkah, meskipun misalnya kita tidak ahli di bidang
itu, kita akan punya referensi terkait hal-hal tersebut, dan punya ide
bagaimana ia bisa tetap percaya pada diri sendiri, dan bakat yang ia punya
tentunya. Mewujudkan kemerdekaan belajar yang menjadi prinsip dan harapan sang
Bapak Pendidikan.
Sementara bagi
para siswa, kita sendiri (karena sistem memang kebanyakan tidak mendukung),
harus menanamkan rasa lapar dan haus akan ilmu pengetahuan, dan kesadaran bahwa
pembelajaran tidak hanya berhenti sampai di kelas, bahkan sekolah saja. Kita
harus paham bahwa salah satu faktor yang dibutuhkan untuk mewujudkan kebebasan,
adalah perasaan bebas itu sendiri. Bagaimana kita melihat dunia sebagai ladang
untuk kita terus belajar hal-hal baru, tanpa iming-iming ataupun ancaman dari
nilai dan rangking.
Kebebasan semacam
itulah yang diimpikan oleh Ki Hajar Dewantara, bagaimana ia melihat masa depan
tatkala belajar dan berjuang untuk meningkatkan mutu pendidikan di negerinya
tercinta.
2. Drs. Mohammad Hatta, Pejuang Gagasan dan
Idealisme Bangsa
Drs. Mohammad
Hatta merupakan nama selanjutnya yang akan kita bedah prinsip dan harapan
hidupnya untuk Indonesia. Terkenal dengan semangat belajar yang tinggi sejak
usia dini, Hatta kecil dikisahkan sudah dapat membaca dan menulis sendiri
bahkan sebelum masuk ke Sekolah Rakyat. Di mana untuk ukuran pendidikan pada
masa itu, hal tersebut merupakan hal yang sangat luar biasa.
Tidak berhenti
sampai di situ, setelah tiga tahun di Sekolah Rakyat, ia pindah ke ELS. Sebelum
akhirnya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tingginya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), kemudian ke Prins Hendrick School (PHS)
Jakarta. Dalam perjalanan masa pendidikannya, Hatta dikenal sebagai seseorang
yang gemar membaca, dan juga meminati bahasa Belanda sejak kecil.
“Sama kata dengan
perbuatan,” adalah prinsip yang tegas dari Bung Hatta untuk pembentukan
karakter seseorang. Ia dikenal sebagai sosok yang tidak pernah mengubah niat
atau janji yang sudah disampaikan. Apalagi dalam posisinya yang termasuk dalam
jajaran pemimpin bangsa, menepati janji kepada rakyat sudah merupakan sebuah
keharusan. Hal ini diucapkan oleh sang putri pertama dari pasangan Bung Hatta
dan Rachmi Rahim, Meutia Farida Hatta.
Prinsip ini
sedikit banyak akan membantu kita agar lebih terarah dalam berkata dan berbuat.
Tidak hanya tentang bagaimana kita berusaha dan berjuang sekuat mungkin untuk
menuntaskan janji-janji yang telah kita ucapkan. Namun, juga untuk lebih
berhati-hati sebelum mengucapkan janji-janji tersebut.
Dalam sebuah
webinar dengan tema Membangun Keteladanan Bung Hatta, Andrianof Chaniago
selaku pemateri juga menyebutkan bagaimana kuatnya karakter pendidikan dan
gagasan-gagasan Bung Hatta telah menjadi dasar dan penopang idealisme bangsa
ini selama bertahun-tahun. Hal ini pun disebabkan oleh bagaimana ia begitu
tekun dan ulet dalam menata dan memperjuangkan jiwa kritis bangsa.
Kejujuran
merupakan garis besar yang ingin penulis bawa terkait apa yang Bung Hatta
harapkan pada bangsa saat ini. Selain dalam hal menepati janji, tanggung jawab
atas setiap gagasan yang kita ucapkan, berbicara dan berdialog sesuai dengan
pengetahuan yang kita punya. Juga untuk terus menyadari bahwa jika kita ingin
terus berbicara, maka kita juga harus terus belajar dan membaca. Menambah
pengetahuan kita setiap hari, setiap saat.
3. Kesimpulan
Pada dasarnya ada
begitu banyak pahlawan di sepanjang sejarah Indonesia yang bisa kita bedah dan
teladani. Alasan penulis hanya mengambil keduanya sebagai referensi, selain sebab
kecocokan tema, dan keterbatasan ruang di website adalah bahwa apa yang
dibawa kedua tokoh ini sebenarnya merupakan hal yang begitu dasar. Namun
sayangnya kerap terlupa.
Refleksi singkat
dari prinsip dan harapan keduanya adalah apa yang ingin penulis bawakan kepada
pembaca. Dalam hal ini bukan hanya untuk mengenang dan menginspirasi, tapi juga
agar kita sadar bahwa apa yang bisa kita nikmati dengan bebas sekarang ini,
secara tidak langsung adalah hasil jerih payah yang dulu mati-matian mereka
perjuangkan.
Bersamaan
dengan berbagai kemudahan itu, datang pula tanggung jawab agar kita
mempergunakan semua itu dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan apa peran kita
untuk negara ini, sekecil apapun, sesimpel bagaimanapun. Entah kalian yang
membaca ini adalah seorang pengajar, pelajar, penjahit, pesepakbola, dan
sebagainya. Kita semua bertanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan itu tetap
hidup, bagaimanapun caranya.




Comments
Post a Comment