Bantahan Atas Kritik Hamadi Dzouib Terhadap Keabsahan Ijmâ’


Ilustrasi Gambar (dok. BAIT)


Oleh: Fadly S


Ijmâ’1 merupakan salah satu sumber legislasi hukum Islam yang diakui keabsahannya oleh hampir seluruh ulama salaf dan ulama kontemporer. Pembahasan terkait ijmâ’ dalam Usul Fikih dikategorikan sebagai al-adillah al-muttafaq ‘alaihâ (dalil-dalil yang disepakati keabsahannya). Meskipun para ulama (yang menegaskan keabsahan ijmâ’) berbeda dalam mendefinisikan Ijmâ’, perbedaan itu tidak menegaskan statusnya sebagai sumber legislasi hukum Islam.

 

Namun terdapat sebagian kecil dari ulama yang juga mengingkari ijma sebagai sumber legislasi hukum islam. Hal tersebut menjadikan mereka diriwayatkan dalam berbagai kitab dengan istilah syâż, atau pendapat asing yang tidak disandarkan pada dalil kuat. Akan tetapi, beberapa peneliti Usul Fikih di masa sekarang berusaha untuk membantah tuduhan tentang tidak sahnya keabsahan ijmâ’. Mereka membangun argumentasi berdasarkan pendapat syâż ulama yang mengingkari ijmâ’.

 

Kritik Terhadap Ijma Dalam Tinjauan Etik Oleh Hamadi Dzouib

Hamadi Dzouib, seorang Profesor Peradaban Islam di Perguruan Tinggi Literasi dan Humaniora Sfax, Tunisia, dan juga merupakan salah satu peneliti Usul Fiqh berusaha mengangkat kembali serta mengembangkan argumentasi pendapat syâż dari para ulama yang mengingkari Ijmâ’ . Dalam artikel yang berjudul Isykâliyyah Manzilah Al-Akhlâq Al-Mudawwanah Al-Usûliyyah Al-Fiqhiyyah (The Place of Ethics in Islamic Jurisprudence) yang terbit dalam majalah Tabayyun edisi 6/22, Hamadi mengkritik para Ușûliyyûn terdahulu berdasarkan perspektif etik. Menurutnya, perlu ada tinjauan kembali dan pembaharuan terhadap teori Usul Fikih yang tidak sesuai dengan etika dan prinsip nilai-nilai modern.

 

Kritik Hamada Dzouib terhadap ijmâ’ secara khusus didasarkan pada argumentasi Ibrahim Al-Nazzam, ulama Muktazilah yang masyhur dengan pengingkarannya terhadap ijmâ’.

Dalam pandangan Ibrahim Al-Nazzam, para periwayat hadis hanyalah manusia biasa yang tidak terjaga dari melakukan kesalahan, khususnya kesalahan dalam periwayatan. Demikian pula dalam permasalahan ijmâ’. Di antara penyebab sulitnya konsepsi ijmâ’ terbentuk                                  adalah tidak adanya rasa percaya terhadap pendapat dan fatwa para mujtahid. Ibrahim

Al-Nazzam berpendapat bahwa bisa saja mujtahid memendam pendapat aslinya dan menyampaikan hal yang justru bertolak belakang. Menurutnya, seorang mujtahid juga tidak terjaga dari melakukan kesalahan sehingga dapat memungkinkan seorang mujtahid untuk berdusta.

 

Konsekuensi dari pernyataan Ibrahim Al-Nazzam tersebut adalah jika saja terjadi kesepakatan pendapat mujtahid terhadap suatu masalah, maka kesepakatan itu tidak sah karena bisa saja salah satu mujtahid berdusta dalam menyampaikan pendapatnya. Olehnya, Ibrahim Al-Nazzam menganggap bahwa kebenaran dan akhlak manusia itu relatif dan tidak tetap pada satu keadaan. Hamadi Dzouib pun berkesimpulan, relatifitas kebenaran menjadikan toleransi terhadap perbedaan pendapat (yang dianggap sebagai salah satu prinsip nilai

 


1 Prof. Ali Jum’ah Mufti Mesir 2003-2013 dalam Al-Ijmâ’ ‘inda Al-Ușûliyyîn setelah menukil beberapa definisi ijmâ’ secara terminologi, menuliskan bahwa ijmâ’ adalah kesepakatan mujtahid umat Rasulullah Saw. terhadap hal apapun. Penjelasan lebih lanjut lihat Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Ijmâ’ ‘inda Al-Usûliyyîn, (Kairo: Dâr Al-Nahâr, 2017) h. 105.


modern) sebagai hal yang urgen, sehingga orang-orang bebas hidup dengan kelompok dan pendapatnya masing-masing.

 

Pada bagian penutup, Hamadi Dzouib menganggap bahwa artikel tersebut telah berhasil merumuskan beberapa poin, salah satunya yaitu adanya tabiat perubahan dan relatifitas pada nilai dan akhlak. Berdasarkan hal itu pula Hamadi Dzouib mengeklaim tidak adanya Ish bagi seseorang atau sekelompok orang setelah wafatnya Rasulullah SAW. yang ma’sûm. Jika ada yang berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok orang memiliki Ish, maka itu sama saja dia menafikan kemanusiaan pada manusia yang bisa salah dan lupa.

 

Bantahan


Sebagaimana yang dituliskan Hamadi Dzouib, dia menukil argumentasi Ibrahim Al-Nazzam dari kitab Al-Wușûl ilâ Al-Ușûl karya Imam Ibnu Barhan (518 H). Sayangnya, Hamadi Dzouib dalam artikelnya tidak memperlihatkan integritas ilmiahnya. Padahal, salah satu prinsip dalam melakukan penelitian ilmiah adalah seorang peneliti harus memiliki integritas ilmiah dalam mengolah informasi dan pemikiran.

 

Imam Ibnu Barhan dalam Al-Wușûl ilâ Al-Ușûl memaparkan lima syubhat Ibrahim Al-Nazzam terhadap kemustahilan ijmâ’. Syubhat mengenai tidak terjaganya mujtahid dari melakukan kesalahan disebut sebagai syubhat ketiga. Setelah menyebutkan lima syubhat Ibrahim Al-Nazzam, Imam Ibnu Barhan langsung membantah setiap syubhat tersebut. Hal Inilah yang tidak disinggung oleh Hamadi Dzouib dalam artikelnya.

 

Dalam membantah argumen tersebut, Imam Ibnu Barhan menjelaskan bahwa kita bisa mengetahui kejujuran dan kebenaran pendapat mujtahid melalui indikasi keadaan. Misalnya seorang mujtahid membela mazhabnya dan membantah orang yang berusaha melemahkan pendapatnya. Maka dari itu, kebenaran pendapat mujtahid bisa terjamin.

 

Berdasarkan perjalanan hidup mujtahid, kita mengetahui bahwa mereka senantiasa bersegera untuk menyampaikan pendapat yang dianggap sebagai kebenaran. Tidak ada rasa takut bagi mereka terhadap seorang pun. Hal ini karena para mujtahid memahami kewajiban menepati janji kepada Allah Swt. yaitu menjelaskan kebenaran dan tidak menyembunyikannya.

 

Terkait dengan tidak adanya Ish setelah selesainya masa kenabian dan kerasulan, itu tentu benar jika hal yang dimaksud mengarah kepada individu. Meski demikian, melalui berbagai riwayat hadis terdapat petunjuk bahwa Allah Swt. menjaga umat Islam secara kelompok untuk tidak bersepakat dalam kesalahan. Para Ușûliyyûn menilai bahwa riwayat-riwayat tersebut sampai pada derajat mutawâtir bi al-ma’nâ2.

 

 


2 Al-Mutawâtir bi al-ma’nâ : Sekelompok orang yang mustahil sepakat untuk berdusta meriwayatkan realitas yang berbeda-beda tetapi memiliki kesamaan dalam suatu makna, di mana makna yang sama itu mencapai derajat tawâtur. Penjelasan lebih lanjut lihat Dr. Khairiyyah bintu Muhammad

Al-Mujahid, Al-Tawâtur Al-Ma’nawi wa aśaruhu fî Istinbâț Al-Ahkam Al-Syar’iyyah, (Kairo, Majallah Al-Dirâsât Al-‘Arabiyah tanpa tahun) h. 1226.


Sebagaimana dijelaskan Grand Syekh Al-Azhar Prof. Ahmad Al-Thayyib dalam siaran kanal Egyptian TV pada tahun 2015 lalu, bahwa secara akal bisa saja suatu umat bersepakat dalam kesalahan, seperti yang terjadi pada umat-umat sebelumnya dalam sejarah. Akan tetapi, Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. mengecualikan umat Islam secara khusus agar tidak terjatuh dalam kesalahan. Hal ini bukan berarti setiap individu mujtahid itu ma’sûm, karena Ish dikhususkan bagi umat Islam secara kolektif yang direpresentasikan melalui kesepakatan mujtahid, bukan secara individu.

 

Para mujtahid memiliki penalaran dan lingkungan hidup yang berbeda satu sama lain. Mereka punya banyak faktor untuk berbeda pendapat. Akan tetapi, jika para mujtahid bersepakat akan hukum suatu permasalahan, maka kesepakatan itu menjadi dalil bahwa kebenaran menyatukan mereka. Sehingga, kesepakatan tersebut menjadi hujjah.

 

Epilog


Ijmâ’ oleh usûliyyûn tetap dianggap sebagai al-adillah al-muttafaq ‘alaihâ meskipun Ibrahim Al-Nazzam, Syiah Rafidah, dan sebagian Khawarij, mengingkari keabsahan ijmâ’. Hal ini disebabkan karena pengingkaran mereka tidak diakui, sebab mereka merupakan pengikut hawa nafsu dan pelaku bid’ah, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad Al-Sayyid Abu Syusyah dalam Risâlah fî Al-Ijmâ’. Imam Kamal Ibnu Al-Humam dalam Al-Taqrîr wa Al-Tanwîr menyebutkan bahwa mereka (golongan yang mengingkari keabsahan ijmâ’) baru lahir ketika                                     para Sahabat dan Tabiin telah mengamalkan ijmâ.

 

Oleh karena demikian, argumentasi yang dibangun oleh Hamadi Dzouib dalam artikelnya agar para peneliti melakukan pembaharuan dalam ijmâ’ adalah klaim yang tidak kuat.

Argumentasi tersebut dibangun berdasarkan tesis yang sudah terbantahkan oleh para ulama terdahulu. Sehingga, ijmâ’ sebagai salah satu sumber legislasi hukum Islam yang telah melewati berbagai zaman, akan tetap dan selalu berlangsung, dan para pengingkarnya tidak akan mendapatkan 

Comments