Rahasia Orang Bugis Bisa Eksis di Seluruh Dunia

 

Ilustrasi gambar (Gambar: dok. BAIT)


Oleh: St. Aisyah Hs

Tidak sulit mendapatkan kelompok-kelompok orang Bugis yang telah hidup menetap di berbagai daerah di Indonesia bahkan Mancanegara. Dari ujung timur hingga ujung barat Nusantara dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan berbagai aktivitas, seperti pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di hutan, atau pekerjaan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Hal tersebut membuat suku Bugis memiliki kekhasan budaya dan peradaban tersendiri yang membedakannya dengan suku lain yang ada di dunia ini.

Suku Bugis pada awalnya hanya berdomisili di tanah Bugis dan Makassar yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan, kawasan Indonesia bagian timur. Lalu sebagai orang Bugis-Makassar yang piawai dalam melaut dan merantau, mereka meninggalkan kampung halamannya dan menyebar ke berbagai wilayah bahkan negara.

Cakupan domisili Suku Bugis secara spesifik bisa dijelaskan dengan dua pembagian, yaitu Suku Bugis yang berdomisili di Sulawesi Selatan dan luar Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, Suku Bugis mendiami wilayah Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Pare-pare, Barru, Sinjai hingga Bulukumba. Selain di Sulawesi, penutur Bahasa Bugis ini juga tersebar di beberapa daerah lain seperti Kepulauan Seribu Jakarta, Jambi, Kalimantan Selatan dan Timur, Bali, Lampung, dan NTB. Kepiawaian masyarakat Suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas sehingga wilayah perantauan mereka pun hingga ke negara lain seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan.

 Latar Belakang Tradisi Merantau (Sompe')

Tradisi merantau (sompe') ini menjadi bagian dari kebudayaan orang Bugis. Dalam jurnal Universitas Hasanuddin Makassar yang berjudul "Budaya Bugis dan Persebarannya Dalam Perspektif Antropologi Budaya" disebutkan bahwa mereka merantau dengan berbagai pertimbangan yang di antaranya adalah untuk mendapatkan kemerdekaan dari lingkungan yang tidak aman dan raja yang sewenang-wenang.

Orang Bugis melakukan perantauan besar-besaran sejak abad ke-17 dan 18 Masehi. Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19 menyebabkan terjadinya ketidaktenangan di daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis yang bermigrasi terutama di daerah pesisir.

Mattulada yang merupakan seorang antropolog menjelaskan bahwa jika seorang raja berbuat sewenang-wenang, maka rakyat dapat menurunkan raja dari tahtanya atau rakyat meninggalkannya. Mattulada menegaskan bahwa banyak orang Bugis bertebaran di luar daerah asalnya, sebagian besar merupakan akibat dari pelaksanaan tekad orang Bugis untuk meninggalkan rajanya yang sewenang-wenang. Keinginan akan kemerdekaan inilah yang menjadi alasan pertama masyarakat suku Bugis melakukan sompe'. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

Dalam perkembangannya, berbagai faktor yang melatarbelakangi sompe' ini pun bermunculan seperti faktor ekonomi, sosial, hingga pendidikan. Di bidang ekonomi, Pelras yang merupakan seorang etnolog Prancis yang mengenal Indonesia, khususnya Sulawesi menjelaskan bahwa profesi orang-orang Bugis secara tradisional adalah bertani. Akan tetapi, keadaan itu berubah pada abad-abad berikutnya, karena kenyataan sosial menunjukkan bahwa orang Bugis lalu membangun komunitas di luar daerah asalnya untuk mencari penghidupan dan mereka banyak ditemukan di daerah pesisir pantai. Sehingga di beberapa wilayah, mereka dikenal sebagai pelaut pemberani dan handal. Mereka mengembangkan pelayaran, perdagangan, perikanan, pertanian dan pembukaan lahan perkebunan.

Ada pula yang merantau disebabkan karena butuh pendidikan yang layak dan memadai yang tidak didapati di kampungnya. Sehingga mereka berpindah ke tempat yang bisa memenuhi kebutuhannya tersebut. Singkatnya, merantau mereka lakukan untuk mencari ketenangan hidup dan mencapai kehidupan yang sejahtera.

Bangsa Bugis memiliki suatu asas moralitas yang dijadikan sebagai pedoman dalam beraktivitas. Asas moralitas itu disebut adat (ade’). Di antara kandungan dan ajaran dalam adat tersebut adalah kejujuran (lempu)', kecendekiaan (acca), kepatutan (assitinajang), keteguhan (getteng) dan usaha serta siri’.

Aspek fundamental tersebut perlu diraih dan dijaga untuk memastikan terjaganya harga diri. Dalam perspektif budaya Bugis, seseorang yang tidak memiliki harkat siri’ atau harga diri dan marwa tidak lagi dipandang sebagai manusia, tetapi binatang berwujud manusia. Seperti ungkapan bahasa Bugis, "Naiya tau de’gaga siri'na de’lainna olokoloe," yang berarti “Manusia yang tidak memiliki siri’ (harga diri) sama halnya dengan binatang.” Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tuntutan mempertahankan harga diri inilah yang menjadi faktor utama banyaknya orang Bugis bermigrasi dengan sungguh-sungguh ke berbagai daerah yang dilihat dapat memberi mereka kesempatan untuk meraih keberhasilan dalam aspek tertentu yang digeluti dalam kehidupan sehari-harinya.

Pinisi, Perahu Penyebar Suku Bugis dan Budayanya

Perahu pinisi merupakan alat transportasi yang digunakan orang Bugis dalam melakukan perantauan, menjelajahi Kepulauan Nusantara bahkan sampai ke Madagaskar. Pinisi di masa itu hanya menggunakan layar dengan tiupan angin sebagai penggerak. Sehingga untuk menggerakkannya dengan baik tentu memerlukan kemampuan memahami arah gerak angin serta perubahan-perubahan cuaca. Dengan banyaknya orang bugis yang melakukan sompe' menggunakan pinisi, menjadi bukti atas kemajuan pengetahuan yang dimiliki masyarakat Suku Bugis sebagai pelaut ulung.

Penyebaran Suku Bugis di berbagai wilayah, salah satu penyebab budaya Bugis tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Di berbagai daerah pesisir pantai Indonesia, ditemukan perkampungan-perkampungan Bugis. Pada daerah-daerah pesisir yang ditempati suku Bugis ini, juga dapat dijumpai mushaf Quran kuno dari suku bugis. Biasanya di daerah-daerah serupa Bima, Sumbawa, dan Bali. Bahkan Quran dari suku Bugis ini pun pernah dijumpai di Riau.

Bukan hanya di wilayah Indonesia, Suku Bugis dan budayanya bahkan tersebar juga di mancanegara. Di pusat Kota Singapura terpampang gambar pinisi dan di sekitar tempat itu diberi nama Bugis seperti Bugis Street dan Bugis Junction. Selain itu, komunitas Bugis diketahui sudah ada di Selat Malaka jauh sebelum Kota Malaka dibangun. Di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb (kota kecil) yang bernama Macassar. Semua hal tersebut menjadi tanda bahwa penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Mereka yang dikenal sebagai pelaut yang handal dan pemberani sejak dahulu bersama pinisinya berkreasi menciptakan, mengembangkan dan menebar kebudayaannya.

Namun, penyebaran sekelompok suku semata tidak bisa menjamin tersebarnya budaya yang dimiliki. Tentu harus didukung dengan modal nilai kebudayaan yang melekat dalam diri mereka. Orang-orang Bugis menjalani kehidupan dengan tetap mempraktikkan adat-istiadat mereka termasuk tradisi keagamaan yang melekat dalam kehidupan mereka sebagai orang Bugis. Maka dalam hal ini, masyarakat Suku Bugis terbukti mampu mewujudkan dan mengembangkan kebudayaan Bugis di daerah tempatan.

Begitu pula perwujudan asas moralitas suku bugis tetap mereka pegang erat dalam praktik kehidupannya di tanah perantauan. Orang Bugis dikenal sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi kehormatan, berkomitmen pada pendiriannya sebagai konsekuensi dari nilai-nilai siri’ (harga diri {malu}) yang merupakan dasar sistem budaya masyarakat Bugis secara umum.

Selain mempertahankan identitas “kebugisan” mereka. Mereka juga tetap terus menyesuaikan diri dan memperhatikan keadaan dan budaya setempat yang menjadi tempat perantauan mereka. Dalam persentuhannya dengan komunitas lain, mereka menunjukkan kepiawaiannya dalam membangun komunitasnya dan tetap menghargai budaya sekitar, sehingga mereka dapat diterima dan cukup diperhitungkan.

Comments