Anta Anta, Ana Ana

 

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

 

Oleh: Andi Tenri Mula Uforio

 

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam al-Athaiyyah, hikmah ke-35 & 81

 

"Man anta?" tanya Tuhan, kurang lebih jawaban diatas yang diberikan nafsu ketika ditanya oleh Tuhan tentang hakikat dirinya saat penciptaan pertama kali. Tuhan tak meninggalkannya begitu saja, nafsu akhirnya disiksa, tetapi ia begitu keras kepala. Pertanyaan terus-menerus diulang, jawabannya tetaplah sama. Hingga saat ia tidak diberi makanan dan dibiarkan melemah, barulah saat itu ia mengaku "Engkau Tuhan dan saya hamba."

 

Kapan terakhir kali anda dikuasai oleh nafsu? Coba ingat baik-baik bagaimana keadaan anda saat itu. Jika aku bisa menunjukkan satu kata yang dapat menggambarkannya, kata itu adalah "lupa". Di benak anda sudah tidak ada Tuhan dan hamba, hanya ada 'aku'.

 

Di saat itu apa yang bisa diharapkan oleh seorang 'aku' di titik akhir nanti? Sudah sangat jelas hanya akan ada kegelapan. Sebab diri diciptakan dengan hakikat lemah dan tak berdaya, tanpa-Nya manusia seperti tak berkaki. Seorang 'aku' butuh Tuhan dan menjadi hamba dalam perjalanannya. Maka dari itu Tuhan telah memulai dengan memberi pesan agar setiap ciptaan-Nya memohon petunjuk sebelum hadir kembali di hadapan-Nya,    {اهدنا الصراط المستقيم}.

 

Menilik kembali penciptaan nafsu, Tuhan menunjukkan sifat asli ciptaan-Nya yang satu ini. Dia akan menarik kerah bajumu sampai terasa tercekik, dia tak akan berhenti walau saat kau memberikan apa yang dia mau. Maka lihatlah cara Tuhan membuatnya kalah dan tunduk, jangan beri ia makan. Saat kau menuruti apa yang dia katakan, saat itu pula kau tengah memberi sumber energinya untuk menggenggammu lebih kuat dan terus menuntut hal yang sama lagi dan lagi.

 

Pertanyaan pernah datang kepada maulana Syekh Ali Jum’ah tentang sifat nafsu,  “Nafsu itu seperti bayi, dia tidak akan berhenti merengek agar keinginannya terpenuhi, begitu keras kepala dan terobsesi terhadap satu keinginan, ia akan terus mendorong untuk keinginan tertentu, berbeda dengan setan, mereka akan mencari celah lain di saat kita menutup satu pintu untuknya masuk,” begitulah kira-kira jawaban beliau. Tak heran Auliya Allah (wali-wali Allah) tak begitu peduli dengan setan atau musuh, pusat pembentengan diri mereka adalah terhadap diri mereka sendiri.

 

Ibnu Athaillah telah membuka jendela untuk kita mengintip seberapa gelapnya ruang nafsu yang akan membuatmu buta dan berjalan merangkak tak tahu arah.

 

اصل كل معصية وغفلة وشهوة الرضا عن النفس, واصل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضا منك. ولان تصحب جاهلا لا يرضى عن نفسه خير من ان تصحب عالما يرضى عن نفسه.

 

Sumber semua kemaksiatan, goflah, syahwat adalah ridho terhadap nafsu, dan sumber ketaatan, yaqzah dan iffah adalah tidak ridho terhadapnya. Berteman dengan orang jahil yang tidak ridho dengan nafsunya lebih baik daripada berteman dengan seorang alim tetapi ridho dengan nafsunya.

 

Sekarang berhenti, buat ruang kosong di hadapanmu dan saksikan kembali saat-saat diri anda melampaui batas…..

 

Bukankah saat itu anda sedang rela terhadap nafsumu sendiri? dengan menganggapnya baik dan tak ada yang salah dengan itu. Tanpa anda menyadarinya, dia telah berhasil dan anda kalah.

 

Ibnu Athaillah juga berucap, "Kau akan bertemu dengan seorang yang terlihat hebat dan alim tetapi ia rela dengan nafsunya, karena ilmunya tidak mampu mengantarkannya ke sana." Dalam hal ini, dikatakan lebih baik berteman dengan orang yang jahil ilmu syariat tetapi ia tak rela dengan nafsunya dan akan Lebih baik lagi jika mendapatkan teman seorang alim dan hamba Tuhan.

 

 

Tuhan tak ingin kamu hilang, karena diambil diri sendiri. Terlebih jika manusia dihadapkan pada warna, saat itu nafsu akan bermain bersamamu hingga membuatmu lupa. Ia tak akan meninggalkan kesempatan untuk merampasmu dari Tuhan, memastikan matamu terarah padanya dan telingamu hanya mendengarnya. Hal ini yang menjadikan seorang arif lebih takut dihadapkan kenikmatan dunia dibandingkan ditimpa kesedihan.

 

Tuhan tahu kamu terbatas, menciptakanmu bersama nafsu dalam ruh. Dia adalah bagian dari dirimu, mustahil untuk berpisah. Walaupun kamu membencinya dan berusaha sekuat tenaga untuk membunuhnya. Kamu tak akan mampu, biarkan Tuhan menggenggammu.

 

Tuhan tahu akhir dari "aku" yang lupa, ialah jauh.

Kini kamu pun tahu mengapa Tuhan membiarkanmu lebih lama melihat hitam putih daripada warna.

 

 

 

Comments

Post a Comment