Benarkah Kamu Telah Betul Menyembah Tuhan?

 

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Ummu Sa'ad R.

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al-Athaiyyah, hikmah ke-92.

Tring… dering ponsel itu membangunkanku.

Bangun, langsung kuraih ponselku mengecek notifikasi di layarnya, masih sambil mengucek mata. Lima panggilan tidak terjawab dari Sami’, satu-satunya kawan baikku di perantauan. Belum selesai kukucek belek mataku, tiba-tiba muncul lagi pemberitahuan baru, kali ini dalam bentuk chat dari orang yang sama.

Sami’: “Man, 2 menit lagi aku ke kosmu yah, kita berangkat jumatan bareng”

Aku pun bangkit dari kasur, cepat-cepat menuju ke wc dan bersiap. Ternyata tanpa sadar sudah dua jam aku larut di atas kasur kapukku. Kalau saja kawan baikku tidak menelepon, pasti seharian aku sudah dihantui rasa berdosa karena melewatkan salat Jumat. 

Tepat setelah 2 menit, terdengar suara Sami’ dari teras indekosku “Man ayo, 3 menit lagi nih”

“Iyaa, tunggu,” jawabku sambil menatap cermin.

Tak sabar menunggu, Sami’ lansung saja nyelonong masuk ke kamarku, membuka pintu yang memang sudah kubuka kuncinya duluan tadi karena tahu ia akan datang. Tampaknya rasa sabarnya hampir habis ketika melihatku masih meminyaki rambut.

“Isman bin Mail, astaga kutinggal kau yah!” Kata Sami’ kesal sambil mengancam.

Kaget, nama lengkapku akhirnya terlontar dari mulutnya. Sudah lama tak kudengar lagi, ia memang hanya memanggil seseorang dengan nama lengkapnya saat sudah benar-benar kesal dengan orang tersebut. 

Mendengar suara kesalnya, cepat kuambil sajadah kecil di atas kursi lalu keluar mengunci pintu.

Aku dan Sami’ lalu bergegas secepat mungkin menuju masjid, takut melewatkan khutbah Jumat. Dengan napas yang tersengal-sengal, kami pun akhirnya sampai walau bersamaan dengan kumandang azan terakhir. Alhasil hanya saf terakhir yang belum terisi.

Khatib berdiri di mimbar, pertanda khutbah akan dimulai. Kulihat Sami’, ia pun juga mulai mempersiapkan diri untuk menyimak. Sesuai namanya, Sami’, kawanku ini memang pendengar yang baik. Sementara aku masih sibuk mengatur napas yang masih engap-engapan. Barulah 5 menit kemudian aku bisa menyimak dengan saksama, tepatnya setelah kuceleng lima ribu kusutku.

“Hadirin, jemaah Jumat yang berbahagia. Janganlah kita menyembah surga ataupun neraka tapi sembahlah Allah SWT semata,” kata khatib dengan suara tinggi dan lantangnya.

Berusaha terus kusimak khutbah walau ternyata rasa lapar sudah menggerogoti perutku yang sedari pagi tadi belum kuisi. Hingga akhirnya khatib mulai menutup khutbahnya dengan doa-doa dan wasiat takwa dan dimulailah 2 rakaat salat jumat.

Selepas jumatan, Aku dan Sami’ mengambil barisan sedekah nasi kotak. Kata Sami’ memang hari Jumat di masjid Babul Khair tidak pernah alpa dengan nasi kotak gratisnya. Kami pun duduk di pelataran masjid untuk menyantap rezeki Jumat itu dengan nikmat. Kubuka kotak stirofoam yang kudapat, sembari kubuka perbincanganku dengan sahabat baikku.

“Sam, kau kenal dengan khatib tadi?”

“Kenal, namanya Ustaz Yaqin. Beliau teman ayahku” Jawab Sami

“Owh, hanya namanya yang kau tahu Sam?” Tanyaku

“Tidak juga” jawab Sami’ sambil menghabisi yang dikunyahnya

“Beliau itu sosok terpandang di daerah ini. Ia sangat disenangi oleh masyarakat karena pembawaannya yang tegas tapi tetap santai, apalagi saat bawakan pengajian rohani setiap Jumat selepas magrib di masjid ini,”  lanjut Sami’

“Kenapa Man kau tanyakan tentang beliau, sepertinya khutbahnya tadi ada yang mengganjal di pikiran kawanku ini, betulkan?”  tebak Sami’

“Wah, tebakanmu selalu benar Sam” ujarku

“Ahh, bukan tebakanku yang selalu benar Man, tapi wajah bingungmu saja yang tampak jelas” kata Sami’ sambil meledek

“Haha, kau benar Sam, tampaknya wajahku kurang tampan kalau sedang bingung. Benarkan kawan?” kataku bercanda

Sami’ hanya tertawa keras sambil menggelengkan kepalanya.

Lanjut kuceritakan kebingunganku pada Sami’ setelah kuhabiskan makananku.

“Sam, kau dengar tidak Ustaz Yaqin menyampaikan bahwa kita tidak boleh menyembah surga ataupun neraka, harusnya kita menyembah Allah SWT,” kataku

“Iya aku dengar beliau mengatakan demikian, lalu ?” tanya Sami’

“Begini kawan, selama ini aku menjadikan surga sebagai pendorongku untuk salat, apa itu berarti aku belum menyembah Allah?” tanyaku pada Sami’

“Hmm, betul juga yang kau katakan. Aku pun dari kecil salat karena takut terkena rotan ayahku. Sejak kecil, ia selalu mengancam dengan rotan kalau aku tak salat, makanya aku salat, ” kata Sami’ sambil mengingat masa kecilnya

“Nah, berarti kau salat bukan karena Allah, tapi karena takut rotan Sam,” kataku menyimpulkan

“Wah, betul juga katamu Man, kalau aku salat karena takut rotan, itu berarti bukan Allah yang aku sembah? Eh bukannya itu musyrik yah?” Tanya Sami’ terlihat kaget

“Istigfar Sam, Naudzubilllah, naudzubillah, amit-amiiit.  Kita kan masih tetap salat Sam,kataku

“Man, ada lagi yang mengganjal pikiranmu kawan?” Tanya Sami’

“Itu saja kawan, hanya itu yang kusimak dengan baik, sisanya aku sibuk berkompromi dengan perutku yang sudah sangat lapar. Kulilit perutku agar tidak mengeluarkan bunyi di tengah kerumunan orang, takut mengganggu fokus mereka,” jawabku.

Sami’ hanya tertawa mendengar jawabanku.

Mengingat di awal obrolanku tadi dengan Sami’ kutanyakanlah padanya perihal majelis rohani.

“Sam, bukannya kau tadi bilang kalau ada pengajian Ustaz Yaqin setiap Jumat kan?” tanyaku memastikan

“Iya Man, setiap Jumat selepas magrib. Kau berminat datang yah?” tanya Sami’

“Iya Sam, sepertinya kita bisa tanyakan langsung perihal tadi pada beliau selepas pengajian,” ungkapku

Setelah sepakat menghadiri majelis rohani nanti selepas magrib, kuakhiri perbincanganku dengan Sami’ dan bergegas pulang.

***

Matahari hendak terbenam di ufuk barat, lantunan shalawat tahrim menjelang magrib pun terdengar dari toa masjid-masjid. Sesuai obrolan tadi siang, Aku dan Sami’ pun berangkat bersama ke masjid Babul Khair .

Saat memasuki masjid, terlihat pak imam dan ustaz Yaqin sudah duduk bersebelahan di saf terdepan. Orang-orang pun banyak berdatangan tepat saat muadzin mendengungan azan magrib.

Setelah menunaikan salat magrib, para jemaah turut bersalaman lalu bergegas membentuk setengah lingkaran. Ustaz Yaqin juga sudah berada di tempat yang telah disediakan.

Saat kuperhatikan, ternyata banyak pemuda seusiaku dan Sami’ turut hadir dan ingin mendengarkan siraman rohani.

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Salam ustaz Yaqin membuka majelis rohani.

Setelah itu beliau melempar satu pertanyaan sedikit aneh dan membuat kami yang mendengar heran. “Benarkah kamu telah menyembah Allah?”

Walau terdengar aneh, sepertinya pertanyaan itu berkaitan soal obrolanku tadi siang bersama Sami’. Kusiapkan diriku menyimak, namun ustaz terus saja mengulang-ulang pertanyaan yang sama sampai salah satu pemuda di antara kami mengacungkan tangan dan berkata “Yah, sepertinya kami sudah betul menyembah Allah, gerakan salat tadi juga sudah benar ustaz, tadi pun kita semua tidak menyembah patung ataupun melakukan praktek dukun.”

Mendengar jawaban itu, Pak ustadz merespons “Bagus jawabmu, Nak. Namun boleh kutanya lagi?” tanya ustaz pada Mujib, pemuda yang menjawab tadi.

“Boleh, Pak Ustaz,” kata Mujib

“Mengapa kau salat nak?” tanya ustadz

“Saya salat punya banyak alasan ustadz. Seperti agar Allah kasih saya rezeki berlimpah, dapat pahala dan dimudahkan urusan saya, terhindar dari siksa api neraka  dan mau masuk surga plus dapat bidadarinya, Ustaz,” tutur Mujib terlihat bersemangat

Sambil tersenyum lebar, ustaz kemudian bertanya pada semua jemaah “Ada yang mau menambahkan alasannya melakukan salat?”

Kebanyakan jemaah menggelengkan kepala dan lainnya merespons dengan diam, merasa bahwa jawaban Mujib sudah mewakili alasan-alasan mereka.

Melihat itu, ustaz Yaqin kemudian memulai penjelasannya. “Para jemaah sekalian. Dalam hikam karya Ahmad Ibn Athaillah As-Sakandary, beliau mengatakan

مَنْ عَبَدَهُ لِشىءٍ يَرْجُوهُ مِنْهُ اَوْلِيَدْفَعَ بِطاَعَتِهِ وُرودُ العُقُوبَة عَنْهُ فَماَ قَاَمَ بِحَقِّ اَوْصَافِهِ

Yang artinya “Barang siapa menyembah Allah karena mengharap sesuatu dari-Nya, atau untuk menolak siksa atas dirinya melalui ketaatannya, maka dia belum menunaikan kewajiban terhadap sifat-sifat Allah

“Hadirin sekalian, hikmah ini mengajarkan bahwa beribadah demi menggapai surga, terhindar dari siksa neraka adalah tanda menyembah dengan hawa nafsu dan kepentingan. Menyembah Allah dengan alasan-alasan ini sepenuhnya, menandakan seorang hamba belum memposisikan diri sebagai penyembah yang benar. Maka sebaik-baik hamba akan menyembah Allah semata karena kelayakan-Nya untuk disembah, karena keagungan dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya,” lanjut ustadz

Tampak haus, mata ustaz tertuju pada air botol, kemudian diraihnya botol itu. Setelah meneguk air itu tiga kali, kemudian beliau lanjut berbicara.

“Rabi’ah Al-Adawiyah sosok tokoh sufi terkemuka dengan kisahnya yang menenteng air dengan tangan kanannya dan memegangi obor ditangan kirinya. Ketika ditanya hendak kemana, Rabi’ah menjawab : Dengan air ini, aku ingin memadamkan api neraka dan dengan obor ini aku hendak membakar surga, agar tidak ada lagi yang menyembah Allah karena mengharap surga dan takut neraka”

Pak Ustaz kemudian memotong penjelasannya dengan bertanya pada Mujib.

“Nak, ketika surga dan bidadari di dalamnya yang kau inginkan telah Allah beri padamu, apakah  kamu tidak lagi menyembah Allah? Atau mungkin sekiranya Allah tidak menciptakan surga dan neraka, apakah Allah tidak layak untuk disembah?”

“Tentu tidak Ustaz, Allah tetap layak untuk disembah,” jawab Mujib

“Bagus, Nak,puji ustadz.

Mujib kembali mengacungkan tangan, menandakan ia ingin bertanya

“Kenapa, Nak?” tanya ustadz pada Mujib

“Pak Ustaz, apakah dengan niat saya beribadah mengharap surga, berarti saya telah salah dalam menyembah Allah, dan belum betul-betul menyembahnya?” tanya Mujib

“Meniatkan ibadah dengan mengharap surga-Nya tidak sepenuhnya salah, Namun ada baiknya alasan dan pengharapan demikian tidak dijadikan sebagai alasan menyembah Allah sebab itu dapat mencacati keikhlasan beribadah.

“Lalu bagaimana Ustaz, saya tetap ingin menyatakan harapan saya ingin masuk surga pada Allah?” tanya Mujib lagi.

“Keinginan masuk surga, terhindar dari siksaan, ingin diberi rezeki berlimpah dan kepentingan lainnya, mintalah pada Allah melalui doa. Jangan menjadikannya alasan untuk menyembah-Nya. Jangan mencampurkan keduanya menjadi beribadah dengan kepentingan. Tapi beribadah dan menghambahlah dengan tulus. Adapun pengharapan dan kepentingan mintalah dengan berdoa pada-Nya,Jawab ustaz.

Sami’ yang terlihat bingung tiba-tiba mengacungkan tangannya. “Maaf pak ustaz, apakah bagian dari syirik ketika salat bukan karena Allah, melainkan karena takut pukulan rotan orang tua misalnya?”

Tersenyum mendengar pertanyaan Sami’ pak ustaz kemudian lanjut menjelaskan.

“Nak, dan Jemaah sekalian. Setidaknya ada 3 tingkatan orang dalam beribadah. Apa yang diniatkan dapat menjadi tanda keikhlasan dan kualitas ibadahnya.”

“Yang pertama. Beribadah dengan niat mengharap suatu imbalan. Jenis ini dianalogikan sebagai ibadahnya pedagang yang selalu memikirkan untung-rugi, ibadahnya pamrih. Sama seperti niat nak Mujib yang salat karena ingin masuk surga. Namun, salat yang ditunaikan tetap sah-sah saja. Dilevel awal, manusia memang perlu imbalan sebagai pendorong untuk ikhlas nantinya.”

“Dan yang kedua, beribadah hanya karena takut siksaan. Jenis ini dianalogikan dengan pengabdian budak pada tuannya. Budak melakukan kewajibannya karena takut dengan pukulan tuannya yang pemarah dan penyiksa. Kalau saja budak itu memiliki tuan yang penyabar, ia pasti akan menyepelekan kewajibannya. Nah, bagian kedua ini mirip dengan nak yang barusan tadi bertanya, sebab melakukan salat karena takut dipukul rotan. Salat yang dilaksanakan karena takut neraka pun juga tetap sah-sah saja. Karena Allah memang menciptakan neraka mengerikan dan menakutkan. Wajar kalau manusia beribadah karena takut siksa Allah”

“Kedua jenis ini, baik ibadahnya pedagang maupun budak masih belum ditahap ikhlas. Kalau hendak ingin meng-upgrade kualitas ibadah, ada jenis yang ketiga yaitu beribadah hanya karena Allah semata, tulus karena-Nya. Ibadah yang dilandasi dengan rasa cinta dan rasa syukur. Tanpa mengharap surga ataupun takut akan siksa, Jadi ada surga atau tidaknya akan tetap beribadah. Contohnya itu seperti kisah Rabi’ah Al-Adawiyah yang saya ceritakan diawal tadi.”

Melihat jam yang hampir menunjukkan waktu masuknya salat isya, tampaknya ustaz sebentar lagi ingin mengakhiri majelis hari ini.

“Para Hadirin, hendaknya kita menyembah Allah karena Dialah satu-satunya yang layak untuk kita sembah. Jangan menodai keikhlasan kita dalam beribadah dengan meniatkan selain-Nya. Barulah kita betul-betul menyembah Allah semata.”

Ustaz akhirnya menutup majelis dengan ajakan terus memperbaiki niat, dan harapan meng-upgrade­-nya agar kualitas ibadah yang kita laksanakan mencapai pada puncak keikhlasan.

Tepat setelah majelis diakhiri, azan isya dikumandangkan dan ditunaikanlah salat bersama-sama.

Seusai salat, Sami’ menepuk pundakku mengajak pulang. Ketika hendak keluar masjid, Sami’ bertanya “Man, bagaimana majelis tadi?”

“Wuihh Sam, sangat kebetulan sekali ustaz membahasnya, semua yang menjanggal dipikiranku tadi siang terjawab. Masya Allah majelis hari ini sangat mengetuk batin.” ungkapku berdecak kagum.

 

Comments