Benarkah هذان Mu’rab?
![]() |
| Ilustrasi Gambar (Gambar: Dok. BAIT) |
Oleh: Muhammad Fauzan Adzim
Halo nahwii!...
Sebagaimana yang telah kita pelajari dalam kitab-kitab nahwu, bahwa isim
isyarah merupakan isim yang penghukumannya dijatuhi pada mabni
atau merupakan kata yang tidak bisa berubah kedudukannya. Namun dalam rangkaian
kata yang termasuk dalam isim isyarah itu sendiri terdapat perbedaan, yaitu
kata هذان. Sebuah kata
yang merupakan bentuk mutsanna dari kata هذا dan menunjuk kepada dua objek
yang dibicarakan.
Berbeda dari isim isyarah lainnya yang berhukum mabni, kata هذان dalam beberapa literatur nahwu justru diklaim berhukum mu’rab
atau bisa berubah-ubah kedudukannya. Beranjak dari hal ini muncul
pertanyaan, apakah kata هذان merupakan isim isyarah yang hukumnya mutlak dijatuhi
kepada hukum mabni atau malah sebaliknya ia justru merupakan mu’rab?
Namun, sebelum melanjutkan pembahasan perihal menghukumi kata هذان ini, penulis
ingin merincikan beberapa poin yang perlu kita ketahui sebagai berikut :
Pertama, Hukum asal kata
dalam bahasa Arab.
Kedua, Penyebab isim
menjadi mabni.
Ketiga, Penyebab isim
kembali mu’rab.
Keempat, Hukum kata هذان.
A. Hukum Asal Kata dalam Bahasa Arab
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hukum asal suatu kata, hal yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah
pembagian mengenai kata itu sendiri.
Pembagian
kata dalam bahasa Arab yang
telah disepakati oleh
para ahli nahwu yaitu: isim, fi’il,
dan harf. Pembagian Ini juga telah
tercantum dalam mayoritas literatur mereka.
Adapun penjelasan dari pembagian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Isim
Hukumnya: i’rab/mu’rab.
Ketika
isim tersebut hukumnya mu’rab atau datang dalam keadaan aslinya, maka kita tidak perlu menguras waktu yang banyak untuk mencari alasan mengapa hal tersebut
dapat terjadi. Ketika
sesuatu datang dalam keadaan aslinya, maka hal tersebut tidak perlu dipertanyakan. Perihal ini
sesuai dengan kaidah yang disampaikan oleh ulama:
ما كان على
أصله لا يسأل عنه
“Sesuatu yang datang dengan keadaan aslinya
tidak perlu dipertanyakan.”
Yang perlu
dipertanyakan adalah ketika isim
dalam keadaan mabni, alias
tidak pada hukum aslinya, dalam hal ini datang
dalam keadan mu’rab.
“Kenapa isim bisa menjadi mabni padahal kan
hukum asalnya dia itu mu’rab?”
2. Fi’il
Hukumnya: bina’/mabni.
Berbeda
dengan isim, fi’il mempunyai
hukum asli yang berlawanan yaitu bina’/mabni. Ketika fi’il datang dengan hukum aslinya‒yakni mabni‒hal
itu tidak perlu kita tanyakan. Namun yang perlu ditanyakan adalah ketika fi’il
datang dalam keadaan mu’rab.
3. Harf
Hukumnya : semua harf itu mabni.
Harf tidak memiliki
hukum asli yang dapat mengikat atau menggantung pada dirinya sendiri.
Penggunaan frasa “hukum asli” terjadi jika terdapat beberapa kata yang
menyelisihi hukum asli. Seperti hal-nya pada pembahasan isim dan fi’il
yang menggunakan frasa “hukum asli” dikarenakan terdapat beberapa kata yang
menyelisihi hukum asli pada isim dan fi,il. Adapun harf
semuanya merupakan mabni dan tidak perlu memunculkan pertanyaan “Mengapa
huruf bisa menjadi mu’rab?” karena harf mu’rab itu doesn’t
exist atau mustahil untuk terjadi.
B. Penyebab Isim Menjadi Mabni
Pada pembahasan sebelumnya kita telah mengetahui bahwa, hukum asli dari
isim adalah mu’rab. Muncul pertanyaan “mengapa suatu isim dapat
berubah menjadi mabni (tidak pada hukum aslinya sebagai mu’rab)?”
Hal yang
menyebabkan suatu isim menjadi mabni adalah ketika ia memiliki
keserupaan dengan harf. Telah kita
ketahui juga di pembahasan pada pembahasan
sebelumnya, bahwasanya harf dijatuhi pada hukum mabni.
Namun apa saja keserupaan isim dengan harf yang menyebabkan isim menjadi mabni?
Keserupaan
isim dengan harf yang menyebabkan
isim menjadi mabni. Ada empat
poin secara umum dan secara khusus ada tiga:
Pertama, al-syibh al-wadh’i.
Kedua, al-syibh al-ma’nawi.
Ketiga, al-syibh al-isti’mâli.
Keempat, al-syibh al-iftiqâri.
Namun, penulis hanya akan merincikan dua poin pertama.
1. Al-Syibh Al-Wadh’i (الشبه الوضعي)
Al-Syibh Al-Wadh’i merupakan ketentuan jika ditemukan suatu kata pada isim serupa
dengan harf dari segi jumlah hurufnya.
Standar al-syibh al-wadh’i adalah ketika isim terbentuk dari satu atau
dua huruf.
Contoh
isim yang terbentuk dari satu huruf : كتبتُ
Kata (ت) pada كتبت
adalah fa’il (subjek) yang menandakan bahwa (ت) adalah isim. Dalam keadaan ini kata tersebut termasuk pada hukum mabni dikarenakan ت pada كتبت terbentuk dari satu huruf, maka bisa dikatakan
bahwa ia serupa dengan huruf al-ba’ pada contoh (بالقلم) yang merupakan salah satu harf jar yang menyebabkan isim (ت) menjadi mabni.
Contoh
isim yang terentuk dari dua huruf : هو
Kata هو adalah isim dhâmir dan mabni
yang terbentuk dari dua huruf. Dalam hal
ini, ia serupa dengan harf في
yang terbentuk dari dua huruf dan merupakan salah satu dari harf jar.
2. Al-Syibh Al-Ma’nawi (الشبه المعنوي)
Al-Syibh Al-Ma’nawi adalah keserupan dari segi makna. Ketika ada suatu isim yang mempunyai makna
serupa dengan harf, maka isim tersebut berubah menjadi mabni, baik keserupaan makna
tersebut dengan harf yang ada (telah diletakkan oleh orang
Arab) atau dengan harf yang
seharusnya ada.
Contoh isim
yang maknanya serupa dengan harf dan telah diletakkan oleh orang Arab adalah من. Kata tersebut adalah isim, namun hukumnya mabni, disebabkan oleh karena kata tersebut memiliki keserupaan
makna dengan huruf إن, yaitu
sama-sama memberikan makna syarth.
Contoh isim
yang maknanya serupa dengan huruf yang seharusnya ada dan diletakkan
oleh orang Arab adalah kata هذا yang memberikan makna
isyârah. Dalam bahasa Arab, tidak ada harf yang mewakili makna isyarah. Akan tetapi,
makna isyârah ini merupakan satu dari sekian banyak makna yang seharusnya
ada huruf yang mewakili untuk menunjuk makna tersebut, karena ia layaknya makna
syart, istitsna, istifham dan lain sebagainya.
C. Penyebab Isim Kembali Mu’rab.
Telah kita ketahui bersama pada pembahasan di atas, bahwa jika isim memiliki
salah satu dari empat poin keserupaan dengan harf yang telah disebutkan,
maka isim yang hukum aslinya mu’rab akan berubah menjadi mabni untuk
mengikuti hukum harf.
Nah, isim yang telah menjadi mabni ini bisa berubah kembali
ke hukum aslinya yaitu mu’rab ketika ia menjadi mudhaf dalam
susunan idhâfah.
Seperti kata أيّ
yang memberikan makna syarth. Sebagaimana yang telah dibahas pada poin
kedua di pembahasan persamaan isim dengan huruf dari segi makna, kata من yang menunjukkan makna syarth
berubah menjadi mabni karena serupa dengan harf إنْ yang juga memberikan makna syarth.
Berbeda dengan kata أي
walau memiliki makna yang sama dengan huruf إن, akan tetapi ia lazim menjadi mudhâf. Niscayanya menjadi
mudhâf, merupakan salah satu kekhususan isim. Di sini terjadi
perebutan kekuasaan antara harf yang diserupai dan isim yang
menjelma menjadi kekhususan. Karena isim memiliki kekuatan lebih kuat, maka
kata أي kembali menjadi isim mu’rab.
Contoh lain kata غير
yang memiliki makna itstitsnâ’. Ia serupa dengan huruf إلا yang juga memberikan makna ististnâ’.
Namun, mengapa kata tersebut tetap pada
hukum mu’rab?. Sama halnya seperti kata أي. Kata غير juga niscaya menjadi mudhâf. Maka
kekuatannya sebagai isim yang asli mu’rab kembali.
D. Hukum Kata هذان.
Akhirnya kita sampai kepada pembahasan intim dari artikel ini. Mari kita
kembali kepada pertanyaan pada pembuka yaitu “Apakah hukum dari هذان adalah mu’rab
atau mabni ?”.
Seperti yang sudah dibahas di atas, bahwa isim isyârah itu mabni,
padahal isim seharusnya mu’rab. Karena mu’rab adalah hukum
asli dari suatu isim. Kemudian, kita juga telah mengetahui sebab isim isyârah
menjadi mabni karena ia mempunyai keserupaan dengan huruf.
Ulama nahwu terbagi menjadi dua kubu tentang hukum kata هذان . Yang akan penulis rincikan yaitu:
1. Ulama yang menganggap هذان
itu mu’rab.
Kaidah yang di gunakan dalam hukum ini adalah di-rafa’ dengan alif,
di-nashab dan di-jar dengan ya’, sama seperti kata mutsanna
yang lain.
Alasan mengapa mereka menganggapnya mu’rab ialah karena kata هذان merupakan mutsanna
dengan adanya alif dan nun (ان) diakhirnya, yang di mana mutsanna ini merupakan salah
satu dari kekhususan isim sama seperti lazim menjadi mudhaf
di poin sebelumnya.
2. Ulama yang menganggap هذان
itu mabni.
Ulama yang memegang pendapat ini tidak setuju dengan pendapat yang pertama
yang mengatakan bahwa هذان itu
mutsanna karena ia menyalahi karakter mutsanna. Kita ringkas
dalam dua poin yaitu:
Jika kata هذان merupakan mutsanna, maka seharusnya kata tersebut berbentuk
هذيان dikarenakan ia berakhiran alif. Seperti pada kata فتى ketika ingin dijadikan mutsanna
menjadi فتيان. Buktinya,
firman Allah Swt.:
ودخل السجن
فتيان
Salah satu syarat isim untuk dijadikan mutsanna
adalah ia harus bisa di-nakirah-kan seperti pada kata الرجلان. Kata ini ma’rifah
karena diawali oleh أل.
Akan tetapi kita bisa me-nakirah-kan kata tersebut dengan menghilangkan أل yang menjadikan kata الرجلان memenuhi
syarat untuk dijadikan mutsanna.
Adapun kata هذان
itu asalnya sudah ma’rifah dan tidak bisa di-nakirah-kan
bagaimanapun caranya, maka tidak bisa kita sebut ia sebagai mutsanna.
Muncul pertanyaan, seandainya kata هذان itu mabni, lantas mengapa ia dalam keadaan jar
ataupun nashab berubah menjadi هذين?
Perubahan tersebut bukan disebabkan oleh ‘âmil nashab maupun ‘âmil
jar. Akan tetapi orang Arab pada awalnya meletakkan هذان pada keadaan rafa’
dan هذين pada keadaan nashab.
Bukan karena ‘amil, tetapi orang Arab
yang menginginkan hal tersebut pada awal
peletakannya.
Sebagai kesimpulan, ada beberapa kaidah dalam nahwu yang perlu digaris bawahi
dalam pembahasan ini
الأصل في الأسماء الإعراب
Hukum asli suatu isim itu adalah al-i'rab, ketika isim tidak pada hukum
aslinya maka wajib dipertanyakan sebabnya.
الأصل في الأفعال
Hukum asli suatu fi'il itu adalah al-bina', ketika fi'il tidak pada hukum
aslinya maka wajib dipertanyakan sebabnya.
الحروف كلها مبنية
Semua harf itu mabni.
Ketika isim serupa dengan harf, maka isim menjadi mabni, ketika fi'il
serupa dengan isim, maka fi'il menjadi mu'rab.
Kata هذان
terdapat dua pendapat, pendapat pertama menghukuminya sebagai mu'rab karena
tanda isimnya kuat dan yang lain menganggapnya sebagai mabni karena ia serupa
dengan huruf.
Tapi perbedaan ini tidak harus menjadikan kita berdebat, tapi jadikan
sebagai tambahan wawasan dan menitih cara ulama kita berpikir dalam memecahkan
suatu masalah.




Comments
Post a Comment