Isu Legalisasi Ganja Medis, Sudah Siapkah Indonesia?

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Akmal Sulaeman

Wacana legalisasi ganja untuk kepentingan medis bagi sebagian orang mungkin sudah terdengar cukup lama. Akan tetapi, perbincangan mengenai legalisasinya masih menjadi pro-kontra. Sebagian kalangan mendukung, sebagian lainnya lagi menolak dengan alasan berbahaya bagi generasi Indonesia.

Pada akhir januari 2022, Santi Warastuti menggelar aksi demonstrasi di bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Ia menuntut pertanggungjawaban negara karena putrinya yang menderita cerebral palsy tak bisa mendapatkan terapi minyak biji ganja (cannabidia oil) di Indonesia. Santi melakukan aksi tersebut lantaran hampir dua tahun sejak gugatan diajukan mengenai wacana revisi UU Narkotika, Mahkamah Konstitusi (MK) tak kunjung memutus perkara ini.

Namun selang sebulan setelah aksi Santi, pada akhirnya MK memutuskan menolak gugatan tersebut. Sebab, MK berpendapat pihaknya tidak berwenang mengadili materi UU yang dimohonkan oleh penggugat dan materi yang diujikan itu merupakan kewenangan DPR dan pemerintah.

Adapun dalam gugatannya dikutip dari Kompas.com, “Para pemohon meminta MK mengubah pasal 6 Ayat (1) UU Narkotika supaya membolehkan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan medis.” Dan kalau kita melihat bahwa Narkotika golongan I itu tidak boleh sama sekali digunakan untuk kepentingan medis.

Kendati menolak permohonan penggugat, MK meminta pemerintah segera melakukan riset untuk meneliti manfaat ganja bagi kepentingan medis yang kemudian Menteri Kesehatan (Menkes) memberikan janji untuk menerbitkan izin riset ganja medis. Namun sampai sekarang riset maupun penelitian manfaat ganja di Indonesia hasilnya belum ada sama sekali, yang katanya saat ini masih melakukan kajian. Juga kalau kita melihat berbagai negara lain yang lebih progresif dari Indonesia  seperti Australia, Jerman, Norwegia, Brasil dan lain-lain. Mereka sudah lebih dulu melakukan riset dan membolehkan ganja digunakan untuk kepentingan medis. Sehingga dalam hal ini bisa dibilang Indonesia masih jauh ketinggalan dari segi kualitas medis itu sendiri.

Meskipun di Indonesia ganja merupakan narkotika golongan I yang tidak bisa digunakan untuk keperluan medis, ada beberapa orang yang menggunakannya sebagai bahan medis untuk menangani penyakit mereka, padahal belum legal di Indonesia. Contohnya saja, kkisah pemakaian ganja Fidelis Arie Sudewarto untuk istrinya Yeni Riawati.

Fidelis, warga asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu menanam ganja di halaman rumahnya untuk mengobati Yeni yang didiagnosa menderita syringomyelia[1]. Penyakit ini membuat kondisi tubuh Yeni memprihatinkan, dia sulit tidur, tak bisa menelan makanan, bahkan banyak luka terbuka di sekujur tubuhnya.

Namun, sejak mendapat pengobatan melalui ekstraksi ganja, kondisi Yeni mulai berangsur membaik. Akan tetapi, keceriaan itu tak berlansung lama. Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Fidelis karena kedapatan menanam 39 batang pohon ganja di rumahnya. Dari situ, kondisi Yeni yang semula sudah membaik mengalami kemunduran. Tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap BNN, Yeni menghembuskan nafas terakhirnya.

Ini baru satu contoh saja yang ada di media, belum lagi orang-orang yang melakukan pengobatan ganja medis secara sembunyi-sembunyi. Juga ada isu yang mengatakan bahwa BNN mempersilakan untuk melakukan pengobatan ganja medis selama tidak diketahui atau secara sembunyi-sembunyi.

Berangkat dari hal ini, kita bisa menilai bahwa meski terdapat obat pengganti selain ganja, namun kalau kita berbicara masalah efektivitas dari ganja medis itu lebih efektif penggunaan dan manfaatnya dibanding dengan obat pengganti selain ganja. Seperti pada contoh kasus tadi, yang di mana Yeni mulai berangsur membaik ketika diberikan ganja medis dan kondisinya kembali memburuk setelah berhenti menggunakan ganja medis sebagai pengobatan bahkan dia menghembuskan nafas terakhirnya.

Ya! Memang, pengobatan dari ganja ini memiliki kemungkinan efek samping. Namun, bukankah efek samping dari obat-obat di dunia medis sudah menjadi hal yang biasa kita jumpai? Dan bisa kita lihat sekarang, telah terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bahwa ganja berkhasiat menjadi obat untuk para pasien dan terbukti sembuh contohnya penyakit Alzheimer, kanker, HIV/AIDS, epilepsy, Parkinson disease, Hepatitis C dan glaukoma[2].

Menurut Peter Grinspoon, seorang dokter, pendidik, dan spesialis ganja di rumah sakit umum Massachusetts, ganja setidaknya lebih aman daripada opium[3]. Grinspoon juga menyebutkan penggunaan ganja yang terkontrol tidak menyebabkan overdosis, tidak membuat ketagihan, dan dapat menggantikan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID).

Dari ungkapan Grinspoon tadi, timbul sebuah pandangan bahwa pengobatan ganja bisa diterapkan di dunia medis, dengan menerapkan regulasi penggunaan yang ketat. Mulai dari penggunaan dosis yang dibatasi (secukupnya), dan hanya dipergunakan sebagaimana mestinya hanya untuk pasien yang betul-betul membutuhkan.

Namun, jika ada regulasi seperti itu apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Jawabannya yaitu terdapat masalah lain; negara kita belum siap dengan hal itu dan juga masih belum seprogresif seperti negara-negara yang telah melegalkan ganja dan tentunya hukum yang dibuat di negara bersangkutan itu dibuat berdasarkan suasana sosial di negara tersebut yang belum tentu cocok dengan suasana Indonesia. Sebab, jika ruang untuk ganja dibuka di Indonesia meski hanya pada kepentingan dan dunia medis saja, itu dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang menyalahgunakan ganja untuk kepentingan rekreasional.

Hal ini adalah sebuah kenyataan pahit yang ada di negara kita. Sebab, situasi ataupun suasana yang ada di Indonesia saat ini, bisa dibilang masih sangat dikhawatirkan adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan ganja jika ganja untuk kepentingan medis dilegalkan. Betapa tidak, kasus suap, penggelapan, dan penyelewengan, masih sering kita lihat di negara kita. Contoh kecilnya saja yang mungkin biasa kita temukan di jalan, “Uang sogok ketika ditilang polisi.” Mereka yang seharusnya menjadi sosok penegak keadilan justru menjadi oknum yang kerap kali melakukan penyelewengan dan menodai arti dari kepolisian itu sendiri.

Akan tetapi, hanya karena adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan ganja, apakah kita harus tuli dan menutup mata kepada pasien yang betul-betul membutuhkan pengobatan ganja medis? Juga, kalau kita melihat rokok yang tetap legal meski pada iklannya sendiri mengatakan itu berbahaya dan dapat membunuh, bahkan iklannya sangat masif dan distribusinya sangat luas. Namun di samping itu, kita juga tidak bisa lepas tangan terhadap generasi Indonesia yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan ganja.

Dari permasalahan ini, timbul sebuah pandangan yang dapat ditambahkan pada regulasi distribusi ganja medis. Yaitu membatasi pelegalan hanya untuk senyawa turunan ganja, cannabidiol yang telah terbukti tidak bersifat psikoaktif dan bisa digunakan sebagai obat berdasarkan uji klinis yang telah banyak dilakukan.

Kemudian juga kalau kita lihat dari sisi agama penggunaan ganja medis, bisa dikatakan yang haram itu ketika tanaman ganja ini disalahgunakan. Dan perlu kita ketahui bersama bahwa pada tanaman ganja terkandung di dalamnya zat tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). Dimana efek psikotropik yang terdapat pada zat THC dan yang membuat seseorang dapat mabuk atau nge-fly, itu akan berefek jika tanaman ganja disalahgunakan dengan cara membakarnya kemudian menghisapnya menggunakan linting.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga merespon terkait dengan masalah ini, dikutip dari Detiknews, MUI mengatakan “Dalam Islam, setiap yang memabukkan hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak. Dan ganja termasuk barang yang memabukkan. Karenanya mengonsumsi ganja hukumnya haram karena memabukkan dan membahayakan kesehatan. Akan tetapi, jika ada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i, bisa saja penggunaan ganja dibolehkan, dengan syarat dan kondisi tertentu.”

Singkat saya, kalau memang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan. Legalitas ganja untuk kepentingan medis bisa diterapkan di Indonesia dengan regulasi yang sangat ketat khususnya pada distribusi, hanya dalam bentuk kemasan obat dan yang dilegalkan itu hanya senyawa turunan dari ganja yaitu cannabidiol yang telah terbukti tidak bersifat psikoaktif.

Kalau memang dalam hal ini Indonesia belum siap untuk itu, maka dari pihak pemerintah sepatutnya mempunyai solusi lain dan jalan keluar dari permasalahan pasien yang betul-betul membutuhkan pengobatan dari ganja medis ini; pemerintah menyediakan dan mengalokasikan anggaran dana untuk pasien yang membutuhkan pengobatan ganja medis agar bisa di rujuk ke rumah sakit negara lain yang telah melegalkan ganja medis.



[1] Pertumbuhan kista berisi cairan (syrinx) di saraf tulang belakang.

[2] Leonie Lokollo, Yonna Beatrix Salamor, Erwin Ubrawin dalam jurnalnya; Kebijakan Formulasi Undang-undang Narkotika Dalam Legalisasi Penggunaan Ganja Sebagai Bahan Pengobatan di Indonesia. Jurnal Belo Volume V No. 2 Februari 2020-Juli 2020.

[3] Jenis obat pereda nyeri dosis tinggi, khusus untuk mengobati rasa sakit yang cenderung kuat dan intensitasnya parah.

Comments