Jalan Menuju Tuhan

 

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Sofiah Najihah Syamsuri

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al-Athaiyyah, hikmah ke-9 & 10

Ramadan kali ini menjadi Ramadan kedua sejak aku menginjakkan kaki di Bumi Kinanah tepat setahun yang lalu, Di mana setahun tersebut mungkin merupakan waktu yang singkat dibandingkan senior-senior yang lebih dulu mencicipi isy, syawarma, ashob, dan kunafah. Namun, dalam momen kali ini kujadikan sebagai bahan renungan dan kembali mengingat tujuan utamaku datang ke negeri ini.

Hari itu, sambil menunggu waktu zuhur aku membuka Instagram karena ingin bernostalgia kembali dengan kenangan-kenangan sebelum keberangkatan, Namun, sebelum sampai menekan layar untuk menuju arsip, tiba-tiba jariku terhenti pada sebuah postingan gambar yang berisi sebuah potongan ceramah Gus Baha.

“Hindarilah omongan seperti misalnya saat bulan Ramadan: “Rugi, Ramadan hanya setahun sekali kok gak salat tarawih di masjid berjamaah,” itu namanya tak menghargai perasaan orang. Di luar sana, ada satpam, tukang ojek, penjaga toko, tukang parkir, dan banyak pekerja di malam hari yang mungkin menangis dalam hati. Mereka juga ingin tarawih, tapi apa daya mereka sedang bekerja. Tarawih itu sunah, sementara mencari nafkah itu wajib. Menghindari diri dari kemiskinan secara ekonomi supaya tidak menjadi beban orang lain itu hal yang paling utama,” melihat postingan itu, ingatanku seketika tertuju pada sebuah kalam hikmah:

الطريق إلى الله بعدد أنفاس الناس

"Jalan menuju Allah itu sejumlah nafas manusia"

Ibaratnya seperti perhitungan untuk mendapatkan angka 10, prosesnya dapat ditempuh dengan berbagai macam cara selain 5+5, bisa juga 7+3, 8+2, 4+6, 9+1. Begitu pun jalan menuju Tuhan, tidak adil rasanya jika kita dengan sangat mudah mengadili seseorang dengan patokan amalan yang kita perbuat. Sebab ada orang yang kecenderungan beribadahnya dengan memperbanyak salat sunah, puasa, bersedekah, menyayangi sesama makhluk Allah, dan ada juga yang ibadahnya dengan berjuang mencari nafkah hingga tidak sempat melakukan amalan-amalan sunah karena pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan, seperti petugas keamanan dan profesi serupa lainnya. Hal ini juga sejalan dengan kalam hikmah dari Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari

تنوعت أجناس الأعمال لتنوع واردات الأحوال

"Jenis amalan itu bermacam-macam sesuai dengan keberagaman keadaan”    

Namun, berangkat dari kalam di atas, saat ini kita pasti akan bertanya “Jika amalan itu beragam sesuai dengan kecenderungan manusia, apakah ada yang termasuk dalam kategori amalan paling utama?”

Pada dasarnya semua amalan itu baik, asalkan amalan tersebut dibarengi dengan rasa ikhlas, sebuah ibarat bahwa amalan itu seperti tubuh dan ruhnya adalah ikhlas. Keduanya saling berkaitan karena tidak bisa berfungsi dengan baik tanpa salah satunya.

Lantas seperti apa ikhlas itu? Apakah ikhlas itu termasuk tidak riya?

Ikhlas kemudian terbagi berdasarkan beberapa tingkatan:

Pertama, ikhlasnya seorang al-ubbad adalah selamat dari riya jaliy (terang-terangan) dan khafiy (tersembunyi). Mereka beramal mengharapkan pahala dan menjauhi larangan agar terhindar dari hukuman.

Kedua, al-muhibbin yaitu mereka beramal semata-mata karena Allah dan menganggap bahwa Allah memang berhak untuk disembah. Mereka tidak lagi bergantung pada pahala dan balasan atas apa yang mereka perbuat.

Seorang sufi yang sangat terkenal akan cintanya pada Allah yaitu Rabiatul Adawiyah mengatakan:

ما عبدتك خوفا من نارك ولا طمعا فى جنتك

"Aku tidak menyembahmu karena takut pada nerakamu dan tidak pula karena mendambakan surgamu".

Ketiga, ikhlasnya al-arifin ialah menganggap semua amalan yang ia kerjakan karena Allah yang menghendaki, mereka tidak lagi menyandarkan amalan pada diri mereka, dan ini merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

Tulisan di atas juga sejalan dengan sebuah nasihat dari guru kami pada sebuah kajian.  

"Semua amalan yang dilakukan ketika diniatkan karena Allah maka akan bernilai ibadah, sekalipun itu terlihat seperti pekerjaan dunia dan amalan yang berorientasi pada akhirat sekalipun jika tidak diniatkan karena Allah maka hanya terhitung sebagai kebiasaan.”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya bukanlah amalan yang mengantar kita sampai pada tujuan. Sebab  semua amalan yang dilakukan hanyalah merupakan wasilah sebab akibat untuk sampai pada Tuhan. Lantas apakah pantas rasanya jika kita justru berbangga dengan amalan yang kita lakukan?

 


Comments