Jika Rezeki Telah Ditetapkan, Mengapa Kita Masih Harus Berusaha?

Ilustrasi gambar (Gambar: dok. BAIT)
Oleh: Sofiah Najihah Syamsuri
“Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam
Al-Athaiyyah, hikmah ke 5 & 21”
Dalam sebuah
malam di mana bulan tak bersinar seterang biasanya, aku yang sedang bercakap
dengan pikiran sendiri sebagai ritual pengantar tidur tiba-tiba teringat dengan
sebuah nasihat perihal rezeki penuntut ilmu yang katanya makful (terjamin). Hal
ini tentunya sudah sering kita dengar, dan tak sedikit juga yang memercayai
serta menjadikannya pegangan yang mantap dalam hidup. Namun
terkadang beberapa pertanyaan masih hinggap
dibenakku, apakah hanya rezeki penuntut ilmu yang telah dijamin? Bagaimana dengan orang awam? Bukankah rezeki
telah ditetapkan sejak di lauhul mahfudz bersamaan dengan jodoh dan maut? Lalu jika memang rezeki
telah dijamin, untuk apa kita harus
tetap berusaha?
Pertanyaan-pertanyaan ini terus saja menggelitik
pikiranku, hingga seiring waktu berjalan aku pun belum menemukan jawaban yang menurutku ideal. Tapi saat ini aku yang masih berstatus pelajar percaya bahwa rezeki bisa datang sendiri tanpa harus bekerja karena statusku saat ini yang
masih menjadi beban orangtua. Sangat pragmatis, bukan? Namun sering kali aku berpikir tidak semua orang
dapat merasakan hal yang sama, beberapa diantara mereka ingin bersekolah tapi
kurang beruntung sehingga mereka harus bekerja terlebih dahulu, tapi bukankah
rezeki mereka harusnya telah dijamin juga?
Beberapa pertanyaan ini masih saja hinggap di kepalaku sampai
ketika aku dipertemukan dengan sebuah tulisan yang berasal dari ceramah ustaz
Abdullah Gymnastiar atau yang lebih akrab disapa Aa Gym. Dalam rangkaian
kalimat yang ditata oleh ulama tersebut, kutemukan secercah penjelasan terkait bagaimana klasifikasi rezeki manusia itu
sendiri, dalam penuturannya Aa Gym menjelaskan bahwa pada dasarnya rezeki itu
terbagi 3 yaitu rezeki yang telah dijamin oleh Allah, rezeki yang digantungkan,
dan rezeki yang dijanjikan.
Pertama, rezeki yang
telah dijamin oleh Allah itu berupa napas selama kita bernapas maka sepanjang
itu pula rezeki kita dijamin, begitu pula ketika kita dalam rahim ibu bahkan saat itu rezekilah yang
mendatangi kita. Kedua, rezeki yang
digantungkan, dalam rezeki ini kita perlu berikhtiar dan memohon petunjuk dari
Allah sehingga dipermudah untuk menjemputnya. Ketiga, rezeki yang dijanjikan, Allah menjanjikan akan
melipatgandakan rezeki jika kita senantiasa bersyukur.
Tulisan tadi setidaknya memberikan sedikit pencerahan bagiku. Hingga
suatu waktu, secercah pencerahan tadi membesar. Di mana saat
masih dalam masa pencarian, aku bertemu
dengan seorang ustaz yang sedikit banyak telah
mengubah cara berpikirku tentang cara menyikapi takdir dan perlahan menjawab
berbagai kebingunganku. Di mana dalam suatu pengajian yang dibawakan
oleh beliau, aku mendengar kalam hikmah yang sangat menggugah hati yang ditulis
oleh seorang sufi yang menguasai beberapa bidang keilmuan yaitu Imam Ibnu
Athaillah As-Sakandari yang berbunyi:
اجتهادك فيما
ضمن لك، وتقصيرك فيما طلب منك، دليل على انطماس البصيرة منك
“Kamu bekerja keras terhadap apa yang telah dijamin oleh Allah,
sedangkan kamu tidak bersungguh-sungguh terhadap apa yang Allah perintahkan
kepadamu, itu merupakan bukti bahwa hatimu telah buta”.
Hikmah ini menjelaskan bagaimana seorang hamba bisa
sangat memperjuangkan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah yang berupa
rezeki, serta kelalaiannya terhadap apa yang diperintahkan Allah berupa ibadah.
Rezeki setiap hamba telah dijamin bahkan sejak di lauhul mahfudz. Namun sekalipun
rezeki telah ditetapkan, kita tetap diperintahkan untuk berusaha sambil
bergantung dan mendekatkan diri kepada Maha Pemberi rezeki itu sendiri.
Berdasarkan contoh sebelumnya berarti kita
diperbolehkan untuk berdoa memohon rezeki. Namun pertanyaan lainnya pun
muncul. Di mana dalam pengajian di kesempatan lain dikatakan bahwa jika
kita memohon rezeki kepada Allah, secara tidak langsung kita menuduh Allah
bahwa Dia tidak akan memberikannya jika tanpa diminta.
Belum lagi kecenderungan
kita yang entah secara sadar atau tidak,
suka menggantungkan harapan pada orang lain. Di mana sikap kita yang seringkali
bergantung pada pemberian orang lain merupakan tanda kurangnya rasa malu yang
kita miliki pada Allah. Lagipula, mengapa kita harus bergantung pada suatu
makhluk lemah yang juga di mana ia merupakan makhluk ciptaan Allah, bukankah
seharusnya kita bergantung langsung pada zat yang Maha Pemberi?
Kemudian setelah mendengar 2 makna hikam yang awalnya terkesan
kontradiksi itu, aku masih bertanya pada diriku perihal bagaimana sebenarnya
konsep rezeki itu?
Di tengah pertengkaran antara diri dan isi kepala sendiri, sekelebat memori perihal
sebuah kisah percakapan mengenai konsep rezeki antara guru dan murid
muncul di benakku. Seakan seperti sebuah jawaban yang diutus secara
langsung dari sang Maha Mengerti untuk hamba-Nya yang kebingungan, agar tidak
lagi tertekan oleh pikirannya sendiri.
Percakapan tersebut adalah yang terjadi
antara Imam Malik dan Imam Syafi'i, ketika keduanya sedang
berdiskusi mengenai bagaimana sebenarnya konsep rezeki, Imam Malik mengatakan
bahwa rezeki itu sudah ditentukan Allah dan dapat datang dengan sendirinya,
sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa rezeki itu sudah ditentukan Allah tapi
harus disertai dengan usaha.
Untuk membuktikan perkataannya, Imam Syafi'i pergi meninggalkan
gurunya untuk berusaha agar mendapatkan rezeki. Setelah berhasil, ia pun
kembali kepada gurunya dengan membawa kurma hasil dari usahanya dan
menyodorkannya sambil mengatakan bahwa pendapatnya tentang konsep rezeki itu
benar, karena ia mendapatkannya setelah berusaha dan bekerja.
Melihat hal itu Imam Malik tersenyum sambil memakan kurma pemberian
muridnya itu, sambil mengatakan pendapatnya juga benar karena sejak tadi ia
hanya duduk sambil berdoa agar rezeki datang kepadanya dan tak lama setelah itu
Imam Syafi’i pun datang kepadanya dengan kurma, sehingga ia dapat makan
pemberian rezeki dari Allah tanpa harus bekerja sebelumnya.
Dari gambaran diatas bisa dipahami bahwa konsep rezeki itu berbagai
macam, sebagai manusia yang bersatus hamba seharusnya percaya bahwa rezeki itu
sudah dijamin oleh Allah bahkan sejak di lauhul mahfudz. Namun hal ini tidak
serta-merta menjadikan kita sebagai manusia yang hanya berpasrah tanpa mau
berusaha, bahkan usaha sekecil apapun itu. Contoh kecilnya adalah seorang bayi
yang kelaparan lalu ia disuapi tapi tak ingin membuka mulutnya maka makanan
itupun tidak dapat masuk. Ibaratnya jika sekalipun rezeki sudah ada didepan
mata tapi kita tidak ingin mengerahkan sedikit pun usaha maka kita tidak akan mendapatkannya.
Secara umum rezeki telah ditetapkan oleh Allah sejak di lauhul
mahfudz, bahkan ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “Rezeki setiap
makhluk telah ditetapkan jauh sebelum ia diciptakan, dan tidak akan meninggal
sebelum ia mendapatkan sesuai takaran rezeki yang telah ditetapkan untuknya”.
Namun setelah mendengar ungkapan ini tidak berarti menafikan usaha kita dalam menjemput rezeki, karena perlu diingat
sebagaimana disebutkan d iawal pembahasan bahwa pembagian
rezeki itu terbagi 3 ada yang memang telah dijamin, yang perlu disertai dengan usaha, dan yang
telah dijanjikan.
Dibalik 3 konsep itu ada hal yang lebih ditekankan bahwa dalam
mencari rezeki hendaknya selalu memohon bimbingan dari Allah disertai dengan
usaha. Namun, sebenarnya ada rezeki yang lebih besar dan berharga dari materi
yaitu mempunyai rasa cukup dalam diri, karena sebanyak apapun materi yang
diterima tapi jika tidak disertakan dengan rasa cukup maka akan selalu terasa
kurang, dan inilah sebenarnya rezeki yang sangat berharga dan perlu disyukuri.



Comments
Post a Comment