Kamu Tidak Nasionalis!

 



Oleh: Andi Tenri Mula Uforio

Mana sumpahmu?!”

Dasar egois! Kalian malah lari menikmati kemewahan di luar.

Komentar yang tajam datang dari pengguna tak dikenal, berada di deretan teratas salah satu laman postingan milikku. Padahal langit telah bersolek begitu indah. Prancis begitu cantik memesona di ujung cakrawala. Tapi, komentar itu sungguh merusak suasana hatiku. Angin musim dingin pun tak mampu menyejukkan panas emosiku.

Kenapa harus pagi-pagi begini? Ucapku dalam hati sambil menarik nafas dengan mata terpejam. Dengan cepat aku membalik layar ponselku dan berusaha memasang wajah cerahku kembali, seolah tak tahu apa yang baru saja kulihat, aku tak ingin merusak awal hari ini yang tak seperti biasanya. Lupakan saja yang barusan,” aku membenak.

Matahari terasa memakan waktu lebih lama untuk terbit. Suara arah angin terdengar lebih merdu. Sepatuku tersusun rapi tak lagi berada di halaman depan rumah, remahan sereal tak lagi berserakan di atas meja. Ada pula aroma yang membuatku tidak berselera untuk duduk di depan meja makan, itu berasal dari makanan Berly. Seekor anjing dari sebuah keluarga dengan dua anak perempuan.

Mereka adalah keluarga kedua bagiku sejak tinggal bersama mereka di salah satu kota di Prancis, tentunya atas izin resmi dari pemerintah negara ini. Hal itu karena aku ikut dalam program pertukaran pelajar jenjang strata satu yang tengah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.

Sebentar lagi Hari Natal akan tiba, setiap keluarga pasti tengah mempersiapkan liburan istimewa mereka, termasuk keluarga ini yang sejak dua hari yang lalu telah meninggalkan rumah. Mereka tak ingin melewatkan Natal bersama keluarga besar.

Dengan terpaksa aku akan tinggal sendiri dalam beberapa hari ke depan, walaupun mereka telah bersikeras mengajakku dalam liburan natal tahun ini, namun aku bukannya menolak tanpa alasan, dalam kurung waktu satu bulan masa program ini akan berakhir. Ada banyak hal yang harus kulakukan untuk menghadapi evaluasi akhir yang satu minggu lagi akan dimulai, ditambah lagi tugas tulisan yang belum juga kusentuh.

Setelah beberapa hari hanya berteman bayangan sendiri, pagi ini aku kembali menyapa sepedaku. Mengunjungi toko roti terenak di kota ini yang berada sekitar 500 m dari Universitas Sorbonne. Hanya butuh 20 menit untuk sampai di sana, tapi rasanya seperti seharian bersepeda di jalanan yang penuh salju.

Setiba di toko, wajahku yang tadinya pucat seketika bercahaya setelah melihat roti-roti yang baru saja keluar dari panggangan. Semerbak aroma butter yang lembut, membuatku lupa akan lelahku. Segera aku duduk dengan dua potong roti dan secangkir teh daun chamomile hangat. Ketika sedang menikmati ketenangan itu, tiba-tiba terdengar suara yang memenuhi ruangan.

“EZA!” Suara kerasnya membuat semua orang berbalik ke arahnya, termasuk aku. Ia terlihat kaget melihatku. Sejurus kemudian aku langsung mengenal sosok  itu. Tengah berdiri di depan table service dengan pakaian hangat gaya Eropa Barat membuat auranya sangat berbeda dari dirinya yang dulu.

Ryan, teman yang telah kukenal sejak bangku SMA. Namun kami tidaklah dekat sebagai teman sekelas. Aku tak begitu terkejut bertemu dengannya di sini tak seperti dia dengan matanya yang terbelalak ketika melihatku.

Berita tentang dirinya dua tahun lalu yang mendapat beasiswa jenjang strata satu di Prancis terus bergema di sekolah saat itu. Terlebih aku sudah biasa melihatnya secara kebetulan belakangan ini, sebab kampusnya yang tak jauh dari toko roti ini hanya berkisar 500 m.

Menit-menit berlalu dalam percakapan layaknya teman lama yang bertemu kembali di tempat dan situasi yang berbeda. Sesaat kemudian aku mendapati diriku mengernyitkan dahi dan berfokus pada perkataan Ryan yang terdengar kontroversial.

“Selama dua tahun ini aku sudah sangat nyaman dan bahagia hidup di kota ini. Memang tak bisa dipungkiri banyak permasalahan, namun itu tak meredupkan kenyamanan yang kudapatkan di sini. Kemungkinan besar aku akan menetap lebih lama deh,” ucapnya dengan wajah yang meyakinkan.

Perkataan Ryan membuatku  teringat pada pemandangan di restoran cepat saji seminggu lalu. Sebuah keluarga kecil yang sudah tak perlu diragukan bahwa mereka berkewarganegaraan Indonesia, jelas nampak dari bahasa yang mereka gunakan. Banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku saat melihat mereka. Pembicaraanku dengan Ryan berakhir biasa saja, aku belum ingin menggubris lebih dalam tentang kemauannya tinggal di Prancis lebih lama.

Di sore hari, setiba di rumah, langkah-langkahku tak menapak secara sempurna, bergegas menyalakan komputer,  mendikte jari-jariku di papan pencarian, memasang kata-kata yang tepat terkait isu yang berantai di sekelilingku. Hingga sampai pada situs kumpulan pertanyaan dengan beragam jawaban dan suara yang berbeda.

Dengan menarik nafas perlahan mulai kurangkai satu pertanyaan. Sesaat setelah mengirimnya beberapa jawaban memenuhi layar komputerku.

Question: “Mengapa kamu nyaman hidup di luar negeri?”

Okta: Setelah lama tinggal di Prancis, aku merasa nyaman dengan hanya bekerja 35 jam perminggu, adapun hukum Prancis dibuat untuk melindungi hak-hak pekerja, pendidikan untuk anak-anak tergolong murah, namun kualitasnya tergolong sangat bagus, negara ini juga menyediakan layanan kesehatan yang menyeluruh, salah satunya dengan mengadakan pemeriksaan kesehatan secara rutin dan gratis.”

Karin: “Terutama masalah kebersihan, Jepang adalah salah satu negara terbersih, bahkan saat banjir beberapa waktu lalu genangan air di Tokyo seperti air kolam renang, bersih dan tak ada sampah menggenang.”

Icha: “Pengalaman hidup kita juga akan lebih kaya jika kita tidak tinggal di lingkungan yang sama seumur hidup.

“Negara kita banyak kekurangan, tapi toh banyak negara luar yang disebut negara maju juga memiliki masalah mereka sendiri, tentu ini menjadi refleksi dan intropeksi untuk tidak terlalu mengagungkan bangsa luar, tapi di saat yang sama juga banyak belajar dari mereka dalam hal-hal yang baik dan memberi efek positif dalam pengembangan bangsa kita,” lanjutnya.

Tak cukup hanya itu, aku menemukan laman yang tersaji tulisan opini yang begitu menohok seakan menjustifikasi pihak-pihak yang mereka anggap egois dan tak nasionalis dengan memilih menetap di tanah orang lain.

“Ada banyak yang berubah dalam diri mereka yang terlanjur merasakan makmur dan gemerlapnya kota-kota dunia,”

”Alasan kalian, di Indonesia tidak banyak tersedia pekerjaan yang memadai untuk para tamatan luar negeri bergengsi, nuntut sepulang kuliah di depan mata sudah ada pekerjaan yang wah’. Terus untuk apa kalian jauh-jauh sedangkan cara berpikir katak dalam tempurung tidak berubah sama sekali. Para tamatan universitas di negara maju banyak juga yang bekerja sebagai pelayan walaupun begitu mereka tidak malu.

Kalian inginnya kehidupan nyaman dan berpikir semuanya akan berjalan instan tanpa harus mengotori tangan dengan pekerjaan yang terlihat kecil. Contohilah Bung Hatta yang telah merasakan hidup di Belanda, kalau bukan nasionalisme mana mungkin beliau mau pulang ikut berpartisipasi dalam memerdekakan Indonesia. Demikian juga BJ. Habibie yang masih mau Kembali mengabdi untuk membangun Indonesia dengan apa yang ia dapatkan selama menempuh pendidikan di luar negeri, padahal beliau sudah punya nama di Jerman kala itu. Indonesia membutuhkan kalian.”

Tak habis merasakan sensasi seperti tertusuk ujung jarum dari tulisan tadi, halaman lain datang mencoba memberi perspektif berbeda dan membuka jeratan dari tulisan sebelumnya, kalimat yang sungguh tajam dan menyudutkan.

“Nasionalisme itu dari hati dan tingkah laku, di mana pun ia berada seseorang bisa kok jadi nasionalis. Bukan hal yang pasti mereka yang hidup dengan orang-orang bangsa lain tidak nasionalis, begitupun mereka yang tinggal di Indonesia sejak lahir belum tentu mereka ini nasionalis sejati.“

“Aku setuju kita harus melakukan perubahan, tapi tidak harus dilakukan di negara sendiri. Toh tidak semudah itu melakukan perubahan secara signifikan seperti mendirikan yayasan beasiswa pendidikan atau layanan kesehatan gratis. Perubahan bisa dalam bentuk beragam, salah satunya dengan pindah ke negara lain.”

“Dengan ini, maka akan membuka lahan pekerjaan bagi orang lain di Indonesia, membuka wawasan dan belajar dari negara lain yang lebih maju, menjadi duta negara yang nantinya dapat merepresentasikan Indonesia kepada masyarakat dunia. Hal menguntungkan pun datang dari sektor ekonomi berupa ekspor yang meningkat dengan keberadaan konsumen Indonesia di negara-negara lain. Memangnya itu semua tidak berpengaruh?”

Entah berapa lama aku berhadapan dengan layar biru. Untuk sejenak membuatku tuli dan tak mengenali wajahku maupun gerak kakiku, serta mataku yang terus berlomba dengan waktu, menolak kata lelah selama menyaksikan mereka mengudara bebas dalam tulisan.

Sampai akhirnya jam menunjukan pukul 01.53 dini hari. Kepalaku terasa telah tertimpa buku-buku tebal, tanda untuk segera bertolak ke dalam ruang dan waktu yang nyata, tapi pikiranku tak mampu berhenti berputar dalam rangkaian kata-kata hingga terhenti pada tanda tanya, apa yang sudah kulakukan untuk tanah airku?

Comments