Perbincangan di Tongkrongan Panitia Hari Akhir

 

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Ichsan Semma

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al-Athaiyyah, hikmah ke-49

Lelaki itu duduk di meja sudut, memandang seisi ruangan kafe dengan tatapan kosong. Setiap sepersekian detik pandangannya berkeliling, meneliti setiap aktivitas dan gerakan orang-orang di ruangan tersebut, diikuti dengan gerak tangannya yang mencatat sesuatu pada sebuah buku hitam kecil di atas meja. Repitisi “memandang” lalu “mencatat” itu terulang beberapa kali sejak ia datang.

Ia mengecek arloji yang melingkar di tangan kirinya kemudian menghela napas, sebal. Orang yang membuat janji temu itu telat lagi, kebiasaan. Diseruputnya es kopi yang esnya sudah mencair banyak. Berharap satu dua sesapan bisa memperbaiki mood-nya yang saat ini sudah benar-benar dongkol. Bagaimana tidak? Sudah hampir dua jam ia menunggu, orang yang meminta bertemu dengannya malam ini malah belum datang-datang juga.

“Kopi dingin? Seleramu memang enggak pernah berubah.” Suara teguran itu familiar. Terutama nada pertanyaan yang tersirat unsur ejekan di dalamnya itu. Sudah kenal betul ia dengan sang pemilik suara. Dialah orang yang membuatnya menunggu selama dua jam di kafe ini.

“Kamu telat,” kata lelaki itu sambil berbalik, menatap tajam orang yang menegurnya. Dia yang ditatap hanya nyengir, menepuk bahu lelaki itu kemudian duduk.

“Maaf, tadi ada kerjaan mendadak dari si Bos, kamu tahu sendiri ini kan Ramadan, aku jadi banyak lembur,” ucap orang itu tersenyum.

Lelaki itu diam, tak menanggapi. Matanya kini meneliti pakaian yang dikenakan orang di depannya. Wanita itu memakai pakaian terusan panjang berwarna putih, sepatu hak tinggi dengan warna senada, serta menenteng tas samping juga dengan warna yang sama.

“Pakaian kamu memang selalu seterang ini, yah?”

“Lah bagusan aku, terang dan berwarna, enggak kayak kamu. Apa-apa hitam, apa-apa gelap. Sama dengan wajahmu itu yang selalu muram.”

Deg. Kena hujat. Lelaki itu kembali memilih diam. Sudah lama ia mengenal perempuan di depannya ini. Cukup lama untuk tahu bahwa dirinya tak akan bisa menang dalam lomba hujat-hujatan. Si wanita pasti selalu punya akal untuk membalikkan semua serangan yang ia lancarkan. Maka dari itu, untuk mengefektifkan waktu dan keadaan, ia memilih untuk langsung saja bergerak ke inti pertemuan mereka saat ini.

“Jadi ada apa kamu mengajakku bertemu sekarang?” Tanya si pria lugas.

“Seperti biasa, langsung ke intinya. Tuan kaku ini memang tidak bisa santai sedikit saja. Apa di tempatmu tidak diajarkan untuk bersantai?” Wanita itu berceloteh sambil mengeluarkan laptop, buku catatan putih, serta pulpen. Masih dengan senyum dan tatapan jahilnya pada si pria.

“Sialan, pergi sajalah aku kalau begitu,” ucap lelaki itu sembari mengangkat badan dari kursi, gusar.

“Eh, eh, eh. Sabar dong bercanda doang aku tuh,” kali ini wanita itu mulai terlihat panik, ikut mengangkat badan demi mencegah si lelaki melanjutkan gerakan kepergiannya lebih lanjut.

Melihat wajah si wanita yang kini mulai memperlihatkan sedikit keseriusan, lelaki itu pun urung pergi. Mengembalikan posisinya seperti semula. Duduk manis menunggu penjelasan.

“Jadi gini, seperti biasa setiap Ramadan itu di tempat kerjaku statistik perihal ketertarikan dan semangat untuk investasi di tempat kami itu meningkat pesat. Meskipun intensitas konsistensi mereka sebagian besar menurun setelahnya, tapi angkanya bisa dibilang tetap signifikan,” ujar si wanita membuka pembahasan.

“Namun, sayangnya ada beberapa pola aneh yang kami dapati. Di mana beberapa orang, di momen Ramadan yang seharusnya bisa jadi titik balik mereka, masih tetap enggak mau bergerak untuk menggapai titik balik itu. Banyak dari mereka yang justru masih lebih sering investasi di, maaf sebelumnya, tempat kerjamu,” lanjutnya.

“Sebenarnya kami udah coba nyari solusinya, memberikannya momen titik balik di luar Ramadan lebih sering, untuk media sosial juga sudah coba kami akali agar lebih sering menampilkan perihal betapa untungnya kalau mereka mau lebih banyak investasi di tempat kami, tapi tetap enggak ada impact sama sekali. Nah, makanya aku ajak kamu ketemu malam ini untuk bahas perihal fenomena ini. Setidaknya untuk buat strategi penggaetan yang lebih aktual, aku butuh untuk tahu bagaimana pola pikir orang-orang tadi, biar bisa mencocokkan sama langkah yang bakal kami ambil ke depannya.”

Mendengar panjang lebar penjelasan si wanita, kini giliran bibir lelaki itu yang menyunggingkan senyum. Ditatapnya wanita di depannya yang sekarang juga gantian cemberut.

“Bisa juga kau bingung ternyata,” ucap si lelaki.

“Sialan, kau. Aku sudah bertanya serius ini,” balas wanita itu dengan nada ketus.

“Giliran aku yang menggodamu sekarang, biar kelihatan kusut mukamu itu.”

“Heh, asal kau tahu, sekusut-kusutnya muka cemberutku, lebih kusut mukamu yang biasa. Kau kan cemberutnya  setiap saat, setiap waktu.”

Deg, kena lagi dia. Lihatlah, bahkan dalam kondisi unggul pun pria ini masih saja bisa diserang balik oleh si wanita. Sialan memang.

“Tapi, Kan meskipun fokus perusahaan kita berbeda, bos kita tetap sama. Harusnya bisa kau tanyakan langsung padanya,” ucap lelaki itu, nadanya memberat. Menandakan percakapan itu mulai kembali ke jalur serius.

“Kau tahulah si Bos, sangat sulit untuk mencari waktu berbicara panjang lebar begini dengannya. Lagipula sudah lama kita tidak bertemu dan berdiskusi seperti ini. Terakhir kali itu kalau tidak salah tahun 1799, dan saat itu memang kita ada proyek bersama.  Kau disuruh mengumpulkan dosa-dosa Napoleon Bonaparte atas pembunuhan yang ia lakukan sesuai daftar oleh si Bos, sementara aku diperintah untuk mengumpulkan jiwa-jiwa muslim yang dibunuh olehnya. Pun setelah Ramadan ini juga, kan giliranmu yang bakal sibuk, apalagi saat momen pergantian tahun nanti. Semakin tidak ada waktu kita bertemu,” jawab si wanita.

Lelaki itu tersenyum. Kalimat wanita tadi membawanya kembali ke masa lalu untuk beberapa saat. Bagi seseorang yang hanya punya satu tugas dalam waktu yang cukup lama, rasa bosan memang tak jarang hinggap dalam benaknya. Namun, tak dapat dipungkiri tugas yang itu-itu saja tersebut juga seringkali membawanya pada sebuah momen yang menurutnya keren juga menegangkan.

Ah, ia benar-benar rindu pada mereka. Napoleon, Hitler, Stalin, dan Lenin. Orang-orang yang meski dosa-dosa mereka besar, tahu benar mengapa mereka melakukan dosa tersebut. Punya tujuan, idealisme, dan prinsip yang membuat dosa mereka berkelas. Meski salah, ia tetap bangga bisa mengumpulkan dosa orang-orang tersebut.

Kembali ke saat ini. Pandangan pria itu kini menangkap wajah si wanita yang sekarang menatapnya, menunggu dirinya untuk mulai menjelaskan.

“Ekhem, menurutku...,” si lelaki memulai “...untuk yang pertama sebenarnya bukan cuma di Ramadan saja fenomena itu terjadi. Di tempatku, saat melihat seseorang bertemu dengan titik balik yang seharusnya mereka ambil dan beralih ke tempatmu, kami sebenarnya juga sudah menyiapkan diri untuk kehilangan satu nasabah lagi. Tapi anehnya, besoknya mereka malah tetap invest ke tempat kami,” pria itu memulai penjelasan.

“Setelah beberapa kali fenomena yang sama terulang, kami pun melakukan observasi. Sejauh ini, fakta-fakta yang kami kumpulkan dari observasi tersebut adalah ternyata salah satu hal yang membuat mereka malah kembali ke tempat kami adalah keputusasaan di dalam diri mereka.”

“Keputusasaan? Maksudnya dia putus asa sama si Bos?” Wanita itu memotong, tidak sabar.

“Semacam itulah, dan jangan dulu kau potong aku bicara, sekali lagi kau memotong, pergi aku.” Lelaki itu mengancam, sebal.

Si wanita cekikikan, memberikan gestur tangan agar pria itu melanjutkan penjelasannya.

“Keputusasaan itu biasanya muncul sebab mereka merasa telah melakukan dosa yang begitu besar, atau bisa jadi juga karena sudah terlalu banyak, jadinya mereka merasa sangat kotor dan menyangka sudah tidak pantas untuk mendapatkan perhatian si Bos lagi,” si pria melanjutkan.

“Makanya, karena sudah terlanjur berpikir begitu, mereka teruskan saja sekalian apa yang harusnya mereka sesali itu. Dan di situlah mulai terjadi paradoks, rasa penyesalan yang semakin dalam, alih-alih membuat mereka berhenti dan kembali pada si Bos, malah menjadi alasan mereka untuk melangkah lebih jauh seiring mereka melakukan dosa tersebut. Karena perasaan tidak pantas tadi itu.”

“Selanjutnya ada lagi beberapa orang yang akhirnya mungkin mencoba investasi di tempatmu, beberapa saat kemudian ternyata, entah sengaja atau tidak, kembali berinvestasi di tempat kami karena mereka sudah kebiasaan. Sebagian besar mungkin sudah berhasil juga kami ikat, jadinya susah lepas. Akhirnya mereka bolak-balik, hari ini di kami, besok di kalian. Ketidakkonsistenan itu, membuat mereka pada suatu titik akhirnya menyerah.”

“Beberapa karena takut dan merasa kurang ajar sama si Bos, beberapa lagi memang capek dan akhirnya berpikir bahwa mungkin mereka udah enggak bisa sama kalian, maka mereka memutuskan untuk kembali kepada kami secara sukarela.”

“Tapi kan harusnya enggak begitu...,” si wanita memotong lagi, tidak tahan “...Maksudku tidakkah mereka paham kalau si bos itu selalu membuka jalan dan menerima semua orang dalam setiap keadaan?”

“Dan lagi, Kan sebenarnya memang begitu. Bos kita merancang mereka memang sebagai makhluk yang kompleks dan dinamis. Hari ini bisa begini, besok bisa begitu. Maka dari itu mau sekeras apapun berusaha, setiap perjalanan mereka untuk invest pada si Bos pasti bakal ada jatuh bangunnya,” ujar si wanita berapi-api.

“Sudah selesai kau bicara? Kalau iya, mau pulang aku,” ucap lelaki itu datar, aura tatapannya masih tidak berubah.

“Eh, eh, eh. Jangan ngambek gitu dong. Iya deh, habis ini tidak bakal kupotong lagi pembicaraanmu.” Perempuan itu berseru sambil nyengir jahil. Meski dalam hatinya juga sedikit panik kalau si pria benar-benar pergi.

“Udah sih sebenarnya, sejauh ini observasiku perihal fenomena yang kamu bilang tadi cuman itu. Sebenarnya aku sendiri senang-senang saja, semakin banyak mereka yang berinvestasi kepada kami justru semakin bagus bagiku dan teman-teman di tempat kerjaku, semakin mudah kami mencapai target saat rekapan nanti.”

“Tapi...,” lelaki itu melanjutkan  “...karena kau temanku dan juga sebenarnya aku kasihan sedikit sama mereka-mereka ini. Jika kau bertanya perihal apa yang mereka butuhkan. Menurutku orang-orang seperti mereka ini butuh dorongan, bisa dari orang lain, tapi yang paling penting adalah dari diri mereka sendiri. Dorongan dalam hal ini adalah bagaimana cara mereka mengapresiasi setiap hal baik yang diri mereka lakukan, sekecil apapun itu.”

“Mereka harus sadar bahwa setiap apa yang mereka lakukan bisa berarti sebuah investasi pada sebuah kebaikan, dan mensyukuri hal tersebut sebagai bentuk rangkulan dari si Bos yang pada dasarnya menyayangi mereka semua.”

“Hal-hal kecil ini bisa berarti banyak, bisa jadi ia yang awalnya asing membaca kitab suci, mencoba satu dua kali membaca. Meski mungkin ia hanya bisa membaca satu dua ayat setiap hari selama sebulan  dengan perasaan asing dan bacaan tidak lancar, hal tersebut harus tetap dia apresiasi, karena alih-alih berpikir bahwa si Bos tidak menggubris usahanya sebab hal-hal tadi, ada kemungkinan justru konsistennya ia membaca tiap harinya meski masih tidak nyaman adalah salah satu bentuk kasih sayang si Bos yang membuatnya tidak berhenti.”

“Istilahnya mereka harus lebih peka dan menjaga prasangka agar tetap positif, baik itu kepada si Bos, maupun kepada diri mereka sendiri. Kemudian percaya bahwa mereka bisa melakukannya dan mereka pantas untuk disayangi oleh si Bos. Karena memang tidak bisa dipungkiri, beberapa manusia tak jarang gagal menerjemahkan bentuk kasih sayang si Bos, entah karena terlalu pesimis atau memang tidak pernah berniat untuk peka dari awal.”

“Di sisi lain, mereka tidak boleh lupa bahwa mereka juga hanya manusia. Dan manusia merupakan makhluk lemah yang pasti bisa berbuat kesalahan. Namun, sama dengan banyaknya kebaikan yang mereka lakukan, banyaknya kesalahan mereka juga sama sekali tidak mengubah status mereka sebagai manusia di hadapan si Bos.”

“Mereka semua harus paham kalau mereka itu sama-sama manusia di mata Bos, artinya mereka punya kesempatan yang sama besar atas kasih sayang-Nya. Seburuk apapun mereka,  mereka tetap sama, tidak ada yang berubah sama sekali di mata si bos.”

“Kemudian masalah ketidakkonsistenan tadi, bukan berarti aku ingin mengatakan bahwa itu sah-sah saja, tapi meski tidak konsisten, kepercayaan itu harusnya tidak boleh hilang kan? Setidaknya meski terputus-putus, mereka tetap punya investasi kepada kami. Pelan-pelan, mengubah satu per satu, langkah per langkah. Mau mereka konsisten apa enggak pasti bakalan ketampung semua kok, enggak bakalan sampai dibilang kurang ajar. Yakin aku.” Lelaki itu menyeruput kopinya, menutup penjelasan dengan khidmat.  

“Jika merasa diri ini telah berdosa begitu besar hingga bisa menghilangkan keyakinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosa tersebut, harusnya diri ini juga tahu bahwa kasih sayang Tuhan sebegitu besarnya sehingga dosamu bisa luput dan tenggelam di dalamnya dalam sekejap.” Wanita itu akhirnya bersuara. Sorot matanya mengatakan kalau ia sudah mendapatkan sebuah pencerahan baru.

“Kurang lebih begitulah.” Si pria kembali menyeruput es kopinya yang kini esnya sudah mencair.

Sementara si wanita buru-buru mencatat apa yang baru saja ia lontarkan dari mulut. Sumringah, tidak salah memang ia meminta bertemu dengan lelaki ini. Bukan saja dapat penjelasan terkait fenomena yang ia paparkan, penjelasan si pria juga secara implisit memberikan brainstorming kepadanya untuk sebuah ide baru.

لا يعظم الذنب عندك عظمة تصدك عن حسن الظن بالله فان من عرف ربه استصغر في جنب كرمه ذنبه

Jangan sampai besarnya dosa menghalangimu dari husnuzan kepada Allah. Karena siapa yang benar-benar mengenal Tuhannya, akan mendapati dosanya menjadi kecil jika dibandingkan dengan kemuliaan Allah itu sendiri. (Syarhul Hikam Al-Athâiyyah: 49)

Melihat wanita itu menulis dengan semangat, si pria tersenyum. Pertama, karena itu artinya penjelasannya benar-benar bisa membantu. Kedua, karena itu juga artinya pertemuan ini akan segera berakhir dan ia bisa pulang.

“Sudah dapat ide untuk strategimu selanjutnya?” Tanya si lelaki.

“Iya dong, sudah benar memang kuajak kamu untuk ketemu,” jawab si wanita. Dari tinggi nada suaranya, terlihat jelas ia sedang senang.

“Maaf, Kak. Tiga puluh menit lagi kami tutup. Masih ada yang mau dipesan sebelum kami betul-betul close order?” Suara seorang waiters memecah percakapan mereka. Keduanya berbalik.

“Oh iya, Kak. Susu putih hangatnya satu yah,” ucap pria itu memesankan minuman lebih dahulu sebelum si wanita itu berbicara.

“Lah, udah hafal, kamu,” celetuk si wanita sesaat setelah waiters tersebut berlalu. Si pria hanya tersenyum.

“Bukan hanya seleraku yang selama ribuan tahun ini tidak berubah,” balasnya.

      

Comments