Sejak Kapan Ketaatan itu Dari Anda?


Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Andi Tenri Mula Uforio

 

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al-Athaiyyah, hikmah ke-42 & 58

 

"Pertanyaan yang selalu kulempar di depan wajah sendiri setiap merasa diri ini telah berusaha dan berhak atas sebuah balasan, aku pun ingin orang lain menyimpan pertanyaan ini."

 

Perkataan dan ibrah dari seorang yang mencintai Tuhan selalu menjadi incaran bagi diri-diri yang  hilang. Pada era  di mana mata dan telinga tidak lagi mengenal jarak sebagai alasan untuk tak melihat dan tak mendengar. Hidayah bisa datang dari mana dan kapan saja, seperti aku yang kali ini tersentuh olehnya pada saat di mana bahkan bayang pun tak terlihat dan suara-suara terpenjara. Di titik tersebut, untaian perkataan dari seorang habib mahbub memberi suara dalam hati. Melalui rekaman lama beliau ketika ditanya perihal harapan atas balasan dari sebuah ketaatan yang tak kunjung terwujud.

 

Aku tahu akan terdengar berlebihan saat kukatakan bahwa tangisan ini tak ingin berhenti hingga lelap mengambil sadar sekaligus ke-aku-an.  Sebelum ini diri selalu kuanggap menjadi alasan untuk hal-hal hebat yang terjadi dan Tuhan sedang berutang, di waktu yang sama aku juga akan mendapatkan diriku bergembira tak sabar menunggu hadiah.

 

 "Tunggu saja pasti setelah ini akan datang hal-hal baik," kataku dalam hati setiap sebuah ketaatan telah terlaksana.

 

Di lain waktu aku menggunakannya sebagai senjata empuk untuk menaut segala keinginan dan harapanku, tetapi anehnya itu benar-benar ampuh, tak hanya sekali Tuhan seakan membenarkan pemikiranku dengan cara yang indah tetapi membutakan rupanya. Hingga perlahan, tanpa sadar aku memberikan kewajiban kepada-Nya yang sebenarnya bahkan tak memiliki keterikatan.

 

Kekanak-kanakan, bukankah itu yang tergambar? Aku pun melihatnya seperti itu. Layaknya seorang anak meminta hadiah besar dari orangtuanya setelah mendapat nilai baik di sekolah, pada kenyataannya semua itu tak lain adalah hasil dari bimbingan dan fasilitas pendidikan yang mereka berikan kepada anak itu. Lantas apakah tangannya yang kemerahan layak untuk hadiah itu, pantaskah ia menuntut dan marah jika hadiah itu justru tak terbayarkan oleh kedua orang tuanya? Apalah dikata, analogi tentang anak itu tak jauh berbeda halnya dengan aku yang sedang bertopeng dewasa ini.

 

Setelah sekian lama terbelenggu oleh kebingungan dan pertengkaran dengan diri sendiri, wajah asli di balik topeng ini akhirnya diungkap oleh seorang berjari hikmah, beliau adalah Ibnu Athaillah.

Tertuang bersama ratusan tetes hikmah yang terangkum dalam bait-bait indah, yang beberapa waktu lalu aku berjumpa dengan sejurus bait itu.

 

لا تفرحك الطاعة لانها برزت منك, وافرحك بها لانها برزت من الله

Jangan bergembira atas ketaatan karena merasa itu dari usaha anda, tapi bergembiralah atas ketaatan karena tahu itu dari Allah.

 

Dengan perlahan dan penuh kesabaran, rangkaian kalimat itu diurai dan dijelaskan oleh guru kami yang berusaha menjahitkan makna kata per katanya untuk kami. Agar kalian yang membaca tak perlu menaruh ragu dan khawatir perihal keabsahan makna yang gemar menyamar lagi bersembunyi.


Kembali ke maknanya, cobalah dikte hati mengikuti jejak hitam diatas

Sudah?

 

Pada potongan pertama, aku yakin jenis kegembiraan seperti ini sudah tak perlu mengernyitkan dahi terlalu lama untuk melihat diri di dalamnya. Jika diseret sedikit lagi akan sampai kepada “aku”. Bahagia karena diri telah melakukan pekerjaan yang baik, maka upah dari Tuhan menjadi tujuan selanjutnya. Kata beliau ini adalah bingkai celaan dan tak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran ini bukan lagi pemikiran seorang hamba Tuhan, melainkan hamba bagi diri sendiri. Ini tak jauh dari gambaran seekor keledai yang sedang memutar penggilingan, langkahnya sama, awal dan akhirnya pun tak jauh berbeda. Sudah tertebak hakikatnya ia tak mengenal wajah maupun tapaknya, pun tak tahu titik akhir. Dari sini dapat terlihat bahwa amal dan tujuan hanya berkisar di dunia walaupun dengan menggandeng nama Tuhan dalam harapan.

 

Pengharapan kepada Tuhan, untuk sekilas tak ada yang salah dengan hal itu, justru sesuatu yang baik dari kacamata awam, tetapi jika naik ke tangga yang lebih tinggi dengan sorotan yang lebih luas akan ditemukan perkataan "Husnul abrar, sayyiatul muqarrabin"  bagi mereka pengharapan dalam bingkai yang satu ini tak bisa dibenarkan, bagaimana bisa kita berharap balasan dari sesuatu yang pada dasarnya bukan kita melakukannya? Tak beradab, katanya.

 

Mendengarnya pertama kali mungkin akan mengacaukan lalu lintas di kepala, tapi ini bukan pertanda buruk. Tenang dan tarik benang kusut satu per satu.

 

Tuhan yang sama, yang membentangkan alam semesta tak terkira ujungnya, membelah lautan untuk nabi Musa, mengeluarkan nabi Yunus dari perut ikan paus, menjadikan api terasa dingin bagi nabi Ibrahim, tiap lembar daun yang jatuh ke bumi tak luput dari pengetahuannya. Lantas bagaimana bisa aku mengira bahwa Tuhan tak punya daya dan perhatian untuk menggerakkan hati dan jari-jari lemah ini? Seperti saat ini, aku yang menulis dan kalian yang membaca, Tuhan telah merencanakannya beserta menit dan detiknya.

 

Maka dari itu, jangan terkejut jika mereka heran terhadap para pemilik taat. Taat itu sendiri adalah hadiah dari tuhan, maka bergembiralah karena tahu itu merupakan pemberian dari sang Maha Pemberi. Lagipula, tak akan masuk akal, jika aku meminta hadiah sebagai balasan atas sebuah hadiah yang datang sebelumnya bukan? Kemudian jika ditanya balik, sudah berapa banyak alasan yang telah kita beri kepada Tuhan untuk berpaling, tapi ia tetap ada dan mencintai. Sekali lagi, itu adalah bukti bahwa Tuhan tak seperti ciptaan-Nya, sebab ia memang adalah zat yang tak memiliki misal.  Annahu laysa kamitslihi syai'un.

Comments