Tutorial Peringan Bala ala Ibnu Athaillah As-Sakandary


Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Ummu Sa'ad R.

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al-Athaiyyah, hikmah ke-105 dan 106

Jika dunia adalah medan menempa, maka Tuhan sebagai penempa dan manusia adalah besinya. Manusia hendaknya meniru besi saat ditempa; yang rela dibakar, berkenan dibanting berkali-kali dan bersedia dibentuk mengikuti kehendak si penempa.

Hidup lurus tanpa liku adalah harapan kebanyakan manusia. Sayangnya, harapan itu menjadi khayalan tatkala bumi yang dipijakinya telah tersemat identitas sebagai darul bala (medan ujian). Sematan itu kemudian menjadikan ujian sebagai keniscayaan hidup bagi setiap makhluk yang menempati bumi. Tidak ada satu pun makhluk yang lolos dari ujian, bahkan pohon yang tumbuh pun diuji dengan terpaan angin.

Saat menapaki kehidupan dunia, paling tidak manusia dihadapkan dengan dua hal: sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang menyengsarakan. Saat diuji dengan sesuatu yang menyengsarakan, masing-masing individu akan memberi respons yang berbeda. Tidak sedikit akan merasa pedih, yang tak kunjung sembuh akhirnya larut dalam kesedihan diliputi rasa kecewa, marah, dan mulai mencari objek pelampiasan.

Pula diidapati yang tak cukup sabar melampiaskan dengan luapan amarah yang diselipi makian terhadap Tuhan atau menyalahkan takdir-Nya. Adapula yang tidak segan menuntut ke-Maha Rahmân dan Rahîm Tuhan. “Kalau Tuhan Maha Pengasih, mengapa memberi kesengsaraan kali ini?”

Keberadaan karakter manusia macam ini, sekiranya sangat cocok untuk menyimak baik-baik deretan hikmah yang disajikan Ibnu Athâillah As-Sakandary sebagai petuah untuk menjadikan dirinya tetap waras dan tidak melampaui batas saat ditimpa bala. Setidaknya mengurangi rasa pedih dan kecewanya ketika diuji dengan sesuatu yang buruk kelihatannya.

Dalam Syarhul Hikam Al-Athâiyyah, setidaknya saya menemukan 2 petuah Imam Ibnu Athâillah As-Sakandary sebagai tutorial peringan bala.

Yang pertama, Bala terasa ringan saat mengetahui bahwa Tuhanlah yang menguji.

يُخَفِّفْ اَلَمَ البَلاَءِ عنكَ عِلمُكَ بِاَنَّهُ سُبْحانهُ هُوَ المُبْلى لكَ. فالذِى واجْهَتكَ منهُ الاقدارُ هُوَ الذيْ عَوَّدَكَ حُسنَ الاِخِتِيارِ

Rasa sakit akibat bala yang menimpamu akan terasa ringan dengan pengetahuanmu bahwa Dia-lah yang mengujimu. Maka Tuhan yang menimpakan kepadamu takdir-Nya itu, Dia pula yang telah biasa memberi sebaik-baik apa yang dipilihkan-Nya untukmu.

Hikmah ini berusaha mengetuk hati untuk tersadar kembali bahwa ketika manusia mengetahui Tuhan-lah yang telah mengujinya, harusnya ujian itu terasa ringan untuk dihadapi. Sebab Tuhan-lah yang Maha Tahu kemaslahatan ciptaan-Nya. Untuk itu manusia tidak perlu menghiraukan apalagi meratapi rasa pedih atas cobaan yang ditimpakan padanya dan juga tidak perlu berburuk sangka pada Tuhan hingga memaki-Nya. Manusia hanya perlu menyadari bahwa Tuhan yang Maha Pengasih tidak menghendaki kecuali kebaikan. Melalui kesadaran inilah akan menjadi sebab penerimaan dan munculnya kesabaran dalam menghadapi cobaan.

Selain itu diujung hikmah ini mengajak untuk mengingat kembali memori bahagia yang telah biasa dirasakan. Maka sekiranya Tuhan kali ini menguji dengan takdir buruk, Dia masih tetap Tuhan yang sama yang telah biasa menetapkan takdir baik.

Yang kedua, Meyakini bahwa kasih sayang Tuhan akan selalu membersamai bala yang ditimpakan-Nya.

مَنْ ظَنَّ اِنفِكَاَكُ لُطْفِهِ عن قَدَرِهِ فَذاَكَ لِقُصُورِ نَظْرِهِ

Barangsiapa yang mengira terlepasnya kasih sayang Allah sebab turunnya bala yang ditakdirkan Allah, maka yang demikian itu disebabkan karena dangkalnya pemikirannya.

Hikmah ini sebenarnya berisi celaan pada siapa saja yang mengira kasih sayang Tuhan terlepas saat Dia menimpakan bala. Sungguh sangkaan itu menandakan pandangannya yang picik tentang-Nya. Sekiranya pandangannya sempurna dan pikirannya jernih, mereka akan menyadari dalam cobaan itu terdapat banyak kelembutan Tuhan. Tidaklah Tuhan menurunkan bala kecuali disertai dengan rahmat-Nya.

Mungkin setelah menyimak 2 petuah tadi, tidak dipungkiri ada yang berusaha denial dan meragukannya.

 “Ahh, saya pun tau bahwa bala ini datang dari Tuhan. Nyatanya rasa pedih itu tak kunjung surut dan mereda”

“Katanya bala akan diselipi dengan kasih tuhan, tapi mengapa kasih itu tidak tersampaikan pada saya. Bala itu tetap saja terasa seperti kiriman kebencian”

Pernah terbesit dalam benak yang berbisik demikian?

Saya ingin mengajak pada benak yang berbisik tersebut untuk membuka tirai kesamaran dan menyadari bahwa benar kasih sayang Tuhan pasti terselip dalam bala yang ditimpakan-Nya. Memang saat dirundung kesedihan yang mendalam, sukar untuk menjernihkan pikiran apalagi untuk membaca bentuk kasih tuhan dalam balanya yang halus.

Sehalus rasa takut yang terbesit saat muncul pada percobaan mengakhiri hidup yang dirasa sudah tidak berharga untuk dilanjutkan, setipis harapan yang tersimpan di dasar hati tatkala takdir seakan selalu menolak berpihak pada kita. Pernah bertanya mengapa rasa takut itu muncul walau telah berkeinginan keras untuk memulainya? Pernah berpikir dari mana semua rasa itu muncul?  Bisa jadi itu salah satu tanda Tuhan yang sedang berusaha membelai dan memberi tahu “Urungkan niatmu itu, ada banyak takdir indah yang telah kusediakan untukmu. Kau hanya perlu sabar dalam waktu yang sebentar, tidak ada sengsara yang berkepanjangan.”

Akhirnya kalau boleh menarik benang merah dari dua petuah itu adalah bala akan ringan setelah kita menyadari bahwa itu bagian dari bahasa cinta dan kasih Tuhan yang Maha Rahmân dan Rahîm. Jangan membatasi cinta Tuhan dalam bentuk hadiah atau pemberian saja. Tuhan menguji kekasih-Nya juga merupakan bentuk cinta untuk menaikkan derajat yang dicintai-Nya. Lagipula, bagaimana mungkin Dia menaikkan derajat mereka tanpa menguji terlebih dahulu?

Comments