Akhir yang Dia Inginkan

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Andi Tenri Mula Uforio


Terinspirasi dari Syarhul Hikam Al-Athaiyyah, hikmah ke-34


                                                   اخرج من أوصاف بشريتك عن كل وصف مناقض لعبوديتك، لتكون لنداء الحق مجيبا ومن حضرته قريبا

Keluarlah dari sifat-sifat manusiamu, yakni sifat yang bertentangan dengan hakikat penghambaan untuk memenuhi panggilan-Nya.

 


Serasa kaki lelaki itu akan robek sebab berdiri sejak tadi tanpa sedetikpun beristirahat. Dalam ruangan berudara debu, di hadapannya terdapat ratusan pedang tumpul, perlahan ia mengasah satu per satu untuk para prajurit di medan perang nanti. Suara besi berkicau sudah menjadi teman bicaranya setiap hari, gigitan besi-besi itu tak terasa seperti luka lagi. Lambungnya pun telah mengecil tak ada ruang untuk kenyang. Malam bukanlah selimut nyaman untuknya, bagaimana tidak? nyamuk dan serangga lain ikut  mengadakan perayaan meriah tiap matahari terbenam. Hari-hari seperti itu tak ada yang berubah sejak ia didekam di dalam penjara 16 tahun yang lalu, ia pun tak menunggu kapan ia akan keluar dari bangunan terendam kegelapan ini, melainkan hari datangnya tamu istimewa yang menjadi hari kebebasannya pula ialah maut.

 

"Tak mengapa," kata lelaki paruh baya itu.

"Entah sudah sekian kali aku mengatakannya," ucapnya dalam hati.

Kalimat yang paling sering ia suarakan dalam beberapa tahun terakhir, hanya itu yang dapat terucap dalam keadaan menyedihkannya saat ini.

 

Ia tak tahu apakah ia masih memiliki keluarga, sejak hari dimana fitnah dilempar ke wajahnya secara tiba-tiba. Seorang mata-mata musuh katanya, seketika berkas-berkas cahaya dalam hidupnya lenyap. Istri dan bujang tunggalnya tak luput menjadi mangsa bagi fitnah dan mulut-mulut kotor itu, mereka menghilang. Keadilan dan kebenaran saat itu belum mampu menjadi tangan penyelamat bagi ksatria ini, sebab tak punya kuasa. Mulut dan tangannya dikunci, ia tak bisa berbuat apapun terhadap nasibnya, hingga waktu menggariskan kerut di kening dan tepi matanya.

 

Tak ada lagi nafsu ingin membakar seisi kota, berteriak dan meraung, merobek mulut mereka dan menusuk mata yang melihat dirinya seperti kotoran hina, hingga darah memenuhi sungai kota. Kini walaupun orang-orang menginjak tangannya yang menyuap makanan, rasa sakitnya akan ia terima sebagai menu hari itu. Lama sudah hatinya padam, akibatnya mulut tak kenal lagi bahasa untuk duka. Ia telah hilang dan tak ada pula yang akan mencarinya.

 

"Kriieett.." pintu terbuka, serangga-serangga itu kabur entah kemana, matanya yang terjaga menelaah sosok di depan pintu, wajahnya tak nampak tapi jelas dia adalah salah seorang penjaga. Pagi buta itu terasa aneh, tak biasanya ia dibangunkan dengan tenang seperti itu. Namun kata-kata yang keluar setelahnya menggoyahkan langit yang masih mencoba untuk bangun.

 

"Kamu bebas hari ini," ucapnya dengan sayup. Rupanya telinganya tak peduli dengan kalimat yang akan keluar dari mulut kering lelaki itu, penjaga itu bergegas pergi.

 

Tanda tanya tak berhenti mengerumuninya, sedang lidahnya berkelahi dengan akalnya, lama sudah ia mengernyitkan dahi, kakinya sudah tak sabar berlari mengejar jawaban. Sedetik kemudian secarik kertas di depan pintu berhasil menghalangi langkahnya.

 

"….atas perintah raja yang baru, anda telah dibebaskan dari vonis penjara seumur hidup…."

 

Isi surat itu justru menambah semrawut di kepalanya,

"Tapi kenapa?" Tanyanya dalam hati sambil berpikir keras.

 

Ia bingung tak kepalang, menduga bahwa hidup di luar sana tak akan jauh berbeda, tapi setidaknya ia tak akan hanya duduk menunggu maut selama sisa usianya. 

 

Sesaat setelah berpamitan dengan dinding-dinding lapuk itu, suara langkah tak berirama terhenti tepat di depan pintu.

 

"Mari ikut kami ke istana, ini atas panggilan raja ke-10," tegas salah seorang prajurit gagah nan muda itu.

 

"Aku sudah rela jika akan dijadikan seorang hamba raja di istana, toh aku tak punya tujuan lain, aku pun tak ingin berharap akan hidup yang lebih indah," yakinnya dalam hati. Kakinya pun seakan ikut menaati perintah raja.

 

Dalam perjalanan, ia hanya mendengar hembusan angin, pletukan kaki kuda, dan suara pikirannya. Ia rasanya ingin muntah, tubuhnya tak lagi mengenali adrenalin di atas kuda seperti dulu, beberapa kali ia hendak terjatuh tapi masih tertahan, istana tak sejauh yang ia bayangkan.

 

Matanya disambut dengan keindahan yang membuat jari-jarinya bak bunga malu, bahkan tanah tempat istana ini berdiri sepertinya disirami wewangian setiap hari bukannya air keruh yang biasa ia minum.

 

Sejam kemudian, ia telah ada di depan makanan lezat yang entah terbuat dari apa, dengan pakaian yang membuat kulitnya terharu sebab nyamannya. Matanya tak sedetik pun berkedip hingga cacing-cacing di perutnya merasa puas. Sambil menepuk-nepuk lambungnya yang terisi penuh, ia penasaran apa lagi yang akan ia saksikan. 

 

"Pram..pram..pram" Ia menoleh keluar jendela kaca, mencari sumber suara yang tak asing itu. Pemandangan  dihadapannya saat itu seakan mengiris pupil matanya. Adrenalin, darah dan harapan dari 16 tahun lalu hidup dalam suara dan pemandangan itu. Sekumpulan prajurit tengah mengayun pedang mereka dengan penuh hayat dan tenaga.

 

 

"Jika tuan sudah selesai, kami akan mengantar tuan ke ruangan untuk tuan beristirahat sejenak," ucap salah seorang pelayan yang membangunkannya dari ratap panjangnya.

 

Semenit setelah tubuhnya tenggelam dalam malam di atas kasur bulu angsa itu, suara lentik nan halus mengetuk dari luar pintu. Langkah tak beraturan menjemput kehadirannya dengan keraguan yang nyaman, jiwa manusia dalam dirinya yang telah lama mati, tiba-tiba hidup kembali malam itu. Tanpa ia sadari, sentuhan hangat tangan hawa itu telah mengambil jasadnya. 

 

Gelitikan cahaya pagi hari itu mengiringi senyuman dalam bangunnya, mata yang baru saja mengenal terang itu mencari keberadaan pelayan untuk menyiapkan air hangat dan sarapan pagi. Ternyata hal-hal itu tak usah payah mulutnya ungkap, rasanya seperti surga saja. Hari-hari para petugas kerajaan sibuk memberikan tangan mereka untuk lelaki paruhbaya itu, layaknya seperti anak kecil yang manja.

 

“Silahkan masuk tuan.” Seorang pelayan mengarahkannya ke suatu ruangan. Rasa takut langsung menghunjam ke dalam dadanya bahkan sebelum tapaknya sempurna, di hadapannya dua tiang tinggi bergantungkan tali simpul, dikelilingi kegelapan dan serangga serta berbau minyak tanah seperti di penjara dulu. “Mengapa aku dibawa kesini?” Tanya hatinya. Pertanyaan itu sebenarnya tak perlu lagi, itu semua untuknya, untuk hari terakhirnya.

 

“Persiapkan diri anda segera.” Mendengarnya, ia tiba-tiba teringat tentang raja.

 “Aku belum bertemu dengan Yang mulia, bukankah beliau yang memanggilku kesini, bukankah pada awalnya aku berniat untuk menjadi hamba Yang mulia Ketika mendengar panggilan itu, lantas mengapa aku berakhir di sini?” Aneh, dia baru mengingatnya saat semuanya telah hilang, terjatuh dan lemah. Rasa sakitnya membuncah hingga mengalirkan air mata begitu deras, kini lebih deras daripada 16 tahun lalu, tangannya gemetar bahkan sebutir debu tak mampu ia angkat. suaranya menjadi buta untuk membaca kesedihnya, tangisan dan teriakannya tak dapat terdengar oleh siapapun. Sudah lebih dari 1 jam ia duduk bertopang lutut tak punya harap, ratap sesal dengan genangan air mata yang tiada hentinya.

 

Ia benci dirinya, saat ini ia rela dengan sebenar rela jika lehernya akan menjadi makan siang tali pemakan nyawa itu, ia tahu benar bahwa itu tidaklah cukup untuk kesalahannya, tapi ia juga tahu ia tak akan mampu menghadapi yang lebih berat.

 

“Trap..trap" cepat ia membawa langkahnya yang pincang kearah tiang tinggi itu, tak sabar menemui ajalnya, ia sudah tak tahan dengan perasaan malu atas keberadaan dirinya sendiri. Tiba -tiba…

 

“Braakk" ia jatuh tak sadarkan diri.

 

***


Perlahan matanya menangkap cahaya, ia berada di atas kasur padat dalam ruangan abu-abu kehijauan, bersamanya secarik kertas merah beraroma kayu manis, di sana ada cap kerajaan.


“Ini dari Yang mulia,” kata hatinya. Jari-jarinya mulai berayun mendikte mata yang saat itu telah terisi penuh dengan kerinduan dan harap.


“..jadilah hambaku dan tetaplah seperti itu.” Tulis-Nya. 

 

 

 

 

Comments