Mandat Khusus dari Tuhan
| Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT) |
Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al-Athâiyyah, hikmah ke-140
Pertanyaan esensial terkait keberadaan Tuhan seringkali meliputi pikiran
manusia bahkan sejak kecil. Ini mengingatkan saya pada putri kecil yang asyik mengajak
ibunya ngobrol tatkala keduanya sedang duduk menikmati langit biru di solah
Jami’ Azhar (ruang tengah masjid yang didesain tanpa atap). Ditengah obrolan tersebut, putri kecil itu
melempar pertanyaan seperti ini: “Ya Mama, fein rabbina? Law fii rabbina, hasyuf hu
dilwa’ti!” (Mama,
dimanakah Tuhan? Kalaulah Dia ada, saya hendak melihatnya sekarang!)
Menanggapi pertanyaan si anak, sang ibu kemudian memberitahunya “Nak, Tuhan
itu ada. Namun, mata kepala kita tidak mampu melihat-Nya”. Sembari menunjuk
ke arah
langit, sang ibu lanjut berkata: “Nak, menengoklah ke atas, lihat langit itu yang membentang tanpa
batas. Langit itu adalah bukti besar keberadaan Tuhan,” si anak kemudian mengangguk patuh dengan
jawaban sang ibu.
Seperti yang diisyaratkan sang ibu, perjalanan spiritual mencari keberadaan
Tuhan dapat ditempuh lewat memandang alam sekitar. Bukankah sejatinya yang ada hanyalah Tuhan
dan yang lainnya hanya diadakan oleh-Nya? Maka adanya alam semesta akan
mengantarkan pada Zat yang mengadakan. Itulah sebabnya Tuhan sering kali mengingatkan manusia
dalam al-Quran perihal penciptaan langit dan bumi. Bahkan tidak hanya diingatkan,
mereka telah mendapat mandat khusus dari Tuhan untuk mengamati alam
sekitar.
قل انظروا ماذا في السماوات
والأرض…
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Perhatikanlah
apa yang ada di langit dan di bumi.” (Penggalan Q.S Yunus 10:101)
Melalui perintah mengamati langit dan bumi, Tuhan telah membekali manusia mata
untuk melihat, leher yang membantu mendongakkan kepala memandang langit
serta akal yang ber-tafakkur (berpikir).
Namun setelah memahami ini, muncul dalam benak saya pertanyaan perihal mengapa
masih ada saja manusia yang belum sadar keberadaan Tuhan walau telah mewujudkan
perintah mengamati alam? Bahkan bukan hanya tidak sadar, malahan ada sebagian besar yang menyekutukan-Nya
dengan alam itu sendiri.
Kaum Harran dan Babilonia misalnya,
yang merupakan kaum abul anbiya’ Ibrahim as. Kedua kaum itu sering mengamati alam
dan memandang langit. Namun bukannya menyakini keberadaan tuhan, melainkan kaum Harran malah menyekutukan
Tuhan yang Maha Esa dengan benda-benda langit. Sementara kaum Babilonia
menyekutukan-Nya dengan lumpur yang mereka buat sendiri menjadi sembahan.
Keheranan dalam benak saya terus berlanjut tak kunjung menemukan
penyelesaian. Sampai akhirnya dalam sebuah majelis ilmu, Gurunda kami
membacakan sebuah hikmah dari kitab Syarhul Hikam Al-Athâiyyah. Hikmah itu
berbunyi :
أَبَاحَ لَكَ أَنْ تَنْظُرَ فِيْ
المُكَوِّنَات وَمَا أَذِنَ
لَكَ أَنْ تَقِفَ مَعَ ذَوَات المُكَوّنَات قُلْ انْظُرُوْا مَاذَا فِيْ السَّمَاوَاتِ؟
فَتَحَ لَكَ بَابَ الإِفْهَام وَلَم يَقل: انْظُرْوا السَّمَاوَات لـئلا يَدُلُّكَ
عَلَى وُجُوْدِ الأجْرَام
“Allah
memperbolehkan kamu melihat alam sekitar, tetapi Allah tidak mengizinkan engkau
berhenti pada benda-benda di alam itu. Sebagaimana firman Allah; Katakanlah
(Muhammad): Perhatikanlah apa-apa yang di langit. Semoga Allah membuka
pemahaman padamu, Allah tidak berfirman: Perhatikan langit-langit itu. Supaya
tidak menunjukkan padamu adanya benda-benda itu”.
Kalam hikmah
ini menjelaskan tentang kehendak Tuhan yang sebenarnya dalam memberi manusia mandat
mengamati alam. Alam yang diperlihatkan tidak hanya sebatas untuk disaksikan
oleh mata lahir saja. Melainkan lebih dari itu, Tuhan menginginkan melalui
pengamatan tersebut mampu mengantarkan pada pengetahuan atas keberadaan-Nya, hingga melihat penampakan-Nya dengan mata batin kita. Tentu melihat dengan mata batin yang
dimaksudkan oleh para sufi didahului dengan tafakkur (berpikir), tadabbur
(merenung), dan i’tibar (mengambil pelajaran) terhadap alam semesta.
Melalui firman
Tuhan dalam perintah melihat apa yang di langit dan di bumi, menghendaki usaha
manusia untuk terus mengamati alam semesta hingga akhirnya melihat dengan
mata batin sisi penampakan Tuhan di balik ciptaan-Nya. Sebaliknya firman-Nya
tidak menghendaki manusia melihat dari sisi wujud alam semesta itu sendiri.
Berbeda antara “Perhatikanlah apa-apa yang ada di langit itu” dengan “Perhatikanlah langit-langit itu”
Adapun perihal
kaum Harran yang malah terjerat dengan menyekutukan
Tuhan dengan benda langit seperti bintang, bulan dan matahari disebabkan karena
dalam pencarian Tuhan, pandangan mereka hanya terhenti pada wujud alam semesta
itu sendiri. Mata lahir mereka memang tajam saat melihat alam. Namun akal
mereka tumpul, mata batin mereka menjadi rabun karena tidak dibarengi tafakkur
dan mengambil pelajaran dibalik apa yang mereka lihat.
Akhirnya, manusia
sepatutnya mengetahui dan menjalankan mandat sesuai keinginan Tuhan yang
sebenarnya. Walaupun tidak mampu mencapai maksud para sufi yaitu menemukan
penampakan Tuhan di balik alam melalui mata batin, paling tidak para awam
melalui pengamatannya mengantarkan pada makna ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Sebab
alam semesta yang begitu luas, indah dan memesona merupakan manifestasi teramat
besar dari keagungan-Nya.




Comments
Post a Comment