Terlambat Belum Tentu Gagal, kan?

Ilustrasi Gambar (Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Sofiah Najihah Syamsuri

Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al- Athaiyyah Hikmah ke-6

“Maaf, Anda dinyatakan tidak lulus”.

Kalimat itu membuat Zahra lemas, ia tak ingin bertemu dengan siapa pun, yang ada hanya rasa kecewa dan putus asa. Impian untuk berkuliah di universitas favoritnya itu harus pupus. Wajar saja dirinya sangat sedih, cita-cita itu ia bangun sejak duduk di bangku kelas 2 tingkat menengah pertama tatkala melihat para seniornya di acara pelepasan calon mahasiswa Timur Tengah.

 

Zahra yang sejak di bangku menengah pertama mulai tertarik dengan bahasa Arab. Ketertarikan itu muncul ketika diajak oleh kawannya yang bernama Syifa. Awalnya hanya ikut-ikutan, mengingat ia yang tidak punya dasar apapun sebelumnya tentang bahasa Arab. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang mayoritas dari madrasah ibtidaiah. Syukurnya ia bertemu dengan Syifa seorang kawan yang sangat tekun dan selalu mengajaknya dalam setiap kegiatan-kegiatan positif.

 

Hingga saat menginjak kelas 3 menengah atas, mereka mulai menentukan pilihannya. Zahra yang bercita-cita berkuliah di Timur Tengah itu harus berpisah dengan kawan baiknya ketika Syifa memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Brunei Darussalam dan menempuh pendidikan kedokteran.

 

Hari itu pun tiba, tes seleksi perguruan tinggi Timur Tengah dimulai, ia mengerjakannya dengan perasaan deg-deg an sambil berharap semoga usahanya selama ini berhasil.

 

***

Namun Tuhan berkehendak lain, hasil pengumuman seleksi membuatnya kecewa. Ia belum diberikan kesempatan untuk berkuliah di universitas impiannya itu. Saat itu Zahra terdiam. Bahkan air matanya pun tidak menetes setitik pun, yang ada hanya perasaan kaget sambil berusaha mencerna kejadian siang itu. Ia mengunci dirinya di kamar sendirian, tak ingin bertemu dengan siapa pun. Ia merasakan kekecewaan yang sangat mendalam sampai marah dan menyalahkan diri sendiri karena merasa usahanya selama ini sudah maksimal. Hingga bulan pun menampakkan cahayanya, Zahra dipanggil oleh ayahnya yang seolah mengerti apa yang terjadi pada anaknya itu.

 

Zahra yang sangat dekat dengan ayahnya itu selalu patuh. Semua petuah ayahnya ia jadikan motivasi dan pendorong baginya. Namun malam itu, nasihat ayahnya tentang surah Al-Baqarah ayat 216 itu hanya terasa bagai angin lewat saja.

 

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”

 

Ia berusaha mencerna nasihat itu sembari hati dan pikirannya berkecamuk. Ia berusaha menerima sambil membatin mempertanyakan bukankah Tuhan Maha Mendengar doa hambanya dan akan mengabulkannya? Bukankah Tuhan akan melihat usaha hambanya? Bukankah Tuhan tidak akan mengecewakan hambanya?

 

Pertanyaan-pertanyaan itu berlalu begitu saja seiring dengan berlalunya waktu, ia tak kunjung menemukan jawaban. Sampai akhirnya, Zahra pun berhasil untuk melanjutkan hidupnya, Mendaftar di sebuah universitas Islam di negerinya dan mulai beradaptasi dengan kampus barunya itu.

 

Suatu saat ia berjalan menuju kantin kuliah, pandangannya lalu tertuju pada sebuah kertas pengumuman di mading. Pendaftaran untuk berkuliah di Timur Tengah kembali dibuka. Pada momen itu memori ingatannya kembali dengan kegagalan yang pernah ia alami. Ia bingung ingin kembali mengikuti tes mengejar impiannya yang lalu atau tetap melanjutkan kuliah di negerinya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi ke sebuah taman kampus untuk menenangkan diri. Taman dengan pemandangan yang indah itu selalu ia jadikan sebagai sumber inspirasi atau hanya sekedar mengisi kekosongan di jam istirahat. Di momen itu juga ia bertemu dengan seorang petugas pembersih taman yang mulai mendekat ke arahnya.

 

Bapak itu kemudian meminta izin untuk duduk di samping Zahra karena ingin beristirahat sejenak dan memulai percakapan.

 

“Kuliahnya di jurusan apa, Nak?”

 

 “Sastra Arab, Pak” jawab Zahra.

 

“Bapak sudah berapa lama kerjanya? Soalnya saya sering nongkrong disini tapi baru melihat bapak.”

 

Bapak itu hanya tersenyum, sambil menanyakan keadaan Zahra yang matanya terlihat sembab.

 

“Kenapa nak, baik-baik aja?

 

"Saya sedih dan bingung, pendaftaran ke universitas di Timur Tengah kembali dibuka. Saya mau mencoba kembali tapi khawatir gagal lagi, Pak.”

 

"Harusnya kita tak perlu khawatir untuk semua yang terjadi di hidup kita. Bukankah Tuhan telah merencanakan dan menetapkan semuanya Nak? Sebagai hamba yang baik kita hanya perlu menjalankan peran, berusaha dan berdoa.” Ucap bapak itu

 

"Bagaimana jika saya sudah berusaha tapi tetap tak berhasil, Pak?"

 

"Kita hanya diperintahkan untuk berusaha lalu menyerahkannya kepada Tuhan, Nak. Jangan kau berpegang pada usahamu, coba saja yah jangan terlalu mengkhawatirkan banyak hal, dan jangan lupa minta doa dan restu dari orang tuamu. Serta terlambatnya pemberian setelah engkau mengulang-ulang permintaan jangan membuatmu putus harapan. Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan Nak”.

 

Petuah bapak itu seolah menampar Zahra.  Ia yang selama ini telah berburuk sangka pada Tuhan atas doa-doanya yang belum terkabul mulai terketuk dan sadar. Nasihat itu senantiasa terngiang-ngiang di benaknya.

 

Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan”.

 

Petuah itu menjadi penenang Zahra atas kekecewaannya yang lalu. Zahra menyadari bahwa selama ini ia sangat bergantung pada usahanya dan lupa bertawakkal pada Tuhan. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mendaftar dan menjalankan tes seleksi itu dengan niat yang baru. Tanpa sadar ia telah bercerita dengan orang yang baru ia temui, mengingat ia merupakan orang yang tidak terbuka dengan orang lain kecuali pada sahabat dan orang tuanya.

 

Sebulan kemudian pengumuman nama-nama yang lulus sudah keluar bersamaan dengan liburan pertengahan semester di kampusnya. Ia membukanya dengan perasaan campur aduk sembari menutup setengah matanya, dan....

"Selamat anda dinyatakan lulus."

 

Perasaannya haru campur bahagia meliputi benaknya. Kabar bahagia itu cepat-cepat ia sampaikan pada orang tuanya.

 

Melihat ayahnya, Zahra teringat dengan bapak petugas kebersihan taman kampus. Ia pun berencana ingin memberitahukan kabar bahagia ini pada bapak itu.

 

Saat kembali dari liburan, Zahra pergi ke taman kampus untuk mencari bapak itu. Ia pun mengelilingi taman sambil menanyakan pada orang-orang yang sering ia liat di taman itu, namun mereka semua mengaku tidak pernah melihatnya.

 

Mendengar hal itu ia tidak langsung memercayainya. Ia mengingat betul bagaimana pertemuan dan percakapannya dengan petugas kebersihan yang sangat membekas saat itu. Hingga ia bertemu dengan seorang teman yang ia percayai dan menanyakan keberadaan bapak . Ia pun menceritakan semuanya dan temannya itu menyadarkan bahwa petugas kebersihan yang ia temui di jam istirahat itu tidak pernah ada. Hanya ada wanita tua yang bertugas membersihkan taman di pagi hari sebelum jam istirahat.

 

***

Setelah melewati beberapa kejadian dalam hidupnya. Memori tentang pertanyaan-pertanyaannya dahulu terhadap Tuhan kembali, seolah Tuhan ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Zahra saat itu. Ia pun baru menyadari bahwa pemberian Tuhan selalu di waktu yang tepat, dan selalu yang terbaik walaupun yang terbaik tidak selamanya menjadi yang terindah dan bagaimana kasih sayang Tuhan terhadapnya yang tidak pernah putus.

 

Sejalan dengan nasihat yang disampaikan ayahnya yang dikutip dari kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari:

لاَ يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ العَطَاءِ، مَعَ الإِلحَاءِ فى الدُّعاءِ، مُوجِبًا لِسَأْيِك، فَهُوَ ضَمِنَ لَك الإجَابَة فيما يَختَارُ لك، لاَ فيما تَختَارُ لِنَفسِك، و فى الوَقت الذي يُريدُ، لا فى الوقت الذي تُرِيدُ

“Terlambatnya pemberian setelah engkau mengulang-ulang permintaan jangan membuatmu putus harapan. Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan.”

 

Nasihat itu menjadi tidak asing di telinganya. Ia pernah mendengarkan sebelumnya di sebuah taman kampus dari seorang petugas kebersihan yang keberadaannya hingga saat ini tidak ada orang yang mengetahuinya.

 

Tuhan berjanji akan mengabulkan doa hambanya. Namun Dia tidak berjanji untuk mengabulkan pada waktu yang kita inginkan melainkan pada waktu yang Tuhan sendiri telah pilihkan untuk kita. Penundaan pengabulan doa merupakan salah satu bentuk kasih sayang Tuhan. Serta sekalipun doa kita tidak dikabulkan bisa jadi Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik, karena hakikat doa adalah bukan meminta tapi menunjukkan bentuk penghambaan kita terhadap-Nya.

 

Terkadang Tuhan menunda pemberiannya karena hakikatnya kita yang belum siap menerimanya. Namun sifat manusia selalu tergesa-gesa, segala keinginannya selalu ingin cepat dikabulkan padahal Tuhanlah yang paling tau kondisi hambanya, yah terkadang kita yang gagal memahami bahasa cinta Tuhan.

 

 

 

 

 

Comments