Terlambat Belum Tentu Gagal, kan?
Terinspirasi dari kitab Syarhul Hikam Al- Athaiyyah Hikmah ke-6
“Maaf,
Anda dinyatakan tidak
lulus”.
Kalimat itu membuat Zahra lemas,
ia tak ingin bertemu dengan siapa pun, yang ada hanya rasa kecewa dan putus
asa. Impian untuk berkuliah di universitas favoritnya itu harus pupus. Wajar saja
dirinya sangat sedih, cita-cita itu ia bangun sejak duduk di bangku kelas 2
tingkat menengah pertama tatkala melihat para seniornya di acara pelepasan calon
mahasiswa Timur Tengah.
Zahra yang sejak di bangku
menengah pertama mulai tertarik dengan bahasa Arab. Ketertarikan itu muncul
ketika diajak oleh kawannya yang bernama Syifa. Awalnya hanya ikut-ikutan,
mengingat ia yang tidak punya dasar apapun sebelumnya tentang bahasa Arab.
Berbeda dengan teman-teman lainnya yang mayoritas dari madrasah ibtidaiah.
Syukurnya ia bertemu dengan Syifa seorang kawan yang sangat tekun dan selalu
mengajaknya dalam setiap kegiatan-kegiatan positif.
Hingga saat menginjak kelas
3 menengah atas, mereka mulai menentukan pilihannya. Zahra yang bercita-cita
berkuliah di Timur Tengah itu harus berpisah dengan kawan baiknya ketika Syifa
memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Brunei Darussalam dan menempuh
pendidikan kedokteran.
Hari itu pun tiba, tes seleksi
perguruan tinggi Timur Tengah dimulai, ia mengerjakannya dengan perasaan
deg-deg an sambil berharap semoga usahanya selama ini berhasil.
***
Namun Tuhan berkehendak lain, hasil
pengumuman seleksi membuatnya kecewa. Ia belum diberikan kesempatan untuk
berkuliah di universitas impiannya itu. Saat itu Zahra terdiam. Bahkan air
matanya pun tidak menetes setitik pun, yang ada hanya perasaan kaget sambil
berusaha mencerna kejadian siang itu. Ia mengunci dirinya di kamar sendirian,
tak ingin bertemu dengan siapa pun. Ia merasakan kekecewaan yang sangat
mendalam sampai marah dan menyalahkan diri sendiri karena merasa usahanya
selama ini sudah maksimal. Hingga bulan pun menampakkan cahayanya, Zahra
dipanggil oleh ayahnya yang seolah mengerti apa yang terjadi pada anaknya itu.
Zahra yang sangat dekat dengan
ayahnya itu selalu patuh. Semua petuah ayahnya ia jadikan motivasi dan
pendorong baginya. Namun malam itu, nasihat ayahnya tentang surah Al-Baqarah
ayat 216 itu hanya terasa bagai angin lewat saja.
“Boleh
jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak bagimu. Allah mengetahui sedang kamu
tidak mengetahui.”
Ia berusaha mencerna nasihat itu
sembari hati dan pikirannya berkecamuk. Ia berusaha menerima sambil membatin
mempertanyakan bukankah Tuhan Maha Mendengar doa hambanya dan akan
mengabulkannya? Bukankah Tuhan akan melihat usaha hambanya? Bukankah Tuhan
tidak akan mengecewakan hambanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu berlalu
begitu saja seiring dengan berlalunya waktu, ia tak kunjung menemukan jawaban.
Sampai akhirnya, Zahra pun berhasil untuk melanjutkan hidupnya, Mendaftar di
sebuah universitas Islam di negerinya dan mulai beradaptasi dengan kampus
barunya itu.
Suatu saat ia berjalan menuju
kantin kuliah, pandangannya lalu tertuju pada sebuah kertas pengumuman di
mading. Pendaftaran untuk berkuliah di Timur Tengah kembali dibuka. Pada momen
itu memori ingatannya kembali dengan kegagalan yang pernah ia alami. Ia bingung
ingin kembali mengikuti tes mengejar impiannya yang lalu atau tetap melanjutkan
kuliah di negerinya. Akhirnya ia pun memutuskan untuk pergi ke sebuah taman
kampus untuk menenangkan diri. Taman dengan pemandangan yang indah itu selalu
ia jadikan sebagai sumber inspirasi atau hanya sekedar mengisi kekosongan di
jam istirahat. Di momen itu juga ia bertemu dengan seorang petugas pembersih
taman yang mulai mendekat ke arahnya.
Bapak itu kemudian meminta izin untuk duduk di samping
Zahra karena ingin beristirahat sejenak dan memulai percakapan.
“Kuliahnya di jurusan apa, Nak?”
“Sastra Arab,
Pak” jawab Zahra.
“Bapak sudah berapa lama kerjanya? Soalnya saya sering
nongkrong disini tapi baru melihat bapak.”
Bapak itu hanya tersenyum, sambil menanyakan keadaan
Zahra yang matanya terlihat sembab.
“Kenapa nak, baik-baik aja?
"Saya sedih dan bingung,
pendaftaran ke universitas di Timur Tengah kembali dibuka. Saya mau mencoba
kembali tapi khawatir gagal lagi, Pak.”
"Harusnya kita tak perlu
khawatir untuk semua yang terjadi di hidup kita. Bukankah Tuhan telah
merencanakan dan menetapkan semuanya Nak? Sebagai hamba yang baik kita hanya
perlu menjalankan peran, berusaha dan berdoa.” Ucap bapak itu
"Bagaimana jika saya sudah berusaha
tapi tetap tak berhasil, Pak?"
"Kita hanya diperintahkan
untuk berusaha lalu menyerahkannya kepada Tuhan, Nak. Jangan kau berpegang pada
usahamu, coba saja yah jangan terlalu mengkhawatirkan banyak hal, dan jangan
lupa minta doa dan restu dari orang tuamu. Serta terlambatnya pemberian setelah
engkau mengulang-ulang permintaan jangan membuatmu putus harapan. Allah
menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut
apa yang engkau pilih sendiri, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada
waktu yang engkau inginkan Nak”.
Petuah bapak itu seolah menampar
Zahra. Ia yang selama ini telah berburuk
sangka pada Tuhan atas doa-doanya yang belum terkabul mulai terketuk dan sadar.
Nasihat itu senantiasa terngiang-ngiang di benaknya.
“Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu,
bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada waktu yang Dia kehendaki,
bukan pada waktu yang engkau inginkan”.
Petuah itu menjadi penenang Zahra
atas kekecewaannya yang lalu. Zahra menyadari bahwa selama ini ia sangat
bergantung pada usahanya dan lupa bertawakkal pada Tuhan. Akhirnya ia pun
memutuskan untuk mendaftar dan menjalankan tes seleksi itu dengan niat yang
baru. Tanpa sadar ia telah bercerita dengan orang yang baru ia temui, mengingat
ia merupakan orang yang tidak terbuka dengan orang lain kecuali pada sahabat
dan orang tuanya.
Sebulan kemudian pengumuman
nama-nama yang lulus sudah keluar bersamaan dengan liburan pertengahan semester
di kampusnya. Ia membukanya dengan perasaan campur aduk sembari menutup
setengah matanya, dan....
"Selamat
anda dinyatakan lulus."
Perasaannya haru campur bahagia
meliputi benaknya. Kabar bahagia itu cepat-cepat ia sampaikan pada orang
tuanya.
Melihat ayahnya, Zahra teringat
dengan bapak petugas kebersihan taman kampus. Ia pun berencana ingin
memberitahukan kabar bahagia ini pada bapak itu.
Saat kembali dari liburan, Zahra
pergi ke taman kampus untuk mencari bapak itu. Ia pun mengelilingi taman sambil
menanyakan pada orang-orang yang sering ia liat di taman itu, namun mereka
semua mengaku tidak pernah melihatnya.
Mendengar hal itu ia tidak
langsung memercayainya. Ia mengingat betul bagaimana pertemuan dan
percakapannya dengan petugas kebersihan yang sangat membekas saat itu. Hingga
ia bertemu dengan seorang teman yang ia percayai dan menanyakan keberadaan bapak
. Ia pun menceritakan semuanya dan temannya itu menyadarkan bahwa petugas
kebersihan yang ia temui di jam istirahat itu tidak pernah ada. Hanya ada
wanita tua yang bertugas membersihkan taman di pagi hari sebelum jam istirahat.
***
Setelah melewati beberapa kejadian dalam hidupnya. Memori tentang pertanyaan-pertanyaannya dahulu terhadap Tuhan kembali, seolah Tuhan ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Zahra saat itu. Ia pun baru menyadari bahwa pemberian Tuhan selalu di waktu yang tepat, dan selalu yang terbaik walaupun yang terbaik tidak selamanya menjadi yang terindah dan bagaimana kasih sayang Tuhan terhadapnya yang tidak pernah putus.
Sejalan dengan nasihat yang
disampaikan ayahnya yang dikutip dari kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari:
لاَ يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ العَطَاءِ، مَعَ الإِلحَاءِ فى الدُّعاءِ،
مُوجِبًا لِسَأْيِك، فَهُوَ ضَمِنَ لَك الإجَابَة فيما يَختَارُ لك، لاَ فيما
تَختَارُ لِنَفسِك، و فى الوَقت الذي يُريدُ، لا فى الوقت الذي تُرِيدُ
“Terlambatnya
pemberian setelah engkau mengulang-ulang permintaan jangan membuatmu putus
harapan. Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih
untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada waktu yang Dia
kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan.”
Nasihat itu menjadi tidak asing di
telinganya. Ia pernah mendengarkan sebelumnya di sebuah taman kampus dari
seorang petugas kebersihan yang keberadaannya hingga saat ini tidak ada orang
yang mengetahuinya.
Tuhan berjanji akan mengabulkan
doa hambanya. Namun Dia tidak berjanji untuk mengabulkan pada waktu yang kita
inginkan melainkan pada waktu yang Tuhan sendiri telah pilihkan untuk kita.
Penundaan pengabulan doa merupakan salah satu bentuk kasih sayang Tuhan. Serta
sekalipun doa kita tidak dikabulkan bisa jadi Tuhan menggantinya dengan yang
lebih baik, karena hakikat doa adalah bukan meminta tapi menunjukkan bentuk
penghambaan kita terhadap-Nya.
Terkadang Tuhan menunda
pemberiannya karena hakikatnya kita yang belum siap menerimanya. Namun sifat
manusia selalu tergesa-gesa, segala keinginannya selalu ingin cepat dikabulkan
padahal Tuhanlah yang paling tau kondisi hambanya, yah terkadang kita yang
gagal memahami bahasa cinta Tuhan.




Comments
Post a Comment