Bola Panas dari Sayap Kanan Inggris; Gelombang Anti-Islam dan Imigran Sistematis Berkedok Demonstrasi HAM

   Gambar 8.8(Gambar: dok. BAIT)

Oleh: Andi Tenri Mula Uforio

Perbedaan dan warna dalam lapisan masyarakat adalah suatu keniscayaan, keniscayaan yang nyatanya tidak diikuti oleh penerimaan secara menyeluruh. Tanpa melihat dari segi objektifitas, melainkan segera menarik dari sudut subjektif dalam bertindak dan beropini. Berbagai fenomena yang terjadi selama berlangsungnya siklus hidup manusia, telah menjadi penulis dan pencerita yang apik dalam merunut alur-alur yang menyesakkan. 

Salah satu sasaran diskriminasi dan berbagai arus polemik masyarakat dunia adalah kelompok imigran dan muslim. Sudah menjadi hal yang diketahui bersama, dunia memang tidak begitu ramah dengan isu minoritas. Celah akan selalu digali dalam setiap situasi untuk menyudutkan dan menyalahkan. Sehingga memaksa sudut-sudut dunia terbagi menjadi dua; dunia maya dan realita penuh kilatan kamera. Bidang jurnalistik semakin menarik dan mengambil tempat istimewa dalam situasi seperti ini. Tangan mereka akan selalu bercampur pada berbagai fenomena dalam realita, untuk berakhir di depan layar setiap orang.

Diantara kejadian yang menyinggung kelompok imigran dan muslim kini terjadi di Britania Raya, berupa unjuk rasa masyarakat kepada pemerintah. Demonstrasi terparah yang terjadi dalam lebih dari satu dekade ini, merupakan buntut dari insiden penikaman yang menewaskan tiga anak perempuan di southport, pada tanggal 29 Juli 2024. Namun demikian, dalam masa berkabung tersebut, dunia maya tepatnya media sosial X, diramaikan oleh postingan yang memantik misinformasi terkait pelaku yang bertanggunng jawab atas kejadian tersebut. Disebutkan bahwa pelaku adalah seorang imigran muslim yang masuk ke Inggris dengan perahu.

Rumor ini menyebar cepat, ditambah provokasi dan stimulus oleh kelompok ekstrimis sayap kanan yang tak mungkin membiarkan celah ini meredam begitu saja. Hingga masyarakat mulai berkumpul dan melakukan demonstrasi dengan meneriakkan ujaran anti imigran dan muslim. Unjuk rasa ini semakin tak terkendali bentrok pecah, mereka menjadikan properti milik kelompok imigran dan muslim di berbagai tempat sebagai sasaran amarah mereka, bahkan tak sedikit aparat kepolisian menjadi korban dari aksi ini.

Belakangan, dikonfirmasi terkait pelaku penikaman tempo hari adalah seorang remaja bernama Alex Rudakubana. Seorang berkebangsaan Inggris dengan darah campuran Rwanda berkulit hitam dan seorang kristiani. Namun seolah buta dan tak peduli akan informasi tersebut, emosi terus memuncak dan kerusuhan menyebar ke daerah lain, diantaranya; Manchester, Sunderland, Belfast, Liverpool, London, Middlebrough, dan lain-lain.

Ternyata demonstrasi ini tidak berhenti dalam lingkaran kejadian pemantik sebelumnya, akan tetapi faktor ekonomi yang menurun juga ikut mewarnai kerusuhan ini. Kelompok imigran mejadi salah satu pihak yang disalahkan dalam degradasi ekonomi di negara tersebut. Begitu kata sebagian mereka ketika diwawancara oleh media.

Dalam pengamatan wartawan di Inggris, masyarakat selain kelompok sayap kanan dan para pengikutnya, membantu penanganan di lokasi-lokasi sasaran kerusuhan. Melihat hal tersebut, Perdana menteri Keir Starmer angkat suara dan mengutuk kerusuhan tersebut sebagai "premanisme sayap kanan". Beliau juga mengatakan setelah rapat kabinet darurat, "Apapun motivasinya, itu bukan demonstrasi, ini murni kekerasan dan kami tidak akan mentolerir serangan terhadap masjid atau komunitas muslim kami." Katanya.

Para aktivis sayap kanan yang dipimpin oleh Tommy Robinson dan informasi keliru yang disebar di media sosial adalah pihak yang pantas disalahkan dalam kekacauan kali ini. Hal ini pun yang diyakini oleh perdana menteri Inggris tersebut. Perusahaan-perusahaan media sosial yang dinilai tidak mampu mencegah penyebaran rumor palsu, hingga memicu kekacauan gila ini pun disoroti dengan mata tajam.

Menteri dalam negeri Inggris dalam pernyataanya mengatakan, "Orang-orang yang berakal sehat yang memiliki pandangan dan kekhawatiran seperti itu tidak akan mengambil batu bata dan melemparkannya ke polisi," tegasnya. Ini sangat menjelaskan situasi yang terjadi di sana, tentu banyak dari mereka yang berpartisipasi dalam aksi tersebut, mereka hanyalah orang-orang yang sebelumnya hanya duduk di teras rumah dengan perasaan dan pikiran kacau, sehingga berkeinginan untuk membuat kerusuhan, memukul orang, dan berteriak di pusat kota. Sebenarnya sebagian dari mereka pun tak peduli terhadap aksi penikaman yang terjadi sebelumnya, itu hanya alibi atas kebencian mereka terhadap kelompok imigran dan muslim.

Komunitas muslim dalam hal ini menjadi salah satu pihak yang paling dirugikan. Sementara mereka menjalankan keseharian mereka dengan tenang, tiba-tiba wajah mereka dilempari dengan tuduhan dan hinaan yang tak berdasar. Properti mereka hampir tak bisa diselamatkan dari amarah kebencian mereka, begitu pula yang terjadi pada tempat ibadah mereka di beberapa lokasi berbeda. Bahkan dalam kurun waktu yang tak diketahui, mereka harus hidup dalam teror gelombang fobia kelompok tersebut terhadap mereka.

Lembaga muslim tertua dan dihormati di dunia, Al-Azhar, tidak bungkam atas serangan yang menimpa umat muslim dan masjid mereka selama berlangsungnya aksi tersebut. Al-Azhar mengutuk aksi anti-islam tersebut dan menyebut kerusuhan di Inggris sebagai "kampanye anti-muslim yang sistematis".  Dalam pernyataan yang dirilis, lembaga Islam terkemuka ini juga menyerukan kepada masyarakat Inggris untuk menghadapi “serangan-serangan yang bertujuan untuk menyulut kebencian terhadap muslim dan memicu ketakutan di antara sebagian besar masyarakat Inggris.” Al-Azhar tak lupa memuji pemerintahan Inggris atas penanganan mereka terhadap kerusuhan yang menyudutkan umat muslim di Inggris.

Kerusuhan yang terjadi menampakkan dengan sangat jelas standar ganda dalam masalah HAM yang dilakukan oleh masyarakat Inggris, di mana mereka yang disebutkan menuntut penyelesaian masalah dari pemerintah terkait perenggutan nyawa para gadis kecil tak berdosa, namun di satu sisi hak asasi kelompok dan individu lain menjadi korban dalam konteks yang tak bisa dibenarkan, sebab kekeliruan dalam klaim informasi yang tersebar.  Sehingga dapat disimpulkan, aksi ini tidaklah murni tuntutan penegakan hukum, permainan kelompok provokator yang memanfaatkan momentum ini untuk menyudutkan komunitas tersebut juga ikut mengotori lapangan demonstrasi.

Sekali lagi, kejadian ini membuktikan bahwa arus informasi di dunia maya dapat menjadi senjata untuk kemajuan juga kehancuran bahkan runtuhnya suatu bangsa. Apalagi, jika dibumbui dengan kebencian dan provokasi pihak-pihak bertopeng manusia. Menilik dari sumber dan dasar kerusuhan ini terjadi, gelombang islamofobia dan xenofobia masih menjadi judul yang laku untuk menciptakan bola panas di tengah maraknya campaign besar-besaran yang dilaksanakan oleh berbagai organisasi besar dunia, tak lain untuk mempromosikan pluralisme, toleransi global, dan pemerataan hak-hak asasi manusia secara kelompok maupun individu.

Namun ketika melihat garis realita, seolah semua itu terlihat hanya untuk kepentingan dokumentasi dan promosi impresi dan citra sebagai kelompok kedamaian. Teori dan hukum yang terbatas pada kertas dan rekaman gambar bersuara, mereka tak benar-benar hidup dalam hati masyarakat secara keseluruhan. Dunia kini menghadapi potensi kemustahilan, akan manifestasi kedamaian yang selama ini diteriakkan oleh semua lapisan masyarakat. Dalam hal ini, tentunya harapan dan tanggung jawab tidak dapat hanya digantungkan pada leher salah satu lapisan tersebut, namun setiap yang disebut manusia tak dapat dipilah-pilih untuk mengemban tujuan bersama ini, semua menjadi rata dalam tugas menjadi agen-agen kedamaian.



Editor: Sofiah Najihah


Comments