Gus Dur; Si Buta yang Melihat Warna
Oleh : Ahmad Mujaddid
Keanekaragaman agama, ras, suku,
budaya, bahasa dan juga pemikiran yang ada di Indonesia mengantarnya mendapat
julukan sebagai negara majemuk. Bukan hal yang menguntungkan sepenuhnya, sebab
kemajemukan ini bak pedang bermata dua. Satu sisi jika ditangani dengan baik,
maka perdamaian dan persaudaraan akan terealisasi. Namun jika sebaliknya, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi banyak permusuhan
dan sikap intoleran.
Persoalan agama yang menjadi salah satu titik kemajemukan
Indonesia, sering menuai pro dan kontra. Bermula banyaknya ajaran-ajaran agama yang sering
di salah artikan, ditambah
dengan pemikiran dangkal dan sifat egois yang berimbas
ke saling menyalahkan, hingga akhirnya melahirkan sikap fanatik truth
claim menjadi sebab maraknya intoleransi
dalam menyikapi perbedaan ini. Terbukti pada penghujung akhir tahun lalu, tak asing lagi dari telinga
kita kasus-kasus pembubaran aktivitas keagamaan dan rumah-rumah ibadah di
Indonesia. Diantaranya pelarangan ibadah yang terjadi di Lampung pada bulan
Februari 2023, pembubaran ibadah di Binjai bulan Mei 2023, perusakan pembangunan
Gereja di Batam bulan Agustus 2023 dan beberapa kasus intoleran lainnya.
Dalam menanggapi masalah-masalah tersebut,
menarik bila kita menyimak beberapa pemikiran seorang Abdurrahman Wahid. Sosok
yang kerap disapa Gus Dur itu, hadir sebagai figur perekat kemajemukan
Indonesia yang hampir saja diambang perpecahan. Tak heran ia mendapat julukan
sebagai Bapak Pluralisme.
“Gitu aja kok repot.” ungkapan yang
acap kali Gus Dur ucapkan tatkala dihadapkan dengan masalah intoleransi yang
terjadi di masanya. Cara pandangnya yang khas tersebut menunjukkan bahwa ia
memiliki visi tersendiri dalam menyikapi perbedaan. Sebut saja pribumisasi islam,
penghormatan terhadap hak kaum minoritas, dan toleransi dalam beragama.
Sebelum kita lebih jauh membahas pemikiran
Gus Dur terkait masalah intoleran, ada baiknya kita lebih dulu mengenal sosok
Gus Dur ini.
Biografi Singkat Gus Dur
Gus Dur, lahir
di Denanyar, 7 September 1940 M. Orang-orang kadang salah mengartikan bahwa Gus
Dur lahir pada tanggal 4 Agustus dikarenakan ia selalu merayakannya pada
tanggal tersebut. Hal ini terjadi karena ibunya yang kala itu masih muda, lebih
bisa membaca huruf arab dibanding huruf latin. Sehingga ketika ia menuliskan
tanggal lahir Gus Dur, ia menulisnya dengan penaggalan Arab tanggal 4 bulan ke
delapan (4 Sya’ban).
Ia merupakan
anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Abdurrahmad Wahid merupakan nama pemberian ayahnya. Namun sebagaimana
kebanyakan orang sebayanya, ia juga memiliki nama kelahiran yang berbeda, yaitu
Abdurrahman ad-Dakhil. Ad-Dakhil terambil dari nama seorang pahlawan pada
dinasti Umayyah yang dulu membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban
yang berlangsung berabad-abad di sana.
Gus Dur
dibesarkan di lingkungan yang kebudayaan dan Islamnya sangat kental. Ayahnya,
Wahid Hasyim seorang yang sempat menjabat sebagai Menteri agama di era
Soekarno. Wahid juga merupakan putra dari Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri pondok
pesantren Tebuireng, dan salah satu organisasi muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Ibunya, Solichah
merupakan putri dari Kiai Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Denyanyar.
Pendidikan Gus
Dur bermula dari rumahnya sendiri, dimana ia memiliki latar belakang keluarga
yang memberikan perhatian besar dalam pendidikan. Setelah ayahnya dilantik
menjadi Menteri Agama, ia disekolahkan di SD KRIS. Untuk memperluas wawasan
anaknya, ayahnya menyarankan untuk belajar bahasa Belanda di seorang mualaf
yang bernama Iskandar (sebelum mualaf namanya Willem Buhl). Pada April 1953,
Gus Dur melanjutkan pendidikan formalnya di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama) sambil me-nyantri di pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Setelah
melaksanakan ibadah haji pada tahun 1962, Gus Dur meneruskan studinya di
Universitas Al-Azhar Mesir. Namun karena tidak memiliki ijazah yang menunjukkan
bahwa ia telah lulus kelas dasar bahasa Arab, ia ditempatkan di kelas khusus
untuk mempelajari dasar-dasar bahasa Arab. Tak berapa lama setelah beliau lulus
dari kelas dasar tersebut, dan mengambil jurusan Dirasah Islamiyah wa Lughah
Arabiyah, ia mendapat beasiswa di Universitas Baghdad, Irak.
Pada tahun
1971, Gus Dur menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia, khususnya kembali
dalam dunia pesantren. Pada saat itu Gus Dur sering menulis di beberapa majalah
ternama di Indonesia. Seperti Prisma, bahkan tulisan-tulisannya di majalah tersebut
kini telah dikumpulkan dan disatukan dalam satu buku yang berjudul, Prisma
Pemikiran Gus Dur.
Gus Dur wafat diumurnya
yang ke-69 tahun, tepatnya pada 30 Desember 2009. Selain sebagai tokoh
kemanusiaan ia juga dikenal sebagai tokoh agama, lebih dari itu ia pernah
menjabat sebagai presiden republik Indonesia ke-4.
Pemikiran Gus Dur terkait dengan Masalah
Intoleran di Indonesia
Dalam tulisannya yang berjudul: Islam dan Dialog Antar-Agama, Gus
Dur mengutip al-Quran surah al-Hujurat: 13, “Innâ khalaqnâkum min dzakarin
wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû”. Menurutnya, ayat
ini menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada; antara laki-laki dan
perempuan, antara bangsa, suku, dan ras. Dengan demikian, perbedaan merupakan
sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan
keterpisahan (tafarruq).
Dalam tulisannya tersebut, Gus Dur juga menjelaskan bahwa kita
sebagai pemeluk agama Islam tidaklah salah mempunyai sifat truth claim.
Bahkan dalam al-Quran surah al-Baqarah: 120 disebutkan, “Wa lan tardhâ ‘anka
al-yahûdu wa lan al-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum” (dan orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu, hingga kamu mengikuti agama
mereka). Selama Nabi Muhammad Saw masih berkeyakinan; Allah adalah Tuhan, dan
beliau sendiri adalah utusan-Nya, selama itu pula orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan pernah mengakui kenubuatan Nabi Muhammad Saw.
Maka sama halnya dengan sikap kita sebagai pemeluk Islam sendiri.
Selama orang-orang Nasrani yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi
percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kita tidak
akan rela kepada kedua agama tersebut. Sikap tersebut sebenarnya wajar-wajar
saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan atau aqidah. Tetapi hal itu seharusnya
tidak menghalangi para pemeluk agama untuk hidup rukun, damai, tentram dan
sejahtera.
Gus Dur, dalam tulisan lainnya berjudul: Ras dan Diskriminasi di
Negara Ini, menekankan tentang pentingnya untuk membedakan antara pertentangan dan
perbedaan. Yang dilarang oleh Allah dalam al-Quran adalah pertentangan dan
perpecahan, “wa lâ tafarraqû”. Adapun perbedaan adalah sunnatullah
yang tidak mungkin kita hindari, apalagi di Indonesia. Perbedaan justru harus
dianggap sebagai kekayaan bangsa.
Selain dengan tulisan-tulisan, Gus Dur juga merealisasikan
perdamaian dengan memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, seperti orang-orang
Tionghoa. Pada masanya, orang-orang Tionghoa mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif dari penduduk pribumi Indonesia. Seperti pelarangan ibadah,
pembangunan klenteng, bahkan juga pelarangan perayaan Imlek dialami oleh
mereka.
Saat menjabat sebagai presiden republik Indonesia ke-4, Gus Dur hadir
tuk membela hak-hak orang-orang Tionghoa dan bahkan memberikan izin mereka untuk
menjalankan ibadah dan merayakan Imlek.
Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi saat itu, yang Gus Dur
inginkan hanyalah terciptanya rasa saling menghargai antar masyarakat
Indonesia.
Dari sini kita bisa simpulkan bersama, Gus Dur tetap menghormati
agama dan kepercayaan lain, sedang ia tetap tidak melepas aqidah dan kepercayaannya
terhadap Islam. Gus Dur melihat bahwa tidak perlu mencari banyak kesamaan untuk
saling menghormati, cukuplah bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan.
Selain itu, ia juga berbagi pandangan bahwa tidaklah salah memiliki
keyakinan dalam diri bahwa ajaran yang kita anut adalah yang benar, namun bukan
berarti dengan hal tersebut membenarkan kita untuk bersikap intoleran. Akhirnya,
meskipun memiliki keterbatasan penglihatan, namun justru Gus Dur lebih dapat
melihat warna dibanding kebanyakan orang.
Editor : Ummu Sa'ad Ramadhan




Comments
Post a Comment