Gus Dur; Si Buta yang Melihat Warna

Gambar 8.3 (Source: Pinterest)

Oleh : Ahmad Mujaddid

Keanekaragaman agama, ras, suku, budaya, bahasa dan juga pemikiran yang ada di Indonesia mengantarnya mendapat julukan sebagai negara majemuk. Bukan hal yang menguntungkan sepenuhnya, sebab kemajemukan ini bak pedang bermata dua. Satu sisi jika ditangani dengan baik, maka perdamaian dan persaudaraan akan terealisasi. Namun jika sebaliknya, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi banyak permusuhan dan sikap intoleran.

Persoalan agama yang menjadi salah satu titik kemajemukan Indonesia, sering menuai pro dan kontra. Bermula banyaknya ajaran-ajaran agama yang sering di salah artikan, ditambah dengan pemikiran dangkal dan sifat egois yang berimbas ke saling menyalahkan, hingga akhirnya melahirkan sikap fanatik truth claim menjadi sebab maraknya intoleransi dalam menyikapi perbedaan ini. Terbukti pada penghujung akhir tahun lalu, tak asing lagi dari telinga kita kasus-kasus pembubaran aktivitas keagamaan dan rumah-rumah ibadah di Indonesia. Diantaranya pelarangan ibadah yang terjadi di Lampung pada bulan Februari 2023, pembubaran ibadah di Binjai bulan Mei 2023, perusakan pembangunan Gereja di Batam bulan Agustus 2023 dan beberapa kasus intoleran lainnya.

Dalam menanggapi masalah-masalah tersebut, menarik bila kita menyimak beberapa pemikiran seorang Abdurrahman Wahid. Sosok yang kerap disapa Gus Dur itu, hadir sebagai figur perekat kemajemukan Indonesia yang hampir saja diambang perpecahan. Tak heran ia mendapat julukan sebagai Bapak Pluralisme.

Gitu aja kok repot.” ungkapan yang acap kali Gus Dur ucapkan tatkala dihadapkan dengan masalah intoleransi yang terjadi di masanya. Cara pandangnya yang khas tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki visi tersendiri dalam menyikapi perbedaan. Sebut saja pribumisasi islam, penghormatan terhadap hak kaum minoritas, dan toleransi dalam beragama.

Sebelum kita lebih jauh membahas pemikiran Gus Dur terkait masalah intoleran, ada baiknya kita lebih dulu mengenal sosok Gus Dur ini.

Biografi Singkat Gus Dur

Gus Dur, lahir di Denanyar, 7 September 1940 M. Orang-orang kadang salah mengartikan bahwa Gus Dur lahir pada tanggal 4 Agustus dikarenakan ia selalu merayakannya pada tanggal tersebut. Hal ini terjadi karena ibunya yang kala itu masih muda, lebih bisa membaca huruf arab dibanding huruf latin. Sehingga ketika ia menuliskan tanggal lahir Gus Dur, ia menulisnya dengan penaggalan Arab tanggal 4 bulan ke delapan (4 Sya’ban).

Ia merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Abdurrahmad Wahid merupakan nama pemberian ayahnya. Namun sebagaimana kebanyakan orang sebayanya, ia juga memiliki nama kelahiran yang berbeda, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil. Ad-Dakhil terambil dari nama seorang pahlawan pada dinasti Umayyah yang dulu membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung berabad-abad di sana.

Gus Dur dibesarkan di lingkungan yang kebudayaan dan Islamnya sangat kental. Ayahnya, Wahid Hasyim seorang yang sempat menjabat sebagai Menteri agama di era Soekarno. Wahid juga merupakan putra dari Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng, dan salah satu organisasi muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).  Ibunya, Solichah merupakan putri dari Kiai Bisri Syansuri, pendiri pondok pesantren Denyanyar.

Pendidikan Gus Dur bermula dari rumahnya sendiri, dimana ia memiliki latar belakang keluarga yang memberikan perhatian besar dalam pendidikan. Setelah ayahnya dilantik menjadi Menteri Agama, ia disekolahkan di SD KRIS. Untuk memperluas wawasan anaknya, ayahnya menyarankan untuk belajar bahasa Belanda di seorang mualaf yang bernama Iskandar (sebelum mualaf namanya Willem Buhl). Pada April 1953, Gus Dur melanjutkan pendidikan formalnya di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) sambil me-nyantri di pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Setelah melaksanakan ibadah haji pada tahun 1962, Gus Dur meneruskan studinya di Universitas Al-Azhar Mesir. Namun karena tidak memiliki ijazah yang menunjukkan bahwa ia telah lulus kelas dasar bahasa Arab, ia ditempatkan di kelas khusus untuk mempelajari dasar-dasar bahasa Arab. Tak berapa lama setelah beliau lulus dari kelas dasar tersebut, dan mengambil jurusan Dirasah Islamiyah wa Lughah Arabiyah, ia mendapat beasiswa di Universitas Baghdad, Irak.

Pada tahun 1971, Gus Dur menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia, khususnya kembali dalam dunia pesantren. Pada saat itu Gus Dur sering menulis di beberapa majalah ternama di Indonesia. Seperti Prisma, bahkan tulisan-tulisannya di majalah tersebut kini telah dikumpulkan dan disatukan dalam satu buku yang berjudul, Prisma Pemikiran Gus Dur.

Gus Dur wafat diumurnya yang ke-69 tahun, tepatnya pada 30 Desember 2009. Selain sebagai tokoh kemanusiaan ia juga dikenal sebagai tokoh agama, lebih dari itu ia pernah menjabat sebagai presiden republik Indonesia ke-4.

 

Pemikiran Gus Dur terkait dengan Masalah Intoleran di Indonesia

Dalam tulisannya yang berjudul: Islam dan Dialog Antar-Agama, Gus Dur mengutip al-Quran surah al-Hujurat: 13, “Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû”. Menurutnya, ayat ini menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada; antara laki-laki dan perempuan, antara bangsa, suku, dan ras. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).

Dalam tulisannya tersebut, Gus Dur juga menjelaskan bahwa kita sebagai pemeluk agama Islam tidaklah salah mempunyai sifat truth claim. Bahkan dalam al-Quran surah al-Baqarah: 120 disebutkan, “Wa lan tardhâ ‘anka al-yahûdu wa lan al-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum” (dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka). Selama Nabi Muhammad Saw masih berkeyakinan; Allah adalah Tuhan, dan beliau sendiri adalah utusan-Nya, selama itu pula orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah mengakui kenubuatan Nabi Muhammad Saw.

Maka sama halnya dengan sikap kita sebagai pemeluk Islam sendiri. Selama orang-orang Nasrani yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kita tidak akan rela kepada kedua agama tersebut. Sikap tersebut sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan atau aqidah. Tetapi hal itu seharusnya tidak menghalangi para pemeluk agama untuk hidup rukun, damai, tentram dan sejahtera.

Gus Dur, dalam tulisan lainnya berjudul: Ras dan Diskriminasi di Negara Ini, menekankan tentang pentingnya untuk membedakan antara pertentangan dan perbedaan. Yang dilarang oleh Allah dalam al-Quran adalah pertentangan dan perpecahan, “wa lâ tafarraqû”. Adapun perbedaan adalah sunnatullah yang tidak mungkin kita hindari, apalagi di Indonesia. Perbedaan justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa.

Selain dengan tulisan-tulisan, Gus Dur juga merealisasikan perdamaian dengan memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, seperti orang-orang Tionghoa. Pada masanya, orang-orang Tionghoa mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari penduduk pribumi Indonesia. Seperti pelarangan ibadah, pembangunan klenteng, bahkan juga pelarangan perayaan Imlek dialami oleh mereka.

Saat menjabat sebagai presiden republik Indonesia ke-4, Gus Dur hadir tuk membela hak-hak orang-orang Tionghoa dan bahkan memberikan izin mereka untuk menjalankan ibadah dan merayakan Imlek.  Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi saat itu, yang Gus Dur inginkan hanyalah terciptanya rasa saling menghargai antar masyarakat Indonesia.

Dari sini kita bisa simpulkan bersama, Gus Dur tetap menghormati agama dan kepercayaan lain, sedang ia tetap tidak melepas aqidah dan kepercayaannya terhadap Islam. Gus Dur melihat bahwa tidak perlu mencari banyak kesamaan untuk saling menghormati, cukuplah bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan.

Selain itu, ia juga berbagi pandangan bahwa tidaklah salah memiliki keyakinan dalam diri bahwa ajaran yang kita anut adalah yang benar, namun bukan berarti dengan hal tersebut membenarkan kita untuk bersikap intoleran. Akhirnya, meskipun memiliki keterbatasan penglihatan, namun justru Gus Dur lebih dapat melihat warna dibanding kebanyakan orang.

 


Editor : Ummu Sa'ad Ramadhan


Comments