Jangan Sampai Menebar Benci yang Kita Anggap Cinta; Interpretasi Pemikiran Dakwah Melalui Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur


 Gambar 8.6 (Source: Pinterest)

Oleh: Muhammad Ichsan Semma

“Baiklah, permainan lama memang telah berakhir Tuhan. Dan kukatakan kepada-Mu, aku adalah pecundang. Aku adalah sang kalah. Dan aku tak mau tercampakkan segini rupa di kamar ini. kalau memang Kau tak mau menyapa lagi, aku pun akan melakukan hal yang sama seperti yang Kau lakukan atasku. Aku juga tak akan menyapa-Mu. Tidak, setitik pun tidak. Bullshit Tuhan, semua-mua bullshit janji pahala, jihad, kesucian yang telah Kau tanam dan tumbuhkan dalam hatiku. Aku tak rela semua jejanji itu tersaji dalam nampan hatiku yang suram ini. Tidak, akan kuhentikan sesaji ibadah yang Kau balas dengan sakit ini. Terserah Kaulah kalau Kau marah lalu mengutukku menjadi apa. Bukankah kerjaan-Mu memang kutuk-mengutuk, bahkan itu sudah berlangsung sejak manusia belum pula lama ada.”

Pernyataan tersebut adalah penggalan paragraf dari sebuah novel berjudul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan. Novel yang dibawakan dengan memakai aliran realisme tersebut bercerita tentang lika-liku perjalanan hidup seorang muslimah. Mulai dari awal bagaimana ia mengenal dan jatuh cinta dengan dunia religius islam, hingga akhirnya garis hidup menuntunnya pada keadaan yang sangat jauh bertolak belakang.  

Nidah Kirani, sang tokoh utama dalam novel, pada awalnya digambarkan sebagai seorang awam yang punya semangat tinggi untuk mengenal agama Islam. Tidak tanggung-tanggung, semangat tersebut digambarkan secara gamblang mulai dari tutur pikir kontemplasi sang tokoh utama, hingga tindakan-tindakan konkret seperti ikut berbagai pengajian, rajin menjalankan ibadah wajib dan sunah, sampai memutuskan masuk ke dalam sebuah pergerakan pembentukan Daulah Islamiyah yang ada di masa tersebut. Di mana dalam beberapa penggambaran perjalanannya yang terakhir, dapat dipahami secara implisit bahwa ada kesalahan dalam pemahaman dari si tokoh utama terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Sayangnya, dalam dinamika religi dan sosial Jemaah yang diikuti pergerakannya oleh Kiran, banyak hal yang ia dapati tak sesuai dengan bagaimana Islam dan pergerakan Jemaah tersebut digambarkan padanya. Kekecewaan yang dialami oleh Kiran tersebut pun digambarkan mengalami peningkatan signifikan baik secara kualitas maupun kuantitas.

Dipicu oleh adanya ketidaksesuaian serta ketimpangan yang ia dapati terkait penggambaran semangat beragama dan berdakwah dalam Jemaah tersebut dengan kenyataannya. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan kepada anggotaa Jemaah yang entah hanya didasari oleh rasa penasaran atau memang semangat berdiskusi hanya dicueki, bahkan dibalas dengan cap kafir karena berani mempertanyakan kepada anggota senior Jemaah.

Perlahan-lahan dikucilkan dari Jemaah, perasaan kesendirian yang dipendam oleh si tokoh utama mulai bertransformasi menjadi lebih serius setiap harinya. Hingga akhirnya wujud akhir dari metamorfosis itu adalah perasaan dikucilkan oleh Tuhannya sendiri. Hal ini digambarkan terwujud dari perasaan tidak terjawabnya doa Kiran, serta perasaan “dicueki” oleh Tuhan karena membiarkan dirinya berjuang dan tertekan seorang diri di dalam Jemaah. Hingga akhirnya berujung pada kaburnya ia dari Jemaah tersebut dan memulai hidup seorang diri.

Di bagian ini, didorong oleh kekecewaannya yang sudah mencapai titik “kecewa kepada Tuhan”, “Merasa ditelantarkan”, dan “tidak dilihat oleh Tuhan sendiri”, Kiran mulai digambarkan mengalami depresi, serta memiliki kecenderungan pada pola pikir anarkis secara internal psikologis. Di mana implementasi dari kekecewaan dan rasa depresi tersebut dilampiaskannya dengan mulai berenang dalam hiruk-pikuk dunia malam. Mulai dari narkoba hingga seks bebas, tenggelam semakin dalam setiap harinya di sana.

Ada satu hal menarik yang penulis dapati dalam perjalanan cerita di atas. Yakni terlepas dari salah atau benarnya si tokoh utama memahami Islam itu sendiri, semangat dan kecintaan Nidah Kirani untuk mengenal lebih dalam agama yang ia anut patut diacungi jempol. Sayangnya, besarnya semangat Kiran yang tidak mendapatkan respons baik, berbagai doa yang ia panjatkan dan tak kunjung diijabah, serta tidak adanya teman, keluarga, ataupun sahabat yang mendukungnya melewati masa-masa sulit sendiri akhirnya mendorong Kiran untuk jatuh ke lumbung dosa dan memutuskan menetap di sana.

Berangkat dari fenomena tersebut, juga mengingat bahwa aliran yang dipakai sebagai pengemasan novel tersebut adalah realisme. Di mana salah satu prinsip yang dianut tegas dalam aliran ini adalah keobjektifan penggambaran si empunya karya terhadap dunia nyata, yakni menulis sebagaimana kenyataan dan keadaan yang terjadi. Sebuah kesadaran secara tidak langsung muncul dalam benak penulis, perihal relevansi kondisi psikologis pendosa dalam novel tersebut dengan keadaan di dunia nyata yang ada sekarang. Baik dalam skala yang paling kecil dan simpel, hingga yang paling luas lagi rumit.

Jika ingin mengambil beberapa sudut pandang dan menjadikan tokoh utama novel ini sebagai indikator. Penulis akan membaginya menjadi dua point of view. Yang pertama adalah sudut pandang eksternal. Misalnya, kita sebagai seorang yang punya pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, melihat apa yang dilakukan oleh Kiran secara sekilas, sudah langsung bisa dipastikan bahwa kita akan menghukumi apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Oleh karena yang dilakukannya adalah kesalahan, maka yang harus kita lakukan adalah mendakwahi si pembuat salah itu dengan segala kebenaran dan pengetahuan yang kita punya.

Namun, setelah akhirnya membaca kisah Kiran yang sebenarnya. Memahami bagaimana perjalanan hidup membawanya ke titik yang ia ada di sana sekarang. Kita secara tidak langsung harusnya sadar bahwa mendakwahi Kiran dengan segala kebenaran dan pengetahuan yang kita punya tidak akan berjalan sesederhana itu.

Pun meski  benar, proses transformasi nilainya tidak bisa dilangsungkan sesederhana itu juga. Sebab dalam kasus dengan latar belakang seperti Kiran, ada potensi dakwah dengan cara konvensional hanya akan berujung gagal dan diabaikan. Lebih buruk, ia bisa mengakibatkan kesalahpahaman yang menyababkan si Kiran menjadi lebih condong ke arah sebaliknya. Dan ini, adalah sudut pandang kedua.

Pembahasan terkait pentingnya memahami kompleksitas perasaan seseorang sebenarnya bukanlah hal yang baru untuk dibicarakan pada era sekarang. Jika berselancar lebih dalam di internet, bisa kita dapati berbagai artikel dari komunitas serta media ternama yang menaruh perhatian khusus akan permasalahan ini.

Salah satunya adalah yang dibahas dalam sebuah tulisan berjudul Kisah Penyintas Bunuh Diri: Support Keluarga Sangat Penting, Jangan Anggap Orang Depresi Kurang Iman yang diunggah oleh Jakarta Islamic Centre (2020). Di mana dalam tulisan tersebut diceritakan tentang pengakuan beberapa orang yang berniat untuk bunuh diri, serta bagaimana pemicu dan pemastian niat itu terjadi. 

Salah satunya adalah pengakuan dari seseorang bernama Dina. Ia menceritakan bagaimana pemikiran bunuh dirinya terjadi pertama kali saat sang ibu meninggal, dan si ayah menikah lagi. Meskipun berhasil meredam yang pertama, selang beberapa tahun kemudian pemikiran dengan bentuk yang sama kembali terjadi saat ia dinyatakan gagal masuk kampus impiannya di Jepang. Belum lagi dinamika kehidupan yang akhirnya harus tetap ia jalani walaupun dengan berbagai rasa kecewa yang ia simpan sendiri. perasaan kehilangan tujuan hidup, tidak ada yang memedulikan, serta perasaan tersisih dari lingkaran sosial yang diadopsi Dina pun semakin merajalela dalam dirinya hari demi hari.  

Implementasi Dina sendiri dalam mencari solusi untuk rasa kecewa dan depresinya tidak seekstrem yang diambil oleh Kiran. Alih-alih tenggelam dalam dunia malam, Dina secara sadar masih berusaha untuk mencari bantuan medis untuk mengobati masalah psikologisnya. Semua itu ia lakukan sendiri, bahkan membiayai proses pengobatan bipolarnya dengan uang sendiri.

Sayangnya dalam proses tersebut, ia merasa bahwa tidak ada sama sekali support system yang bisa ia percaya untuk menemaninya. Baik itu berupa teman ataupun keluarga untuk diajak bercerita dan berbagi luka. Belum lagi ternyata usaha Dina untuk mendapatkan pengobatan bagi penyakitnya malah mendapat stigma negatif dari keluarga dan masyarakat.

“Saat itu aku merasa ada stigma negatif dari keluarga dan dari masyarakat bahwa mencari bantuan (kesehatan jiwa) itu gila, mencari bantuan itu kurang iman. Aku merasa malas mendengar perkataan itu jadi aku memilih diam. Stigma kurang iman yang dikatakan kepada orang yang sedang berpikir untuk bunuh diri itu salah besar. Mereka tidak tahu betapa orang itu sudah berjuang. Jangan anggap orang depresi itu kurang iman atau lemah.” Ungkap Dina dalam ceritanya.

Jika ditilik lebih dalam, kita akan menemukan beberapa relevansi yang bersifat fundamental antara tokoh Kiran dengan kasus Dina. Salah satu yang bisa kita tarik kesamaan darinya adalah perasaan depresi. Meskipun tentunya dengan penyebab yang berbeda, akan tetapi dorongan serta akibat yang terjadi dari perasaan tersebut memiliki kesamaan. Di mana Kiran dan Dina secara sadar atau tidak mengadopsi perasaan ditelantarkan, kecewa, dan kesendirian dalam dirinya dalam kurun waktu yang cukup lama.

Selanjutnya adalah perasaan tidak adanya support system yang mendukung mereka di masa kritis. Bahkan dalam kasus Dina, dinyatakan bahwa usahanya sebagai implementasi yang justru positif dari perasaan depresi tersebut, malah mendapatkan stigma miring. Salah satunya justru berasal dari keluarga yang merupakan lapisan sosialnya yang terdekat.

Satu lagi kesamaan yang bisa menjadi titik perhatian kita adalah bahwa Kiran dan Dina pada akhirnya sama-sama memutuskan untuk mengimplementasikan perasaan mereka tersebut, meskipun dengan jalan yang berbeda. Dalam kasus Kiran, implementasi tersebut digambarkan dengan munculnya pola pikir anarkis dan kebencian pada Tuhan. Sementara pada Dina, walaupun penyaluran perasaannya seringkali lebih cenderung pada pengakhiran hidup untuk selamanya, untungnya berujung pada pencarian bantuan secara medis demi mencari kesembuhan.

Bagi kita sendiri, mungkin juga pernah mengalaminya, atau pernah berurusan dengan kasus yang serupa baik dengan orang terdekat seperti keluarga atau teman, maupun orang asing. Di mana seseorang melakukan suatu hal, entah baik atau buruk, dikarenakan mempunyai dorongan internal dari dalam diri.

Di luar dari perasaan kecewa dan tertekan, banyak faktor yang bisa menjadi indikator perlakuan seseorang tersebut. Rasa traumatis juga bisa dimasukkan dalam kategori. Bisa juga dari prinsip hidup yang dibangun dan dipegang sejak kecil. Tergantung bagaimana orang tersebut tumbuh, dan seperti apa lingkungan tempat ia tumbuh akhirnya membentuknya.  

Dari sini bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya kompleksitas psikologi internal manusia adalah hal yang harus menjadi perhatian dari setiap orang. Khususnya bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia dakwah. Berangkat dari pemahaman ini, penulis ingin coba menstimulasi kesadaran kita akan urgensitas pemahaman kita terhadap kompleksitas psikologi internal ini, tentunya yang dijadikan perhatian adalah objek dakwah itu sendiri. Namun, untuk pembahasan ini, definisi dakwah sendiri akan penulis kerucutkan sampai dalam ranah kualitatif.  

Mengapa? Sebab seperti yang kita tahu, dalam ranah kualitatif, dakwah bisa kita pahami dengan skala yang lebih simpel. Sesederhana menasihati dan memberi semangat pada teman atau keluarga, menegur ketika mereka melakukan kesalahan, serta mengingatkan untuk selalu berada di jalan yang benar. Oleh karena itu, disebabkan oleh sifatnya yang lebih intim dan langsung secara sosial. Diperlukan perhatian khusus mengenai pengenalan objek dakwah terlebih dahulu. Hal ini ditujukan demi mengoptimalkan materi dakwah yang ingin disampaikan, juga menjaga agar komunikasi yang terjadi dalam prosesnya tidak hanya berlangsung secara face to face, tapi juga heart to heart.

Mengambil contoh dari fenomena yang terjadi pada Dina di atas. Penyematan stigma kurang ibadah dan kurang iman pada seseorang yang mengidap depresi, menjadi salah satu contoh nyata masih kurangnya perhatian kita atas permasalahan ini. Sebagai catatan, keluhan terkait stigma tersebut pada dasarnya tidak hanya dinyatakan oleh Dina, akan tetapi Sebagian besar pasien serta dokter yang berfokus dalam bidang kesehatan mental.

Mungkin sebagian dari pembaca juga pernah mendengar atau mengalami. Bagaimana ketika seseorang mengeluhkan perasaan negatifnya pada orang-orang terdekat, jawaban yang diterima hanyalah “Kurang ibadah kamu itu, kurang salat,” padahal sebenarnya jawaban tersebut sama sekali tidak memiliki relevansi dengan keluhan yang kita ajukan. Di satu sisi, saran untuk memperbanyak salat dan doa itu memang baik, tapi apakah sesuai dengan kondisi internal psikologis yang dialami si empunya masalah saat itu? Tentu tidak sesederhana itu, maka dari sini dakwah pun secara tidak langsung bisa dibilang gagal, karena tidak berjalan sesuai fungsinya.

Dalam kasus Kiran sendiri, digambarkan dalam novel begitu banyaknya peristiwa yang menandai ketidakadaannya usaha dari subjek dakwah untuk memahami si objek. Padahal si objek sendiri yang datang dan meminta pencerahan. Mulai dari dicap kafir dan dikucilkan oleh anggota Jemaah, perasaan dikucilkan Kiran secara tidak langsung berkembang biak hingga juga mulai merasa dikucilkan oleh Tuhannya. Maka berpalinglah ia, bertolak dari segala yang ia pegang teguh awalnya. Menjatuhkan diri dalam lumbung dosa.

Dalam penggambarannya, penggalan paragraf di awal tulisan menurut penulis bisa dijadikan acuan potensi. Perihal  bagaimana jadinya ketika seseorang tidak mendapatkan dakwah sesuai dengan karakter kompleksitas internal psikologisnya dalam kadar intensitas maksimal.

Menarik benang merah dari dua fenomena tersebut, pembahasan dari tulisan ini pada dasarnya berfokus adalah mengingatkan pentingnya pengokohan pengenalan latar belakang objek dakwah serta menghindari penyamarataan tindakan atas objek dengan latar belakang yang berbeda. Hal ini ditujukan agar kita sebagai yang mengeluarkan wejangan atau nasihat untuk teman dan keluarga juga bisa memberikan nasihat yang berangkat dari pemikiran yang adil. Pun agar wejangan kita tidak malah beralih fungsi menjadi penghakiman terhadap si objek, baik dari segi pemahaman si objek, maupun dari aspek wejangan itu sendiri. Jangan sampai kita menebar benci yang kita anggap itu cinta. 

Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya kita memahami kompleksitas tersebut sebagai seorang pendakwah? Kita bisa coba untuk mengambil langkah simpel saja. Diawali dengan berhenti untuk berbicara, berseru, ataupun membaca ayat, lalu mulai mencoba untuk mendengarkan (tentunya pengaplikasiannya tidak akan begitu rumit mengingat kita bicara dalam ranah kualitatif), Memahami dan menerima setiap luka yang membentuk masing-masing insan. Serta memahami bahwa tidak semua orang punya kemewahan seperti yang kita punya.

Bahkan dalam ranah dosa, tidak semua orang punya kemewahan dalam hidupnya untuk bisa memilih antara melakukan dosa atau tidak. Beberapa mungkin ada yang didesak paksa oleh keadaan. Tidak semua orang punya kemewahan dalam hidupnya untuk bisa mempertimbangkan sesuatu dengan bijak setiap saat. Beberapa seringnya malah tertipu oleh kebodohan dan nafsu pribadinya sendiri.

Tidak semua orang punya kesempatan untuk berkenalan serta dididik dengan agama sejak masa kecilnya. Sebagian bisa jadi punya orang tua yang sama butanya, sehingga tumbuh hanya dengan meraba-raba. Bahkan sebagiannya lagi bisa jadi tumbuh tanpa orang tua, beranjak dewasa di jalanan, di mana semua baik dan buruk bercampur tanpa ada yang bisa menjelaskan.

Berangkat dari pemahaman itulah kita baru bisa mulai untuk berkomunikasi. Tidak harus selalu dengan mulut, bisa hanya dengan tangan yang menawarkan tisu, atau mungkin mengelus punggung, mencoba menenangkan. Tidak juga harus selalu dengan dalil dan ayat, bisa juga hanya dengan melempar satu dua lelucon yang membuat mereka tertawa dan melupakan sejenak setiap luka yang membentuk mereka sampai saat ini.

Sebab alih-alih berdakwah dengan menyerukan ayat dan hadis kepada orang-orang, bagi penulis yang terpenting dari berdakwah justru adalah menjadi implementasi ayat dan hadis itu sendiri bagi orang-orang tersebut. Perihal apakah nanti dakwah yang kita sampaikan berhasil atau tidak, biarlah proses dari setiap pertemuan yang menjawabnya.

Pun pada akhirnya jikalau sudah sampai momennya kita untuk berbicara dan memberikan wejangan. Perlu dipahami pentingnya untuk mentransformasikan nilai-nilai yang ingin kita bawakan dengan perlahan dan penuh kelembutan. Sejalan dengan pernyataan Dr. H. Latief Awaluddin dalam artikelnya yang diunggah secara daring oleh ppersis.or.id.

Menukil ayat dari Surah Thaha ayat 43-44 yang berbunyi:

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau  takut” (QS Thaha [20]: 43-44)

Beliau menjelaskan bahwa sekafir dan sezalim apa pun orang yang didakwahi, kita harus tetap mengedepankan unsur kelembutan dan kasih sayang.

“Jika orang seperti Fir’aun saja para nabi disuruh untuk berlemah lembut dalam berdakwah, apalagi untuk mendakwahi sesame muslim,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.

Sebagai penutup, perlu penulis ingatkan bahwa dinamika pemahaman kompleksitas internal psikologis terhadap objek dakwah ini berlaku dua arah, luar dan dalam. Perlu digarisbawahi bahwa setiap dari kita bertanggung jawab untuk menjadi lebih baik setiap harinya, pun menjadikan orang-orang di sekitar kita juga lebih baik setiap waktunya.

Maka dari itu konsep identitas subjek dan objek dakwah dalam ranah kualitatif penulis berlaku untuk setiap individu. Kita semua adalah subjek, juga objek dakwah di dunia ini. Tergantung apa peran yang kita emban dalam setiap dialektika yang terjadi. Termasuk dialektika yang terjadi oleh kita, kepada diri kita sendiri. bagaimana kita bisa dan terus berusaha memahami juga menerima apa yang menjadi bagian dari diri kita sekarang, baik pun buruk, suka atau tidak. Lalu memeluknya erat sebagai diri kita sendiri, kemudian meyakinkannya agar di mana pun, kapan pun, terus berjuang untuk menebar kebaikan, dengan cara yang tidak kalah baiknya dari kebaikan yang kita bawa.  



Editor : Andi Tenri M.U

 

 

 

 

  

Comments