Jangan Sampai Menebar Benci yang Kita Anggap Cinta; Interpretasi Pemikiran Dakwah Melalui Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Oleh: Muhammad Ichsan Semma
“Baiklah, permainan lama memang telah
berakhir Tuhan. Dan kukatakan kepada-Mu, aku adalah pecundang. Aku adalah sang
kalah. Dan aku tak mau tercampakkan segini rupa di kamar ini. kalau memang Kau
tak mau menyapa lagi, aku pun akan melakukan hal yang sama seperti yang Kau
lakukan atasku. Aku juga tak akan menyapa-Mu. Tidak, setitik pun tidak. Bullshit
Tuhan, semua-mua bullshit janji pahala, jihad, kesucian yang telah Kau tanam dan
tumbuhkan dalam hatiku. Aku tak rela semua jejanji itu tersaji dalam nampan
hatiku yang suram ini. Tidak, akan kuhentikan sesaji ibadah yang Kau balas
dengan sakit ini. Terserah Kaulah kalau Kau marah lalu mengutukku menjadi apa.
Bukankah kerjaan-Mu memang kutuk-mengutuk, bahkan itu sudah berlangsung sejak
manusia belum pula lama ada.”
Pernyataan tersebut adalah penggalan
paragraf dari sebuah novel berjudul Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya
Muhidin M. Dahlan. Novel yang dibawakan dengan memakai aliran realisme tersebut
bercerita tentang lika-liku perjalanan hidup seorang muslimah. Mulai dari awal
bagaimana ia mengenal dan jatuh cinta dengan dunia religius islam, hingga
akhirnya garis hidup menuntunnya pada keadaan yang sangat jauh bertolak
belakang.
Nidah Kirani, sang tokoh utama dalam
novel, pada awalnya digambarkan sebagai seorang awam yang punya semangat tinggi
untuk mengenal agama Islam. Tidak tanggung-tanggung, semangat tersebut
digambarkan secara gamblang mulai dari tutur pikir kontemplasi sang tokoh
utama, hingga tindakan-tindakan konkret seperti ikut berbagai pengajian, rajin
menjalankan ibadah wajib dan sunah, sampai memutuskan masuk ke dalam sebuah
pergerakan pembentukan Daulah Islamiyah yang ada di masa tersebut. Di
mana dalam beberapa penggambaran perjalanannya yang terakhir, dapat dipahami
secara implisit bahwa ada kesalahan dalam pemahaman dari si tokoh utama terhadap
ajaran Islam itu sendiri.
Sayangnya, dalam dinamika religi dan
sosial Jemaah yang diikuti pergerakannya oleh Kiran, banyak hal yang ia dapati
tak sesuai dengan bagaimana Islam dan pergerakan Jemaah tersebut digambarkan padanya. Kekecewaan yang dialami oleh
Kiran tersebut pun digambarkan mengalami peningkatan signifikan baik secara
kualitas maupun kuantitas.
Dipicu oleh adanya ketidaksesuaian
serta ketimpangan yang ia dapati terkait penggambaran semangat beragama dan berdakwah dalam Jemaah tersebut dengan kenyataannya. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan kepada anggotaa Jemaah
yang entah hanya didasari oleh rasa penasaran atau memang semangat
berdiskusi hanya dicueki, bahkan dibalas dengan cap kafir karena
berani mempertanyakan kepada anggota senior Jemaah.
Perlahan-lahan dikucilkan dari Jemaah,
perasaan kesendirian yang dipendam oleh si tokoh utama mulai bertransformasi
menjadi lebih serius setiap harinya. Hingga akhirnya wujud akhir dari
metamorfosis itu adalah perasaan dikucilkan oleh Tuhannya sendiri. Hal ini
digambarkan terwujud dari perasaan tidak terjawabnya doa Kiran, serta perasaan
“dicueki” oleh Tuhan karena membiarkan dirinya berjuang dan tertekan seorang
diri di dalam Jemaah. Hingga akhirnya berujung pada kaburnya ia dari Jemaah
tersebut dan memulai hidup seorang diri.
Di bagian ini, didorong oleh
kekecewaannya yang sudah mencapai titik “kecewa kepada Tuhan”, “Merasa
ditelantarkan”, dan “tidak dilihat oleh Tuhan sendiri”, Kiran mulai digambarkan
mengalami depresi, serta memiliki kecenderungan pada pola pikir anarkis secara
internal psikologis. Di mana implementasi dari kekecewaan dan rasa depresi
tersebut dilampiaskannya dengan mulai berenang dalam hiruk-pikuk dunia malam.
Mulai dari narkoba hingga seks bebas, tenggelam semakin dalam setiap harinya di
sana.
Ada satu hal menarik yang penulis
dapati dalam perjalanan cerita di atas. Yakni terlepas dari salah atau benarnya
si tokoh utama memahami Islam itu sendiri, semangat dan kecintaan Nidah Kirani
untuk mengenal lebih dalam agama yang ia anut patut diacungi jempol. Sayangnya,
besarnya semangat Kiran yang tidak mendapatkan respons baik, berbagai doa yang
ia panjatkan dan tak kunjung diijabah, serta tidak adanya teman, keluarga,
ataupun sahabat yang mendukungnya melewati masa-masa sulit sendiri akhirnya
mendorong Kiran untuk jatuh ke lumbung dosa dan memutuskan menetap di sana.
Berangkat dari fenomena tersebut, juga
mengingat bahwa aliran yang dipakai sebagai pengemasan novel tersebut adalah
realisme. Di mana salah satu prinsip yang dianut tegas dalam aliran ini adalah
keobjektifan penggambaran si empunya karya terhadap dunia nyata, yakni menulis
sebagaimana kenyataan dan keadaan yang terjadi. Sebuah kesadaran secara tidak
langsung muncul dalam benak penulis, perihal relevansi kondisi psikologis
pendosa dalam novel tersebut dengan keadaan di dunia nyata yang ada sekarang.
Baik dalam skala yang paling kecil dan simpel, hingga yang paling luas lagi
rumit.
Jika ingin mengambil beberapa sudut
pandang dan menjadikan tokoh utama novel ini sebagai indikator. Penulis akan
membaginya menjadi dua point of view. Yang pertama adalah sudut
pandang eksternal. Misalnya, kita sebagai seorang yang punya pengetahuan dan
pemahaman tentang Islam, melihat apa yang dilakukan oleh Kiran secara sekilas, sudah langsung bisa dipastikan bahwa kita akan menghukumi apa yang ia lakukan
adalah sebuah kesalahan. Oleh karena yang dilakukannya adalah kesalahan, maka
yang harus kita lakukan adalah mendakwahi si pembuat salah itu dengan segala
kebenaran dan pengetahuan yang kita punya.
Namun, setelah akhirnya membaca kisah
Kiran yang sebenarnya. Memahami bagaimana perjalanan hidup membawanya ke titik
yang ia ada di sana sekarang. Kita secara tidak langsung harusnya sadar bahwa
mendakwahi Kiran dengan segala kebenaran dan pengetahuan yang kita punya tidak
akan berjalan sesederhana itu.
Pun meski benar, proses transformasi nilainya tidak bisa
dilangsungkan sesederhana itu juga. Sebab dalam kasus dengan latar belakang
seperti Kiran, ada potensi dakwah dengan cara konvensional hanya akan berujung
gagal dan diabaikan. Lebih buruk, ia bisa mengakibatkan kesalahpahaman yang
menyababkan si Kiran menjadi lebih condong ke arah sebaliknya. Dan ini, adalah
sudut pandang kedua.
Pembahasan terkait pentingnya memahami
kompleksitas perasaan seseorang sebenarnya bukanlah hal yang baru untuk
dibicarakan pada era sekarang. Jika berselancar lebih dalam di internet, bisa
kita dapati berbagai artikel dari komunitas serta media ternama yang menaruh
perhatian khusus akan permasalahan ini.
Salah satunya adalah yang dibahas
dalam sebuah tulisan berjudul Kisah Penyintas Bunuh Diri: Support Keluarga
Sangat Penting, Jangan Anggap Orang Depresi Kurang Iman yang diunggah oleh
Jakarta Islamic Centre (2020). Di mana dalam tulisan tersebut diceritakan
tentang pengakuan beberapa orang yang berniat untuk bunuh diri, serta bagaimana
pemicu dan pemastian niat itu terjadi.
Salah satunya adalah pengakuan dari
seseorang bernama Dina. Ia menceritakan bagaimana pemikiran bunuh dirinya
terjadi pertama kali saat sang ibu meninggal, dan si ayah menikah lagi.
Meskipun berhasil meredam yang pertama, selang beberapa tahun kemudian
pemikiran dengan bentuk yang sama kembali terjadi saat ia dinyatakan gagal
masuk kampus impiannya di Jepang. Belum lagi dinamika kehidupan yang akhirnya
harus tetap ia jalani walaupun dengan berbagai rasa kecewa yang ia simpan
sendiri. perasaan kehilangan tujuan hidup, tidak ada yang memedulikan, serta
perasaan tersisih dari lingkaran sosial yang diadopsi Dina pun semakin
merajalela dalam dirinya hari demi hari.
Implementasi Dina sendiri dalam
mencari solusi untuk rasa kecewa dan depresinya tidak seekstrem yang diambil
oleh Kiran. Alih-alih tenggelam dalam dunia malam, Dina secara sadar masih
berusaha untuk mencari bantuan medis untuk mengobati masalah psikologisnya.
Semua itu ia lakukan sendiri, bahkan membiayai proses pengobatan bipolarnya
dengan uang sendiri.
Sayangnya dalam proses tersebut, ia
merasa bahwa tidak ada sama sekali support system yang bisa ia percaya
untuk menemaninya. Baik itu berupa teman ataupun keluarga untuk diajak
bercerita dan berbagi luka. Belum lagi ternyata usaha Dina untuk mendapatkan
pengobatan bagi penyakitnya malah mendapat stigma negatif dari keluarga dan
masyarakat.
“Saat itu aku merasa ada stigma
negatif dari keluarga dan dari masyarakat bahwa mencari bantuan (kesehatan
jiwa) itu gila, mencari bantuan itu kurang iman. Aku merasa malas mendengar
perkataan itu jadi aku memilih diam. Stigma kurang iman yang dikatakan kepada
orang yang sedang berpikir untuk bunuh diri itu salah besar. Mereka tidak tahu
betapa orang itu sudah berjuang. Jangan anggap orang depresi itu kurang iman
atau lemah.” Ungkap Dina dalam ceritanya.
Jika ditilik lebih dalam, kita akan
menemukan beberapa relevansi yang bersifat fundamental antara tokoh Kiran
dengan kasus Dina. Salah satu yang bisa kita tarik kesamaan darinya adalah
perasaan depresi. Meskipun tentunya dengan penyebab yang berbeda, akan tetapi
dorongan serta akibat yang terjadi dari perasaan tersebut memiliki kesamaan. Di
mana Kiran dan Dina secara sadar atau tidak mengadopsi perasaan ditelantarkan,
kecewa, dan kesendirian dalam dirinya dalam kurun waktu yang cukup lama.
Selanjutnya adalah perasaan tidak
adanya support system yang mendukung mereka di masa kritis. Bahkan dalam
kasus Dina, dinyatakan bahwa usahanya sebagai implementasi yang justru positif
dari perasaan depresi tersebut, malah mendapatkan stigma miring. Salah satunya
justru berasal dari keluarga yang merupakan lapisan sosialnya yang terdekat.
Satu lagi kesamaan yang bisa menjadi
titik perhatian kita adalah bahwa Kiran dan Dina pada akhirnya sama-sama
memutuskan untuk mengimplementasikan perasaan mereka tersebut, meskipun dengan
jalan yang berbeda. Dalam kasus Kiran, implementasi tersebut digambarkan dengan
munculnya pola pikir anarkis dan kebencian pada Tuhan. Sementara pada Dina,
walaupun penyaluran perasaannya seringkali lebih cenderung pada pengakhiran
hidup untuk selamanya, untungnya berujung pada pencarian bantuan secara medis
demi mencari kesembuhan.
Bagi kita sendiri, mungkin juga pernah
mengalaminya, atau pernah berurusan dengan kasus yang serupa baik dengan orang
terdekat seperti keluarga atau teman, maupun orang asing. Di mana seseorang
melakukan suatu hal, entah baik atau buruk, dikarenakan mempunyai dorongan
internal dari dalam diri.
Di luar dari perasaan kecewa dan
tertekan, banyak faktor yang bisa menjadi indikator perlakuan seseorang
tersebut. Rasa traumatis juga bisa dimasukkan dalam kategori. Bisa juga dari
prinsip hidup yang dibangun dan dipegang sejak kecil. Tergantung bagaimana
orang tersebut tumbuh, dan seperti apa lingkungan tempat ia tumbuh akhirnya
membentuknya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa pada
dasarnya kompleksitas psikologi internal manusia adalah hal yang harus menjadi
perhatian dari setiap orang. Khususnya bagi mereka yang berkecimpung dalam
dunia dakwah. Berangkat dari pemahaman ini, penulis ingin coba menstimulasi
kesadaran kita akan urgensitas pemahaman kita terhadap kompleksitas psikologi
internal ini, tentunya yang dijadikan perhatian adalah objek dakwah itu sendiri.
Namun, untuk pembahasan ini, definisi dakwah sendiri akan penulis kerucutkan
sampai dalam ranah kualitatif.
Mengapa? Sebab seperti yang kita tahu,
dalam ranah kualitatif, dakwah bisa kita pahami dengan skala yang lebih simpel.
Sesederhana menasihati dan memberi semangat pada teman atau keluarga, menegur
ketika mereka melakukan kesalahan, serta mengingatkan untuk selalu berada di
jalan yang benar. Oleh karena itu, disebabkan oleh sifatnya yang lebih intim
dan langsung secara sosial. Diperlukan perhatian khusus mengenai pengenalan
objek dakwah terlebih dahulu. Hal ini ditujukan demi mengoptimalkan materi
dakwah yang ingin disampaikan, juga menjaga agar komunikasi yang terjadi dalam
prosesnya tidak hanya berlangsung secara face to face, tapi juga heart
to heart.
Mengambil contoh dari fenomena yang
terjadi pada Dina di atas. Penyematan stigma kurang ibadah dan kurang iman pada
seseorang yang mengidap depresi, menjadi salah satu contoh nyata masih kurangnya
perhatian kita atas permasalahan ini. Sebagai catatan, keluhan terkait stigma
tersebut pada dasarnya tidak hanya dinyatakan oleh Dina, akan tetapi Sebagian
besar pasien serta dokter yang berfokus dalam bidang kesehatan mental.
Mungkin sebagian dari pembaca juga
pernah mendengar atau mengalami. Bagaimana ketika seseorang mengeluhkan
perasaan negatifnya pada orang-orang terdekat, jawaban yang diterima hanyalah
“Kurang ibadah kamu itu, kurang salat,” padahal sebenarnya jawaban tersebut
sama sekali tidak memiliki relevansi dengan keluhan yang kita ajukan. Di satu
sisi, saran untuk memperbanyak salat dan doa itu memang baik, tapi apakah
sesuai dengan kondisi internal psikologis yang dialami si empunya masalah saat
itu? Tentu tidak sesederhana itu, maka dari sini dakwah pun secara tidak
langsung bisa dibilang gagal, karena tidak berjalan sesuai fungsinya.
Dalam kasus Kiran sendiri, digambarkan
dalam novel begitu banyaknya peristiwa yang menandai ketidakadaannya usaha dari
subjek dakwah untuk memahami si objek. Padahal si objek sendiri yang datang dan
meminta pencerahan. Mulai dari dicap kafir dan dikucilkan oleh anggota Jemaah, perasaan
dikucilkan Kiran secara tidak langsung berkembang biak hingga juga mulai merasa
dikucilkan oleh Tuhannya. Maka berpalinglah ia, bertolak dari segala yang ia
pegang teguh awalnya. Menjatuhkan diri dalam lumbung dosa.
Dalam penggambarannya, penggalan
paragraf di awal tulisan menurut penulis bisa dijadikan acuan potensi.
Perihal bagaimana jadinya ketika
seseorang tidak mendapatkan dakwah sesuai dengan karakter kompleksitas internal
psikologisnya dalam kadar intensitas maksimal.
Menarik benang merah dari dua fenomena
tersebut, pembahasan dari tulisan ini pada dasarnya berfokus adalah
mengingatkan pentingnya pengokohan pengenalan latar belakang objek dakwah serta
menghindari penyamarataan tindakan atas objek dengan latar belakang yang
berbeda. Hal ini ditujukan agar kita sebagai yang mengeluarkan wejangan atau
nasihat untuk teman dan keluarga juga bisa memberikan nasihat yang berangkat
dari pemikiran yang adil. Pun agar wejangan kita tidak malah beralih fungsi
menjadi penghakiman terhadap si objek, baik dari segi pemahaman si objek,
maupun dari aspek wejangan itu sendiri. Jangan sampai kita menebar benci yang
kita anggap itu cinta.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana
caranya kita memahami kompleksitas tersebut sebagai seorang pendakwah? Kita
bisa coba untuk mengambil langkah simpel saja. Diawali dengan berhenti untuk
berbicara, berseru, ataupun membaca ayat, lalu mulai mencoba untuk mendengarkan
(tentunya pengaplikasiannya tidak akan begitu rumit mengingat kita bicara dalam
ranah kualitatif), Memahami dan menerima setiap luka yang membentuk
masing-masing insan. Serta memahami bahwa tidak semua orang punya kemewahan
seperti yang kita punya.
Bahkan dalam ranah dosa, tidak semua
orang punya kemewahan dalam hidupnya untuk bisa memilih antara melakukan dosa
atau tidak. Beberapa mungkin ada yang didesak paksa oleh keadaan. Tidak semua
orang punya kemewahan dalam hidupnya untuk bisa mempertimbangkan sesuatu dengan
bijak setiap saat. Beberapa seringnya malah tertipu oleh kebodohan dan nafsu
pribadinya sendiri.
Tidak semua orang punya kesempatan
untuk berkenalan serta dididik dengan agama sejak masa kecilnya. Sebagian bisa
jadi punya orang tua yang sama butanya, sehingga tumbuh hanya dengan
meraba-raba. Bahkan sebagiannya lagi bisa jadi tumbuh tanpa orang tua, beranjak
dewasa di jalanan, di mana semua baik dan buruk bercampur tanpa ada yang bisa menjelaskan.
Berangkat dari pemahaman itulah kita
baru bisa mulai untuk berkomunikasi. Tidak harus selalu dengan mulut, bisa
hanya dengan tangan yang menawarkan tisu, atau mungkin mengelus punggung,
mencoba menenangkan. Tidak juga harus selalu dengan dalil dan ayat, bisa juga
hanya dengan melempar satu dua lelucon yang membuat mereka tertawa dan
melupakan sejenak setiap luka yang membentuk mereka sampai saat ini.
Sebab alih-alih berdakwah dengan
menyerukan ayat dan hadis kepada orang-orang, bagi penulis yang terpenting dari
berdakwah justru adalah menjadi implementasi ayat dan hadis itu sendiri bagi
orang-orang tersebut. Perihal apakah nanti dakwah yang kita sampaikan berhasil
atau tidak, biarlah proses dari setiap pertemuan yang menjawabnya.
Pun pada akhirnya jikalau sudah sampai
momennya kita untuk berbicara dan memberikan wejangan. Perlu dipahami
pentingnya untuk mentransformasikan nilai-nilai yang ingin kita bawakan dengan
perlahan dan penuh kelembutan. Sejalan dengan pernyataan Dr. H. Latief
Awaluddin dalam artikelnya yang diunggah secara daring oleh ppersis.or.id.
Menukil ayat dari Surah Thaha ayat
43-44 yang berbunyi:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Thaha [20]: 43-44)
Beliau menjelaskan bahwa sekafir dan
sezalim apa pun orang yang didakwahi, kita harus tetap mengedepankan unsur
kelembutan dan kasih sayang.
“Jika orang seperti Fir’aun saja para
nabi disuruh untuk berlemah lembut dalam berdakwah, apalagi untuk mendakwahi
sesame muslim,” ungkapnya dalam tulisan tersebut.
Sebagai penutup, perlu penulis ingatkan
bahwa dinamika pemahaman kompleksitas internal psikologis terhadap objek dakwah
ini berlaku dua arah, luar dan dalam. Perlu digarisbawahi bahwa setiap dari
kita bertanggung jawab untuk menjadi lebih baik setiap harinya, pun menjadikan
orang-orang di sekitar kita juga lebih baik setiap waktunya.
Maka dari itu konsep identitas subjek dan objek dakwah dalam ranah kualitatif penulis berlaku untuk setiap individu. Kita semua adalah subjek, juga objek dakwah di dunia ini. Tergantung apa peran yang kita emban dalam setiap dialektika yang terjadi. Termasuk dialektika yang terjadi oleh kita, kepada diri kita sendiri. bagaimana kita bisa dan terus berusaha memahami juga menerima apa yang menjadi bagian dari diri kita sekarang, baik pun buruk, suka atau tidak. Lalu memeluknya erat sebagai diri kita sendiri, kemudian meyakinkannya agar di mana pun, kapan pun, terus berjuang untuk menebar kebaikan, dengan cara yang tidak kalah baiknya dari kebaikan yang kita bawa.
Editor : Andi Tenri M.U




Comments
Post a Comment