Rahmah El Yunusiyyah; Sosok Di Balik Berdirinya Kulliyah Banat Al-Azhar

                                                Gambar 8.7 Rahmah El-Yunusiyyah (Gambar: dok. BAIT)

Oleh : Sofiah Najihah Syamsuri

Suara hembusan angin yang disertai suara para mahasiswi membuat seisi kelas menjadi sangat riuh dan ramai. Ditengah kebisingan itu, terdengar suara yang tidak asing ditelingaku. yah itu adalah suara kawanku yang berasal dari Malaysia. Ia memanggilku dengan hajat ingin menunjukkan buku bacaannya yang berjudul; “Perempuan yang mendahului zaman”.

Di dalam buku tersebut menjelaskan tentang sosok yang menginspirasi berdirinya Universitas Al-Azhar Kairo untuk perempuan. Sosok tersebut bernama Syekhah Rahmah El Yunusiyyah, sosok yang berasal dari Minangkabau dan memiliki peran penting dalam bidang pendidikan khususnya untuk kalangan perempuan.

Rasa penasaran ku tentang Syekhah Rahmah tak berhenti, setiba di rumah aku membuka e-commercial untuk mencari buku itu. Akhirnya kudapat juga buku yang sama, namun aku harus menunggu sebulan hingga buku itu tiba di Kairo.

Setiap lembaran yang kubuka, aku seperti merasakan semangat yang ada dalam diri syekhah Rahmah yang memperjuangkan pendidikan untuk perempuan di negerinya. Perjuangannya bahkan tidak hanya berdampak untuk negerinya, namun sebagai tokoh yang menginspirasi berdirinya fakultas untuk wanita (Kulliyah lil banat) di Al-Azhar. Berikut adalah biografinya.

Rahmah El-Yunusiyah lahir pada Sabtu 29 Desember 1900, ayahnya bernama Muhammad  Yunus Al-Khalidiyah seorang ulama terkemuka dan ibunya bernama Rafiah. Kakeknya bernama Haji Miskin yang merupakan paman dari Syekh Yunus, darah ulama mengalir deras pada orangtuanya. Rahmah sejak kecil dididik dengan suasana islami dan adat istiadat Minangkabau.

Ia memiliki empat saudara, diantaranya ialah kakak tertuanya bernama Zainuddin yang lahir pada 21 Februari 1891 atau 21 Rajab 1308 H. Saudara lainnya bernama Mariah, Muhammad Rasyad, dan Rihanah. Mereka pun tinggal di sebuah rumah Gadang.

Rahmah kecil sangat suka membaca buku, bahkan ia juga membaca hingga tamat buku-buku saudaranya. Pendidikannya dimulai dengan belajar mengaji di surau. Pendidikan agama yang ia terima juga tidak terlepas dari peran kakaknya. Zainuddin mendidik adiknya dengan baik untuk menggantikan peran ayahnya yang telah wafat pada saat Rahmah berusia 6 tahun. Zainuddin sudah banyak belajar kepada para ulama, salah satunya adalah Karim Amrullah (ayah Buya Hamka). Zainuddin juga mendirikan Diniyyah School pada 10 Oktober 1915. Disana Rahmah dan kawan-kawannya belajar fikih, tasawwuf, bahasa Arab, ilmu falak, sejarah Islam, tauhid, dan tafsir.

Namun Rahmah merasa ilmu yang ia terima di sekolah kakaknya itu tidak cukup atau kurang detail, khususnya dalam permasalahan fikih wanita. Maka Rahmah dan kawannya pun membuat langkah sendiri dalam mencari ilmu agama. Setiap hari sebelum sekolah sore di Diniyyah ia bersama kawannya berguru ke rumah ulama Karim Amrullah yang ia sapa Inyiak Rasul.

Semangat Rahmah yang tinggi dalam menuntut ilmu tidak terhenti untuk dirinya saja. Melainkan ada cita-cita yang sangat mulia yaitu ia ingin para perempuan juga merasakan pendidikan Islam, sehingga terbentuk sendi-sendi agama yang kuat dan kokoh karena kelak ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Namun, ditengah semangatnya menuntut ilmu pada usia remajanya ia harus menerima kenyataan untuk dinikahkan dengan seorang ulama pada Senin 15 Mei 1916 yaitu Bahauddin Lathif anak seorang ulama yang bernama Syekh Abdul Lathif.

Rahmah yang saat itu masih berusia 16 tahun tak dapat menolak ketika dinikahkan pada usia remaja. Penyebab pernikahan Rahmah pada saat itu merupakaan tuntutan adat Minangkabau yang saat itu masih sangat kental akan adat perjodohan. Meskipun begitu ia berharap pernikahannya dapat bertahan lama ditengah maraknya kawin cerai yang ada di Minangkabau.

Pernikahannya pun ia jalani selama 6 tahun sambil tetap belajar di Diniyyah School, hingga pada akhirnya ia mendapati jalan yang bersimpang dua dalam kehidupan pernikahannya. Perbedaan prinsip dan tujuan membuat Rahmah dan suaminya sepakat untuk tidak bersama lagi. Rahmah yang condong dalam bidang pendidikan dan suaminya condong pada pergerakan yang membuat mereka bercerai dan suaminya pun pergi dengan membawa idealismenya demi Tanah Air.

Perjuangannya untuk mendirikan sekolah khusus Perempuan pun tidak berjalan mulus, bahkan niat awalnya ditentang oleh masyarakat dan dianggap sebagai perbuatan yang menentang adat. Perbuatannya dianggap menentang adat karena ingin membuka sekolah khusus perempuan. Masyarakat yang saat itu belum merasakan pentingnya pendidikan bagi perempuan itu keras menolak. Namun ia tak gentar, ia meminta izin pada ibunya dan Zainuddin. Setelah mendapatkan izin keluarganya ia bersama 2 kawan karibnya yaitu Siti Hanisah dan Jawana Basjir akhirnya mendirikan sekolah Diniyyah lil Banat di Padang Panjang pada Kamis 1 November 1923.

Berita bahwa Rahmah mendirikan sekolah khusus Perempuan pun mulai tersebar. Rahmah ditentang, digunjing, dan dicibir, bahkan dari kalangan adat. Pemuka adat secara tegas menolak sekolah itu dengan dalih tak ada gunanya, perempuan harusnya di rumah saja karena kelak akan jadi istri dan hanya mengurus dapur.

Akhirnya dibukalah ruang diskusi masyarakat yang terbagi menjadi 2 kelompok. Ada yang menerima dan tetap menentang. Namun, Rahmah tetap melanjutkan sekolahnya dan menjadikan penentangan itu sebagai pelecut yang rasanya hanya akan bertahan sesaat. 

Pada tahun pertama, murid Diniyyah telah mencapai puluhan murid. Murid-muridnya yang ia terima pun bermacam-macam dari segi umur.

Informasi tentang sekolahnya pun makin tersebar dan Diniyyah Putri pun bagaikan bunga mekar yang dibicarakan di berbagai tempat. Orang-orang pun mencari tahu asal usul sekolah Diniyyah hingga muncul perasaan hormat pada Rahmah.

Rahmah mewakafkan dirinya untuk mengurus sekolahnya dan itulah jalan jihadnya. Di ruang kelas yang sederhana Rahmah mengajarkan para muridnya cara membaca dan menulis. Beliau juga menanamkan pada muridnya seperti apa hakikat perempuan dan bagaimana menjalani kehidupan bermasyarakat, serta cara menghormati diri, menjaga kesucian, dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang dihormati.

Totalitas Rahmah dalam membangun sekolahnya itu tak perlu diragukan lagi, ia tidak hanya mendirikan sekolah. Namun, menanggung semua biaya pendidikan dan kebutuhan para muridnya yang tidak mampu. Cita-citanya yang sangat besar untuk kemajuan perempuan di bidang pendidikan itu tidak boleh berhenti hanya karena terhalang masalah biaya. Ia menganggap murid-murid Diniyyah semua sebagai anak sendiri.

Ditengah semangatnya membangun sekolah ia kehilangan sandaran dan penyemangatnya. Sosok Zainuddin yang tidak hanya berperan sebagai kakak juga ikut membantu sang adik sebagai guru dan pengganti ayahnya itu, meninggal pada usia 34 tahun.

Namun, ia tetap melanjutkan perjuangannya melanjutkan Diniyyah Putri dengan dukungan dari teman-temannya. Rahmah tak hanya sebagai pendiri melainkan ia menjamin kebutuhan semua siswinya di asrama. Selain mengurus Diniyyah ia juga aktif mengisi kajian di surau-surau dan berdiskusi dengan para ulama.

Berkat perjuangan Rahmah sekolah Diniyyah Putri menjadi sekolah muslimah klasikal pertama di Indonesia bahkan terdengar sampai negeri jiran, Tanah Semenanjung Malaysia. Bahkan Rahmah dipanggil ke istana Penang, Selangor, dan Kedah untuk mengajari putri-putri istana Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.

Pada 28 Juni 1926, terjadi gempa yang berkekuatan 6,5 SR menimpa Padang Panjang yang meluluhlantakkan semua rumah warga dan termasuk Diniyyah Putri. Kesedihan Rahmah ditambah dengan meninggalnya sahabat karibnya yang juga menjadi korban saat itu.

Setelah suasana kondusif Diniyyah putri dibangun kembali, warga bergotong royong membangun kembali sekolah itu dan para orang tua murid membangun semacam organisasi penyelamat Diniyyah dan melakukan penggalangan dana. Rahmah mengganggap ujian ini tidak seberapa. ia teringat dan termotivasi dengan semangat Sayyidah Khadijah yang hartanya ia habiskan di jalan Allah. Ia percaya jika kita menolong Allah maka Allah juga akan menolong hambanya.

Pada Juli 1935 Rahmah bersama sahabatnya ditugasi untuk menghadiri kongres perempuan di Jakarta. Rahmah dan Ratna berkampanye mengenai jilbab dan itu merupakan kampanye pertama yang dilakukan Rahmah diluar Minangkabau. Jilbab yang biasa digunakan oleh Rahmah itu disebut lilik, kain putih yang dililitkan di kepala itu diberi peniti sehingga menutupi semua rambutnya dan kain itu menjulur menutupi dada dan terjuntai kebelakang sampai bawah bahu.

Rahmah juga aktif membantu kemerdekaan melawan penjajahan Belanda dan Jepang bahkan pernah menjadi komandan TKR dan berkat keberaniannya juga ia berhasil menyelamatkan perempuan-perempuan Minang yang diculik di markas Jepang. Berkat perjuangannya, akhirnya pada 20 Agustus 1945 bendera merah putih dikibarkan di Diniyyah Putri untuk pertama kali bahkan pertama di Padang Panjang dan Sumatera.

Setelah kemerdekaan, Mesir merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia melalui saluran radio PDRI pada 22 Maret 1946 dan hal itu tidak terlepas dari peran para mahasiswa Indonesia yang belajar di Al-Azhar. Pada tahun 1955 rektor universitas Al-Azhar Dr. Syekh Abdurrahman Taj datang berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan mempunyai agenda untuk berkunjung ke Diniyyah Putri.

Sepekan sebelum kedatangan tamu istimewanya itu, Rangkayo (panggilan kehormatan) Rahmah sibuk mempersiapkan segalanya mulai dari menghias gedung Diniyyah hingga menyiapkan hidangan. Dr. Abdurrahman Taj kemudian datang berkunjung ke sekolah Diniyyah Putri didampingi gubernur Sumatera Tengah, Roeslan Muljohardjo.

Rektor universitas Al-Azhar itu disambut dengan meriah dan dalam kegiatan itu Rangkayo Rahmah berkesempatan menyampaikan pidatonya dalam bahasa Arab. Kemudian dilanjutkan dengan pidato Dr. Abdurrahman Taj, beliau memuji kefasihan Rahmah dalam berpidato menggunakan bahasa Arab fushah (bahasa Arab resmi) yang membuatnya tercengang.

Dalam pidatonya juga Dr. Abdurrahman Taj menjelaskan sejarah singkat berdirinya Universitas Al-Azhar lalu memuji sekolah Diniyyah Putri karena di Al-Azhar pun belum mempunyai perguruan khusus perempuan. Secara terang-terangan beliau menyampaikan ingin mengadopsi sistem Diniyyah Putri untuk diterapkan di Universitas Al-Azhar. Para hadirin sontak bertepuk tangan dengan gemuruh dan begitu pun dengan Rahmah, dadanya terasa lapang. Ia tak menyangka sekolah yang ia perjuangkan dahulu ternyata menjadi inspirasi berdirinya kulliyah lil banat di salah satu universitas Islam tertua di dunia. Peristiwa bersejarah itu kemudian diabadikan oleh wartawan Padang.

Setahun kemudian sejarah baru dimulai saat Rangkayo Rahmah tiba di Mesir untuk memenuhi undangan setelah menunaikan ibadah haji. Rahmah disambut oleh para guru besar dengan mobil beriringan menuju kampus. Saat menginjakkan kaki di universitas tertua itu ia merasakan peradaban Islam disana. Dalam kesempatan itu Rangkayo Rahmah diberi kesempatan untuk berpidato. Ia pun meminta kepada Al-Azhar untuk membuka pintu selebar-lebarnya agar perempuan juga bisa mengenyam pendidikan agama.

Pada momen itu juga para guru besar telah sepakat sebelumnya untuk memberi gelar “Syekhah” kepada Rangkayo Rahmah El-Yunusiyyah. Sebuah gelar kehormatan yang diberikan karena kontribusinya yang sangat besar dalam membangun dunia pendidikan khusus untuk perempuan di kampungnya dan saat itu di masa penjajahan. Disana ia juga disambut baik oleh para mahasiswa Indonesia dan beberapa negara Asia. Itulah kisah Syekhah Rahmah di Kairo walaupun kulliyah lil banat baru diresmikan pada tahun 1962. 

Syekhah Rahmah menyadari bahwa hubungannya dengan Al-Azhar tidak bisa berhenti dengan pemberian gelar kehormatan saja. Melainkan ia ingin membuat sejarah lain dan pada Januari 1958 sebanyak 8 orang murid Diniyyah dilepas menuju Al-Azhar dalam sebuah acara upacara. Kemudian saat tungku politik memanas, 6 orang murid Diniyyah kembali dilepas menuju Al-Azhar di tahun 1965.

Syekhah Rahmah yang sejak muda aktif memperjuangkan Diniyyah Putri, membantu kemerdekaan melawan Belanda dan Jepang, serta memperjuangkan hak-hak wanita. Setelah 45 tahun membina Diniyyah Putri yang ia anggap sebagai anak sendiri dengan ribuan murid yang tersebar di wilayah Indonesia dan Malaysia. Fisiknya tidak sekuat dulu lagi yang aktif berkeliling untuk berdakwah ditambah dengan penyakit kanker yang ia derita membuatnya banyak menghabiskan waktu di rumah dengan mengaji dan salat.

Pada Rabu, 26 Februari 1969 saat siang menukik menuju senja, Hajjah Syekhah Rangkayo Rahmah El-Yunusiyyah mengambil wudhu hendak menunaikan salat magrib. Ia tiba diatas sajadahnya bersamaan dengan selesainya azan berkumandang. Saat itulah Syekhah Rahmah dipanggil oleh sang Ilahi dalam keadaan berwudhu di usianya 70 tahun. 

Kabar kepergian Syekhah Rahmah tersebar di Padang Panjang dan ribuan orang datang melayat ke rumah duka. Kepergian tokoh bersejarah itu membuat semua kalangan masyarakat merasakan kesedihan yang mendalam. Keesokan harinya kabar kepergian syekhah Rahmah pun diketahui oleh gubernur Sumatera Barat, Harun Zain. Selepas jenazah disalatkan ia berpidato dan menyebut kehilangan tokoh inspiratif di bidangnya dan memerintahkan untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tiga hari.


 

Editor: Muh. Akmal Fuady

Comments

Post a Comment