Sunat Perempuan; Antara Budaya dan Agama
Oleh : Afwa Anna H & Sarah Sofiah
Fenomena sunat perempuan telah menjadi isu yang cukup sensitif sejak lama, praktik sunat perempuan kerap diidentikkan dengan perkara agama. Di Indonesia sejumlah masyarakat meyakini bahwa jika seorang anak perempuan tidak disunat, maka dinilai belum sempurna dari segi kesehatan dan syariat islam, doktrin seperti inilah yang sangat sulit dipisahkan dari masyarakat, hingga menjadi perdebatan yang tak ada ujungya.
Sejumlah daerah di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang beraneka ragam terkait pelaksanaan sunat ini. Salah satu contohnya bisa dilihat dari masyarakat suku Bugis, sebuah suku yang mendominasi wilayah Sulawesi Selatan, menjadikan tradisi ini sebagai identitas kultural masyarakat mereka.
Tradisi ini diberi nama “Makkatte”, yang memiliki dalih menghindarkan anak perempuan dari bentuk kenakalan di masa remajanya, hingga sebagai ritual penyempurnaan dalam agama Islam. Mereka berpegang teguh dan meyakini bahwa ritual tersebut adalah definisi ‘menyakiti’ sebelum anak tersebut mencapai masa kejayaan dan kesejahteraannya kelak.
Menilik lebih dalam pada tata caranya yang ternyata tidak sederhana, terdapat beberapa persyaratan dan alat yang harus disiapkan, seperti sarung sutra tujuh lapis, baju bodo (baju tradisional khas bugis) tujuh helai, ayam jago kampung yang memiliki jengger tebal, beras ketan hitam dan putih, air bening dalam wadah, satu sisir pisang ambon, dua butir telur, gula merah, kemudian bantal yang dilapisi sajadah dan tujuh lapis sarung sutra yang nantinya akan digunakan sebagai tempat si anak untuk disunat.
Asal usul khitan.
Sebelum lebih jauh membahas keabsahan khitan bagi anak perempuan, sejarah khitan sendiri dimulai sejak 4.000 tahun yang silam, buktinya ditemukan pada sebuah mumi mesir yang berstatus kaya raya dan berkuasa. Ahli Antropologi menduga praktik sunat perempuan pada zaman Mesir kuno sebagai bentuk pencegahan masuknya roh-roh jahat melalui vagina, tradisi yang demikian menjadi sebuah ritual dalam proses perkawinan.
Di masa sekarang, sunat perempuan masih eksis di berbagai negara misalnya negara bagian Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa dan Amerika Latin. Alasan pelestarian ritual ini di negara-negara tersebut bertujuan agar perempuan tidak liar ataupun binal sehingga kelak menyandang kedudukan yang dihormati oleh masyarakat. Diantara negara Asia yang masih melestarikan sunat perempuan yaitu Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Dalam agama Islam sendiri, sejarah mengenai khitan memiliki banyak pendapat, salah satunya terdapat dalam hadis:
الفِطْرَةُ خَمْسٌ، أَوْ خَمْسٌ مِنَ
الفِطْرَةِ: الخِتَانُ، وَالاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيمُ الأظْفَارِ، وَنَتْفُ
الإبطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ.
“Fitrah (manusia) ada lima: khitan,
memotong bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong kumis.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari mengatakan bahwa Nabi Ibrahim merupakan seseorang yang kerap menjadi pembuka hal-hal baru. Di antaranya, memotong kumis, berkhitan, melihat uban, dll. Terdapat juga riwayat dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berkhitan saat ia sudah berusia 80 tahun dengan menggunakan kapak kecil.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa orang pertama yang berkhitan adalah Adam, beriringan dengan tindakannya memakan buah khuldi dan sekaligus sebagai bentuk pertaubatan dari tindakan tersebut. Maka dari kejadian tersebut khitan menjadi keharusan yang terus berlanjut ke setiap generasi.
Dr. Abdussalam Syukri (Dosen Fakultas Syariah walQanũn, Al-Azhar Kairo) turut menambahkan bahwa, ada kemungkinan keturunannya meninggalkan hal ini. Kemudian diutuslah Nabi Ibrahim untuk menghidupkan kembali syariat khitan—selain untuk tujuan menjaga kebersihan dan kesucian badan.
Sunat perempuan dalam lensa kesehatan.
Sunat perempuan dalam istilah kesehatan disebut dengan Female genital Mutilation (FGM). FGM adalah prosedur pengangkatan seluruh atau sebagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya terhadap organ genital baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan lainnya tanpa indikasi medis.
Badan kesehatan internasional dalam hal ini WHO, berpendapat bahwa sunat terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia bagi perempuan. Praktik ini dianggap melanggar hak kesehatan, keamanan, dan fisik integritas, hak bebas dari penyiksaan, atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup.
Ditinjau berdasarkan disiplin ilmu kesehatan, khitan yang diperbolehkan adalah khusus pada laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak ada prosedur maupun standarnya.
Dalam permenkes Nomor 6 tahun 2014 tentang pencabutan permenkes nomor 1636 tahun 2010 tentang sunat perempuan, diantara isinya berbunyi:
· Pertama,bahwa setiap tindakan yang
dilakukan dalam bidang kedokteran harus berdasarkan indikasi medis dan terbukti
bermanfaat secara alamiah.
· Kedua, sunat perempuan hingga saat ini
bukan merupakan tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak berdasarkan
indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.
· Ketiga, berdasarkan aspek budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia hingga saat ini masih terdapat permintaan untuk dilakukannya sunat perempuan pelaksanaanya tetap harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta dengan tidak melakukan mutilasi alat kelamin.
Berdasarkan aturan di atas, tidak ada pelarangan secara gamblang atas tindakan tersebut. Namun, Kementrian Kesehatan sama sekali tidak merekomendasikan pelaksanaannya dengan anggapan tidak mendatangkan manfaat apapun. Justru, tindakan ini sangat dikecam di berbagai belahan dunia karena dampaknya yang berbahaya.
Pandangan MUI.
Terdapat perbedaan pendapat tentang pelaksanaan sunat bagi perempuan. Ada yang mengatakan sunnah, wajib, dan ada pula pendapat yang mewajibkan bagi laki-laki dan sebuah kemuliaan bagi perempuan.
Pelaksanaan sunat perempuan menjadi bentuk ibadah yang dianjurkan, pun ada yang menganggapnya fitrah dan syiar Islam. Disebutkan juga dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia, pelarangan sunat perempuan justru bertentangan dengan ketentuan syariah.
Fatwa Nomor MUI Nomor 9A tahun 2008 yang berbunyi "Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam". Ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI saat itu, Anwar Ibrahim.
Meski tidak melarang, MUI dalam fatwa tersebut menyebutkan bahwa, ada aturan ketat yang mesti diperhatikan saat melakukan sunat terhadap perempuan. Sunat hanya boleh dilakukan untuk menghilangkan selaput (jaldah/colum/preputium) yang menutupi klitoris. Prosesinya sangat beresiko, terlebih jika dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman, serta tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Misalnya, sampai melukai atau bahkan memotong klitoris yang justru membahayakan perempuan.
Tanggapan ulama Azhar.
Menjawab pertanyaan mengenai khitanul mar’ah (khitan perempuan), Syaikh Yusri Gabr mengoreksi bahwa khitan merupakan istilah untuk laki-laki dan hukumnya wajib dengan syarat apabila aman dan tidak menimbulkan dharar(bahaya) baginya. Sedangkan istilah yang digunakan untuk perempuan adalah khifadh. Beliau mengemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki empat anak perempuan tapi tidak melakukan khifadh atas mereka, bahkan tidak pada cucunya sekalipun.
Beliau juga menimpali, bahwa sebagian dari mazhab Syafi’i mewajibkan khifadh bagi perempuan, hal ini dikiyaskan sebagaimana kewajiban khitan pada laki-laki. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa pelaksanaannya juga mengikut dengan syarat adanya keamanan dan tidak mendatangkan bahaya. Apabila syaratnya tidak terpenuhi, maka terangkat pula hukum kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut, tidak ada yang menetapkan apalagi membenarkan praktek sunat pada perempuan yang membahayakan sebagaimana yang marak terjadi di masyarakat.
Grand Syaikh Ahmad Thayyib dalam salah satu pidatonya menuturkan bahwa semua keputusan yang lahir dari pengetahuan ulama fikih dan ahli kedoktran telah jelas menerangkan bahwa sunat dapat menyebabkan bahaya serta kerugian bagi perempuan secara umum. Bahkan secara khusus akan meninggalkan dampak besar pada kehidupan rumah tangganya.
Senada dengan pendapat tersebut, lembaga fatwa Mesir juga menyuarakan bahwa sunat bagi perempuan pada dasarnya bukanlah perkara agama. Tidak didapati perintah syar’i yang sahih dalam menetapkan tindakan tersebut, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Hal ini semata-mata merupakan perkara yang berakar dari adat istiadat lalu menjalar menjadi tradisi dan diwariskan turun temurun.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bahwasanya alasan yang paling sering digunakan untuk melakukan sunat perempuan adalah penerimaan sosial, agama, kesalah pahaman tentang kebersihan, upaya menjaga seorang perempuan agar tetap perawan, membuat perempuan “layak menikah" dan meningkatkan kenikmatan seksual pria. Padahal agama sendiri tidak mensyariatkan hal itu, di beberapa budaya, sunat perempuan dianggap sebagai ritual peralihan menuju kedewasaan, dan dianggap sebagai prasyarat untuk menikah.
Meskipun tidak ada keuntungan higienis atau manfaat kesehatan dari sunat perempuan, masyarakat yang melakukannya percaya bahwa vagina perempuan perlu mendapat tindakan tersebut dan perempuan yang belum menjalani sunat dianggap tidak sehat, najis atau tidak layak. Di Indonesia sendiri, norma patriarki bahkan doktrin agama dan tradisi yang mengakar kuat di masyarakat sangat sulit untuk dihindari.
Seringkali didapati bahwa hal tersebut dilakukan bertentangan dengan keinginan mereka, dan ahli kesehatan di seluruh dunia menganggapnya sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Salah satu tokoh feminis yang lantang mengecam sunat sampai akhir hayatnya adalah Nawal el Saadawi, salah satu pengalaman masa kecilnya didokumentasikan dalam bukunya The Hidden Face of Eve (terbit di Indonesia dengan judul 'Perempuan dalam Budaya Patriarki'), adalah ketika menjadi korban sunat perempuan atau female genital secara paksa. Dia menceritakan pengalamannya menjalani prosedur yang menyakitkan itu di lantai kamar mandi, sementara ibunya berdiri di sampingnya dan menyetujui. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat Nawal berkampanye menentang sunat perempuan sepanjang hidupnya, dengan alasan bahwa praktik itu adalah alat yang digunakan untuk menindas perempuan. “Kita ditakdirkan sebelumnya untuk merasakan kesengsaraan, dan bagian tubuh kita direnggut oleh tangan-tangan kejam yang dingin dan tidak berperasaan.”
Perjuangan Nawal sebenarnya juga mewakili kondisi yang terjadi di Indonesia. Masih banyak masyarakat lokal yang melakukannya dengan alasan serupa, menghormati tradisi dan buday a, meskipun mereka harus mengorbankan diri dan kesucian.
Oleh karenanya, tumbuhnya tradisi khitan terhadap perempuan disebabkan oleh munculnya faktor-faktor ekonomi dan faktor politik. Banyak masyarakat kita yang tidak bisa membedakan kedua faktor tersebut, di belakang alasan-alasan keagamaan sebagai upaya untuk menyembunyikan kekuatan sebenarnya yang diletakkan atas dasar yang terjadi dalam masyarakat dan sejarah.
Seringkali, Islam disebut-sebut sebagai sebab munculnya praktik khitan dan mengakibatkan kemunduran perempuan di negara-negara Islam. Padahal, pernyataan tersebut tidaklah benar. Islam merupakan agama yang menjunjung integritas manusia baik secara lahir maupun batin. Pemotongan organ tubuh merupakan pelanggaran integritas dan merupakan tindakan merendahkan ciptaan Allah yang dipandang sempurna dan tidak perlu disempurnakan lagi. Ciptaan Allah tidak untuk dipotong ataupun dimodifikasi, apalagi mengurangi ukuran dan fungsinya, karena tujuan sebenarnya dari sebuah agama adalah kebenaran, keadilan, kebermanfaatan, dan kesehatan bagi seluruh umatnya, laki-laki maupun perempuan.
Editor : Akmal Fuady




Comments
Post a Comment