Tak ada Sapi, Kerbau pun Jadi; Sinkronisasi Simbolis Pemikiran Sunan Kudus, Rusdi Mathari, dan Baskara Putra Dalam Lamunan Pagi Hari.
Oleh: Ichsan Semma
Pukul
delapan pagi, aku membatin sembari melihat jam tangan yang jarum pendeknya
menunjuk ke angka delapan. Sementara jarum panjang menunjuk angka 12, terlewat
sedikit. Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum aku harus berangkat.
Tidak
biasanya aku punya waktu sebanyak ini. Tiga puluh menit untuk sekadar ngopi
pagi dan membaca artikel-artikel ringan yang berseliweran di internet. Dalam
keadaan normal, pukul delapan bukanlah waktu yang ditunjukkan jam saat aku
sudah mandi dan selesai bersiap. Melainkan saat aku baru saja bangun. Setengah
jam yang saat ini kupakai duduk santai, biasanya kuisi dengan mandi, sikat
gigi, serta ngeden di toilet.
Aku pun terheran-heran sebenarnya. Entah mimpi apa aku semalam hingga bisa bangun lebih cepat. Namun untuk saat ini aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Anugrah pagi ini harus sebisa mungkin kumaksimalkan. Tenggelam dalam semilir informasi di dunia maya sembari ditemani satu dua sesapan kopi hangat adalah salah satu caranya.
Bicara tentang informasi. Aku percaya, sama seperti rutinitas manusia pada umumnya. Siklus perputaran informasi dunia jika ingin diperhatikan lebih dalam, secara implisit memiliki pola tersendiri setiap tahunnya, meski dibersamai dengan delivery yang berbeda, pola tersebut, jika kita teliti dengan baik, akan terlihat tetap sama. Misalnya setelah beberapa minggu lebaran Idul Fitri lewat, artikel-artikel ringan di berbagai media Indonesia sudah mulai banyak yang membahas perihal fenomena lebaran Idul Adha.
Bentuk
dan jenisnya pun beragam. Mulai dari yang membahas keutamaan dan hikmahnya,
berita-berita hangat tentang isu penjual sapi kurban tipu-tipu, hingga potensi
perbedaan jadwal perayaan lebaran antar ormas. Meski gelombang informasi
terkait hal tersebut masih tidak terlalu besar, kutaksir perkembangan
pembahasan perihal Idul Adha ini akan meningkat seiring waktu berjalan.
Berselancar
di antara artikel-artikel tersebut, satu judul akhirnya berhasil menyedot
perhatianku. Sebenarnya sudah beberapa kali kulihat judul dengan tema serupa
lewat. Namun, intensitas kemunculannya yang semakin sering seiring aku nge-scroll
layar ponsel, membuatku tertarik untuk meng-klik masuk ke dalam kolom
bacaan.
Sejarah Tradisi Kurban Kerbau Warga Kudus Saat Idul Adha, itulah judulnya. Dalam artikel yang dimuat oleh Liputan 6 itu, diceritakan tentang tradisi unik yang dijalankan oleh masyarakat Kudus, Jawa Tengah ketika berlebaran. Di mana alih-alih berkurban sapi, orang-orang di sana menggunakan kerbau sebagai hewan kurban mereka.
Bukannya tanpa sebab. Artikel tersebut menjelaskan bahwa pemilihan kerbau sebagai objek sembelih di Kudus daripada sapi pada dasarnya memiliki alasan historis yang panjang. Di mana Sunan Kudus, yang merupakan salah seorang dari Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah jawa dan menjadi pelopor munculnya tradisi tersebut.
Alasannya
sedikit banyak berkaitan dengan penghormatan atas kepercayaan masyarakat pada
masa tersebut. Mayoritas beragama hindu, masyarakat Kudus menganut kepercayaan
transendental yang mengatakan bahwa sapi adalah hewan suci yang harus dijaga.
Dalam beberapa ajaran mereka dikatakan juga bahwa sapi merupakan kendaraan para
dewa.
Diceritakan pada artikel tersebut. Suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi lalu ditambatkan di depan rumahnya. Melihat gerak-gerik tersebut, orang-orang setempat pun menjadi penasaran terkait apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi tersebut. Maka berkumpullah mereka di depan rumah beliau.
Setelah orang-orang setempat berkumpul, Sunan Kudus pun memulai berorasi. Dengan lantang dan jelas menghimbau orang-orang setempat untuk tidak menyembelih dan menyakiti sapi. Tidak hanya itu, beliau juga turut menyebutkan dalam ceramahnya bahwa dalam Al-Quran ada sebuah surah yang dinamakan surah sapi betina (Al-Baqarah).
Cerita ini pun disinyalir menjadi awal munculnya tradisi kurban kerbau pada momen Idul Adha di tanah Kudus sebagai bentuk penghormatan dan toleransi antar kepercayaan.
Mataku
mengejap, tergelitik oleh radiasi yang merambat pelan dari layar ponsel,
spontan berusaha menjauhkannya. Namun, seiring dengan gerak tanganku yang menjauhkan
gawai dari wajah, seketika itu pula pikiranku juga terbang. Perlahan beranjak
menjauhi raga. Terseret oleh arus kontemplasi yang datang menjemput secara
tiba-tiba.
Tiga
menit berlalu gamang sebelum akhirnya aku menemukan sebuah kesinambungan.
Cerita perihal tradisi Sunan Kudus tadi tidak hanya sebatas menambah wawasan
dan pengetahuanku secara kognitif. Tapi secara tidak langsung juga menstimulasiku
untuk sampai pada sebuah renungan yang bersifat afektif. Tentang apa yang biasa
kita sebut sebagai toleransi.
Dan
di antara semua referensi empirik yang bisa kugali dalam diriku perihal
pembahasan tersebut. Pikiranku kemudian berhenti pada sebuah tulisan pendek
dari Rusdi Mathari yang berjudul Nasrani. Yang tergabung dalam kumpulan
tulisan lainnya dalam buku berjudul Lelaki yang Tak Berhenti Menangis,
Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati.
Di
dalam cerita tersebut, Cak Rusdi berkisah tentang dinamika yang terjadi antara
warga Muslim dan nasrani pada sebuah daerah yang berlokasi di Maluku Tenggara
bernama Tual. Di mana mereka bergotong royong mengecor lantai masjid raya di
daerah tersebut. Fenomena ini, jelas Cak Rusdi dalam tulisannya, membuatnya
teringat pada sebuah kisah di Madinah 14 abad silam.
“Pada sebuah sore, ketika baru saja menunaikan salat Asar di masjid Nabawi, serombongan tamu dari Yaman menemui Nabi di masjid itu. Mereka terdiri dari 60 orang yang dipimpin oleh tiga bangsawan. Salah satunya bernama Abu Haritsah. Dialah pendeta Nasrani yang dihormati oleh penguasa Roma yang juga beragama Nasrani dan telah mendirikan banyak gereja.”
“Lalu di dalam masjid, para tamu pun bermaksud menunaikan ibadah tapi beberapa sahabat mencegah mereka. Nabi yang melihat hal itu menegur para sahabat dan mempersilakan para tamu Nasraninya melakukan Misa di satu sayap masjid.’Biarkan mereka beribadah dengan cara mereka menghadap ke timur.’”
Berangkat
dari kisah tersebut, juga didasari dengan pemahaman atas kenyataan masih
maraknya kasus pelarangan pembangunan gereja oleh masyarakat setempat pada
beberapa daerah di Indonesia. Yang bisa kutekankan dari tulisan Cak Rusdi
adalah adanya usaha dari sang penulis untuk kembali mengingatkan kita tentang
apa yang ingin diajarkan Rasulullah itu sendiri. Bahwa pada dasarnya Islam
dengan segala kebenaran akidah dan kelurusan pemikirannya, lebih banyak menitikberatkan
fokus ajarannya pada cinta, adab, dan kasih sayang.
Landasan
perihal cinta ini, jika dilihat sekilas sebenarnya sederhana dan memang
sederhana aslinya. Namun tanpa kita sadari, kadar kompleksitasnya akan naik
begitu pesat ketika ia mulai dibawa pada tahap kehidupan sosial. Kita coba
ambil satu kasus, masalah perselisihan antar paham beragama.
Banyak
dari kita, sadar atau tidak, ketika sudah mulai berbicara tentang siapa yang
benar dan salah, akan mulai tenggelam dalam dinamika perdebatan guna mencari
pembuktian benar dan salah itu sendiri, yang dimana pada dasarnya tidak salah.
Perdebatan terkait perbedaan adalah hal yang wajar terjadi dalam ranah sosial
manusia. Mulai dari hal sesederhana, prinsip hidup hingga kepercayaan beragama.
Kita pasti akan berdebat karena perbedaan.
Namun
seringnya, kita yang awalnya hanya tenggelam, secara berangsur hanyut dan
semakin berlarut-larut. Perdebatan yang tadinya diisi dengan argumentasi dan
pergolakan yang sehat, kini mulai diwarnai kebencian hingga tak jarang berujung
pada melukai satu sama lain.
Hal
tersebut tak lain dan tak bukan sebenarnya masih disebabkan oleh dorongan
semangat yang pertama. Semangat untuk menentukan mana yang benar dan mana yang
salah. Terlalu fokus dan terhanyut pada dorongan tersebut sampai kita lupa
bahwa selain benar dan salah, ada banyak hal lain yang tak kalah penting dan
juga harus kita perhatikan. Misalnya seperti kebaikan dan keburukan.
Dalam
dinamika perbedaan ini, seringkali kita terlalu fokus untuk menjadi benar,
hingga lupa mempertimbangkan apakah yang kita lakukan itu membawa kebaikan atau
tidak. Pun terlalu takut untuk menjadi salah, sampai lupa mencegah
perlakuan-perlakuan buruk yang bisa saja timbul dari ketakutan itu sendiri.
Hingga
akhirnya yang bisa kita lihat di mana-mana hanyalah medan perang, yang darah
kita juga ikut tumpah di dalamnya. Tak ada yang tersisa selain perseteruan.
Baik dengan agama lain, maupun paham yang berbeda dari agama yang sama. Kita
terus berperang, terus-menerus. Tanpa kenal lelah. Tanpa tahu henti.
“Mestinya orang-orang Islam yang terus melarang kaum
Nasrani mendirikan gereja dan orang-orang Nasrani yang menyelisihi kaum
muslimin untuk mendirikan masjid, belajar daripada apa yang terjadi di Tual,
Kamis kemarin. Orang-orang Kristen dan Islam di sana bergotong-royong membangun
masjid sebab mereka mengerti atau berusaha mengerti: urusan akidah adalah
urusan masing-masing individu tapi urusan berhubungan baik dengan sesama
manusia adalah urusan bersama.” Ujar Cak Rusdi dalam tulisannya.
Pemisahan
antara urusan akidah dan urusan sosial adalah apa yang harus menjadi perhatian
kita semua di sini. Meyakini bahwa apa yang kita percaya adalah benar merupakan
urusan diri kita sendiri, dan semua orang pasti berpikir seperti itu dalam
dirinya. Maka memaksakan pemikiran setiap individu tanpa ada niat untuk
menghormati apa yang dipercaya orang lain hanya akan berujung pada perseteruan
tanpa henti.
Sunan
Kudus secara historis dan simbolis telah memberikan kita contoh terkait
bagaimana Islam mengajarkan kita untuk tetap menghormati kepercayaan orang
lain. Hal ini jugalah yang coba disampaikan Cak Rusdi dalam kisahnya tentang
pembolehan beribadahnya orang-orang Nasrani salat di dalam masjid Nabawi oleh
Rasulullah. Ini mereka dibolehin ibadah dalam masjid lho!Bayangkan! Sekarang
boro-boro mau dibolehin ibadah di masjid, mau bangun tempat ibadah mereka
sendiri aja masih seringkali dilarang.
Di sisi lain, meyakini bahwa semua orang berhak menerima perlakuan dan perbuatan baik dari diri kita adalah urusan sosial yang wajib kita tanamkan baik-baik dalam diri. Semua orang tanpa terkecuali. Bukan karena dia orang Islam, bukan juga karena dia orang alim. Tapi karena dia orang, itu sudah cukup jadi alasan.
Aku tersentak. Lima belas menit sudah cukup untuk pikiranku melanglangbuana ke mana-mana sebelum akhirnya terputus oleh kesadaran bahwa aku harus segera berangkat kuliah. Kulihat jam, setengah delapan lewat sedikit. Segera aku beranjak dari dudukku, memakai kaos kaki kemudian mengencangkan tali sepatu.
Sebelum melewati pintu, tak ketinggalan kutenggerkan sepasang headset bluetooth di kedua telinga. Lagu rock Indonesia yang dibawakan oleh Baskara Putra dan Feast Band berdentum kencang menghantam lubang telinga. Diiringi lagu tersebut, aku melangkah keluar pintu. Namun seiring kakiku yang mulai berjalan menjauhi rumah. Lagu berjudul Kami Belum Tentu yang terputar di headset kembali menarik pikiranku keluar menjauhi raga. Terserat arus kontemplasi yang menjemput secara tiba-tiba. Membuatku tenggelam dalam renungan lanjutan, kali ini diiringi oleh deklamasi dengan nada lantang.
Cukup dikasih hati
{Masih minta tambah paru)
Jelas-jelas tangan besi
(Masih berlagak rindu)
Sembah tuhan tiap minggu
(Tapi masih lempar batu)
Editor : Ashabul Kahfi




Comments
Post a Comment