Upaya Presiden Soekarno dalam Menyatukan Tiga Golongan Besar; Bedah Buku Nasionalisme, Islamisme, Marxisme oleh Ir. Soekarno

 

Gambar 8.4 (Source: Pinterest)

Oleh: Muhammad Catur Rezki Agung

Pada saat negeri ini diterjang ombak besar dari segala arah, mimpi besar serta rasa tanggung jawab akan kemajuan bangsa tumbuh hebat, hingga sebuah ide cemerlang lahir dari seorang pemuda bangsa. Berkeinginan agar bangsa ini dapat ikut andil di kancah internasional, serta namanya tak akan terdengar asing lagi di telinga. Sebagian orang menganggap pikiran pemuda ini amat luar biasa, sebagian lainnya tentu sukar menerimanya, sebab berbagai kejadian yang menciptakan trauma akan hal yang sama mungkin terulang kembali, bahkan menganggapnya sebagai aib bangsa di mata dunia.

Pikiran Soekarno muda yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” menggambarkan pada pembaca terkait hal-hal kles masa lalu yang dapat dengan mudah baginya mencari konklusi yang tepat pada setiap permasalahan. Kali ini, terkait ketidaksatuan ketiga haluan besar ini.

Di dalam buku ini, yang merupakan salah satu buku pertama Soekarno, beliau memuntahkan seluruh isi kepalanya tentang ketiga ideologi tersebut, dan berusaha menyatukannya menjadi satu kesatuan, hingga dapat menjadi asas berdirinya bangsa yang kelak kita kenal sebagai bangsa Indonesia. Banyak nama dari para pemikir dan tokoh dunia yang beliau sebut di dalamnya, tak lain agar dapat ia jadikan dalih berdirinya satu ideologi yang maha besar ini dan memengaruhi banyak orang tentunya. 

“Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketika gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat, satu ombak-topan yang tak dapat ditahan terjangannya, itulah kewajiban yang kita harus memikulnya.” Sepenggal paragraf inilah yang agaknya menjadi nilai yang ingin Soekarno muda tunjukkan pada pembaca buku ini.

Nasionalisme sendiri sepanjang pengetahuan kita merupakan alat atau senjata pemersatu rakyat dengan beragam latar belakang hingga menjadi satu bangsa untuk mencapai satu identitas, integritas, dan kemakmuran. Untuk itu, dengan kemajemukan bangsa saat ini, rasa nasionalisme sangatlah diperlukan. Meyakinkan bahwasanya tak ada sekat yang memisahkan satu dengan lainnya.

Menurut Soekarno, hal ini tidaklah bertolak belakang dengan asas dari sisi spiritual agama Islam, justru menjadikan pemeluknya sebagai Nasionalisme Islam. Bukankah Islam sendiri yang mengajarkan untuk membela negara mati-matian dalam menghadapi penjajahan kolonialisme? Menurutnya, nasionalisme muncul untuk mempertahankan bangsa dari segala serangan dari luar yang bertujuan untuk memecah belah, melalui cara-cara yang politis tentunya, adapun agama Islam muncul sebagai ruh.

Begitu pula kaum buruh, tertindas nan sengsara; kaum melarat pikiran dan berkeluh kesah sebagai otak tangan Marxisme, hal ini menjadi bentuk perlawanan mereka akan peraturan kapitalistis, borjuis (golongan masyarakat kelas menengah keatas, terdiri dari pedagang dan pengusaha), dan kesenjangan hegemoni (dominasi) antara masyarakat pada suatu bangsa. Di tengah-tengah Nasionalisme sebagai ideologi politis, rasa kebersamaan, hal ihwal dan Islamisme sebagai agama yang kedepannya akan menjadi tritagonis di antara kedua ideologi tadi.

Islamisme seperti yang disebutkan sebagai tritagonis; tak ayal hanyalah sebuah agama, maka lebih daripada itu ia juga merupakan penggerak bagi para pemeluknya. Dalam Islam sendiri hal semacam ini telah termaktub jelas sejak dahulu, salah satunya dalam maqashid syariah yang memiliki lima tujuan yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pada masa-masa kelam negara ini apa yang dilakukan kolonialisme dahulu; perampasan hak kemasyarakatan serta hal keji lainnya yang kemudian memaksa ulama pada saat itu untuk menggerakkan segenap jiwa, raga, dan hati pemeluk agama islam untuk ikut serta menjaga tanah air, dan meyakinkannya bahwa hal tersebut merupakan kewajiban.

Tentu ketika hal itu terjadi bukan hanya yang beragama islam saja yang terkena dampaknya, akan tetapi juga berlaku secara general. Akhirnya, hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa rakyat Indonesia belum memiliki Nasionalisme secara utuh. Meskipun bersamaan dengan itu, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, “wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya”. Dengan adanya rasa nasionalisme, maka hal-hal general seperti tadi akan mudah dientaskan, apalagi jika hal ini disadari pula oleh para pemeluk agama-agama di Indonesia, tentu akan sangat mudah menghadapi masalah-masalah itu baik dari internal maupun eksternal.

Memiliki musuh yang sama merupakan sebuah keberuntungan dan kesukaran, inilah yang terjadi pada umat islam dan kaum marxis yang sama-sama memusuhi Kapitalisme. Islam dan Marxisme tidak menyukai adanya konsep meewarde pada kaum kapitalis. Meewarde sendiri ialah teori memakan hasil pekerjaan orang lain, dan tidak memberikan keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja. Teori ini disebutkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan kerancuan kapitalisme yang terjadi.

Maka yang demikian itu, Islam yang sejati tidak akan memusuhi  Marxisme dalam tema pembebasan hak dan keadilan, dikarenakan ia sama-sama memerangi konsep meewarde tadi. Hal lain yang harus dimusuhi pada Kapitalis yakni kegemaran mereka dalam penimbunan harta untuk keperluan sendiri, dan tidak adanya keselarasan antara si kaya dan si miskin.  Islam sendiri memiliki konsep zakat yang mana nantinya apabila harta telah sampai pada nisabnya maka wajib dikeluarkan, kaum marxis memandang serupa hal tersebut bahwa si kaya membagikan rezekinya kepada si miskin. Maka menurut Soekarno adanya kesamaan pada Islam dan Marxisme pada tema-tema tertentu menjadi sebuah keuntungan yang besar, mengingat keduanya merupakan aliran besar dalam masyarakat Indonesia saat itu.

Marxisme merupakan ideologi besar yang mana hulunya merupakan kaum melarat, compang-camping, badan kurus, dan nantinya menjadi suatu kesatuan kaum yang memiliki hal-ihwal yang sama hingga muaranya menjadikannya sebuah negara yang besar dan merupakan salah satu negara adidaya. Karl Marx merupakan mahaguru dari ideologi ini, dan berhasil menggerakan hati kaum buruh seluruh dunia (proletariat). Mula-mulanya ribuan hingga menyentuh jutaan seperti sekarang ini. Hal itu tak terlepas dari rasa resah hati melihat teman atau mereka biasanya menyebut kamerad (teman separtai-an) dirundung kerasnya dunia perbendaharaan dan ekonomi yang menurutnya tak adil nan semrawut.

Jika ditanya soal uang, siapapun pasti melek mata mendengarnya. Menurut Marxisme, teori ekonomi Marx ini merupakan kerangka analitis yang sangat baik dan sebuah alternatif untuk ekonomi neo-klasik yang lebih konvensional. Bagi Soekarno, jika ditilik lebih jauh, pergerakan Marxisme sangatlah sejalan dengan Nasionalisme, akan tetapi itu adalah kaum marxis dulu. Adapun di masa sekarang, penyokongan satu sama lain ini telah terjadi.

Pemeluk Islam sendiri juga sebelumnya bersikap demikian terhadap kaum Marxis, belum ada rasa kebersamaan dan hal itu tidaklah muncul hingga terjadi sebuah kesadaran persamaan satu sama lain. Maka tak pantas bagi mereka memerangi kaum Marxis yang akarnya sama-sama anti riba dan anti bunga atau meewarde yang mana konsep tersebut dianut penuh oleh kapitalisme. Oleh karena itu, islam barulah berhaluan dengan Marxisme pada tahun 1847 dengan pendapatnya “agama itu harus dilepaskan adanya.” Dengan dekret baru itu, mereka dapat bergandengan dan menggabungkan masing-masing pendapat hingga menemukan konklusi yang tepat terkait perbendaharaan yang ada.

Epilog

Mungkinkah tiga ideologi besar dan mumpuni ini dapat bersatu? Ataukah hanya sekadar utopia belaka? Setidaknya itulah yang Soekarno pikirkan, bahwasanya memang tak bisa dipungkiri dengan penggabungan mereka  akan menciptakan gelombang yang maha dahsyat dan sukar untuk dihentikan. Namun perlu diketahui bahwa kesukaran tersebut juga muncul dalam penggabungan ketiganya, apalagi masih banyak orang yang masih sulit menurunkan egonya untuk hal ini, kasarnya bisa dikatakan, utopis belaka! Akan tetapi, pikiran semacam ini tak perlu kita kubur dalam-dalam, toh masih banyak orang yang peduli, atau mungkin menunggu akan hal seperti ini bisa kita bangun bersama-sama tanpa memikirkan golongan, ras, agama, ataupun negaranya sekalipun.

 

 

Editor : Andi Tenri M.U

Comments