Upaya Presiden Soekarno dalam Menyatukan Tiga Golongan Besar; Bedah Buku Nasionalisme, Islamisme, Marxisme oleh Ir. Soekarno
Oleh: Muhammad Catur Rezki Agung
Pada saat negeri ini diterjang ombak besar dari
segala arah, mimpi besar serta rasa tanggung jawab akan kemajuan bangsa
tumbuh hebat, hingga sebuah ide cemerlang lahir dari seorang pemuda bangsa. Berkeinginan agar bangsa ini dapat ikut andil di kancah internasional, serta
namanya tak akan terdengar asing lagi di telinga. Sebagian orang menganggap
pikiran pemuda ini amat luar biasa, sebagian lainnya tentu sukar menerimanya, sebab
berbagai kejadian yang menciptakan trauma akan hal yang sama mungkin terulang kembali,
bahkan menganggapnya sebagai aib bangsa di mata dunia.
Pikiran Soekarno muda yang dituangkan dalam bukunya
yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme” menggambarkan pada
pembaca terkait hal-hal kles masa lalu yang dapat dengan mudah baginya mencari
konklusi yang tepat pada setiap permasalahan. Kali ini, terkait ketidaksatuan
ketiga haluan besar ini.
Di dalam buku ini, yang merupakan salah satu buku pertama Soekarno, beliau memuntahkan seluruh isi kepalanya tentang ketiga ideologi tersebut, dan berusaha menyatukannya menjadi satu kesatuan, hingga dapat menjadi asas berdirinya bangsa yang kelak kita kenal sebagai bangsa Indonesia. Banyak nama dari para pemikir dan tokoh dunia yang beliau sebut di dalamnya, tak lain agar dapat ia jadikan dalih berdirinya satu ideologi yang maha besar ini dan memengaruhi banyak orang tentunya.
“Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketika gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat, satu ombak-topan yang tak dapat ditahan terjangannya, itulah kewajiban yang kita harus memikulnya.” Sepenggal paragraf inilah yang agaknya menjadi nilai yang ingin Soekarno muda tunjukkan pada pembaca buku ini.
Nasionalisme sendiri sepanjang pengetahuan kita merupakan alat atau senjata pemersatu
rakyat dengan beragam latar belakang hingga menjadi satu bangsa untuk mencapai
satu identitas, integritas, dan kemakmuran. Untuk itu, dengan kemajemukan
bangsa saat ini, rasa nasionalisme sangatlah diperlukan. Meyakinkan bahwasanya tak
ada sekat yang memisahkan satu dengan lainnya.
Menurut Soekarno, hal ini tidaklah bertolak
belakang dengan asas dari sisi spiritual agama Islam, justru menjadikan
pemeluknya sebagai Nasionalisme Islam. Bukankah Islam sendiri yang mengajarkan
untuk membela negara mati-matian dalam menghadapi penjajahan kolonialisme? Menurutnya,
nasionalisme muncul untuk mempertahankan bangsa dari segala serangan dari luar
yang bertujuan untuk memecah belah, melalui cara-cara yang politis tentunya, adapun
agama Islam muncul sebagai ruh.
Begitu pula kaum buruh, tertindas nan sengsara;
kaum melarat pikiran dan berkeluh kesah sebagai otak tangan Marxisme, hal ini
menjadi bentuk perlawanan mereka akan peraturan kapitalistis, borjuis (golongan
masyarakat kelas menengah keatas, terdiri dari pedagang dan pengusaha), dan
kesenjangan hegemoni (dominasi) antara masyarakat pada suatu bangsa. Di
tengah-tengah Nasionalisme sebagai ideologi politis, rasa kebersamaan, hal
ihwal dan Islamisme sebagai agama yang kedepannya akan menjadi tritagonis di
antara kedua ideologi tadi.
Islamisme seperti yang disebutkan sebagai tritagonis; tak ayal hanyalah
sebuah agama, maka lebih daripada itu ia juga merupakan penggerak bagi para
pemeluknya. Dalam Islam sendiri hal semacam ini telah termaktub jelas sejak
dahulu, salah satunya dalam maqashid syariah yang memiliki lima tujuan
yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pada masa-masa kelam
negara ini apa yang dilakukan kolonialisme dahulu; perampasan hak
kemasyarakatan serta hal keji lainnya yang kemudian memaksa ulama pada saat itu
untuk menggerakkan segenap jiwa, raga, dan hati pemeluk agama islam untuk ikut
serta menjaga tanah air, dan meyakinkannya bahwa hal tersebut merupakan
kewajiban.
Tentu ketika hal itu terjadi bukan hanya yang
beragama islam saja yang terkena dampaknya, akan tetapi juga berlaku secara
general. Akhirnya, hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa rakyat Indonesia belum
memiliki Nasionalisme secara utuh. Meskipun bersamaan dengan itu, Islam yang
sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia
diami, “wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya”. Dengan
adanya rasa nasionalisme, maka hal-hal general seperti tadi akan mudah dientaskan,
apalagi jika hal ini disadari pula oleh para pemeluk agama-agama di Indonesia,
tentu akan sangat mudah menghadapi masalah-masalah itu baik dari internal
maupun eksternal.
Memiliki musuh yang sama merupakan sebuah
keberuntungan dan kesukaran, inilah yang terjadi pada umat islam dan kaum
marxis yang sama-sama memusuhi Kapitalisme. Islam dan Marxisme tidak menyukai
adanya konsep meewarde pada kaum kapitalis. Meewarde sendiri ialah teori
memakan hasil pekerjaan orang lain, dan tidak memberikan keuntungan yang
seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja. Teori ini disebutkan oleh
Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan kerancuan kapitalisme yang terjadi.
Maka yang demikian itu, Islam yang sejati tidak
akan memusuhi Marxisme dalam tema
pembebasan hak dan keadilan, dikarenakan ia sama-sama memerangi konsep meewarde
tadi. Hal lain yang harus dimusuhi pada Kapitalis yakni kegemaran mereka dalam
penimbunan harta untuk keperluan sendiri, dan tidak adanya keselarasan antara
si kaya dan si miskin. Islam sendiri
memiliki konsep zakat yang mana nantinya apabila harta telah sampai pada nisabnya
maka wajib dikeluarkan, kaum marxis memandang serupa hal tersebut bahwa si kaya
membagikan rezekinya kepada si miskin. Maka menurut Soekarno adanya kesamaan
pada Islam dan Marxisme pada tema-tema tertentu menjadi sebuah keuntungan yang
besar, mengingat keduanya merupakan aliran besar dalam masyarakat Indonesia
saat itu.
Marxisme merupakan ideologi besar yang mana hulunya merupakan kaum melarat,
compang-camping, badan kurus, dan nantinya menjadi suatu kesatuan kaum yang
memiliki hal-ihwal yang sama hingga muaranya menjadikannya sebuah negara yang
besar dan merupakan salah satu negara adidaya. Karl Marx merupakan mahaguru
dari ideologi ini, dan berhasil menggerakan hati kaum buruh seluruh dunia
(proletariat). Mula-mulanya ribuan hingga menyentuh jutaan seperti sekarang
ini. Hal itu tak terlepas dari rasa resah hati melihat teman atau mereka
biasanya menyebut kamerad (teman separtai-an) dirundung kerasnya dunia
perbendaharaan dan ekonomi yang menurutnya tak adil nan semrawut.
Jika ditanya soal uang, siapapun pasti melek
mata mendengarnya. Menurut Marxisme, teori ekonomi Marx ini merupakan kerangka
analitis yang sangat baik dan sebuah alternatif untuk ekonomi neo-klasik yang
lebih konvensional. Bagi Soekarno, jika ditilik lebih jauh, pergerakan Marxisme
sangatlah sejalan dengan Nasionalisme, akan tetapi itu adalah kaum marxis dulu.
Adapun di masa sekarang, penyokongan satu sama lain ini telah terjadi.
Pemeluk Islam sendiri juga sebelumnya bersikap
demikian terhadap kaum Marxis, belum ada rasa kebersamaan dan hal itu tidaklah
muncul hingga terjadi sebuah kesadaran persamaan satu sama lain. Maka tak
pantas bagi mereka memerangi kaum Marxis yang akarnya sama-sama anti riba dan
anti bunga atau meewarde yang mana konsep tersebut dianut penuh oleh kapitalisme.
Oleh karena itu, islam barulah berhaluan dengan Marxisme pada tahun 1847 dengan pendapatnya “agama itu harus dilepaskan adanya.” Dengan dekret baru itu,
mereka dapat bergandengan dan menggabungkan masing-masing pendapat hingga menemukan
konklusi yang tepat terkait perbendaharaan yang ada.
Epilog
Mungkinkah tiga ideologi besar dan mumpuni ini
dapat bersatu? Ataukah hanya sekadar utopia belaka? Setidaknya itulah yang
Soekarno pikirkan, bahwasanya memang tak bisa dipungkiri dengan penggabungan
mereka akan menciptakan gelombang yang
maha dahsyat dan sukar untuk dihentikan. Namun perlu diketahui bahwa kesukaran
tersebut juga muncul dalam penggabungan ketiganya, apalagi masih banyak orang
yang masih sulit menurunkan egonya untuk hal ini, kasarnya bisa dikatakan,
utopis belaka! Akan tetapi, pikiran semacam ini tak perlu kita kubur
dalam-dalam, toh masih banyak orang yang peduli, atau mungkin menunggu
akan hal seperti ini bisa kita bangun bersama-sama tanpa memikirkan golongan,
ras, agama, ataupun negaranya sekalipun.
Editor : Andi Tenri M.U




Comments
Post a Comment