Antipati Abstrak Salat Subuh dan Begadang

 Gambar 9.1 (Source: Pinterest) 

Oleh : Yasier Kamal 

Hakikat insan ditiupkan ruh sehingga mampu merasakan kenikmatan dunia semata-mata hanya untuk memperoleh rida Allah Swt., dengan mengikuti sebagaimana yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Allah Swt telah menyerantakan syariat dengan sebaik-baiknya kepada setiap Muslim melalui Nabi Muhammad Saw. Yang hingga kini, keniscayaan syariat tetap konstan menemani hidup seluruh Muslim. Namun, adanya hal yang tak bisa disangkal bahwa banyaknya generasi yang terlahir di masa kini melahirkan banyaknya misinterpretasi dan penyelewengan terhadap syariat.
 
Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kurangnya pemahaman dalam menguak permasalahan yang didalami. Pelakunya bahkan bukan hanya dari orang awam melainkan tidak sedikit juga berasal dari sosok terpelajar itu sendiri yang didukung stigma bahwasanya dalam beragama tetap dibawa santai, tetapi malah menafikan syariat yang bersifat qothiyyat (syariat yang tidak bisa diganggu gugat). Bagaimana tidak tejadi misinterpretasi atau kesalahpahaman, sebelum melangkah saja pola pikirnya sudah tidak dapat dibenarkan.
 
Allah swt. telah mendesain sedemikian rupa bagaimana perjalanan hamba-Nya senantiasa dinaungi keindahan “jalbul masolih wa darul mafasid” (mendatangkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan). Begitupun dengan “Al-islamu dinun yusrun wa wus’atun”, adagium populer yang tertanam dalam pikiran beberapa oknum yang memang benar adanya, yaitu islam adalah agama yang mudah dan lapang. Walau saja tanpa didasari akal yang sehat, mereka menggunakan adagium tersebut sebagai alat kebebasan dalam bertindak pada kacamata syariat. Sehingga inferensi yang menjembatani tindakan tersebut adalah hubungan antara keniscayaan suatu syariat dan bagaimana islam membawa kedamaian dan kelapangan.
 
Pengaplikasian tindakan tersebut di masa sekarang, salah satunya adalah keadaan dimana seseorang begadang di malam hari dan tidur sebelum masuknya waktu subuh, yang kemudian melaksanakan salat subuhnya saat matahari sudah naik dengan niat qodho. Prinsip yang diperpegangi adalah keadaan tidur itu sendiri yang menutup jalan pentaklifan seseorang. Lantas, apakah hal itu bisa diterima dengan mudahnya oleh Sang Pembuat Syariat? Yang seakan-akan syariat tidak memiliki hak untuk disebut syariat akibat kuasanya diatur oleh yang dibebankan syariat itu sendiri.
 
Menilik permasalahan ini, aslul hukm dari salat subuh adalah wajib. Wajib merupakan sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran/pahala dan mendapat dosa apabila ditinggalkan. Maka orang yang meninggalkan salat subuhnya secara sengaja masuk dalam kategori sebagaimana dalam pengertian wajib, akan diganjar dengan dosa sama halnya dengan permasalahan diatas, yaitu orang yang sengaja begadang lalu meninggalkan kewajibannya melaksanakan salat subuh tanpa ada usaha dan azam untuk melaksanakannya tepat waktu. Alih-alih melaksanakan salat subuh dengan jarak waktu yang kurang lebih ‘hampir masuk’, mereka memilih tidur dan melaksanakannya ketika sudah terbangun secara sengaja. pernyataan ini muncul karena dalam hal ini ia meninggalkan muqoddimatul wajib dalam pelaksanaan salat subuh, yang mana hukumnya wajib mengikut kepada kewajiban utama yakni salat subuh.
 
Dalam pembahasan wajib, ada yang disebut sebagai muqoddimatul wajib dengan kaidah “ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” yang bermakna sesuatu akan menjadi wajib ketika sesuatu itu menjadi jembatan untuk melaksanakan sesuatu yang wajib. Contohnya seperti wajibnya haji, maka wajib pula perjalanan menuju tanah haram karena tanpa adanya perjalanan maka kewajiban haji tidak akan terlaksana. Maka hukum melakukan perjalanan menuju tanah haram menjadi wajib sebagaimana itu menjadi jembatan untuk pelaksanaan haji.
 
Dalam kitab Nihayatussul  karangan Imam Al-Isnawi disebutkan bahwa pembentuk muqoddimatul wajib itu ada dua, syarat dan sebab. Walaupun terjadi ikhtilaf pada pembahasan ini, ada yang mengatakan syarat saja, ada yang sebab saja dan ada yang menafikan adanya muqoddimatul wajib itu sendiri, namun Imam Al-Isnawi dalam kitabnya men-shahih-kan pendapat jumhur ushuliyyun tentang kedua unsur pembentuk muqoddimatul wajib tersebut dengan syarat tertentu. Sehingga dampak dari adanya syarat tersebut membuat kaidah “ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib”  tidak semerta-merta diterima seluruhnya atau tidak bisa menjadi kaidah dasar tanpa istifaussyarth (terpenuhinya syarat).
 
Ada dua yang disyaratkan Imam Al-Isnawi dalam kaidah tersebut. Pertama, sesuatu yang wajib tersebut bersifat Mutlak alias tidak bergantung pada terjadinya sesuatu. Apabila dikatakan “Jika kamu berada di Jepang, belikan temanmu figure anime Naruto!” Maka dia tidak wajib pergi ke Jepang lalu membeli figure tersebut. Adapun ketika dia memang berada di Jepang, maka tidak ada penghalang atas wajibnya dia membeli figure tersebut.  Inilah dampak dari wajib muallaq yaitu bergantung pada sesuatu.
 
Kedua, kewajiban tersebut mampu dilakukan atau berada di dalam kendali seorang mukallaf. Ketika seseorang berkeinginan melaksanakan haji, namun dia tidak mampu dari segi finansial misalnya. Maka perjalanannya ke tanah haram (muqoddimatul wajib) tidak menjadi wajib baginya begitupun dengan kewajiban hajinya. Sama halnya ketika berada di luar kendalinya berupa iradah Tuhan seperti meninggal sebelum melaksanakan haji.
 
Dengan kedua syarat itulah yang menjadi pondasi terealisasinya muqoddimatul wajib dengan dua unsur pembentuknya yaitu syarat dan sebab. Syarat adalah sesuatu yang ketika ada tidak mengharuskan ada tidaknya sesuatu, dan ketika tidak ada mengharuskan sesuatu tidak ada. Contohnya thaharah atau bersuci menjadi syarat untuk melaksanakan salat, ketika ada thaharah, tidak mengharuskan ada tidaknya salat, dan ketika thaharah itu tidak ada maka tidak ada salat. Adapun sebab adalah sesuatu yang ketika ada mengharuskan sesuatu ada, dan ketika tidak ada mengharuskan sesuatu tidak ada. Contohnya naiknya matahari tepat diatas kita, menjadi sebab masuknya waktu salat zuhur. Ketika matahari belum naik maka tidak adalah salat zuhur.
 
Kedua unsur ini; sebab dan syarat menjadi tiang utama dari muqoddimatul wajib yang masing-masing diklasifikasikan menjadi tiga jenis dari segi sifatnya, syar’iy (syariat/aturan pasti), ‘aqliy (logika) dan ‘adiy (kebiasaan).
 
Contoh syarat syar’iy yaitu wudu, yang tanpanya salat tidak dianggap telah dilaksanakan, di mana hal ini telah ditetapkan oleh syariat sendiri. Lalu ada syarat ‘aqliy yaitu melakukan yang sudah lazim untuk dilakukan secara akal agar sampai kepada wajib utama seperti dalam sholat, maka secara logika kita tidak boleh melakukan hal selain sholat seperti bermain ponsel, dan lain-lain. Adapun syarat ‘adiy tidak terlepas dari bagaimana kebiasaan itu menjadi mi’yar (tolak ukur) seperti membasuh sebagian kepala dalam wudu, secara kebiasaan itu sudah menjadi tanda terlaksananya wudu pada bagian tersebut.
 
Contoh sebab syar’iy yaitu dulukussyams (munculnya matahari tepat di atas kita) menjadi sebab masuknya waktu dzuhur, sebagaimana yang ditetapkan syariat. Lalu Sebab ‘aqliy, contohnya belajar untuk sampai pada wajib utama seperti sholat, maka mempelajari apapun mengenai sholat menjadi sebab dan kewajiban untuk melaksanakan sholat yang dituntut oleh syariat. Adapun sebab ‘adiy, contohnya memotong bagian leher pada qishas (hukuman mati) menjadi wajib karena secara kebiasaan, seseorang yang dihukumi qishas dibunuh dengan cara memotong bagian leher walaupun ada banyak cara untuk membunuh.
 
Antipati (rasa tidak senang) yang bersifat abstrak antara salat subuh dan begadang yang menjadi inti pembahasan kali ini, yaitu keadaan di mana seseorang yang begadang menafikan salah satu unsur muqoddimah wajib dari wajibnya salat subuh, dan salat subuh menafikan aktivitas begadang di malam hari. Tidur tepat waktu merupakan syarat ‘adiy pada kewajiban salat subuh dan bangun pada waktunya menjadi syarat ‘aqliy-nya. Maka kedua tindakan ini juga ikut menjadi wajib atas dasar pelaksanaan salat subuh (wajib utama).
 
Syarat ‘Adiy yang notabenenya berlandaskan kebiasaan mengambil peran dalam realisasi salat subuh, karena faktanya orang yang begadang alias tidur tidak tepat waktu meniadakan salat subuhnya secara adaan. Namun hal ini hanya bersifat dzonniyat (tidak pasti) karena walaupun kebiasaan itu bisa menjadi hukum sebagaimana pada qowaid ushuliyahal-‘adah muhakkamah” tetapi tidak dapat dipungkiri ada beberapa orang yang begadang namun tetap melaksanakan salat subuhnya tepat waktu.
 
Hal ini diluar dari kebiasaan manusia, yang di mana umumnya manusia itu istirahat di malam hari akan tetapi beberapa diantaranya memaksakan diri dan mengambil resiko tidak tidur malam agar dapat menggabungkan hubungan antipati antara salat subuh dan begadang. Pun, dengan adanya kejadian seperti ini tidak menafikan kebiasaan manusia yang tidur tepat waktu akan dapat melaksanakan salat subuh tepat waktu pula. Sehingga inilah alasan mengapa tidur tepat waktu masuk dalam kategori syarat ‘adiy untuk bisa melaksanakan perintah wajibnya salat subuh.
 
Menguliti kasus yang dibahas, yaitu orang yang tanpa menyadari bahwa nyatanya dia dikategorikan sengaja meninggalkan salat subuhnya secara adaan disebabkan ia begadang dengan sengaja dan tanpa uzur. setelah penjelasan diatas dapat ditarik poin bahwasanya dia meninggalkan muqoddimatul wajib dan kewajibannya itu sendiri. Sebagai titik terangnya, perbuatan meninggalkan sesuatu yang wajib itu akan dihukumi baginya dosa apabila ia sengaja meninggalkannya. Untuk itu, seseorang yang ingin begadang di malam hari harus mengazamkan (memaksudkan) dirinya agar berusaha melaksanakan salat subuh secara adaan baik itu dengan tidur sebentar ataupun memaksakan tidak tidur hingga masuknya waktu salat subuh.
 
Walaupun ia meninggalkan perbuatan tidur tepat waktu atau syarat ‘adiy dari salat subuh, tetapi ia tetap harus menanggung resikonya untuk sampai pada wajib utama. Konsekuensinya, jika ia meninggalkan salat subuhnya maka ia berada dalam kondisi rukhsah (keringanan) yang di mana Allah Swt memberinya kesempatan untuk melakukan salat subuh secara qodhoan setelah ia terbangun sebagaimana juga diperkuat melalui hadis nabi.
 
Persamaan permasalahan awal yaitu orang yang begadang dan meninggalkan salat subuhnya secara adaan atau tepat waktu, dengan permasalahan kedua yaitu orang yang begadang serta berazam untuk salat subuh secara adaan namun terbangun dan mendapati dirinya sudah melewatkan waktu salah subuh, tentunya keduanya mendapatkan rukhsah untuk melaksanakan salat subuhnya secara qodhoan. Adapun perbedaannya, bersifat tak nampak dan dikembalikan lagi kepada Allah swt. Sebagai penutup, begadang adalah keadaan yang tidak senang akan adanya salat subuh dan salat subuh adalah kewajiban yang tidak senang akan adanya begadang. Inilah yang dinamakan hubungan antipati abstrak yang melapisi antara keduanya.
 


Editor: Andi Tenri

 


Comments