Interpretasi Tasawuf dalam Lagu "Setiap yang Bernama" Karya Pidi Baiq

Gambar 9.6 (Source: Unsplash.com)

Oleh: Muhammad Alwi Agung

“Setiap yang bernama hati, harusnya merasa, jika memang bukan batu.

Setiap hati yang bermata, harusnya melihat, jika memang tidak buta.

Setiap dia yang tertahan, pastinya tertekan, sebab itu melawan.” 

Kutipan di atas merupakan lirik dari sebuah lagu yang berjudul “Setiap Yang Bernama” karya Pidi Baiq. Lagu ini dibuat sebagai respons atas terjadinya peristiwa “amarah” atau April Makassar Berdarah tahun 1996 sekaligus dukungan sang pencipta lagu terhadap para buruh. Meski demikian, Lagu ini cenderung ditafsirkan sebagai ungkapan kritik secara halus kepada pemerintah yang enggan menerima kritik pada saat itu.

Namun, hal ini dapat dipandang lain bagi para penikmat musik yang cenderung menafsirkan sebuah lagu sesuai dengan mood-nya. Misalnya, orang yang sedang bersedih ketika mendengar sebuah lagu, ia akan menafsirkan setiap lirik yang didengar sesuai dengan kondisi hatinya, pun sama halnya orang yang sedang berbahagia, ia juga akan menafsirkan setiap lirik sesuai dengan kondisinya. Karena, pada dasarnya, musik adalah media yang sangat subjektif, dan interpretasi setiap orang bisa sangat berbeda berdasarkan kondisi hati seseorang.

Menafsirkan musik sesuai dengan kondisi hati tidaklah menjadi suatu masalah, selama interpretasi tersebut membantu kita memahami atau merasakan makna lagu dengan cara pribadi dan tidak berakibat negatif pada psikologis pendengar. Tentunya, hal ini juga bisa membantu pendengar untuk melibatkan pemikiran dan analisis, yang dapat merangsang kreativitas keterampilan berpikir kritis.

Dalam hal ini, ilmu dapat diperoleh di mana dan kapan saja, melalui apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar, termasuk halnya musik. Maka musik dapat dijadikan sebagai media untuk mengasah pemikiran dan analisis dan tentu akan akan berdampak baik pada pribadi seseorang.

Secara tidak langsung, seseorang yang berusaha memahami dan menganalisis sesuatu, akan mampu untuk menghubungkan makna analisis yang diperolehnya dengan ilmu lain. Maka pada kesempatan ini, penulis akan menghubungkan lirik dari lagu di atas ke ranah tasawuf, namun tidak dibahas secara ijmal (umum). Penulis hanya akan membahas secara khusus seputar persoalan yang berkaitan dengan hati yang ada pada konsep tasawuf dan relevansi terhadap kondisi zaman sekarang.

“Setiap yang bernama hati, harusnya merasa, jika memang bukan batu.”

Dalam lirik ini, seakan menyinggung manusia yang memiliki hati yang tulus dan tidak keras seperti batu dan peka terhadap keadaan atau suatu hal. Misalnya dalam konteks sosial, realita manusia zaman sekarang digambarkan gagal dalam merasakan penderitaan orang lain karena hati mereka telah mengeras. Hati yang keras dapat terlihat dengan sikap egois, kurangnya kepedulian terhadap sesama, dan mudahnya terjebak dalam konflik kebencian.

Dalam tasawuf, “hati yang membatu” (qalbun qasiy) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi spiritual yang sangat buruk, di mana hati yang mengeras tidak peka terhadap kebenaran dan tertutup cahaya ilahi. Hati yang membatu akan kehilangan kemampuan untuk merasakan kasih sayang dan empati yang sangat penting dalam hubungan manusia. Sebab hati yang keras adalah hasil dari dosa, kelalaian, dan kesombongan terhadap perintah ilahi.

Orang dengan hati yang membatu akan cenderung egois, materialistik, dan cenderung menutupi kebenaran. Hal ini dapat digambarkan dengan suatu contoh peristiwa, seorang dari kalangan bani israil dibunuh, dan mereka pun saling tuduh dalam mencari pelaku dan ingin menutupi kebenaran. Akan tetapi, Allah Swt ingin mengungkapkan apa yang mereka sembunyikan dengan memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi, dan menggunakan bagian dari sapi tersebut untuk memukul mayat, sehingga mayat itu berbicara dan mengungkapkan siapa pembunuhnya.

Melihat keadaan di masa sekarang, banyak dari kelompok manusia; baik pemimpin dan masyarakat umum, gagal menjaga kondisi hatinya. Adanya Ketidakadilan, ketidakpedulian, dan kekurangan empati di suatu daerah atau negeri menjadi bukti nyata kegagalan tersebut. Kegagalan yang menjadi bukti saat ini adalah ketika pemimpin atau pemerintah yang menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap rakyat yang menderita, tidak mendengar keluhan mereka, dan tidak berusaha mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan, pun sama halnya masyarakat yang kurang akan kepedulian sosial, lebih individualistik, dan tidak peduli dengan orang lain.

Fenomena hati yang keras ini didasari oleh nafsu duniawi yang kemudian gagal dikontrol oleh jiwa. Ketika nafsu telah berinang di hati seseorang, maka nasihat yang datang akan sulit untuk berkumpul di dalamnya.

Sebagaimana dalam kitab Al-Mawaizh Al-Ahadits Al-Qudsiyyah, Imam Al-Ghazali meriwayatkan hadis qudsi yang berbunyi, Allah Swt berfirman:

“Wahai anak Adam! Jangan kalian melaknat makhluk lain, sebab laknat tersebut akan kembali ke diri sendiri. Wahai anak Adam! Langit tegak di angkasa tanpa tiang karena salah satu dari nama-Ku, namun hati kalian tak pernah kuat dengan ribuan nasihat dalam kitab-Ku. Wahai anak Adam! Batu itu tidak akan lunak karena berada di dalam air, sebagaimana nasihat tidak dapat berpengaruh pada hati yang keras.” 

Di hati yang mengeras, terdapat mata hati yang tertutup. Padahal, jika mata hati terbuka, ia bisa dan akan menyingkap hakikat dari kebenaran. Hal ini sejalan dengan bunyi lirik kedua lagu tersebut, “Setiap hati yang bermata, harusnya melihat, jika memang tidak buta.”

Mata hati dalam tasawuf adalah “bashirah” yaitu kemampuan spiritual untuk melihat kebenaran dan memahami hakikat dari setiap kejadian. Ketika mata hati ini terbuka, ia dapat menghasilkan hasil berupa pemurnian jiwa, ketulusan, dan kedekatan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, seseorang yang mata hatinya terbuka, ia mampu melihat melampaui kepentingan duniawi, ego, dan keinginan pribadinya menuju kepada kebenaran yang hakiki.

 Keberadaan bashirah sangat penting disadari oleh setiap orang, sebab bashirah merupakan kunci untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan Tuhan. Tanpa eksistensi dari bashirah, maka seseorang akan kehilangan arah dan tidak memiliki tujuan dalam hidupnya. Pun sama halnya jika bashirah dihubungkan dengan kondisi zaman saat ini, khususnya di ranah sosial-politik, akan ikut rusak dan tidak tertata, sebab hilangnya moral dan kebutaan spiritual.

Dalam ranah sosial-politik, terutama dalam konteks pemimpin, telah banyak yang enggan untuk membuka mata hatinya untuk masyarakat. Sifat ego dan mementingkan duniawi masih terpatri di dalam diri mereka. Hal ini berarti bahwa mereka masih terjebak dalam kepentingan pribadi, kekuasaan, atau keuntungan material, sehingga mereka gagal melihat dan memahami kebutuhan serta penderitaan masyarakat yang mereka pimpin.

Beranjak dari hal tersebut, salah satu konsekuensi yang ditimbulkan dari mata hati yang tertutup ini adalah kebutaan moral. Pemimpin yang mata hatinya tertutup akan cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan umum, dan tanggung jawab sosial. Hal ini bisa mengakibatkan keputusan yang tidak adil, korupsi, dan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, kemudian terjadilah ketidakpuasan sosial, protes merajalela, bahkan kerusuhan.

Hal ini sejalan dengan konteks lingkungan masyarakat yang mulai kehilangan nilai-nilai spiritual, kasih sayang, dan peduli terhadap sesama. Hal itu disebabkan karena bashirah mereka tertutup. Sehingga, dampak yang disebabkan adalah kehidupan bermasyarakat tidak mampu berkembang dan terjadi pecah belah antar suku maupun golongan.

Akan tetapi, manusia yang sadar dan tertekan akan kedua penyakit hati tersebut, tentu ia akan berusaha melawan dan berjuang untuk menghindari kedua penyakit hati tadi. Hal ini sejalan dengan lirik terakhir yang ada di lagu tersebut, “setiap dia yang tertahan, pastinya tertekan, sebab itu melawan.”

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengobati penyakit hati tersebut harus melibatkan niat ingin memperbaiki diri. Di dalam tasawuf, terdapat beberapa cara yang bisa ditempuh, seperti muraqabah, muhasabah, tazkiyah An-Nafs, Zikir, dan mujahadah. Proses ini memerlukan ketekunan, ketulusan, dan keikhlasan dalam setiap langkahnya.

Menurut pandangan Imam Al-Ghazali, untuk menyembuhkan penyakit hati terdiri dari dua cara, yaitu: dengan melaksanakan amalan-amalan lahiriah (ibadah) seperti shalat, puasa, haji, zakat, bersosial, dan berzikir kepada Allah.

Kedua dengan menumbuhkan dan melaksanakan amalan-amalan batiniah (akhlak yang mulia) seperti taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta kepada Tuhan, dan rida terhadap ketetapan Allah Swt.

Untuk memulai semua cara tersebut, terlebih dahulu untuk menyesali dan senantiasa terus mengingat Allah Swt. Zikir kepada Allah merupakan salah satu cara yang ampuh lagi sederhana untuk menyembuhkan kedua hati tersebut. Sebagaimana di dalam Al-Quran surah Ar-Ra’d ayat 28: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlahhanya dengan mengingatAllah-lah hati menjadi tenteram.”

Sebagaimana orang-orang yang melakukan penyucian jiwa, membersihkan hati dari kotoran dan penyakitnya, maka mereka adalah orang yang beruntung. Demikian Allah Swt berfirman di dalam surah Asy-Syams ayat 7-10: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Oleh sebab itu, sekiranya manusia memahami dan menyadari, sungguh beruntung hidup mereka yang akan disuguhkan dengan buih-buih ketenangan dan kebahagiaan.



Editor: Muh Akmal Fuady


Comments