Interpretasi Tasawuf dalam Lagu "Setiap yang Bernama" Karya Pidi Baiq
Oleh: Muhammad Alwi Agung
“Setiap yang bernama hati, harusnya merasa, jika memang bukan batu.
Setiap hati yang bermata, harusnya melihat, jika
memang tidak buta.
Setiap dia yang tertahan, pastinya tertekan, sebab itu melawan.”
Kutipan di
atas merupakan lirik dari sebuah lagu yang berjudul “Setiap Yang Bernama” karya
Pidi Baiq. Lagu ini dibuat sebagai respons atas terjadinya peristiwa “amarah”
atau April Makassar Berdarah tahun 1996 sekaligus dukungan sang pencipta lagu
terhadap para buruh. Meski demikian, Lagu ini cenderung ditafsirkan sebagai
ungkapan kritik secara halus kepada pemerintah yang enggan menerima kritik pada
saat itu.
Namun, hal
ini dapat dipandang lain bagi para penikmat musik yang cenderung menafsirkan
sebuah lagu sesuai dengan mood-nya. Misalnya, orang yang sedang bersedih
ketika mendengar sebuah lagu, ia akan menafsirkan setiap lirik yang didengar
sesuai dengan kondisi hatinya, pun sama halnya orang yang sedang berbahagia, ia
juga akan menafsirkan setiap lirik sesuai dengan kondisinya. Karena, pada
dasarnya, musik adalah media yang sangat subjektif, dan interpretasi setiap
orang bisa sangat berbeda berdasarkan kondisi hati seseorang.
Menafsirkan
musik sesuai dengan kondisi hati tidaklah menjadi suatu masalah, selama
interpretasi tersebut membantu kita memahami atau merasakan makna lagu dengan
cara pribadi dan tidak berakibat negatif pada psikologis pendengar. Tentunya,
hal ini juga bisa membantu pendengar untuk melibatkan pemikiran dan analisis,
yang dapat merangsang kreativitas keterampilan berpikir kritis.
Dalam hal
ini, ilmu dapat diperoleh di mana dan kapan saja, melalui apa yang kita lihat
dan apa yang kita dengar, termasuk halnya musik. Maka musik dapat dijadikan
sebagai media untuk mengasah pemikiran dan analisis dan tentu akan
akan berdampak baik pada pribadi seseorang.
Secara tidak langsung, seseorang yang berusaha memahami dan menganalisis sesuatu, akan mampu untuk menghubungkan makna analisis yang diperolehnya dengan ilmu lain. Maka pada kesempatan ini, penulis akan menghubungkan lirik dari lagu di atas ke ranah tasawuf, namun tidak dibahas secara ijmal (umum). Penulis hanya akan membahas secara khusus seputar persoalan yang berkaitan dengan hati yang ada pada konsep tasawuf dan relevansi terhadap kondisi zaman sekarang.
“Setiap yang bernama
hati, harusnya merasa, jika memang bukan batu.”
Dalam lirik ini,
seakan menyinggung manusia yang memiliki hati yang tulus dan tidak keras
seperti batu dan peka terhadap keadaan atau suatu hal. Misalnya dalam konteks
sosial, realita manusia zaman sekarang digambarkan gagal dalam merasakan
penderitaan orang lain karena hati mereka telah mengeras. Hati yang keras dapat
terlihat dengan sikap egois, kurangnya kepedulian terhadap sesama, dan mudahnya
terjebak dalam konflik kebencian.
Dalam
tasawuf, “hati yang membatu” (qalbun qasiy) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi spiritual yang sangat buruk, di mana hati yang mengeras
tidak peka terhadap kebenaran dan tertutup cahaya ilahi. Hati yang membatu akan
kehilangan kemampuan untuk merasakan kasih sayang dan empati yang sangat
penting dalam hubungan manusia. Sebab hati yang keras adalah hasil dari dosa,
kelalaian, dan kesombongan terhadap perintah ilahi.
Orang dengan
hati yang membatu akan cenderung egois, materialistik, dan cenderung menutupi
kebenaran. Hal ini dapat digambarkan dengan suatu contoh peristiwa, seorang
dari kalangan bani israil dibunuh, dan mereka pun saling tuduh dalam mencari
pelaku dan ingin menutupi kebenaran. Akan tetapi, Allah Swt ingin
mengungkapkan apa yang mereka sembunyikan dengan memerintahkan mereka untuk
menyembelih sapi, dan menggunakan bagian dari sapi tersebut untuk memukul
mayat, sehingga mayat itu berbicara dan mengungkapkan siapa pembunuhnya.
Melihat
keadaan di masa sekarang, banyak dari kelompok manusia; baik pemimpin dan
masyarakat umum, gagal menjaga kondisi hatinya. Adanya Ketidakadilan,
ketidakpedulian, dan kekurangan empati di suatu daerah atau negeri menjadi
bukti nyata kegagalan tersebut. Kegagalan yang menjadi bukti saat ini adalah
ketika pemimpin atau pemerintah yang menunjukkan sikap ketidakpedulian terhadap
rakyat yang menderita, tidak mendengar keluhan mereka, dan tidak berusaha
mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan, pun sama halnya masyarakat yang kurang
akan kepedulian sosial, lebih individualistik, dan tidak peduli dengan orang
lain.
Fenomena hati
yang keras ini didasari oleh nafsu duniawi yang kemudian gagal dikontrol oleh
jiwa. Ketika nafsu telah berinang di hati seseorang, maka nasihat yang datang akan
sulit untuk berkumpul di dalamnya.
Sebagaimana dalam kitab Al-Mawaizh Al-Ahadits Al-Qudsiyyah, Imam Al-Ghazali meriwayatkan hadis qudsi yang berbunyi, Allah Swt berfirman:
“Wahai anak Adam! Jangan kalian melaknat makhluk lain, sebab laknat tersebut akan kembali ke diri sendiri. Wahai anak Adam! Langit tegak di angkasa tanpa tiang karena salah satu dari nama-Ku, namun hati kalian tak pernah kuat dengan ribuan nasihat dalam kitab-Ku. Wahai anak Adam! Batu itu tidak akan lunak karena berada di dalam air, sebagaimana nasihat tidak dapat berpengaruh pada hati yang keras.”
Di hati yang
mengeras, terdapat mata hati yang tertutup. Padahal, jika mata hati terbuka, ia
bisa dan akan menyingkap hakikat dari kebenaran. Hal ini sejalan dengan bunyi
lirik kedua lagu tersebut, “Setiap hati yang bermata, harusnya melihat, jika
memang tidak buta.”
Mata hati
dalam tasawuf adalah “bashirah” yaitu kemampuan spiritual untuk melihat
kebenaran dan memahami hakikat dari setiap kejadian. Ketika mata hati ini
terbuka, ia dapat menghasilkan hasil berupa pemurnian jiwa, ketulusan, dan
kedekatan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, seseorang yang mata hatinya terbuka, ia
mampu melihat melampaui kepentingan duniawi, ego, dan keinginan pribadinya
menuju kepada kebenaran yang hakiki.
Keberadaan bashirah sangat penting
disadari oleh setiap orang, sebab bashirah merupakan kunci untuk
mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan Tuhan. Tanpa eksistensi
dari bashirah, maka seseorang akan kehilangan arah dan tidak memiliki
tujuan dalam hidupnya. Pun sama halnya jika bashirah dihubungkan dengan kondisi
zaman saat ini, khususnya di ranah sosial-politik, akan ikut rusak dan tidak
tertata, sebab hilangnya moral dan kebutaan spiritual.
Dalam ranah
sosial-politik, terutama dalam konteks pemimpin, telah banyak yang enggan untuk
membuka mata hatinya untuk masyarakat. Sifat ego dan mementingkan duniawi masih
terpatri di dalam diri mereka. Hal ini berarti bahwa mereka masih terjebak
dalam kepentingan pribadi, kekuasaan, atau keuntungan material, sehingga mereka
gagal melihat dan memahami kebutuhan serta penderitaan masyarakat yang mereka
pimpin.
Beranjak dari
hal tersebut, salah satu konsekuensi yang ditimbulkan dari mata hati yang
tertutup ini adalah kebutaan moral. Pemimpin yang mata hatinya tertutup akan
cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan umum, dan tanggung
jawab sosial. Hal ini bisa mengakibatkan keputusan yang tidak adil, korupsi,
dan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, kemudian terjadilah
ketidakpuasan sosial, protes merajalela, bahkan kerusuhan.
Hal ini
sejalan dengan konteks lingkungan masyarakat yang mulai kehilangan nilai-nilai
spiritual, kasih sayang, dan peduli terhadap sesama. Hal itu disebabkan karena bashirah mereka tertutup.
Sehingga, dampak yang disebabkan adalah kehidupan bermasyarakat tidak mampu
berkembang dan terjadi pecah belah antar suku maupun golongan.
Akan tetapi, manusia yang
sadar dan tertekan akan kedua penyakit hati tersebut, tentu ia akan berusaha
melawan dan berjuang untuk menghindari kedua penyakit hati tadi. Hal ini
sejalan dengan lirik terakhir yang ada di lagu tersebut, “setiap dia yang
tertahan, pastinya tertekan, sebab itu melawan.”
Beberapa cara yang bisa
dilakukan untuk mengobati penyakit hati tersebut harus melibatkan niat ingin
memperbaiki diri. Di dalam tasawuf, terdapat beberapa cara yang bisa ditempuh,
seperti muraqabah, muhasabah, tazkiyah An-Nafs, Zikir, dan mujahadah.
Proses ini memerlukan ketekunan, ketulusan, dan keikhlasan dalam setiap
langkahnya.
Menurut pandangan Imam
Al-Ghazali, untuk menyembuhkan penyakit hati terdiri dari dua cara, yaitu:
dengan melaksanakan amalan-amalan lahiriah (ibadah) seperti shalat, puasa,
haji, zakat, bersosial, dan berzikir kepada Allah.
Kedua dengan menumbuhkan
dan melaksanakan amalan-amalan batiniah (akhlak yang mulia) seperti taubat,
khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta kepada Tuhan, dan
rida terhadap ketetapan Allah Swt.
Untuk memulai semua cara tersebut,
terlebih dahulu untuk menyesali dan senantiasa terus mengingat Allah Swt. Zikir
kepada Allah merupakan salah satu cara yang ampuh lagi sederhana untuk
menyembuhkan kedua hati tersebut. Sebagaimana di dalam Al-Quran surah Ar-Ra’d
ayat 28: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlahhanya dengan mengingatAllah-lah hati menjadi
tenteram.”
Sebagaimana orang-orang
yang melakukan penyucian jiwa, membersihkan hati dari kotoran dan penyakitnya, maka mereka adalah orang yang beruntung. Demikian Allah Swt berfirman di
dalam surah Asy-Syams ayat 7-10: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” Oleh sebab itu, sekiranya manusia memahami
dan menyadari, sungguh beruntung hidup mereka yang akan disuguhkan dengan
buih-buih ketenangan dan kebahagiaan.
Editor: Muh Akmal Fuady




Comments
Post a Comment