Menilai ‘Adalah, Cukup kah Secara Zahir?
![]() |
Dalam pengertian hadis sahih dijelaskan
bahwa salah satu syarat diterimanya
periwayatan hadis adalah perawi tersebut haruslah memiliki sifat ‘adalah
(kesalehan pribadi) dan dhabt (kekuatan hapalan) yang memadai
sehingga disebut sebagai perawi yang tsiqah (terpercaya). Sebagaimana
dalam Alfiyah as-Suyuthy :
حد الصحيح مسند بوصله # بنقل عدل ضابط عن مثله
ولم يكن شذا ولا معللا # والحكم بالصحة والضعف على
Dalam bait tersebut secara jelas disebutkan bahwa dua dari lima syarat hadis sahih atau dua syarat diterimanya hadis berhubungan dengan perawi hadis yaitu ‘adalah dan dhabt.
Seseorang dapat dikatakan ‘adl jika memenuhi lima rukun ‘adalah yaitu
muslim, balig, berakal, dan terbebas dari perbuatan fasiq dan yang
merusak muruah (kehormatan diri), sebagaimana yang disebutkan Imam Ibn al-Salah dalam
muqaddimahnya:
وتفصيله أن يكون مسلما، بالغا، عاقلا، سالما من أسباب الفسق وخوارم المروءة
Adapun dhabt terbagi menjadi dua yaitu dabt sadr (kekuatan hapalan) dan satr (keakuratan tulisan), ketika seorang perawi mampu menjaga hadis dengan baik dan teliti baik itu dengan hapalannya atau tulisannya.
Namun, pada pembahasan 'adalah seorang rawi, ada perbedaan pendapat mengenai tolak ukur ‘adalah seorang rawi, yaitu apakah cukup dengan melihat Islamnya, maka ia dihukumi sebagai perawi 'adl? Atau membutuhkan pada perkara lain?
Pada perbedaan tersebut ulama
terbagi menjadi dua mazhab :
1. 'Adalah adalah asal bagi
diri seorang muslim. Ketika kita mengetahui muslim itu mengucapkan dua kalimat
syahadat, beriman kepada Allah dan Rasul maka dia adalah orang yang 'adl
selama tidak datang jarh (penilaian buruk) pada dirinya dan tidak
melakukan perbuatan yang fasiq. Mazhab ini adalah pendapat mayoritas ulama
dan banyak dipraktekkan oleh para al-Nuqqad (para pakar hadis).
2. 'Adalah adalah perkara tambahan atau nilai tambah dari Islamnya seseorang, maka harus terpenuhi perkara tambahan ini sehingga dinamakan dia org yang 'adl.
al-Khatib al- Baghdadi di dalam
kitabnya al-Kifayah :
الطريق إلى معرفة العدل المعلوم عدالته مع إسلامه وحصول أمانته
ونزاهته واستقامة طرائقه، لا سبيل إليها إلا باختبار الأحوال، وتتبع الأفعال التي
يحصل معها العلم من ناحية غلبة الظن بالعدالة، وزعم أهل العراق أن العدالة هي
إظهار الإسلام، وسلامة المسلم من فسق ظاهر فمتى كانت هذه حاله وجب أن يكون عدلا
Dalam kalam imam al-Khatib al-Baghdadi,
pendapat pertama mengetahui ‘adalah seseorang itu tidak hanya melihat
pada zahir Islamnya saja atau mengucapkan dua kalimat syahadat saja tetapi
membutuhkan kepada perkara lain yaitu dengan tatabbu' al-ahwal wa al-af'al
(mengikuti atau membersamai seseorang untuk mengetahui keadaan dan
perbuatannya) seseorang tersebut atau pada perkara batinnya, tidak terbatas
dengan melihat kepada zahir tetapi juga melihat kepada batin seseorang, apakah
dia pernah melakukan dosa secara tersembunyi, atau menyembunyikan kekufuran
tapi menzahirkan Islam dan lain-lain.
Akan tetapi untuk sampai kepada
perkara batin seseorang tidak akan sampai kecuali dengan bermulazamah (senantiasa
mengikuti dan membersamai) pada orang tersebut, dan ini adalah perkara yang
sulit. Hal tersebut akan menjadi lebih sulit ketika seorang al-Nuqqad
ingin mengetahui ‘adalah seorang perawi yang sudah tidak sezaman
dengannya, bahkan jauh dari zamannya, tentu akan sangat sulit mengetahui
perkara batin dari seseorang tersebut.
Pendapat yang kedua, mengetahui ‘adalah
seseorang itu dengan zahir Islamnya saja, secara zahir seseorang tersebut
tidak melakukan perkara fasiq, pendapat ini melihat ‘adalah
sebagai sifat bawaan seorang muslim, dan selama keadaan seseorang seperti itu
maka dia adalah orang yang 'adl. Sebagaimana di dalam Jami' al-Tirmidzi (691) :
من حديث سماك، عن عكرمة، عن ابن عباس قال : جاء أعربي إلى النبي صلى
الله عليه وسلم فقال : إني رأيت الهلال فقال : "أتشهد أن لا إله إلا الله
؟" قال : نعم، قال : "أتشهد أن محمدا رسول الله؟" قال : نعم، قال :
"يا بلال أذن في الناس فليصوموا غدا
Riwayat di atas menunjukkan bahwa
Rasulullah menerima khabar dari seorang sahabat yang tidak dikenali, dan
mengetahui 'adalah-nya dengan bertanya mengenai keimanannya. Menunjukkan
bahwa Rasulullah mencukupkan hukum ‘adalah pada zahir Islam.
Dalam Sahih al-Bukhari (2641)
diriwayatkan:
حدثنا الحكم بـن نافع، أخبرنا شعيب،
عن الزهري، قال : حدثني حميد بن عبد الرحمن بن عوف، أن عبد الله بن عتبة
قال : سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول : « إن أناسا كانوا يؤخذون بالوحي في
عهد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، وإن الوحي قد انقطع، وإنما نأخذكم الآن
بما ظهر لنا من أعمالكم، فمن أظهر لنا خيراً أمناه وقربناه ، وليس إلينا من سريرته
شيء، الله يُحاسب سريرته، ومن أظهر لنا سوءاً لم نأمنه ولم نصدقه وإن قال إن
سريرته حسنة
Dalam riwayat ini Sayyidina Umar Ibn
al-Khattab mengatakan bahwa dahulu orang-orang yang beriman dan munafik
diketahui melalui wahyu atau dihukum dengan wahyu. Allah memberitakan kepada Rasulullah
mereka yang munafik dan menyembunyikan kemunafikannya. Setelah wahyu selesai,
Sayyidina Umar Ibn al-Khattab mengatakan وإنما نأخذكم الآن بما ظهر لنا من أعمالكم
yang artinya bahwa Sayyidina Umar Ibn al-Khattab mencukupkan pada zahir
seseorang dan meninggalkan tatabbu' al-ahwal wa al-af'al seseorang
sebagaimana yang terkandung dalam perkataan imam al-Khatib al-Baghdadi
sebelumnya dan disyaratkan dalam mengetahui ‘adalah.
Pendapat ini banyak digunakan dan
dipraktekkan oleh ulama dikarenakan adanya para perawi yang memiliki sedikit
riwayat dan sedikit murid, dan untuk mensyaratkan 'adalah pada
mengetahui perkara batin pada rawi-rawi tersebut tentunya sangat sulit. Oleh
karena itu mereka mengamalkan ‘adalah seseorang cukup pada zahir Islamnya
saja dan istiqamat marwiyyatihi yang dimana riwayat perawi tersebut
tidak mengandung pertentangan atau mukhalafah bahkan muwafaqah (sesuai)
dengan apa yang diriwayatkan para tsiqat, karena salah satu cara
mengetahui perawi tersebut dhabt atau tidak dengan muqaranah
marwiyyat atau membandingkan riwayat rawi tersebut dengan riwayat riwayat
para tsiqat. Jika muwafaqah dengan kebanyakan perawi tsiqat
maka itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa rawi itu seorang yang dhabt.
Maka الاكتفاء بظاهر الإسلام atau bercukup pada perkara zahir adalah satu cara untuk mengetahui 'adalah
pada perawi tersebut, dan استقامة
مروياته atau tidak adanya perbedaan atau pertentangan terhadap
riwayat-riwayatnya adalah salah satu cara kita mengetahui dhabt seorang rawi.
Penerapan dalam perbedaan pendapat
ini :
Selain dalam perbedaan menilai 'adalah
dan status seorang rawi, contoh lain juga terdapat dalam mustalah hadis, ada
yang dinamakan riwayat majhul ain, majhul hal dan mastur.
Secara singkat, majhul ain
adalah seorang rawi yang tidak diketahui zatnya, sebab hanya memiliki seorang
murid yang meriwayatkan darinya dan tidak diketahui 'adalah dan dhabt-nya,
atau kosong daripada al-aqwal al-jarh wa al-ta'dil (penilaian baik dan
buruk). Jahalatul ain akan hilang jika rawi tersebut diriwayatkan oleh
dua orang murid, dan akan menjadi jahalatul hal, yaitu perawi yang
diketahui zatnya tetapi tidak diketahui al-aqwal al-jarh wa al-ta'dil-nya.
Disisi imam Ibn al-Salah ada yang
dinamakan mastur yakni ketika 'adalah zahirnya diketahui dan 'adalah
batinnya tidak diketahui, kita mengetahui dia salat tapi tidak dengan keadaan
batinnya, maka dinamakan mastur.
Maka bagi yang melihat syarat diterimanya rawi itu mengetahui perkara batin maka disisi mereka riwayat mastur ditolak, dan bagi yang melihat diterimanya rawi cukup pada ‘adalah zahir maka mereka menerima riwayat mastur.
Lalu, al-Hafidz bin Hajar al-‘Asqalani
menjadikan majhul hal yang tidak diketahui ‘adalah zahir dan
batinnya, dan mastur yang tidak diketahui ‘adalah batinnya saja menjadi
satu, seperti yang tertulis dalam kitabnya Nuzhah an-Nadzar syarah Nukbat
al-Fikar (102) :
أو إن روى عنه إثنان فصاعدا ولم يوثق فهو مجهول الحال وهو المستور
Dan tawaqquf terhadap hukum majhul
hal atau mastur, sebagaimana dalam Nuzhah al-Nadzar (102) :
وقد قبل روايته
جماعة بغير قيد، وردها الجمهور. والتحقيق رواية المستور ونحوه مما فيه الاحتمال؛
لا يطلق القول بردها ولا بقبولها، با يقال : هي موقوفة إلى استبانة حاله
Pembahasan mengenai ini akan lebih detail jika dibahas pada pembahasan ilmu Mustalah Hadis. Bagian ini hanya menjelaskan atsar (pengaruh) dalam permasalahan 'adalah apakah cukup secara zahir atau batin.




Comments
Post a Comment