Menilai ‘Adalah, Cukup kah Secara Zahir?


    Gambar 9.2 (Gambar: dok. BAIT) 

Oleh: Niqadri Muliarta

Dalam pengertian hadis sahih dijelaskan bahwa salah satu syarat diterimanya  periwayatan hadis adalah perawi tersebut haruslah memiliki sifat ‘adalah (kesalehan pribadi) dan dhabt (kekuatan hapalan) yang memadai sehingga disebut sebagai perawi yang tsiqah (terpercaya). Sebagaimana dalam Alfiyah as-Suyuthy :

حد الصحيح مسند بوصله # بنقل عدل ضابط عن مثله

ولم يكن شذا ولا معللا # والحكم بالصحة والضعف على 

Dalam bait tersebut secara jelas disebutkan bahwa dua dari lima syarat hadis sahih atau dua syarat diterimanya hadis berhubungan dengan perawi hadis yaitu ‘adalah dan dhabt.


Seseorang dapat dikatakan ‘adl  jika memenuhi lima rukun ‘adalah yaitu muslim, balig, berakal, dan terbebas dari perbuatan fasiq dan yang merusak muruah (kehormatan diri), sebagaimana  yang disebutkan Imam Ibn al-Salah dalam muqaddimahnya:

وتفصيله أن يكون مسلما، بالغا، عاقلا، سالما من أسباب الفسق وخوارم المروءة


Adapun dhabt terbagi menjadi dua yaitu dabt sadr (kekuatan hapalan) dan satr (keakuratan tulisan), ketika seorang perawi mampu menjaga hadis dengan baik dan teliti baik itu dengan hapalannya atau tulisannya.


Namun, pada pembahasan 'adalah seorang rawi, ada perbedaan pendapat mengenai tolak ukur ‘adalah seorang rawi, yaitu apakah cukup dengan melihat Islamnya, maka ia dihukumi sebagai perawi 'adl? Atau membutuhkan pada perkara lain?

Pada perbedaan tersebut ulama terbagi menjadi dua mazhab :

1. 'Adalah adalah asal bagi diri seorang muslim. Ketika kita mengetahui muslim itu mengucapkan dua kalimat syahadat, beriman kepada Allah dan Rasul maka dia adalah orang yang 'adl selama tidak datang jarh (penilaian buruk) pada dirinya dan tidak melakukan perbuatan yang fasiq. Mazhab ini adalah pendapat mayoritas ulama dan banyak dipraktekkan oleh para al-Nuqqad (para pakar hadis).

2. 'Adalah adalah perkara tambahan atau nilai tambah dari Islamnya seseorang, maka harus terpenuhi perkara tambahan ini sehingga dinamakan dia org yang 'adl.


al-Khatib al- Baghdadi di dalam kitabnya al-Kifayah :

الطريق إلى معرفة العدل المعلوم عدالته مع إسلامه وحصول أمانته ونزاهته واستقامة طرائقه، لا سبيل إليها إلا باختبار الأحوال، وتتبع الأفعال التي يحصل معها العلم من ناحية غلبة الظن بالعدالة، وزعم أهل العراق أن العدالة هي إظهار الإسلام، وسلامة المسلم من فسق ظاهر فمتى كانت هذه حاله وجب أن يكون عدلا

 

Dalam kalam imam al-Khatib al-Baghdadi, pendapat pertama mengetahui ‘adalah seseorang itu tidak hanya melihat pada zahir Islamnya saja atau mengucapkan dua kalimat syahadat saja tetapi membutuhkan kepada perkara lain yaitu dengan tatabbu' al-ahwal wa al-af'al (mengikuti atau membersamai seseorang untuk mengetahui keadaan dan perbuatannya) seseorang tersebut atau pada perkara batinnya, tidak terbatas dengan melihat kepada zahir tetapi juga melihat kepada batin seseorang, apakah dia pernah melakukan dosa secara tersembunyi, atau menyembunyikan kekufuran tapi menzahirkan Islam dan lain-lain.

 

Akan tetapi untuk sampai kepada perkara batin seseorang tidak akan sampai kecuali dengan bermulazamah (senantiasa mengikuti dan membersamai) pada orang tersebut, dan ini adalah perkara yang sulit. Hal tersebut akan menjadi lebih sulit ketika seorang al-Nuqqad ingin mengetahui ‘adalah seorang perawi yang sudah tidak sezaman dengannya, bahkan jauh dari zamannya, tentu akan sangat sulit mengetahui perkara batin dari seseorang tersebut.

 

Pendapat yang kedua, mengetahui ‘adalah seseorang itu dengan zahir Islamnya saja, secara zahir seseorang tersebut tidak melakukan perkara fasiq, pendapat ini melihat ‘adalah sebagai sifat bawaan seorang muslim, dan selama keadaan seseorang seperti itu maka dia adalah orang yang 'adl. Sebagaimana di  dalam Jami' al-Tirmidzi (691) :

من حديث سماك، عن عكرمة، عن ابن عباس قال : جاء أعربي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : إني رأيت الهلال فقال : "أتشهد أن لا إله إلا الله ؟" قال : نعم، قال : "أتشهد أن محمدا رسول الله؟" قال : نعم، قال : "يا بلال أذن في الناس فليصوموا غدا

 

Riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah menerima khabar dari seorang sahabat yang tidak dikenali, dan mengetahui 'adalah-nya dengan bertanya mengenai keimanannya. Menunjukkan bahwa Rasulullah mencukupkan hukum ‘adalah pada zahir Islam.

 

Dalam Sahih al-Bukhari (2641) diriwayatkan:

حدثنا الحكم بـن نافع، أخبرنا شعيب،  عن الزهري، قال : حدثني حميد بن عبد الرحمن بن عوف، أن عبد الله بن عتبة قال : سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول : « إن أناسا كانوا يؤخذون بالوحي في عهد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، وإن الوحي قد انقطع، وإنما نأخذكم الآن بما ظهر لنا من أعمالكم، فمن أظهر لنا خيراً أمناه وقربناه ، وليس إلينا من سريرته شيء، الله يُحاسب سريرته، ومن أظهر لنا سوءاً لم نأمنه ولم نصدقه وإن قال إن سريرته حسنة

 

Dalam riwayat ini Sayyidina Umar Ibn al-Khattab mengatakan bahwa dahulu orang-orang yang beriman dan munafik diketahui melalui wahyu atau dihukum dengan wahyu. Allah memberitakan kepada Rasulullah mereka yang munafik dan menyembunyikan kemunafikannya. Setelah wahyu selesai, Sayyidina Umar Ibn al-Khattab mengatakan وإنما نأخذكم الآن بما ظهر لنا من أعمالكم yang artinya bahwa Sayyidina Umar Ibn al-Khattab mencukupkan pada zahir seseorang dan meninggalkan tatabbu' al-ahwal wa al-af'al seseorang sebagaimana yang terkandung dalam perkataan imam al-Khatib al-Baghdadi sebelumnya dan disyaratkan dalam mengetahui ‘adalah.

 

Pendapat ini banyak digunakan dan dipraktekkan oleh ulama dikarenakan adanya para perawi yang memiliki sedikit riwayat dan sedikit murid, dan untuk mensyaratkan 'adalah pada mengetahui perkara batin pada rawi-rawi tersebut tentunya sangat sulit. Oleh karena itu mereka mengamalkan ‘adalah seseorang cukup pada zahir Islamnya saja dan istiqamat marwiyyatihi yang dimana riwayat perawi tersebut tidak mengandung pertentangan atau mukhalafah bahkan muwafaqah (sesuai) dengan apa yang diriwayatkan para tsiqat, karena salah satu cara mengetahui perawi tersebut dhabt atau tidak dengan muqaranah marwiyyat atau membandingkan riwayat rawi tersebut dengan riwayat riwayat para tsiqat. Jika muwafaqah dengan kebanyakan perawi tsiqat maka itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa rawi itu seorang yang dhabt.

 

Maka الاكتفاء بظاهر الإسلام atau bercukup pada perkara zahir adalah satu cara untuk mengetahui 'adalah pada perawi tersebut, dan استقامة مروياته atau tidak adanya perbedaan atau pertentangan terhadap riwayat-riwayatnya adalah salah satu cara kita mengetahui dhabt seorang rawi.

 

Penerapan dalam perbedaan pendapat ini :

Selain dalam perbedaan menilai 'adalah dan status seorang rawi, contoh lain juga terdapat dalam mustalah hadis, ada yang dinamakan riwayat majhul ain, majhul hal dan mastur.

 

Secara singkat, majhul ain adalah seorang rawi yang tidak diketahui zatnya, sebab hanya memiliki seorang murid yang meriwayatkan darinya dan tidak diketahui 'adalah dan dhabt-nya, atau kosong daripada al-aqwal al-jarh wa al-ta'dil (penilaian baik dan buruk). Jahalatul ain akan hilang jika rawi tersebut diriwayatkan oleh dua orang murid, dan akan menjadi jahalatul hal, yaitu perawi yang diketahui zatnya tetapi tidak diketahui al-aqwal al-jarh wa al-ta'dil-nya.

 

Disisi imam Ibn al-Salah ada yang dinamakan mastur yakni ketika 'adalah zahirnya diketahui dan 'adalah batinnya tidak diketahui, kita mengetahui dia salat tapi tidak dengan keadaan batinnya, maka dinamakan mastur.

Maka bagi yang melihat syarat diterimanya rawi itu mengetahui perkara batin maka disisi mereka riwayat mastur ditolak, dan bagi yang melihat diterimanya rawi cukup pada ‘adalah zahir maka mereka menerima riwayat mastur.


Lalu, al-Hafidz bin Hajar al-‘Asqalani menjadikan majhul hal yang tidak diketahui ‘adalah zahir dan batinnya, dan mastur yang tidak diketahui ‘adalah batinnya saja menjadi satu, seperti yang tertulis dalam kitabnya Nuzhah an-Nadzar syarah Nukbat al-Fikar (102) :

أو إن روى عنه إثنان فصاعدا ولم يوثق فهو مجهول الحال وهو المستور

 

Dan tawaqquf terhadap hukum majhul hal atau mastur, sebagaimana dalam Nuzhah al-Nadzar (102) :

وقد قبل روايته جماعة بغير قيد، وردها الجمهور. والتحقيق رواية المستور ونحوه مما فيه الاحتمال؛ لا يطلق القول بردها ولا بقبولها، با يقال : هي موقوفة إلى استبانة حاله

 

Pembahasan mengenai ini akan lebih detail jika dibahas pada pembahasan ilmu Mustalah Hadis. Bagian ini hanya menjelaskan atsar (pengaruh) dalam permasalahan 'adalah apakah cukup secara zahir atau batin.

Comments