Pindah Mazhab, Bolehkah?

Gambar 9.8 (Source: Pinterest)

Oleh: Izzat Rahmani Pay

Suatu hari, Edi sedang berada di masjid dan melihat seseorang berwudhu dengan cara yang tidak biasa ia lihat. Ketika membasuh kepala, orang tersebut membasuh seluruh kepalanya. Berbeda dengan Edi yang biasanya hanya membasuh beberapa helai rambut saja. Edi yang merupakan anak SD yang baru saja lulus, beberapa bulan lalu pun penasaran dan bertanya kepada orang ini. Setelah bertanya, Ia mendapat jawaban dan penjelasan yang cukup Panjang. Orang tersebut menjawab bahwa ia mengikuti mazhab Maliki, yang memiliki beberapa perbedaan dari mazhab Syafi'i sebagai mazhab yang selama ini diikuti oleh Edi. Dalam mazhab Maliki,diharuskan mengusap seluruh kepala. Sementara mazhab Syafi'i menganggap cukup mengusap tiga helai rambut saja. Perbedaan ini membuat Edi bertanya-tanya, apakah seorang Muslim boleh berpindah mazhab, terutama dalam hal-hal detail seperti wudhu?

Sebelum masuk lebih dalam, sebaiknya kita membahas tentang mazhab secara singkat terlebih dahulu. Mazhab merupakan suatu hal yang menjadi pendapat seorang imam atau ahli agama tentang hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah yang digali dari sumbernya. Setiap mazhab, memiliki pendekatan dan penafsiran berdasarkan dalil-dalil yang sahih. Hal ini juga sekaligus mencerminkan metode dan perspektif masing-masing Imam dalam memahami sumber hukum Islam.

Dalam beragama, kita sebagai orang awam tentu belum memiliki kemampuan untuk meneliti dan menetapkan hukum islam berdasarkan dalil dalil yang ada seperti Al-Qur’an dan Hadis. Maka dari itu, kita dimudahkan dengan tinggal memilih hasil ijtihad atau penelitian ulama (mujtahid) terhadap dalil dalil yang ada, karena ketidakmampuan kita dalam menganalisis langsung hukum islam. Diantara ulama atau Imam yang masyhur dan di akui kemampuannya dalam menggali hukum sesuai sumber hukum islam adalah Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi atau yang biasa disebut dengan Al-Madzahibu Al-Arba’ah.

Keempat pendapat dari Imam mazhab ini, merupakan pedoman utama dalam hukum fiqih islam. Meski terkadang mereka menghasilkan hukum yang sedikit berbeda, namun semuanya tetap berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum utama. Perbedaan ini terkadang terjadi dikarenakan metode penafsiran sumber hukum islam yang berbeda.

Namun, ketika mendengar pendapat-pendapat dari ulama mazhab di atas serta menyadari perbedaannya, timbullah pertanyaan; bolehkah seorang muslim berpindah dari satu mazhab ke mazhab lain? Sekaligus menjawab pertanyaan Edi tadi, mari kita bahas hal ini secara singkat.

Pindah mazhab pada dasarnya diperbolehkan. Akan tetapi, sebaiknya orang yang ingin pindah mazhab memahami alasan dan dasar yang melatar-belakangi peralihan tersebut. Jika seseorang merasa bahwa pendapat dari mazhab lain lebih sesuai dengan kondisinya dan berdasarkan dalil yang lebih kuat menurut pemahamannya, maka perpindahan tersebut tidak dilarang.

Meski demikian, sebagai orang awam ada satu hal yang harus sangat kita wanti-wanti dalam hal berpindah mazhab. Hal tersebut adalah talfiq, yaitu mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan ulama yang lain. Sehingga, tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Salah seorang ulama besar mazhab syafi’i, Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab masyhurnya mengatakan: 

(الخامس) عدم التلفيق بأن لا يلفق في قضية واحدة ابتداء ولا دواما بين قولين يتولد منهما حقيقة لا يقول بها صاحبها (تنوير القلوبو 397)


“(syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadiyyah (masalah) baik sejak awal, pertengahan dan

seterusnya yang nantinya dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang yang berpendapat.” (Tanwir al-Qulub, 397)

Contohnya, Seseorang yang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala saja sesuai mazhab Imam Syafi'i, lalu menyentuh anjing mengikuti mazhab Imam Malik yang menganggap anjing suci, akan menghadapi masalah saat salat. Menurut kedua imam tersebut, shalat orang ini tidak sah. Hal ini dikarenakan Imam Malik berpendapat bahwa wudhu harus mengusap seluruh kepala, sehingga wudhu ala Imam Syafi'i dianggap tidak sah. Selain itu, Imam Syafi'i menganggap anjing sebagai najis mughallazhah (najis berat) yang menyebabkan menyentuh anjing dan kemudian shalat itu tidak sah, sehingga berbeda dengan Mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa menyentuh anjing tidak membatalkan wudhu. Maka tidak sahlah sholat orang ini menurut kedua imam tadi. Talfiq semacam ini dilarang dalam agama, seperti yang disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:

"ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلد ملكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الراس في الصلاة واحدة "(إعانة الطالبين ج1ص 17) 

Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’i dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan salat.” (I’anah at-Thalibin, juz 1, hal 17)”

Mengapa talfiq dilarang? Untuk orang awam, salah satu tujuan pelarangan talfiq adalah agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah saja). Juga tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan, sehingga hal ini dapat mencegah terjadinya tala’ub (main-main) di dalam hukum agama. Dengan demikian, praktik ibadah dan keputusan hukum dilakukan dengan keseriusan dan tanggung jawab. Pelarangan ini juga bertujuan untuk menghindari kebingungan dan penyimpangan yang bisa merusak pemahaman dalam pelaksanaan hukum agama.

Atas dasar ini, talfiq tidak dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan memilih mazhab atau mendukung fanatisme madzhab tertentu. Sebaliknya, talfiq diatur untuk menghindari kesalahpahaman dalam penerapan madzhab. Untuk menghindari talfiq, diperlukan penetapan hukum dengan memilih mazhab dari mazahib al-arba’ah (mazhab yang empat) yang relevan dengan situasi di Indonesia. Misalnya,mengikuti mazhab Syafi’i (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) dalam persoalan salat. dan mazhab Hanafi untuk persoalan sosial, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal di Indonesia. Sebab, tidak dipungkiri bahwa kondisi di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri dan tuntutan kemashlahatan yang ada itu berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.

Pada akhirnya, pindah mazhab dalam Islam adalah hal yang diperbolehkan. Akan tetapi sebaiknya perpindahan tersebut didasari oleh ilmu dan pemahaman yang benar. Sebab, agama Islam sangat menekankan pentingnya belajar, terutama dalam hal agama. Dan cara belajar agama yang baik, yaitu dengan bimbingan ulama yang mumpuni sehingga meminimalisir kemungkinan kita tersesat dalam memahami hukum Islam.

Sebagai umat Muslim, kita harus bijak dalam memilih jalan yang akan kita tempuh, serta selalu mengutamakan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Swt. Memang benar, bahwa mempelajari banyak mazhab dapat memperkaya wawasan, namun disamping itu, kita juga harus memperhatikan bahwa menjalankan syariat harus dengan rasa tanggung jawab. Dengan demikian, kita dapat menjaga keharmonisan dalam beribadah sekaligus memenuhi tuntutan agama dengan tepat.


Editor: Muh Akmal Fuady


Comments