Siri' Na Pacce dalam Perspektif Islam

   Gambar 9.4 (Source: Pinterest)


Oleh: Abdul Mughni Mukhtar

 

Indonesia merupakan negara yang luas dan memiliki ribuan pulau yang terbentang                        dari sabang hingga merauke. Setiap pulau dan daerah memiliki ciri khas yang membedakan daerahnya dengan daerah yang lain. Ini merupakan keunikan dari negara Indonesia yang hidup dengan kaya akan aneka ragam ras, suku, bahasa dan budaya tapi tetap satu di bawah bhineka tunggal ika.

Di Sulawesi Selatan misalnya, semboyan “siri’ na pacce” seolah tidak asing lagi                di kalangan masyarakat, khususnya suku Bugis Makassar. Siri’ yang berarti martabat atau  harga diri, sikap menjunjung tinggi dan mempertahankan kehormatan diri sebagai warga  Sulawesi. Adapun Pacce yang diartikan sebagai suatu sikap kepedulian antar sesama. Dua sikap ini sudah menyatu dan mendarah daging bagi masyarakat suku Bugis Makassar          sejak dulu sampai sekarang.

Secara harfiah, kata siri’ diartikan dengan rasa atau malu. Adapun pacce (yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah pesse’) diartikan dengan perasaan tidak tega, iba, ataupun kasian. Di dalam penerapan prinsip siri’ pun memiliki berbagai macam:

1.     Siri ripakasiri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, harkat dan martabat keluarga. Orang Bugis-Makassar akan mengorbankan apapun demi mempertahankan kehormatannya. Hal-hal yang dianggap mencederai martabat maka akan ditindaki tanpa kompromi demi menegakkan harga diri. Sebagai contoh ketika ada seorang pria yang membawa lari anak perempuan karena tidak mendapatkan restu untuk menikah (silariang), maka pihak keluarga yang terlibat akan timbul rasa malu dan merasa berkewajiban untuk menindaki orang tersebut, bahkan tidak segan untuk membunuhnya.

2.     Siri mappakasiri’siri’ yang berarti kesungguhan diri untuk bekerja keras dan totalitas dalam mengerjakan sesuatu, menggali potensi diri serta mengerahkan seluruh kapasitas diri demi mempertahankan eksistensi. Menelisik ke sejarah, orang Bugis-Makassar sedari dulu dikenal suka merantau. Mereka rela untuk meninggalkan tanah kelahirannya demi meraih mimpinya. Bahkan ketika diterpa banyak cobaan dalam perantauan, mereka tetap kokoh pada pendirian demi meraih tujuan yang diimpikan. Ada rasa malu ketika kembali pulang ke tanah rantauan tanpa membawa hasil yang diharapkan. Pepatah mengatakan “kualleangi tallanga na toalia” yang artinya “lebih kupilih tenggelam (di lautan) daripada harus kembali lagi (ke pantai)”. Orang yang memegang prinsip siri’ na pacce memiliki pendirian kuat, bahwa apa yang telah dimulai                  maka harus diselesaikan sebesar apapun rintangannya.

3.     Siri’ tappela’ siri’ yaitu rasa malu ketika tidak menepati atau tidak melaksanakan tanggung jawab dan amanah. Seperti malu ketika tidak menepati janji ataupun malu ketika telat membayar utang. Taro ada’ taro gau’ (perkataan sesuai dengan perbuatan) merupakan salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis-Makassar. Maka merupakan aib ketika  tidak melaksanakan suatu perbuatan yang sudah dijanjikan.

4.     Siri’ mate siri’ merupakan rasa malu yang berkaitan dengan iman. Malu ketika  tidak melaksanakan perintah dari Tuhan. Pada beberapa sumber dikatakan bahwa golongan inilah yang paling fundamental. Adanya rasa malu ketika berbuat perilaku buruk, dan ada dorongan kuat untuk selalu menaati perintah agama. Apabila ada seseorang yang malas dalam beribadah, maka dianggap hina dan sangat tercela. Bahkan dikatakan sebagai bangkai hidup, karena memiliki jasad tapi jiwanya kosong.

 

 

Pandangan Islam terkait siri’ na pacce

Islam merupakan agama yang syumuliah (universal), yang mencakup dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Berbagai sisi kehidupan seperti ruang lingkup keluarga, politik, sosial dan problematika manusia semuanya telah diatur dengan sedemikian rupa oleh Islam agar penganutnya bisa hidup dengan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang tertera dalam surah al-Baqarah ayat 208:

“Wahai orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara sempurna (kaffah).”

Ayat tersebut diturunkan sebagai teguran dari Allah Swt kepada Abdullah bin Salam bersama para sahabatnya yang  tetap terpengaruh norma-norma agama Yahudi padahal mereka telah memeluk agama Islam.

Maka sebagai muslim, hendaknya kita menaati dan mengaplikasikan seluruh ajaran agama yang telah termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Ali-Imran ayat 31:

“Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (syariat Islam), niscaya Allah mengasihi kalian.”

 

Lantas kemudian, bagaimana dengan kultur budaya yang sudah mendarah daging di masyarakat? Apakah harus ditinggalkan sepenuhnya?

Perlu diketahui bahwa diantara sumber hukum Islam terdapat Urf  yang memiliki arti yaitu kebiasaan. Imam Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami menjelaskan bahwa suatu kebiasaan yang ada pada masyarakat suatu tempat dan tidak menyelisih ajaran dasar dari agama mengenai kehalalan dan keharaman maka dikategorikan sebagai urf shahih (kebiasaan yang boleh untuk diamalkan). Sesuai dengan kaidah dari para ulama bahwasanya “al-‘aada muhakkamah (adat kebiasaan termasuk pertimbangan dalam penetapan hukum agama). Maka dapat dipahami bahwa selama adat kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang baik dan tidak menyelisih ajaran agama, maka adat tersebut boleh untuk diamalkan.

 

Berdasarkan penjelasan diatas, terkait dengan pengamalan dari falsafah siri’ na pacce yang berarti semangat juang yang tinggi, sikap pantang menyerah, sikap berani bertanggung jawab atas apa yang sudah diucapkan, sikap saling peduli sesama manusia dan sikap malu justru harus dilestarikan bagi masyarakat Bugis-Makassar. Namun pengamalan falsafah ini tidak dapat dibiarkan sebebas-bebasnya, perlu ada penyaringan dengan syariat Islam. Sehingga pengamalan seperti kekerasan, pemukulan, dan pembunuhan dengan alasan siri’  harus ditinggalkan.

Prinsip siri’ mappakasiri’ yang berarti semangat juang tinggi tanpa mengenal lelah dan menyerah untuk mencapai cita-cita. Selama prinsip ini dilandasi dengan niat, tujuan dan cara yang baik maka tentu harus tetap diamalkan. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 148,

 “... maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan...”

Kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan hanya terbatas pada ibadah atau amal yang bersifat religius saja. Sesungguhnya kebajikan adalah segala usaha dan tingkah  laku yang bisa mendatangkan manfaat baik bagi diri sendiri maupun masyarakat.

 

Seperti pengamalan prinsip siri ripakasiri’ yang berarti menjaga harga diri dan martabat keluarga ataupun golongan tentu merupakan sesuatu yang baik dan perlu diamalkan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yaitu maqasid asy-syari’ah yang mengharuskan bagi umat Muslim untuk menjaga agama, diri dan kehormatan. Maka dari itu,  jalur kekerasan dan pembunuhan dalam pengaplikasian prinsip ini, sudah tidak relevan dan harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran agama.

Adapun prinsip siri’ tappela’ siri’ yang menekankan untuk selalu menepati janji dan menjaga perkataan. Dalam ajaran Islam, setiap individu manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan perkataannya. Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian dari tanda-tanda seorang mukmin yang sukses adalah mereka yang memelihara janjinya. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Mukminun ayat 8,

“Dan  orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.”

 

Selanjutnya kita mengenal prinsip siri mate siri yang berkaitan dengan hubungan  seorang hamba dengan tuhannya. Prinsip yang mengajarkan untuk patuh terhadap ajaran              agama dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagai seorang hamba prinsip ini sangat penting guna mencapati tujuan hidup manusia berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat dengan cara hidup sesuai landasan agama. Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imran ayat 102,

“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dengan sebenar- benar takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”

 

Berdasarkan pemaparan di atas, prinsip siri’ na pacce sebagai suatu identitas dan             budaya yang sudah mengakar bagi masyarakat Bugis-Makassar perlu terus dilestarikan. Tentu dengan peran agama sebagai pemilah dan penyaring agar prinsip ini bisa terus diamalkan ke generasi selanjutnya. Adapun pengamalan yang mengarah kepada kekerasan dan fanatik kesukuan yang bertentangan dengan nilai agama hendaknya harus              ditinggalkan karena hanya akan membawa pada permusuhan dan kebencian.

 

 

Editor : Muh Akmal Fuady

 

 

Comments