Kesakralan Kata “Insyaallah” yang Diremehkan

 

                                                                   (Source: Pinterest)

  

Oleh: St Aisyah, H.S

Penggunaan kata insyaallah sudah sangat familiar di telinga kita. Sering kali kita dengarkan dan ucapkan dalam percakapan sehari-hari. Kata ini biasanya dilontarkan saat ingin menjanjikan sesuatu. Namun, kata tersebut sering digunakan begitu saja tanpa menyesuaikan makna yang semestinya. 

 

Kata insyaallah kerap diucapkan untuk janji yang lebih berpeluang untuk dilanggar dan harapan yang tidak pasti. Sehingga seakan-akan arti insyaallah adalah “saya tidak janji”. Penyebutan insyaallah dengan makna seperti itu adalah kekeliruan yang sudah menjadi kebiasaan. Meski hal demikian lebih sering kita jumpai, bukan berarti semua pengucap kata insyaallah melakukan kekeliruan tersebut. 

 

Kata insyaallah yang berasal dari bahasa Arab ini bisa kita ketahui makna aslinya dengan melihat asal-usul penggunaannya di kalangan orang Arab. Hal ini termaktub dalam surah Al-Kahfi ayat 23-24 yang berbunyi:

 

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا 23 إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا 24

 

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” (23) “Kecuali (dengan mengatakan), “Insyā Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” (24)

 

Sebab Turunnya Ayat

 

Dalam kitab Raudhah Al-Aqhān fī Qasas Al-Quran (Diktat Kuliah Tingkat 1 Universitas Al-Azhar Fakultas Ushuluddin), dijelaskan bahwa orang kafir Quraisy mengutus 2 utusan untuk bertanya kepada kaum Yahudi perihal kenabian baginda Nabi Saw. Kaum yahudi menjawab bahwa untuk membuktikan kenabian Muhammad Saw, tanyakan kepadanya tiga hal yaitu kisah Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, dan hakikat ruh. Jika beliau (Nabi Muhammad Saw) berhasil menjawabnya maka dia benar-benar seorang Nabi yang diutus.

 

Singkat cerita, berangkatlah 2 utusan untuk menemui Nabi Muhammad Saw dan menanyakan tiga perkara tadi. Setelah mengajukan tiga pertanyaan tersebut, Nabi Saw tidak langsung menjawab dan meminta waktu untuk menjawabnya besok (dengan anggapan bahwa besok pagi akan turun ayat yang menjawab pertanyaan tersebut). Tanpa disertai ucapan “insyaallah”, beliau bersabda, “Saya akan menjawabnya besok!”

 

Setelah menunggu 15 malam, wahyu yang dinanti-nanti tidak kunjung datang, Malaikat Jibril pun tidak menampakkan diri. Akhirnya, masyarakat Quraisy pada saat itu gempar dan mulai memperbincangkan hal tersebut. Nabi Muhammad Saw merasa sedih dengan fenomena yang terjadi, hingga pada akhirnya Malaikat Jibril turun membawa ayat yang berisi kisah Ashabul Kahfi dan Dzulqarnain yang keduanya terdapat dalam surah Al-Kahfi. Untuk pertanyaan yang ketiga, Malaikat Jibril turun membawa ayat ke-85 surah Al-Isra’.

 

Kejadian inilah yang menjadi sebab Allah Swt menurunkan surah Al-Kahfi ayat 23-24. Hal ini untuk mengajarkan Nabi Saw serta umatnya untuk mengaitkan setiap rencana dan agenda kepada kehendak Allah, yaitu dengan mengucap insyaallah.

 

Ayat ini mengandung hikmah tentang pentingnya rendah hati. Ada kekuatan yang lebih besar dibanding kemampuan pribadi. Dibalik segala rencana dan agenda ada Allah sebagai sang penentu. Segala sesuatu yang ada di masa depan tidak bersifat pasti. Oleh karena itu, sebagai manusia kita dituntut untuk berikhtiar.

 

Allah telah menganugerahi kita dengan akal, nurani, tenaga, dan kemampuan-kemampuan lainnya. Semua itu adalah modal yang diberikan untuk digunakan dalam berikhtiar dengan sebaik-baiknya. Namun, manusia sebagai makhluk tentu tidak bisa secara mutlak mengandalkan dirinya sendiri. Melainkan butuh tawakal atau menyerahkan hasil ikhtiarnya tersebut kepada kehendak Allah Swt.

 

Dengan demikian, kata insyaallah yang secara literal berarti “jika Allah menghendaki”, bukan sekedar ucapan basa-basi untuk berlindung dari ketidakinginan menepati ajakan, janji dan lain sebagainya. Bukan pula bermaksud larangan untuk memikirkan masa depan. Melainkan mengandung makna bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berencana dan berusaha semaksimal mungkin, namun harus tetap kita sadari bahwa segala kepastian yang ada di masa depan hanya milik Allah Swt.

 

Setelah mengetahui makna hakiki yang mulia dari kata insyaallah, hendaknya kita sebagai umat muslim tidak lagi salah kaprah dalam memaknai dan mengucapkannya dalam percakapan kita sehari-hari. Wallahu a’lam.

Comments