Pentingnya Bermazhab Dalam Berwudu

 

                                                                    (Source: Pinterest)

      Oleh: Ahmad Zahir Murtadha

Islam merupakan agama yang sangat detail dalam memperhatikan kebersihan. Sehingga tata cara bersuci pun diatur sedemikian rupa dan salah satu syarat sah salat adalah berwudu. Namun realita yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih banyaknya kekeliruan orang awam terhadap wudu itu sendiri. Hal ini disebabkan karena tidak dapat membedakan yang mana rukun, sunah dan apa saja yang dapat membatalkan wudu menurut para imam mazhab. Dan semua hal tersebut akan kita bahas secara satu persatu.

 

Pembahasan yang pertama adalah rukun wudu. Dalam mazhab syafi’i pada kitab Fathul Qarib ada 6 rukun yang harus kita perhatikan, karena apabila kita tidak melaksanakan salah satunya maka aktivitas yang kita lakukan tidak lagi disebut berwudu, karena hilangnya salah satu rukun dalam wudu. Lantas apa saja yang disebut rukun dalam wudu itu sendiri?

 

1.     Niat

Sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Qarib, niat secara bahasa adalah “القصد” yang artinya maksud atau tujuan. Adapun secara syariat ialah

.“قصد الشيء مقترنا بفعله، فإن تراخى عنه سمي عزما

yang artinya adalah "Berniat untuk melakukan sesuatu disertai dengan perbuatan dan jika terjadi penundaan, hal itu disebut sebagai azam (tekad)”. Kalimat ini menunjukkan bahwa azam atau tekad adalah niat yang disertai dengan tindakan, meskipun mungkin ada penundaan dalam pelaksanaannya.

 

Adapun alasan mengapa niat selalu ditaruh diawal pada setiap pembahasan karena ia merupakan permulaan dalam setiap perbuatan, dan yang membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan adalah niat. Hadis tentang niat pun sudah sangat populer dikalangan masyarakat yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab yaitu:

“ عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ مانوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ماهاجر إليه»”.

Yang artinya adalah “Dari Amirul mu’minin Umar bin Khattab Ra, beliau berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: Segala amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi setiap orang hanyalah akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikai, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.”

 

Pelafalan niat itu harus diucapkan dalam hati, karena sejatinya niat itu bersumber dari hati. Adapun orang yang melafalkan niat dengan lisannya itu merupakan suatu bentuk upaya orang tersebut untuk memperkuat niat yang ada di dalam hatinya, dan tidak ada permasalahan bagi orang yang melafalkan niatnya tersebut. Adapun kapan seseorang dapat melafalkan niat dalam berwudu, adalah saat air pertama kali menyentuh wajahnya, atau ia sudah mulai membasuh sebagian dari wajahnya.

 

2.     Membasuh Seluruh Wajah

Kata membasuh dan mengusap memiliki perbedaan. Sebagaimana yang dijelaskan Dalam kitab karya Syekh Wahbah Zuhaili berjudul Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Islamiyyah wa al-Qadhaya al-Mu’ashiroh yang menghimpun pendapat ulama empat mazhab dalam ranah fikih. Di dalamnya dijelaskan makna membasuh yang dalam bahasa Arabnya disebut غسل (ghaslun). Adapun mengusap dalam Bahasa Arab disebut مسح (mashun).

 

 

Adapun definisi غسل, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili adalah

اسالة الماء على العضو بحيث يتفاطر وأقله قطرتان في الأصح. ولا تكفى الإسالة بدون التفاطر. والمراد بالغسل الانغسال سواء أكان بفعل المتوضئ أم بغيره

Artinya: Mengalirkan air ke anggota tubuh dengan gambaran sampai menetes, dan minimal harus dua tetesan (baru dianggap membasuh). Tidaklah disebut membasuh jika air tidak sampai menetes. Dan yang dimaksud dengan al-Goslu adalah al-inghisaal (memiliki makna yang sama; membasuh atau mencuci) baik dilakukan oleh diri sendiri ataupun orang lain.

 

Sedangkan makna مسح, sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili adalah

إمرار اليد المبتلة على العضو

Artinya: Menggerakkan/menjalankan tangan yang basah di atas anggota.

 

Kedua perbedaan penggunaan kata pada rukun wudu ini perlu dipahami. Maka dalam membasuh wajah, kedua tangan, dan kedua kaki diharuskan airnya sampai mengalir dan menetes. Jika tidak memenuhi syarat itu maka tentu tidak memenuhi syarat “membasuh” yang artinya tidak memenuhi rukun.

 

Sedangkan saat “mengusap kepala” maka cukuplah menggerakkan tangan yang basah di atas kepala, tidak perlu sampai air mengalir. Hal itu sudah cukup memenuhi rukun wudu.

 

Adapun perbedaan antara membasuh dan mengusap ialah kalau membasuh air harus mengalir pada anggota badan, namun ketika mengusap tidak perlu mengalir. Saat membasuh anggota badan, air harus mengalir, tidak boleh hanya ada air yang menyentuh anggota tanpa ada air yang mengalir. Termasuk diperhitungkan sebagai membasuh adalah mencelupkan anggota badan ke dalam air.

 

3.     Membasuh tangan dimulai dari ujung jari tangan sampai siku

Alangkah baiknya jika kita membasuhnya sampai melewati siku, agar tidak menimbulkan keraguan apakah kita sudah membasuhnya sampai siku atau belum.

 

4.     Mengusap sebagian kepala

Pada rukun ini terjadi perbedaan pendapat tentang kadar bagian kepala yang harus diusap saat berwudu. Ulama mazhab Maliki dan Hanbali mewajibkan mengusap seluruh kepala, demi kehati-hatian dalam beribadah. Ulama mazhab Hanafi mewajibkan mengusap seperempat kepala. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i mewajibkan mengusap sebagian kepala, walaupun hanya beberapa helai rambut.

 

Perbedaan ini muncul karena perbedaan dalam memahami makna dan faedah huruf “ba” pada lafadz بِرُءُوسِكُم biru’ûsikum dalam ayat di atas. Ulama yang menganggap huruf “ba” tersebut berfaedah “zaidah” yang artinya tambahan mewajibkan mengusap seluruh kepala. Artinya, keberadaan huruf “ba” tidak mempengaruhi makna, karena hanya bersifat tambahan. Sedangkan ulama yang menganggap huruf “ba” dimaksud berfaedah “tab’idh” yang artinya sebagian mewajibkan mengusap sebagian kepala.

 

Ulama mazhab Maliki dan Hanbali yang mewajibkan mengusap seluruh kepala beralasan bahwa ayat tentang wudu (ayat di atas) menyerupai ayat tentang tayammum, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنُْ

“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Al-Maidah: 6).”

 

Pada ayat tayammum Allah memerintahkan mengusap seluruh wajah. Itu artinya, dalam wudu pun Allah memerintahkan mengusap seluruh kepala, bukan sebagiannya. Disamping itu, mereka juga berargumentasi bahwa huruf ‘ba’ pada lafaz biru’ûsikum berfaedah zaidah (tambahan), sehingga makna ayat tersebut: “Dan usaplah seluruh kepalamu”.

 

Sedangkan ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i yang mewajibkan mengusap sebagian kepala beralasan bahwa huruf “ba” tersebut bermakna tab’idh (sebagian), sehingga makna ayat itu: “Dan usaplah sebagian kepalamu”. Hanya saja, ulama mazhab Hanafi mengartikan sebagian kepala dengan seperempat kepala, berdasarkan hadits:

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَبَرَزَ لِحَاجَتِهِ ثُمَّ جَاءَ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, lalu beliau keluar untuk menunaikan hajatnya, kemudian hadir, berwudhu, dan mengusap jambulnya. (HR. Nasa’i, hadits nomor 109).

 

Sementara ulama mazhab Syafi’i tidak memberi batasan tertentu. Artinya, wudu seseorang dikatakan sah jika ia mengusap sebagian kepala, baik seperempatnya atau kurang dari seperempat. Pendapat mereka berlandaskan pada hadis nabi:

عَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى العٍمَامةِ

Dari Ibnu Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu a’laihi wa sallam berwudhu, lalu mengusap jambulnya, dan atas surbannya. (HR.Muslim, hadits nomor 247).

 

5.     Membasuh kedua kaki hingga mata kaki

Alangkah baiknya juga untuk membasuhnya melewati batas tersebut untuk menghindari timbulnya keraguan.

 

6.     Tertib

Yaitu melakukan semua rukun yang diatas secara teratur, dan tidak boleh mendahulukan rukun selanjutnya sebelum melakukan rukun yang sebelumnya. Jadi, apabila ada orang yang mendahulukan membasuh kedua tangan sampai siku sebelum membasuh wajah maka hal yang dilakukan orang tersebut bukan wudu karena tidak memenuhi salah satu rukun wudhu yaitu tertib.

 

Pembahasan yang kedua adalah mengenai apa saja sunnah dalam berwudu. Didalam wudu ada 13 sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan, yaitu:

  1. Membaca Basmalah pada saat mulai berwudhu.
  2. Membasuh tangan pada pergelangan tangan.
  3. Berkumur kumur, namun menurut Mazhab Hanbali hal tersebut merupakan hal yang wajib.
  4. Istinsyaq, atau menghirup air kedalam hidung, namun hal ini juga diwajibkan menurut Mazhab Hanbali.
  5. Istintsaar, adalah mengeluarkan air yang telah dihirup dari hidung
  6. Mengusap seluruh kepala (menurut Mazhab Syafi'i dan Hanafi), namun menurut Mazhab Maliki dan Hanbali hal ini termasuk rukun dalam wudhu sebagaimana yang dijelaskan diatas.
  7. Mengusap kedua telinga.
  8. Menyisir jenggot dengan jari.
  9. Menggosok sela sela jari kaki.
  10. Melakukan setiap langkah sebanyak tiga kali, tanpa menambah bilangannya.
  11. Menggunakan siwak.
  12. Tidak berlebihan dalam memakai air saat berwudhu.
  13. Mendahulukan anggota badan yang bagian kanan dari yang bagian kiri.

 

Pembahasan yang ketiga dan yang terakhir adalah tentang apa saja hal-hal yang dapat membatalkan wudu. Dalam pembahasan ini hal hal yang dapat membatalkan wudu itu ada 4, yaitu:

 

1.     Keluarnya sesuatu dari dua lubang (qubul dan dubur), jadi apabila ada sesuatu yang keluar dari dua lubang tersebut maka hal tersebut akan membatalkan wudu, kecuali yang keluar adalah mani atau sperma. Namun kita diwajibkan untuk mandi wajib karena keluarnya mani tersebut.

 

Lantas apabila ada sesuatu yang najis keluar dari tubuh kita tapi keluarnya bukan dari dua lubang diatas, apakah hal tersebut masih membatalkan wudu? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, pendapat yang pertama mengatakan bahwasanya hal tersebut tidak membatalkan wudu, dan pendapat yang kedua mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan wudu.

 

Pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudu merupakan pendapat dari Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Zhahiriyah. Mereka berlandaskan hadits nabi yaitu:

عن أنس، أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجَمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فصلَّى ولم يَتوضَّأْ، ولم يَزِدْ على غَسلِ مَحاجِمِه.

Yang artinya adalah Dari Anas, bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم berbekam dan kemudian salat tanpa berwudu, dan tidak menambah selain mencuci tempat bekamnya.

 

Hal tersebut menunjukkan bahwasanya keluarnya najis selain dari dua lubang itu tidak membatalkan wudu.

 

Adapun pendapat kedua yang mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan wudu adalah pendapat dari Mazhab Hanbali dan Hanafi. Mereka berlandaskan hadits yaitu:

عن أبي درداء أن رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قاءَ فتوضأ، فلقيت ثوبان في مسجد دمشق، فذكرت ذلك له، فقال صدق، أنا صببت له وضوءه.

"Dari Abu Darda bahwa Rasulullah SAW muntah dan kemudian beliau berwudu. Aku bertemu dengan Thubyan di Masjid Damaskus, lalu aku menyebutkan hal itu kepadanya, dan dia berkata: 'Benar, aku yang menuangkan air wudu untuknya.'”

 

Hadis tersebut menjadi rujukan pendapat yang kedua, bahwa segala sesuatu yang najis dan hal itu keluar dari kedua lubang ataupun selain dari keduanya itu membatalkan wudhu.

 

2.     Hilangnya akal karena tidur, gila, atau lainnya. Hal ini berlandaskan hadits nabi yaitu:

فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Artinya: “Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud). Orang yang tidur, gila, atau pingsan batal wudhunya karena ia telah kehilangan akalnya.

 

Hanya saja tidur dengan posisi duduk dengan menetapkan pantatnya pada tempat duduknya tidak membatalkan wudu. Posisi tidur yang tidak membatalkan wudu tersebut bisa digambarkan; bila Anda tidur dengan posisi duduk dimana posisi pantat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan Anda untuk kentut kecuali dengan mengubah posisi pantat tersebut, maka posisi tidur dengan duduk seperti itulah yang tidak membatalkan wudhu.

 

3.     Bersentuhan kulit seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama telah tumbuh besar dan bukan mahramnya dengan tanpa penghalang. Pada masalah ini ada 6 pendapat yaitu:

1.     Menurut Syafi'iyah, hal tersebut membatalkan wudu secara mutlak baik itu tanpa syahwat atau dengan penghalang.

2.     Menurut Hanafiyah, hal tersebut membatalkan wudu secara mutlak, baik dengan syahwat, atau tanpa syahwat.

3.     Menurut Imam Malik, hal tersebut membatalkan wudu apabila disertai dengan syahwat, tapi apabila hal itu terjadi tanpa syahwat maka tidak membatalkan wudu.

4.     Menurut Daud bin Ali Az Zhahiriy, hal tersebut membatalkan wudu apabila dilakukan dengan sengaja, dan tidak jika dilakukan dengan tidak sengaja.

5.     Menurut Al Awzai’, hal tersebut akan membatalkan wudu apabila dilakukan dengan tangan, dan apabila dilakukan dengan yang selain tangan maka tidak membatalkan wudu.

6.     Menurut Ibnu Mundzir, dan Al Mawardi, hal tersebut tidak akan membatalkan wudu apabila dilakukan dengan orang yang halal dinikahi baginya, dan akan membatalkan apabila dilakukan dengan orang yang haram dinikahi baginya.

 

4.     Menyentuh dubur, atau qubul. Dalam hal ini ada 2 pendapat yaitu:

1.     Menurut jumhur ulama dari Mazhab Maliki dan Syafi'i, hal tersebut akan membatalkan wudu apabila dilakukan dengan memakai telapak tangan.

2.     Menurut Mazhab Hanafiyah, hal tersebut tidak membatalkan wudu secara mutlak.

 

Maka dengan semua penjelasan yang telah disebutkan diatas, pastinya kita menyadari akan pentingnya kita mengetahui apa saja rukun, sunah, apa saja yang dapat membatalkan wudu, dan pentingnya kita bermazhab saat berwudu. Karena apabila kita berwudu menggunakan suatu mazhab maka hal hal yang dapat membatalkan wudu juga akan mengikuti mazhab yang dipakai ketika berwudu. Maka dari itu penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara mazhab kita dalam berwudu, dan apa saja yang membatalkan wudu menurut mazhab kita masing-masing, agar tidak terjadi tercampurnya mazhab dalam satu ibadah!

 

 



Comments