Pentingnya Bermazhab Dalam Berwudu
(Source: Pinterest)
Islam merupakan agama yang sangat detail dalam memperhatikan
kebersihan. Sehingga tata cara bersuci pun diatur sedemikian rupa dan salah
satu syarat sah salat adalah berwudu. Namun realita yang terjadi sekarang ini
menunjukkan masih banyaknya kekeliruan orang awam terhadap wudu itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena tidak dapat membedakan yang mana rukun, sunah dan apa
saja yang dapat membatalkan wudu menurut para imam mazhab. Dan semua hal
tersebut akan kita bahas secara satu persatu.
Pembahasan yang pertama adalah rukun wudu. Dalam mazhab syafi’i pada kitab Fathul Qarib ada 6 rukun
yang harus kita perhatikan, karena apabila kita tidak melaksanakan salah satunya
maka aktivitas yang kita lakukan tidak lagi disebut berwudu, karena hilangnya
salah satu rukun dalam wudu. Lantas apa saja yang disebut rukun dalam wudu itu
sendiri?
1.
Niat
Sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Qarib, niat secara bahasa adalah “القصد” yang artinya maksud
atau tujuan. Adapun secara syariat ialah
.“قصد الشيء
مقترنا بفعله، فإن تراخى عنه سمي عزما”
yang artinya adalah "Berniat untuk melakukan sesuatu disertai
dengan perbuatan dan jika terjadi penundaan, hal itu disebut sebagai azam
(tekad)”. Kalimat ini menunjukkan bahwa azam atau tekad adalah niat yang
disertai dengan tindakan, meskipun mungkin ada penundaan dalam pelaksanaannya.
Adapun alasan mengapa niat selalu ditaruh diawal pada setiap
pembahasan karena ia merupakan permulaan dalam setiap perbuatan, dan yang
membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan adalah niat. Hadis tentang niat pun
sudah sangat populer dikalangan masyarakat yang diriwayatkan oleh sahabat Umar
bin Khattab yaitu:
“ عن أمير المؤمنين عمر بن
الخطاب رضي الله عنه، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «إنما الأعمال
بالنيات، وإنما لكل امرئ مانوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله
ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ماهاجر إليه»”.
Yang artinya adalah “Dari Amirul mu’minin Umar bin Khattab Ra,
beliau berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: Segala amal
perbuatan tergantung niatnya, dan bagi setiap orang hanyalah akan mendapatkan
apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena
dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikai, maka hijrahnya
itu menuju yang ia inginkan.”
Pelafalan niat itu harus diucapkan dalam hati, karena sejatinya
niat itu bersumber dari hati. Adapun orang yang melafalkan niat dengan lisannya
itu merupakan suatu bentuk upaya orang tersebut untuk memperkuat niat yang ada
di dalam hatinya, dan tidak ada permasalahan bagi orang yang melafalkan niatnya
tersebut. Adapun kapan seseorang dapat melafalkan niat dalam berwudu, adalah
saat air pertama kali menyentuh wajahnya, atau ia sudah mulai membasuh sebagian
dari wajahnya.
2.
Membasuh Seluruh Wajah
Kata membasuh dan mengusap memiliki perbedaan. Sebagaimana yang
dijelaskan Dalam kitab karya Syekh Wahbah Zuhaili berjudul Mausu’atu
al-Fiqhiyyah al-Islamiyyah wa al-Qadhaya al-Mu’ashiroh yang menghimpun
pendapat ulama empat mazhab dalam ranah fikih. Di dalamnya dijelaskan makna
membasuh yang dalam bahasa Arabnya disebut غسل (ghaslun). Adapun mengusap
dalam Bahasa Arab disebut مسح (mashun).
Adapun definisi غسل, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili adalah
اسالة الماء على العضو بحيث يتفاطر وأقله قطرتان في الأصح. ولا تكفى
الإسالة بدون التفاطر. والمراد بالغسل الانغسال سواء أكان بفعل المتوضئ أم بغيره
Artinya: Mengalirkan air ke anggota tubuh dengan gambaran sampai
menetes, dan minimal harus dua tetesan (baru dianggap membasuh). Tidaklah
disebut membasuh jika air tidak sampai menetes. Dan yang dimaksud dengan al-Goslu
adalah al-inghisaal (memiliki makna yang sama; membasuh atau
mencuci) baik dilakukan oleh diri sendiri ataupun orang lain.
Sedangkan makna مسح, sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili adalah
إمرار اليد المبتلة على العضو
Artinya: Menggerakkan/menjalankan tangan yang basah di atas
anggota.
Kedua perbedaan penggunaan kata pada rukun wudu ini perlu dipahami.
Maka dalam membasuh wajah, kedua tangan, dan kedua kaki diharuskan airnya
sampai mengalir dan menetes. Jika tidak memenuhi syarat itu maka tentu tidak
memenuhi syarat “membasuh” yang artinya tidak memenuhi rukun.
Sedangkan saat “mengusap kepala” maka cukuplah menggerakkan tangan
yang basah di atas kepala, tidak perlu sampai air mengalir. Hal itu sudah cukup
memenuhi rukun wudu.
Adapun perbedaan antara membasuh dan mengusap ialah kalau membasuh
air harus mengalir pada anggota badan, namun ketika mengusap tidak perlu
mengalir. Saat membasuh anggota badan, air harus mengalir, tidak boleh hanya
ada air yang menyentuh anggota tanpa ada air yang mengalir. Termasuk
diperhitungkan sebagai membasuh adalah mencelupkan anggota badan ke dalam air.
3.
Membasuh tangan dimulai dari ujung jari tangan sampai siku
Alangkah baiknya jika kita membasuhnya sampai melewati siku, agar
tidak menimbulkan keraguan apakah kita sudah membasuhnya sampai siku atau
belum.
4.
Mengusap sebagian kepala
Pada rukun ini terjadi perbedaan pendapat tentang kadar bagian
kepala yang harus diusap saat berwudu. Ulama mazhab Maliki dan Hanbali
mewajibkan mengusap seluruh kepala, demi kehati-hatian dalam beribadah. Ulama
mazhab Hanafi mewajibkan mengusap seperempat kepala. Sedangkan ulama mazhab
Syafi’i mewajibkan mengusap sebagian kepala, walaupun hanya beberapa helai
rambut.
Perbedaan ini muncul karena perbedaan dalam memahami makna dan
faedah huruf “ba” pada lafadz بِرُءُوسِكُم biru’ûsikum dalam ayat di atas. Ulama yang menganggap huruf “ba” tersebut
berfaedah “zaidah” yang artinya tambahan mewajibkan mengusap seluruh kepala.
Artinya, keberadaan huruf “ba” tidak mempengaruhi makna, karena hanya bersifat
tambahan. Sedangkan ulama yang menganggap huruf “ba” dimaksud berfaedah
“tab’idh” yang artinya sebagian mewajibkan mengusap sebagian kepala.
Ulama mazhab Maliki dan Hanbali yang mewajibkan mengusap seluruh
kepala beralasan bahwa ayat tentang wudu (ayat di atas) menyerupai ayat tentang
tayammum, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنُْ
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Al-Maidah: 6).”
Pada ayat tayammum Allah memerintahkan mengusap seluruh wajah. Itu
artinya, dalam wudu pun Allah memerintahkan mengusap seluruh kepala, bukan
sebagiannya. Disamping itu, mereka juga berargumentasi bahwa huruf ‘ba’ pada
lafaz biru’ûsikum berfaedah zaidah (tambahan), sehingga makna
ayat tersebut: “Dan usaplah seluruh kepalamu”.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i yang mewajibkan mengusap
sebagian kepala beralasan bahwa huruf “ba” tersebut bermakna tab’idh
(sebagian), sehingga makna ayat itu: “Dan usaplah sebagian kepalamu”. Hanya
saja, ulama mazhab Hanafi mengartikan sebagian kepala dengan seperempat kepala,
berdasarkan hadits:
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَبَرَزَ لِحَاجَتِهِ ثُمَّ جَاءَ
فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ
Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata: Kami bersama Rasulullah
shallallahu a’laihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, lalu beliau keluar untuk
menunaikan hajatnya, kemudian hadir, berwudhu, dan mengusap jambulnya. (HR.
Nasa’i, hadits nomor 109).
Sementara ulama mazhab Syafi’i tidak memberi batasan tertentu.
Artinya, wudu seseorang dikatakan sah jika ia mengusap sebagian kepala, baik
seperempatnya atau kurang dari seperempat. Pendapat mereka berlandaskan pada
hadis nabi:
عَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ
وَعَلَى العٍمَامةِ
Dari Ibnu Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
shallallahu a’laihi wa sallam berwudhu, lalu mengusap jambulnya, dan atas
surbannya. (HR.Muslim, hadits nomor 247).
5.
Membasuh kedua kaki hingga mata kaki
Alangkah baiknya juga untuk membasuhnya melewati batas tersebut
untuk menghindari timbulnya keraguan.
6.
Tertib
Yaitu melakukan semua rukun yang diatas secara teratur, dan tidak
boleh mendahulukan rukun selanjutnya sebelum melakukan rukun yang sebelumnya.
Jadi, apabila ada orang yang mendahulukan membasuh kedua tangan sampai siku
sebelum membasuh wajah maka hal yang dilakukan orang tersebut bukan wudu karena
tidak memenuhi salah satu rukun wudhu yaitu tertib.
Pembahasan yang kedua adalah
mengenai apa saja sunnah dalam berwudu. Didalam wudu ada 13 sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan,
yaitu:
- Membaca Basmalah pada saat mulai berwudhu.
- Membasuh tangan pada pergelangan tangan.
- Berkumur kumur, namun menurut Mazhab
Hanbali hal tersebut merupakan hal yang wajib.
- Istinsyaq,
atau
menghirup air kedalam hidung, namun hal ini juga diwajibkan menurut Mazhab
Hanbali.
- Istintsaar, adalah mengeluarkan air yang telah
dihirup dari hidung
- Mengusap seluruh kepala (menurut Mazhab
Syafi'i dan Hanafi), namun menurut Mazhab Maliki dan Hanbali hal ini
termasuk rukun dalam wudhu sebagaimana yang dijelaskan diatas.
- Mengusap kedua telinga.
- Menyisir jenggot dengan jari.
- Menggosok sela sela jari kaki.
- Melakukan setiap langkah sebanyak tiga
kali, tanpa menambah bilangannya.
- Menggunakan siwak.
- Tidak berlebihan dalam memakai air saat
berwudhu.
- Mendahulukan anggota badan yang bagian
kanan dari yang bagian kiri.
Pembahasan yang ketiga dan yang terakhir adalah tentang apa saja
hal-hal yang dapat membatalkan wudu. Dalam pembahasan ini hal hal yang dapat membatalkan wudu itu ada
4, yaitu:
1.
Keluarnya sesuatu dari dua lubang (qubul dan dubur), jadi apabila
ada sesuatu yang keluar dari dua lubang tersebut maka hal tersebut akan
membatalkan wudu, kecuali yang keluar adalah mani atau sperma. Namun kita
diwajibkan untuk mandi wajib karena keluarnya mani tersebut.
Lantas apabila ada sesuatu yang najis keluar dari tubuh kita tapi
keluarnya bukan dari dua lubang diatas, apakah hal tersebut masih membatalkan
wudu? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, pendapat yang pertama mengatakan
bahwasanya hal tersebut tidak membatalkan wudu, dan pendapat yang kedua
mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan wudu.
Pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak
membatalkan wudu merupakan pendapat dari Mazhab Maliki, Syafi'i, dan
Zhahiriyah. Mereka berlandaskan hadits nabi yaitu:
عن أنس، أن النبي صلى الله عليه وسلم
احتجَمَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فصلَّى ولم يَتوضَّأْ، ولم يَزِدْ
على غَسلِ مَحاجِمِه.
Yang artinya adalah Dari Anas, bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم berbekam dan kemudian
salat tanpa berwudu, dan tidak menambah selain mencuci tempat bekamnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwasanya keluarnya najis selain dari dua
lubang itu tidak membatalkan wudu.
Adapun pendapat kedua yang mengatakan bahwa hal tersebut
membatalkan wudu adalah pendapat dari Mazhab Hanbali dan Hanafi. Mereka
berlandaskan hadits yaitu:
عن أبي درداء أن رسولَ اللَّهِ صلَّى
اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ قاءَ فتوضأ، فلقيت ثوبان في مسجد دمشق، فذكرت ذلك له، فقال
صدق، أنا صببت له وضوءه.
"Dari Abu Darda bahwa Rasulullah SAW muntah dan kemudian
beliau berwudu. Aku bertemu dengan Thubyan di Masjid Damaskus, lalu aku
menyebutkan hal itu kepadanya, dan dia berkata: 'Benar, aku yang menuangkan air
wudu untuknya.'”
Hadis tersebut menjadi rujukan pendapat yang kedua, bahwa segala
sesuatu yang najis dan hal itu keluar dari kedua lubang ataupun selain dari
keduanya itu membatalkan wudhu.
2.
Hilangnya akal karena tidur, gila, atau lainnya. Hal ini
berlandaskan hadits nabi yaitu:
فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya: “Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu
Dawud). Orang yang tidur, gila, atau pingsan batal wudhunya karena ia telah
kehilangan akalnya.
Hanya saja tidur dengan posisi duduk dengan menetapkan pantatnya
pada tempat duduknya tidak membatalkan wudu. Posisi tidur yang tidak
membatalkan wudu tersebut bisa digambarkan; bila Anda tidur dengan posisi duduk
dimana posisi pantat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan Anda untuk
kentut kecuali dengan mengubah posisi pantat tersebut, maka posisi tidur dengan
duduk seperti itulah yang tidak membatalkan wudhu.
3.
Bersentuhan kulit seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
sama-sama telah tumbuh besar dan bukan mahramnya dengan tanpa penghalang. Pada
masalah ini ada 6 pendapat yaitu:
1.
Menurut Syafi'iyah, hal tersebut membatalkan wudu secara mutlak
baik itu tanpa syahwat atau dengan penghalang.
2.
Menurut Hanafiyah, hal tersebut membatalkan wudu secara mutlak,
baik dengan syahwat, atau tanpa syahwat.
3.
Menurut Imam Malik, hal tersebut membatalkan wudu apabila disertai
dengan syahwat, tapi apabila hal itu terjadi tanpa syahwat maka tidak
membatalkan wudu.
4.
Menurut Daud bin Ali Az Zhahiriy, hal tersebut membatalkan wudu
apabila dilakukan dengan sengaja, dan tidak jika dilakukan dengan tidak
sengaja.
5.
Menurut Al Awzai’, hal tersebut akan membatalkan wudu apabila
dilakukan dengan tangan, dan apabila dilakukan dengan yang selain tangan maka
tidak membatalkan wudu.
6.
Menurut Ibnu Mundzir, dan Al Mawardi, hal tersebut tidak akan
membatalkan wudu apabila dilakukan dengan orang yang halal dinikahi baginya,
dan akan membatalkan apabila dilakukan dengan orang yang haram dinikahi
baginya.
4.
Menyentuh dubur, atau qubul. Dalam hal ini ada 2 pendapat yaitu:
1.
Menurut jumhur ulama dari Mazhab Maliki dan Syafi'i, hal tersebut
akan membatalkan wudu apabila dilakukan dengan memakai telapak tangan.
2.
Menurut Mazhab Hanafiyah, hal tersebut tidak membatalkan wudu
secara mutlak.
Maka dengan semua penjelasan yang telah disebutkan diatas, pastinya
kita menyadari akan pentingnya kita mengetahui apa saja rukun, sunah, apa saja
yang dapat membatalkan wudu, dan pentingnya kita bermazhab saat berwudu. Karena
apabila kita berwudu menggunakan suatu mazhab maka hal hal yang dapat
membatalkan wudu juga akan mengikuti mazhab yang dipakai ketika berwudu. Maka
dari itu penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana cara mazhab kita dalam
berwudu, dan apa saja yang membatalkan wudu menurut mazhab kita masing-masing,
agar tidak terjadi tercampurnya mazhab dalam satu ibadah!




Comments
Post a Comment