Peran dan Kontribusi Perempuan Jahiliah yang Luput Oleh Zaman
(Source: Pinterest)
Oleh: Afwa Anna & Nurmadinah
Budaya
patriarki yang dianut bangsa Arab Jahiliyah pun membuktikan bahwa perempuan
hanyalah sebagai the second sex (warga kelas dua). Salah satu bukti
bahwa bangsa Arab Jahiliyah menganut budaya patrialkhal terlihat dari cara
kisah populer yang datang dari kota Mekah, seorang laki-laki akan merasa malu
atas kelahiran anak perempuan mereka, dan menutupi rasa malu tersebut dengan
mengubur bayi perempuan hidup-hidup.
Tidak hanya
itu, terlihat juga dari cara mereka menasabkan nama-nama kabilah. Biasanya
kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan
Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul
generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya,
dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan
Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu.
Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia
dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka
menasabkan kabilahnya pada ayah dan masih banyak bukti lain yang tidak sempat
kami sebut satu persatu.
Berangkat dari
keresahan di atas, untuk itu penulis ingin membahas lebih mengenai bagaimana
perasaan yang sesungguhnya dialami, dirasakan, dan diekspresikan oleh perempuan
Jahiliyah tentang dirinya dan juga tentang bagaimana mereka memandang kaum
laki-laki. Bila mayoritas kaum laki-laki Jahiliyah menganggap perempuan sebagai
objek seksualitas semata, lalu bagaimana sesungguhnya kaum perempuan Jahiliyah
memberi identitas pada diri mereka? Serta peran apa saja yang mereka mainkan
baik secara individual maupun sosial?
Kedudukan dan Peran Perempuan Jahiliyah
Dalam Konstruksi Sejarah
Dalam struktur
sosial masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan dibagi ke dalam dua kelas, pertama
hamba sahaya (Ima’), yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat rendah,
seperti penyanyi bar atau pelayan. Kedua adalah perempuan merdeka (al-Hurrah)
yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti juru masak, penjahit, dan tukang
servis kemah. Termasuk ke dalam kelompok ini perempuan bangsawan yang biasanya
memiliki beberapa pelayan, dan mereka ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam
struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah.
Bagi perempuan hurrah
sebagai perempuan kelas atas, mereka oleh kaum laki-laki ditempatkan pada
posisi yang sangat tinggi berkaitan dengan prestise yang mereka miliki sebagai
putri dari para petinggi kabilah atau kerajaan, atau paling tidak mereka
memiliki hak penuh atas dirinya. Pada posisi yang tinggi seperti ini, perempuan
ditempatkan oleh mereka sebagai objek sanjungan dalam ghazal, dipuji dan
dipuja. Kedua, bagi perempuan imâ’, mereka sama sekali tidak memiliki
hak untuk berbicara apalagi menyampaikan perasaan mereka melalui syair- syair
cinta, karena mereka merasakan cinta atau tidak, hasilnya akan sama saja,
menjadi barang milik kaum laki-laki. Hak-hak mereka untuk berekspresi secara
tidak langsung dibungkam dan tidak diberi kesempatan untuk itu. Berdasarkan hal
ini, maka dapat dimengerti mengapa perempuan Jahiliyah tidak suka dengan
syair-syair ghazal, karena semuanya kembali pada situasi dan kondisi
yang mempengaruhinya. Namun pada intinya, kaum perempuan Jahiliyah apapun
alasannya tidak terbiasa mengumbar kata cinta dan rayuan pada kaum laki-laki.
Ahmad Masruch
Nasucha dalam bukunya berjudul Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam, menyimpulkan
sebanyak empat belas poin tentang kondisi dan kedudukan perempuan dalam
struktur masyarakat Arab Jahiliyah, di antaranya:
a. Perempuan diperlakukan sebagai
budak sahaya oleh kaum laki-laki, mereka diperjual belikan seolah-olah mereka
itu binatang.
b. Dalam bidang
hukum kriminal, mereka didiskriminasikan dengan kaum laki- laki, sebab bila ada
laki-laki membunuh perempuan tidak dilakukan hukum qishash dan tidak
dikenakan pembayaran diyat.
c. Mereka
dianggap sebagai sampah oleh kaum laki-laki karena tidak dapat dimanfaatkan
untuk berperang/berkelahi, karena itu bila kaum laki-laki dikaruniai anak perempuan,
mereka merasa malu dan hina sehingga mereka sampai hati membunuh anak-anak
mereka secara kejam diluar sifat-sifat kemanusiaan, bahkan di antaranya ada
yang dikubur hidup-hidup.
d. Kawin paksa
diberlakukan oleh para wali (ayah, kakek dan sebagainya) terhadap para
perempuan yang berada dalam kekuasaan mereka, oleh karena itu kaum perempuan
tidak diberi hak pilih untuk menentukan calon pasangannya, dan mau tidak mau
harus menuruti kehendak sang wali.
e. Kaum
perempuan diperlakukan oleh kaum laki-laki sebagai benda mati yang bisa
diwarisi oleh kaum laki-laki, misalnya seorang laki-laki bisa mewarisi ibu
tirinya atau saudara perempuan tirinya yang ditinggal mati suaminya, setelah
dia mewarisi sang janda itu, dia berhak menguasainya menurut kehendaknya
sendiri, apakah dia (si janda) itu akan dipakai sebagai istri sendiri atau
dikawinkan kepada orang lain dengan mengambil keuntungan secara materil atau
dibiarkan di rumah tetap menjanda sehingga meninggal dunia untuk diwarisi semua
hak miliknya.
f. Mereka
diperlakukan oleh laki-laki sekehendak mereka sendiri, sebab perempuan bisa
dijatuhi talak sampai seratus kali dan dirujuk juga sampai seratus kali; kaum
perempuan tidak dapat berbuat apa-apa sebab di waktu itu tidak ada pengadilan
yang menjadi tempat berlindungnya kaum perempuan.
g. Mereka (kaum
perempuan) ditutup hak warisnya sama sekali untuk mewarisi harta peninggalan
dari orang tuanya atau saudara-saudaranya, dan mereka juga tidak diberi hak
menggunakan kekayaannya.
h. Poligami
tanpa batas dan tanpa persyaratan yang ketat berlaku pada zaman Jahiliyah,
sehingga keadaan itu membuat kaum perempuan menjadi sengsara.
i. Pada zaman
Jahiliyah tak ada perlindungan hukum terhadap anak yatim perempuan mengenai mas
kawin bila anak yatim itu akan dikawini oleh seorang laki-laki (Ahmad Masruch
Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam).
Kedudukan
perempuan yang sangat rendah dalam tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah
diduga akibat sistem kehidupan mereka yang selalu diwarnai dengan peperangan.
Sehingga setiap suku jauh lebih membutuhkan laki-laki daripada perempuan yang
dianggap lemah untuk mempertahankan kelompoknya. Kenyataan inilah yang kemudian
membawa perempuan pada derajat yang kurang dihargai, sehingga terkadang ketika
ada seseorang yang melahirkan seorang anak perempuan, mereka menjadi emosi dan
menguburnya hidup- hidup, karena dianggap kurang berguna. Jika anak perempuan
cukup beruntung sehingga tidak dikubur hidup-hidup, maka ia akan menjalani sisa
hidupnya dengan penindasan dan siksaan. Apabila disia-siakan oleh orang tuanya
dan diperlakukan dengan kasar oleh suaminya, tidak ada yang datang membelanya.
Hak-hak kemanusiannya tidak diakui, tidak pula memiliki hak waris, bahkan
dirinya sendiri dijadikan sebagai barang warisan.
Berbicara
tentang kedudukan dan peran perempuan jahiliyah, maka kita akan menilik sedikit
tentang bagaimana pola hubungan antara laki-laki dan perempuan Jahiliyah itu
sendiri.
Diantararanya
adalah, dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, sebagaimana diriwayatkan dari
Aisyah ra., dalam Sahih Bukhari, perkawinan dilakukan melalui empat cara,
pertama sebagaimana yang dilakukan saat ini (setelah datangnya agama Islam).
Kedua, seorang suami menyuruh istrinya pada saat baru bersih dari menstruasi
untuk melakukan hubungan intim dengan laki-laki lain yang lebih tinggi
kedudukannya, hingga ia hamil, dengan maksud agar memperoleh keturunan yang
lebih baik. Perkawinan dengan cara seperti ini disebut dengan al-istibda’.
Ketiga, yaitu dengan cara sekitar kurang dari sepuluh orang laki-laki berkumpul
untuk memilih seorang perempuan, lalu semuanya melakukan hubungan seks dengan
perempuan tersebut.
Jika perempuan
tersebut hamil, maka setelah melahirkan ia mengundang semua laki-laki tersebut
dan menunjuk salah seorang dari mereka yang ia sukai. Cara keempat yaitu
beberapa orang laki-laki mendatangi seorang perempuan, dan perempuan itu tidak
menolaknya. Perempuan ini biasanya adalah pelacur yang biasa memasang bendera
di pintu mereka sebagai tanda, bahwa setiap laki-laki bisa berhubungan intim
dengannya. Jika ia hamil, maka setelah melahirkan, semua laki-laki yang pernah
menyetubuhinya dikumpulkan, lalu memanggil seorang qâ’if (adalah orang yang
dianggap pintar dan mampu mngenali kemiripan antara ayah dan anaknya, melalui
ciri-ciri tertentu) untuk mengidentifikasi ayah dari anak tersebut. Lalu
pelacur tersebut akan membiarkan anaknya mengikuti garis keturunan laki-laki
itu dan dinyatakan sebagai anaknya.
Masyarakat Arab
Badui biasanya menikah sejak usia dini. Hal ini disebabkan banyak faktor,
seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya, sehingga
mengharuskan mereka untuk memiliki banyak anak demi nama besar kabilah masing-
masing. Anak laki-laki biasanya sudah menikah pada usia lima belas tahun
sedangkan anak gadis menikah pada usia sepuluh tahun. Mereka lebih suka
menikahi perempuan yang jauh secara nasab dengan harapan melalui ikatan
kekeluargaan bisa menghindari permusuhan, dan memperbanyak sekutu. Selain itu
juga mereka berkeyakinan bahwa dengan menikahi perempuan yang jauh secara nasab
akan memberikan anak yang sehat dan berperilaku baik, sehingga di kemudian hari
menjadi anak yang cerdas dan gagah. Untuk itu mereka merasa tabu jika harus
menikah dengan keluarga atau kerabat dekat, karena dianggap berbahaya untuk
kelangsungan hidup anak tersebut.
Menurut pakar
sosiologi UIN, Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, perkawinan seperti ini disebut
dengan eksogami, yaitu seseorang diisyaratkan menikah dengan pasangan yang
berasal dari luar kelompoknya, yaitu yang berasal dari luar kerabat atau sanak
famili, keluarga inti, klan atau bahkan suku mereka. Kebalikan dari eksogami
adalah endogami yakni seseorang diisyaratkan menikah dengan pasangan yang
berasal dari dalam kelompok yang sama. Adapun yang dimaksud dengan dalam
kelompok yang sama bisa berasal dari kelas yang sama, kasta yang sama, ras,
etnis, maupun agama.
Lalu, bagaimana
dengan hubungan antara ibu dan anak? Masyarakat Arab Jahiliyah biasanya sangat
bangga bila anaknya lahir dari seorang perempuan yang merdeka, berkulit putih
dan cerdas. Untuk ibu yang seperti itu mereka memberinya kehormatan dengan
melaqabkan anak tersebut padanya.
Adapun budak
perempuan biasanya mereka berkulit hitam. Anak-anak yang lahir dari perut
mereka biasanya belum diakui hingga nampak kecerdasan dan kelebihan yang mereka
miliki.
Citra Perempuan Jahiliyah Yang
Nampak Dalam Sya’ir Jahili
1.
Perempuan jahiliyah adalah sosok yang bijak dalam ucapannya.
Sebagian orang mungkin berasumsi
bahwa perempuan Jahiliyah adalah perempuan-perempuan bodoh yang sama sekali
tidak memiliki wawasan tentang kehidupan. Mereka adalah perempuan-perempuan yg
suka meratapi kesedihan, sebagai bukti banyaknya syair ritsâ yang dilantunkan oleh kaum perempuan jahiliyah yang hanya
bercerita tentang duka, keluh kesah, kesedihan, dan kemurungan akibat kematian.
Padahal
sebenarnya, perempuan peratap disini baik dianggap cengeng atau sebagai bentuk
kasih sayang, semua itu pada hakekatnya erat kaitannya dengan sistem kabilah
yang mereka anut yang sangat mengagungkan solidaritas kesukuan yang dibangun
atas nama keluarga. Sehingga pada saat ada anggota kabilah atau keluarga yang
meninggal, perempuan khususnya, wajib untuk meratapi mayatnya sebagai ungkapan
belasungkawa, dan solidaritas.
Sebagai contoh
seorang penyair perempuan jahiliyah, bernama al-Khansâ ia dianggap sebagai
salah satu citra perempuan yang tegak berdiri menjadi saksi kekejaman
peperangan antar suku, yang membuatnya terluka jiwa dan raga. Al-Khansâ’ adalah
simbol perempuan Jahiliyah yang penuh belas kasih, simbol persaudaraan, juga
simbol cinta pada keluarga.
Hal ini senada
dengan apa yang diutarakan oleh Soenarjati Djayanegara bahwa sifat-sifat
natural yang ada pada jiwa seorang perempuan, seperti sifat affective
(penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant
(peduli), pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula
takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat
patrialkal.
Generalisasi
bahwa perempuan jahiliyah kurang berwawasan seperti yang tertera pada paragraf
diatas ditepis oleh beberapa penyair perempuan di antaranya dua bersaudara,
Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss, serta penyair perempuan lainnya. ( keduanya
adalah penyair perempuan Jahiliyah yang biasa mendeklamasikan syair-syair
mereka di Pasar ‘Ukazh. Thaifur dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ memasukkan nama
Jum’ah binti al- Khuss sebagai salah seorang penyair perempuan yang berkualitas
(fadlilat al-nisa), sedangkan Hindun oleh al-Jahizh digambarkan sebagai penyair
yang memiliki kompentensi vokal, kecerdasan, dan kefasihan yang luar biasa).
sebagai contoh sya’ir yang dibuat
oleh jum’ah:
أشد وجوه القول عند ذوى حجا
مقالة ذى لب يقول فيوجز
Sebaik-baik inti pembicaraan menurut
orang yang cerdas, ialah perkataan orang cerdas yang berbicara singkat namun
padat
وأفضل غنم يستفاد و يبتغى
دخيرة عقل يحتويها ويحرز
Sebaik-baiknya
harta yang bermanfaat dan diperlukan adalah akal yang dimilikinya dan dijaga
Melihat dari
syair di atas, tampak perempuan pada masa itu bukanlah manusia- manusia yang
bodoh yang tidak mampu berbuat apa-apa dan hanya mendengarkan apa yang
dikatakan laki-laki, namun mereka adalah figur perempuan yang cerdas dan mampu
berdebat dengan laki-laki secara cerdas pula. Penyair dalam syairnya tersebut
dengan piawai menggambarkan sosok laki-laki yang cerdas, mereka menggubah
syai’r-sya’ir bijak yang dimana untaian kata yang menyatakan, “Sebaik-baik
harta yang bermanfaat dan diperlukan, adalah akal yang dimilikinya dan dijaga”,
menunjukkan bahwa akal dan kecerdasan adalah hal yang sangat penting dibanding
dengan harta dan kekayaan.
Syair di atas
memberikan sebuah gambaran pada kita tentang citra intelektual dan kapabilitas
perempuan Jahiliyah dalam memandang sebuah inti pembicaraan.
Pun, Pada bait
kedua, penyair menggambarkan penilaian seorang perempuan terhadap laki-laki,
bahwa harta benda tidak lebih berharga dibanding ilmu pengetahuan. Hal ini
menunjukkan bahwa perempuan pada masa itu tidak hanya memandang seseorang
terutama laki-laki dari harta yang dimilikinya, namun juga memiliki wawasan
yang memadai. Secara implisit penyair mengatakan bahwa antara harta dan ilmu
pada dasarnya harus selalu seimbang (balance).
Hal ini
membuktikan bahwa perempuan Jahiliyah, bukanlah sosok yang dungu, tertindas,
dan menerima apa adanya, namun membuktikan bahwa mereka juga adalah
perempuan-perempuan yang cerdas, berani, dan bijak dalam menyikapi kehidupan.
2. Perempuan Jahiliyah adalah sosok
yang memiliki jiwa yang peduli
Banyak sikap
dan sifat positif dimiliki oleh perempuan Jahiliyah, salah satunya adalah sifat
pemurah dan suka menolong. Sebagai contoh Ghaniyyah binti ‘Afîf, penyair
perempuan Jahiliyah ibunda dari Hatim al-Tha’i seorang penyair yang juga
terkenal dengan sifatnya yang dermawan. Dalam Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâ’irât
diceritakan bahwa Ghaniyyah adalah sosok perempuan yang memiliki hobi membantu
orang lain, hingga akhirnya harta bendanya habis tak tersisa diberikan pada
pengemis dan tamu-tamunya. Untuk itu, saudara-saudaranya mencoba menghalanginya
dan menahan harta Ghaniyyah yang masih berada di tangan mereka. Pada saat
Ghaniyyah sudah benar-benar fakir, saudaranya memberikan seekor unta untuknya.
Namun tidak lama kemudian datang seorang perempuan meminta unta tersebut. Lalu
Ghaniyyah berkata:”untukmu unta ini, ambillah!, Demi Allah rasa lapar telah
menggigitku, lapar yang tak hilang meski dengan meminta-minta. Maka keluarlah
bait-bait syair yang menggambarkan tentang perasaannya tersebut.
لعمرك قدما غضنى الجوع عضة
فآليت أن لا أمنع الدهر جائعا
Demi hidupmu,dulu rasa lapar penah
menggigitku
Maka aku bersumpah tidak akan
kubiarkan zaman kelaparan.
3.
Keterlibatan perempuan Jahiliyah dalam dunia politik.
Pada saat
membicarakan tentang perempuan Arab Jahiliyah, secara umum hal yang paling
menonjol adalah penderitaan yang mungkin tidak pernah dirasakan perempuan lain
di dunia ini selain oleh mereka, tanpa memperdulikan realitas lain yang mereka
rasakan dan alami. Perempuan pada masa tersebut, tidak lebih dari sekedar
barang rongsokan yang tidak berguna, dan hanya berperan sebagai pemuas nafsu
laki-laki semata. Dan pandangan tersebut, rata-rata sumber informasinya berasal
dari kaum laki- laki. Lalu bagaimana sesungguhnya para perempuan Jahiliyah
memerankan peranannya dalam kehidupan individual dan sosialnya yang terungkap
dari balik syair-syair mereka?
Keterlibatan
perempuan Jahiliyah dalam persoalan politik misalnya, adalah suatu hal yang
tidak perlu diragukan lagi. Hal ini terungkap secara jelas dalam syair- syair
perempuan, seperti al-Khansâ’. Meskipun ia lebih dikenal dengan syair-syair
ritsânya, namun sebagaimana telah dibahas sebelumnya, di dalam ritsânya
tersebut, ia juga banyak berbicara tentang syair hamâsah (puisi kepahlawanan).
أبنى سلي ٍم إن لقيتم فقَعسا فى محبس
ضنك إلى وعِر
Wahai Bani Sulaim, jika kalian
berjumpa (dengan lawan), lalu ia mundur ke persembunyian yang sempit dan sulit
sekalipun.
فالقوهم بسيوفكم ورماحكم وبنَضخة فى
الليل كالقطر
Seranglah mereka dengan pedang dan
panah kalian yang derasnya bagai cucuran air hujan di malam hari.
Dapat kita
lihat bersama, syair tersebut memang terkait dengan dunia politik bangsa Arab
saat itu, yaitu budaya perang. Maka secara logika, syair tersebut tidak mungkin
hanya didendangkan di dalam rumah dan sekitarnya, namun pasti akan ia
deklamasikan di depan khalayak ramai untuk menyemangati pasukan pada saat akan
atau sedang berperang. Berdasarkan hal ini, maka citra perempuan Jahiliyah yang
bodoh, terbelakang dan tidak memiliki peranan dalam masyarakat pun, mutlak
terbantahkan.
Selain
al-Khansâ’, kiprah politik penyair perempuan lainnya, Shafiyyah binti Tsa’labah
al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah (ahli debat) misalnya, turut menepis
anggapan yang menyatakan bahwa perempuan Arab Jahili sangat tertindas dalam
berbagai aspek kehidupan. Kiprah Shafiyyah di bidang politik membuktikan bahwa
ia tidak kalah dari seorang laki-laki, meskipun tanpa harus mengangkat senjata.
Ia adalah otak, diplomat, bahkan penasehat politik bukan hanya untuk
kabilahnya, namun juga untuk kabilah-kabilah lainnya.
Secara umum,
keterlibatan kaum perempuan Jahiliyah dalam bidang politik, setingkat lebih
maju dibanding bangsa lainnya, bahkan pada masa Islam sekalipun. Hanya saja
politik “darah” yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah yang lebih mengagungkan
kekuatan fisik sebagai tolak ukur kemenangan, telah memaksa kaum perempuan
tersingkir dari kancah politik fisik.
Namun demikian,
hal ini tidak berarti perempuan pada masa itu tidak memainkan peranan
politiknya, dan hal tersebut dibuktikan oleh beberapa perempuan-perempuan yang
di antaranya seperti yang diceritakan di atas. Tidak sedikit peranan politik
yang dilakukan kaum perempuan saat itu, seperti sebagai diplomat, mata-mata,
pembangkit semangat, bahkan mengatur skenario perang seperti yang dilakukan
oleh al-Hujaijah. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka teori feminisme yang
menyatakan bahwa gender (seksisme) telah menempatkan perempuan sebagai kelompok
yang tertindas dalam bidang politik, serta tidak memiliki peranan politik yang
berarti, tidak berlaku bagi bangsa Arab Jahiliyah. Sebab bagi bangsa Arab
Jahiliyah, perempuan merdeka dan memiliki kapabilitas serta kecerdasan yang
dapat diandalkan.
4. Perempuan Jahiliyah adalah sosok
yang setia pada keluarga dan kabilahnya.
Perempuan pada masa tersebut dikenal
juga merupakan simbol dendam yang tiada henti. Hal ini terbukti dari ritsâ
al-Khansa, saat ditinggal kematian kakaknya Shakhr yang kemudian mengajak
kaumnya untuk membalas dendam dan menyerang kabilah yang telah membunuhnya.
أبنى سليم إن لقيتم فقَعسا فى محبس ضنك إلى وعر
Wahai Bani Sulaim, jika kalian
berjumpa (dengan lawan), lalu ia mundur Ke persembunyian yang sempit dan sulit
sekalipun
فالقوهم بسيوفكم ورماحكم وبنَضخة ٍْ فى الليل كالقْطر
Seranglah mereka dengan pedang dan
panah kalian Bagai derasnya cucuran air hujan di malam hari
Dalam syair tersebut, tampak dendam
yang membara atas kematian saudara laki-lakinya Sakhar dalam peperangan yang
merenggutnya nyawanya. Dan hal ini tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya,
namun terbentuk akibat budaya perang yang mereka jalani. Dan syair di atas,
juga membuktikan adanya keterlibatan perempuan Jahiliyah dengan dunia politik
yang dalam hal ini adalah perang.
5. Perempuan Jahiliyah dapat menjadi
seorang ibu yang bersimbol kasih dan kesuksesan seorang anak.
Motherhood
(keibuan) adalah peran yang biasanya dikaitkan dengan kehidupan domestik
perempuan dalam rumah tangga. Peran ini terkadang dianggap kurang berharga
karena tidak menghasilkan uang. Berbeda halnya dengan peranan ayah yang
dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Stereotip seperti ini terjadi di
hampir setiap negara dan hingga kini masih tetap ada. Namun demikian, peran
perempuan sebagai seorang ibu tetap tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan.
Kasih ibu untuk anak adalah kisah abadi sepanjang masa, sebagai contoh syair
yang digubah oleh Aminah binti Wahab (Aminah binti Wahab ibn ‘Abd Manaf
al-Quraisy, ibunda Rasulullah saw. Seorang perempuan yang sangat cerdas dan
fasih berbicara. Ia menikah dengan Abdullah ibn Abd al-Muthallib.)
Berikut ini menunjukkan betapa besar
peranan seorang ibu bagi seorang anak:
بارك فيك الله من غلام يا
بن الذى فى حومة ال ِحمام
Semoga Allah memberkatimu wahai
anakku, Wahai anak yang selalu ada dalam medan perang kematian.
فأنت مبعوث إلى الأنام تبعث
فى الحل والحرام
Engkau di utus untuk seluruh umat
manusia, Diutus untuk (menjelaskan) yang halal dan yang haram.
Sebagai seorang
ibu, sebelum wafat Aminah memberikan nasihat dan petunjuk untuk anaknya agar ia
menjadi anak yang saleh, terutama agar tetap mengesakan Allah seperti moyang
mereka Nabi Ibrahim as. Aminah adalah simbol ibu yang saleh dan selalu dalam
petunjuk Tuhan, bahkan hingga kematiannya ia tetap berpesan dengan kebenaran
yang diyakininya. Sepeninggalnya terbukti bahwa di kemudian hari apa yang dia
ucapkan menjadi sebuah kebenaran. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang
menyatakan bahwa di balik kebesaran seorang laki-laki pasti ada perempuan yang
hebat.
Maka dalam hal
ini sebagai penutup, penulis melihat bahwa fakta sejarah harus diperlakukan
seobjektif mungkin dengan berdasarkan pada data yang akurat. Fakta sejarah
tidak dapat digeneralisir tanpa mengkaji aspek-aspek lainnya. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa tidak semua suku dalam kabilah Arab memperlakukan
perempuan sedemikian kejamnya, sebab masih banyak fakta lainnya yang
menyebutkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang terhormat dalam struktur
sosial bangsa Arab.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis ingin membuktikan sisi lain yang tidak terekspos oleh
sejarah dari kehidupan perempuan pada masa Jahiliyah, yaitu dengan
menelusurinya berdasarkan data-data yang terdapat dalam syair, sebab dalam
tatanan sosial masyarakat Arab Jahiliyah, kaum perempuan sebagaimana kaum
laki-laki, tidak sedikit peran yang mereka mainkan. Mereka turut berpartisipasi
dalam segala aspek kehidupan, seperti ikut berada di barisan perang untuk
mengobati korban yang terluka, memindahkan orang-orang yang terbunuh, meskipun
karena dianggap lemah dan kurang pintar, kaum perempuan tidak banyak diberi
tugas yang berat. Bagi mereka kaum perempuan cukup mengurusi suami dan
anak-anak, serta urusan rumah tangga lainnya.
Perempuan Jahiliyah
yang dianggap rendah sebenarnya memiliki banyak sekali peran dan kontribusi. Selain berpartisipasi melalui aktivitas fisik, mereka juga terbiasa
menyenandungkan syair-syair yang bersifat heroik (syi’r al-hamâsah) untuk
memberi semangat para pria saat berperang. Perempuan pada masa Jahiliyah
tidaklah diabaikan dan dianggap sebagai barang yang tidak berguna seperti yang
diasumsikan selama ini. Adapun kisah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup,
adalah kisah yang terjadi pada sebagian kelompok masayarakat yang radikal dan
tidak berperadaban, yang dihantui rasa takut akan jatuh miskin dan menjadi
tawanan, karena peristiwa penawanan terhadap perempuan biasa terjadi dan
menjadi momok dalam setiap peperangan, dan mereka menganggap bahwa hal itu
adalah aib dalam kelompoknya.
Kaum perempuan
Arab Jahiliyah, turut menemani kaum pria dalam berperang agar mereka tetap
bersabar pada saat perang, mencegah mereka agar tidak lari dari medan perang,
mengobati korban yang terluka, membawakan tempat air minum, serta memberi makan
kuda dan unta. Sebagaimana kaum pria, mereka juga memiliki hak untuk
bertetangga. Seorang pria harus menjaga istri tetangganya, saudaranya, ibunya,
dan tetangganya. Sebaliknya tetangganya pun melakukan hal yang sama.
Sebagaimana
diketahui bahwa ada beberapa dari mereka yang terkenal dengan keberaniannya,
kefasihannya dalam berbicara dan bersyair, ide-idenya yang cemerlang, ahli
hikmah maupun `arafah (Arafah adalah
ilmu tentang meramal atau mengetahui hal-hal yang gaib. Ada dua macam ramalan
yang berkembang dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah, yaitu kahânah dan ‘arâfah,
Kahânah adalah ramalan untuk masa yang akan datang, sedangkan ‘arâfah merupakan
terawang terhadap hal-hal yang sudah berlalu).
Hanya saja jumlah mereka tidak banyak, sebab kaum pria pada masa itu masih banyak yang mengganggap mereka rendah, dan menurut kaum laki-laki, perempuan cukup menjalankan fungsinya sebagai alat reproduksi.




Comments
Post a Comment