Transplantasi Organ; Seharusnya Tak Diperjualbelikan?

 

Gambar 10.1 (Source: Pinterest)


Oleh: Ulfah Nurul Mawaddah

Dalam kehidupan ada dua hal yang paling melekat pada tubuh kita, yaitu sehat dan sakit. Dua kondisi tubuh manusia yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosial. Dengan sehat manusia bisa menjalankan kehidupan sehari-hari dengan baik. Sedangkan sakit yang merupakan respon tubuh akibat penyakit seringkali menghalangi manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Itulah mengapa kesehatan merupakan hal yang berharga pada kehidupan manusia.

Sesuatu yang berharga tentu perlu upaya yang lebih untuk mengusahakannya. Salah satu upaya manusia dalam menjaga kesehatan, mereka menerapkan pola hidup sehat. Sedangkan penyakit adalah kondisi buruk yang terjadi pada organ atau bagian tubuh tertentu yang disebabkan oleh mikro organisme berbahaya seperti bakteri, virus, luka, terkena racun dan munculnya sel tidak sempurna. 

Dari beberapa sebab diatas adalah pemicu utama yang membuat sistem tubuh menjadi terganggu bahkan apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat bisa menimbulkan penyakit yang lebih parah. Dalam beberapa keadaan, organ bisa saja mengalami gangguan atau kerusakan seperti kanker hati, gagal ginjal bahkan penyakit fatal lainnya.

Kerusakan organ pada tubuh merupakan suatu hal yang sangat berbahaya bagi manusia, karena bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia. Untungnya seiring perkembangan teknologi dan pengetahuan medis kerusakan pada tubuh manusia tersolusikan dengan cara transplantasi organ.

Transplantasi organ, pencangkokan organ, atau alih tanam organ adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari suatu bagian ke bagian yang lain pada tubuh yang sama.

Dalam sejarahnya, pendonoran pertama yang berhasil dilakukan oleh Joeseph E. Murray dan Peter Bent di RS Brigham Hospital, Bosto. Pendonoran ini dilakukan dengan transplantasi ginjal pada anak kembar. Organ yang didonorkan berhasil bertahan selama 8 tahun. Karena hal ini, Joeseph E. Murray berhasil mendapatkan medali Nobel pada tahun 1990.

Di Indonesia sendiri, transplantasi ginjal dipelopori oleh Prof. Dr. R.P. Sidabutar di Rumah Rakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 1977 di Jakarta, kemudian pada tahun 2013 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo berhasil melakukan operasi transplantasi ginjal pada anak untuk pertama kalinya yang bernama Cliff Yehezkiel Mambu 12 tahun asal Gorontalo.

Berangkat dari kasus diatas aturan transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia juga telah diatur dalam hukum positif di Indonesia. Aturan tersebut diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahkan pelaksanaanya pun turut diatur dalam peraturan Pemerintah (PP) No.53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.  Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap transplantasi organ?

Dalam islam sendiri, mengenai pendonor atau yang akan memberikan organnya terbagi menjadi dua. Yaitu, pendonor masih dalam keadaan hidup dan pendonor yang sudah meninggal.

Dalam keadaan pendonor yang masih hidup, ulama sepakat tidak memperbolehkan transplantasi organ jika transplantasi ini membahayakan bagi pendonor. Bukan hanya itu, jika praktik ini menimbulkan terjadinya pencampuran nasab dan melanggar hukum yang sudah jelas pada syariat seperti sambung rambut maka transplantasi ini tidak boleh dilakukan.

Menurut dar al-ifta al - ‘alamiyah atau lembaga fatwa yang yang berlokasi di Mesir memperbolehkan transplantasi organ jika memang diperlukan dan tidak membahayakan pendonor. Bolehnya transplantasi ini juga disyaratkan dengan  beberapa hal:

1.     Pendonor setuju untuk mendonorkan organnya dengan ketentuan bahwa pendonor sudah balig, berakal, terpilih.

2.     Penerima donor sangat membutuhkan donor ini untuk keberlangsungan hidupnya.

3.     Tidak membahayakan bagi pendonor yang dapat menganggu kehidupan sehari-harinya.

4.     Tranplantasi ini merupakan satu-satunya jalan pengobatan.

5.     Pada umumnya, praktik ini sering kali berhasil dilakukan.

6.     Tidak menerima kompensasi karena sudah memberikan organnya.

7.    Sebagian ulama memberi syarat, organ ini memang harus dipisahkan dari pemiliknya karena ada penyakit yang menimpanya.

Selanjutnya bagaimana jika transplantasi organ diambil dari mayyit yang pernah berwasiat ataupun hibah dari ahli waris atau walinya setelah wafat. Dalam hal ini ada sebagian ulama memperbolehkan dan sebagian tidak.

Dibalik ulama yang berpendapat untuk memperbolehkan hal ini, mereka tetap memberikan syarat atas praktik ini, sebagai berikut:

1.     Penerima organ diharuskan menerima transplantasi ini untuk melindungi dirinya dari bahaya.

2.     Sudah tidak ada lagi mayyit yang lain kecuali mayyit manusia yang bisa dijadikan pengobatan, jika ada maka tidak boleh.

3.     Organ yang didonorkan tidak bertentangan dengan syariat islam seperti menyambung rambut atau tidak bertentangan dengan asas hukum islam seperti tercampurnya nasab.

4.     Seorang dokter yang terpercaya dan terampil harus menyatakan bahwa resipien akan menerima manfaat dan sudah tidak ada acara lain.

5.     Adanya izin dari mayyit sebelum meninggal untuk mengambil manfaat dari organnya melalui wasiatnya atau pengambilan manfaat ini melalui pendonoran dari ahli waris sesuai dengan kekerabatannya. Apabila mayyit tidak memiliki ahli waris atau tidak diketahui identitasnya maka cukup dengan izin pemerintah atau walinya dan izin ini harus dengan sukarela.

6.     Pengambilan manfaat dari organ mayyit tidak menerima imbalan sebagai bentuk penghormatan bagi manusia.

7.     Pendonor sudah dipastikan mengenai kematiannya dengan melihat tanda-tanda kematian atau dengan alat modern.

Adanya syarat sebagai pemenuhan untuk pembolehan praktik ini, tak lepas dari pertimbangan ulama agar semua tetap sesuai dengan syariat islam. Bahkan peraturan Menteri Kesehatan sendiri juga memberikan beberapa syarat dan pelaksanaan guna keberhasilan praktik ini. Artinya, adanya syarat yang dibuat bukan sekedar pemenuhan standarisasi saja tapi untuk keselamatan dan kemaslahatan bersama.


Editor: Ashabul Kahfi

 

 

 

 

 

Comments