Transplantasi Organ; Seharusnya Tak Diperjualbelikan?
Oleh: Ulfah Nurul Mawaddah
Dalam kehidupan ada dua hal yang paling melekat pada tubuh kita,
yaitu sehat dan sakit. Dua kondisi tubuh manusia yang sangat berpengaruh pada
kehidupan sosial. Dengan sehat manusia bisa menjalankan kehidupan sehari-hari
dengan baik. Sedangkan sakit yang merupakan respon tubuh akibat penyakit
seringkali menghalangi manusia untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Itulah
mengapa kesehatan merupakan hal yang berharga pada kehidupan manusia.
Sesuatu yang berharga tentu perlu upaya yang lebih untuk
mengusahakannya. Salah satu upaya manusia dalam menjaga kesehatan, mereka
menerapkan pola hidup sehat. Sedangkan penyakit adalah kondisi buruk yang
terjadi pada organ atau bagian tubuh tertentu yang disebabkan oleh mikro
organisme berbahaya seperti bakteri, virus, luka, terkena racun dan munculnya
sel tidak sempurna.
Dari beberapa sebab diatas adalah pemicu utama yang membuat sistem
tubuh menjadi terganggu bahkan apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat
bisa menimbulkan penyakit yang lebih parah. Dalam beberapa keadaan, organ bisa
saja mengalami gangguan atau kerusakan seperti kanker hati, gagal ginjal bahkan
penyakit fatal lainnya.
Kerusakan organ pada tubuh merupakan suatu hal yang sangat berbahaya
bagi manusia, karena bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia. Untungnya seiring
perkembangan teknologi dan pengetahuan medis kerusakan pada tubuh manusia tersolusikan
dengan cara transplantasi organ.
Transplantasi organ, pencangkokan organ, atau alih tanam organ
adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh
yang lain atau dari suatu bagian ke bagian yang lain pada tubuh yang sama.
Dalam sejarahnya, pendonoran pertama yang berhasil dilakukan oleh
Joeseph E. Murray dan Peter Bent di RS Brigham Hospital, Bosto. Pendonoran ini
dilakukan dengan transplantasi ginjal pada anak kembar. Organ yang didonorkan
berhasil bertahan selama 8 tahun. Karena hal ini, Joeseph E. Murray berhasil
mendapatkan medali Nobel pada tahun 1990.
Di Indonesia sendiri, transplantasi ginjal dipelopori oleh Prof.
Dr. R.P. Sidabutar di Rumah Rakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 1977 di Jakarta,
kemudian pada tahun 2013 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo berhasil melakukan
operasi transplantasi ginjal pada anak untuk pertama kalinya yang bernama
Cliff Yehezkiel Mambu 12 tahun asal Gorontalo.
Berangkat dari kasus diatas aturan transplantasi organ dan jaringan
tubuh manusia juga telah diatur dalam hukum positif di Indonesia. Aturan
tersebut diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahkan
pelaksanaanya pun turut diatur dalam peraturan Pemerintah (PP) No.53 Tahun 2021 tentang
Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh. Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap
transplantasi organ?
Dalam islam sendiri, mengenai pendonor atau yang akan memberikan
organnya terbagi menjadi dua. Yaitu, pendonor masih dalam keadaan hidup dan
pendonor yang sudah meninggal.
Dalam keadaan pendonor yang masih hidup, ulama sepakat tidak
memperbolehkan transplantasi organ jika transplantasi ini membahayakan bagi
pendonor. Bukan hanya itu, jika praktik ini menimbulkan terjadinya pencampuran
nasab dan melanggar hukum yang sudah jelas pada syariat seperti sambung rambut
maka transplantasi ini tidak boleh dilakukan.
Menurut dar al-ifta al - ‘alamiyah atau lembaga fatwa yang
yang berlokasi di Mesir memperbolehkan transplantasi organ jika memang
diperlukan dan tidak membahayakan pendonor. Bolehnya transplantasi ini juga
disyaratkan dengan beberapa hal:
1.
Pendonor
setuju untuk mendonorkan organnya dengan ketentuan bahwa pendonor sudah balig,
berakal, terpilih.
2.
Penerima
donor sangat membutuhkan donor ini untuk keberlangsungan hidupnya.
3.
Tidak
membahayakan bagi pendonor yang dapat menganggu kehidupan sehari-harinya.
4.
Tranplantasi
ini merupakan satu-satunya jalan pengobatan.
5.
Pada
umumnya, praktik ini sering kali berhasil dilakukan.
6.
Tidak
menerima kompensasi karena sudah memberikan organnya.
7. Sebagian ulama memberi syarat, organ ini
memang harus dipisahkan dari pemiliknya karena ada penyakit yang menimpanya.
Selanjutnya bagaimana jika transplantasi organ diambil dari mayyit
yang pernah berwasiat ataupun hibah dari ahli waris atau walinya
setelah wafat. Dalam hal ini ada sebagian ulama memperbolehkan dan sebagian
tidak.
Dibalik ulama yang berpendapat untuk memperbolehkan hal ini, mereka
tetap memberikan syarat atas praktik ini, sebagai berikut:
1.
Penerima
organ diharuskan menerima transplantasi ini untuk melindungi dirinya dari
bahaya.
2.
Sudah
tidak ada lagi mayyit yang lain kecuali mayyit manusia yang bisa
dijadikan pengobatan, jika ada maka tidak boleh.
3.
Organ
yang didonorkan tidak bertentangan dengan syariat islam seperti menyambung
rambut atau tidak bertentangan dengan asas hukum islam seperti tercampurnya
nasab.
4.
Seorang
dokter yang terpercaya dan terampil harus menyatakan bahwa resipien akan
menerima manfaat dan sudah tidak ada acara lain.
5.
Adanya
izin dari mayyit sebelum meninggal untuk mengambil manfaat dari organnya
melalui wasiatnya atau pengambilan manfaat ini melalui pendonoran dari ahli
waris sesuai dengan kekerabatannya. Apabila mayyit tidak memiliki ahli
waris atau tidak diketahui identitasnya maka cukup dengan izin pemerintah atau
walinya dan izin ini harus dengan sukarela.
6.
Pengambilan
manfaat dari organ mayyit tidak menerima imbalan sebagai bentuk
penghormatan bagi manusia.
7.
Pendonor
sudah dipastikan mengenai kematiannya dengan melihat tanda-tanda kematian atau
dengan alat modern.
Adanya syarat sebagai pemenuhan untuk pembolehan praktik ini, tak
lepas dari pertimbangan ulama agar semua tetap sesuai dengan syariat islam.
Bahkan peraturan Menteri Kesehatan sendiri juga memberikan beberapa syarat dan
pelaksanaan guna keberhasilan praktik ini. Artinya, adanya syarat yang dibuat
bukan sekedar pemenuhan standarisasi saja tapi untuk keselamatan dan
kemaslahatan bersama.
Editor: Ashabul Kahfi




Comments
Post a Comment