Urgensi Lahjah (Dialek) Arab Dalam Qiraat Al-Qur'an
Secara etimologi, lahjah berarti ujung lidah. Dalam kamus lisan al-‘arab, artinya adalah
gemar dengan sesuatu, mengucapkan, dan membiasakannya. Dikatakan bahwa Fulan
fasih lahjahnya, yakni bahasanya yang di mana ia tumbuh dan terbiasa
dengannya. Secara terminologi, menurut Dr. Ibrahim Anis, berarti sekumpulan
variasi bahasa yang berhubungan dengan lingkungan tertentu dan digunakan oleh
sekelompok orang di lingkungan tersebut.
Ulama terdahulu menyebut lahjah
dengan kata lugah (bahasa). Bahasa sendiri merupakan perantara yang
sangat penting dalam menghubungkan masyarakat dan sebagai alat untuk
menyampaikan maksud yang beragam. Sebuah bahasa memiliki kerangka atau bingkai
sosiologi, oleh karena itu, suatu bahasa berbeda berdasarkan kelompok di satu
tempat. Hubungan antara lahjah
dan bahasa
adalah umum dan khusus. Bahasa memiliki cakupan yang lebih luas dibanding lahjah.
Perbedaan bahasa dan
lahjah meliputi 3 hal sebagai berikut:
v
Bahasa dijaga dan dilindungi dengan adanya kaidah-kaidah dan
standar tertentu sehingga terjaga dari gharīb dan tahrīf. Berbeda
dengan lahjah yang bisa saja dimasuki oleh bahasa asing.
v
Bahasa bersifat matang dan tidak butuh bahasa lainnya.
Sedangkan lahjah akan selalu mengambil sistem atau tatanan lugah umm (bahasa
induk) baik dari segi suara, sharf, nahwu, dan makna.
v
Bahasa digunakan pada bidang keilmuan, politik, militer, dan
seluruh bidang yang bersifat resmi. Adapun lahjah, hanya pada lingkungan
tertentu saja.
Bahasa merupakan asal dari suatu
lahjah. Adapun faktor yang menyebabkan sebuah bahasa terbagi menjadi
beberapa lahjah adalah:
1. Faktor geografis. Ulama membagi jazirah Arab menjadi 5 bagian, yaitu Tihamah (terletak di
ujung Barat dan dekat dengan laut merah), Najd (mencakup bagian Utara dan
Timur), Hijaz (pegunungan yang memisahkan antara Najd dan Tihamah), ‘Urudh
(kawasan padang pasir yang terletak di sebelah Selatan Najd) dan Yaman
(mencakup bagian selatan hingga sebelah Utara Najd dan sebelah Barat Tihamah). Dengan
lingkungan geografi yang luas seperti dibatasi dengan lembah, gunung, dan
sebagainya menyebabkan sulitnya interaksi. Keberagaman lingkungan geografi
seperti persawahan, laut, perkebunan, padang pasir, juga ikut berpengaruh pada
penduduknya dalam hal bagaimana mereka berbicara.
2. Faktor sosial. Faktor ini berkaitan dengan geografis karena perbedaan
lingkungan geografi menyebabkan perbedaan strata atau kelas sosial. Sejarawan membagi kabilah arab menjadi 3 jenis, yaitu baidah
(orang-orang Badui adalah suku bangsa pengembara di tanah Arab), ‘aribah
(orang-orang yang pertama kali berbahasa Arab) dan musta’ribah (warga
Arab pendatang). Setiap strata memiliki lahjah khusus mereka. Seperti kondisi masyarakat pertanian berbeda dengan
yang di bidang pabrik dan perdagangan. Imigrasi penduduk juga ikut
berpengaruh dalam hal ini, contohnya jazirah Arab yang terpengaruh setelah
datangnya Islam. Orang-orang Arab menyebar ke negara-negara Afrika, Asia dan
Eropa yang menyebabkan bahasa Arab terbagi menjadi lahjah yang beragam.
3. Faktor militer. Lahirnya lahjah baru salah satunya disebabkan
oleh perang. Seperti yang terjadi di Eropa setelah diperangi oleh bangsa
Romawi.
Perlu kita ketahui bahwa
perbedaan dari segi sharf dan arti antara satu lahjah dan lainnya
haruslah sedikit agar suatu lahjah tidak asing sehingga sulit dipahami. Adapun
perbedaan dari segi bunyi memiliki peranan penting dalam perbedaan lahjah.
Perbedaan dari segi bunyi,
khususnya perubahan huruf sangat berkaitan dengan makhraj dan sifat
huruf, baik itu sama ataupun berdekatan, seperti perubahan huruf shad menjadi
za. Adapun
perubahan-perubahan pada harakat menunjukkan kekayaan bahasa Arab.
Kata qiraat
merupakan bentuk jamak dari kata قراءة yang merupakan bentuk masdar dari fi’il قرأ - يقرأ -
قراءة وقرآنا yang berarti mengumpulkan atau
menggabungkan. Adapun makna terminologi qiraat, Imam Ibnul Jazary
mendefinisikannya sebagai ilmu yang mempelajari tentang tata cara mengucapkan
lafaz-lafaz dalam Al-Qur’an dan perbeedan bacaannya sesuai yang telah
diriwayatkan.
Dari
definisi diatas, kita dapat mengetahui obyek kajian (ontologi) ilmu qiraat
adalah lafaz Alquraan dari segi perbedaan bacaannya seebagaimana yang telah
diriwayatkan. Metode mendapatkan (epistemologi) ilmu qiraat adalah dengan
periwayatan mutawatir dari para ulama qiraat hingga ke Rasulullah saw.
Sementara manfaat (aksiologi) ilmu qiraat adalah sebagai salah satu cara untuk
menjaga Al-Qur’an dari tahrif dan taghyir. Selain itu, ragam
bacaan dalam Al-Qur’an (qiraat) merupakan hujjah bagi para fuqaha dalam
mengeluarkan sebuah hukum, juga membantu mufassirin dalam menafsirkan
makna suatu ayat, karena perbedaan bentuk bacaan bisa merubah makna suatu ayat.
Sedangkan yang dimaksud dengan muqri’ adalah orang yang meriwayatkan
bacaan Al-Qur’an secara musyafahah dari syaikhnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
kapan munculnya qiraat, sebelum hijrah atau sesudah hijrah. Pendapat kedua
beralasan bahwa sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah jumlah umat mulim masih
sedikit dan kebanyakan dari mereka berbicara dengan satu lahjah, yaitu lahjah
quraisy. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, orang-orang dari berbagai kabilah
dengan lahjah yang berbeda-beda masuk agama Islam, maka Allah
memberikan kemudahan bagi mereka dalam membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Lafaz
sab’ah dan kelipataannya sendiri digunakan oleh bangsa Arab untuk menunjukkan
sesuatu yang banyak, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah:
80(اِسْتَغْفِرْ لَهُمْ اَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْۗ اِنْ تَسْتَغْفِرْ
لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَهُمْۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ
كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِه). Adapun penggunaannya sebagai bilangan antara
enam dan delapan merupakan istilah mutaakhir nisbiy.
Kata Al-Ahruf As-Sab’ah memiliki banyak penafsiran,
Imam As-Suyuthi menyebutkan 40 tafsiran, diantaranya :
1.
Tafsiran Abu
Al-Fadhli Ar-Razi yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Ahruf
As-Sab’ah adalah tujuh perbedaan dalam mengucapkan suatu lafaz, perbedaan
tersebut antara lain dari segi ifrad, tatsniyah, dan jama’ serta tadzkir
daan ta’nits, tasrif al-af’al (perubahan kata kerja), I’rab, an-naqsh
dan az-ziyadah pada kalimat, taqdim dan ta’khir kalimat, ibdal
(penggantian) huruf, lahjah, seperti imalah, tarqiq, tafkhim, idgham,
dan izhar.
2. ‘Ubaid, Tsa’lab, dan Al-Azhari
menafsirkannya sebagai tujuh lahjah, yaitu quraisy, hudzail, tamim, azd,
rabi’ah, hawazin, dan sa’ad bin bakr.
3.
Sebagian
menafsirkannya sebagai tujuh qiraat, sebagaimana yang dikatakan imam Ibnul
Jazary : (كانت الشام تقرأ بحرف ابن عامر)
Al-Harf disini bermakna qiraat
Berdasarkan kualitasnya, imam Ibnu
Al-Jazary mengelompokkan qiraat menjadi
2 bagian, yaitu:
a. Qiraat
Shahihah
Qiraat shahihah
adalah qiraat yang memenuhi 3 syarat utama, yaitu sanadnya shahih dan mutawatir,
sesuai dengan kaidah bahasa arab walau dari satu wajh, sesuai dengan
kaidah penulisan mushaf utsmani walau secara kemungkinan. Jumhur ulama
sepakat bahwa qiraat yang memenuhi ketiga syarat ini adalah qiraat aimmah
asyrah (Nafi‘ al-Madani, Ibn Katsir al-Makki, Abu ’Amr al-Bashri, Ibn ‘Amir al-Syami, ‘Ashim
al-Kufi, Hamzah al-Kufi, Kisa’i al-Kufi, Abu Ja‘far Al-Madani, Abu Muhammad
Ya‘kub Al-Hadrami al-Basri dan Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam al-Bazar
al-Baghdadi)
b. Qiraat
Syadzah
Qiraat syadzah adalah
qiraat yang tidak memenuhi ketiga syarat yang telah disebutkan. Walaupun qiraat
tersebut memiliki sanad yang shahih tapi tidak sesuai dengan rasm utsmani,
maka dia dihukumi syadz. Adapun qiraat yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab
dan rasm utsmani akan tetapi tidak memiliki sanad yang shahih,
dia dihukumi sebagai qiraat makdzubah atau maudhu’ah. Qiraat
syadzah bisa diterima eksitensinya, akan
tetapi para ulama sepakat untuk tidak mengakui ke-quraan-annya sehingga
kebanyakan fuqaha melarang membaca qiraat syadz dalam salat.
Lebih khusus lagi, qiraat ini dimaksudkan untuk memperjelas makna ayat.
Qiraat Al-Qur’an bukan merupakan
implementasi dari lahjah quraisy saja seperti yang disangka sebagian
orang melainkan implementasi dari banyak lahjah lainnya. Qiraat Al-Qur’an
merupakan sebaik-baik perwujudan/representasi lahjah Arab dahulu. Maka,
pembacaan Al-Qur’an yang mutawatirah dari para qurra adalah
seakan-akan kita mendengarkan bahasa Arab fushah yang sebenar-benarnya
dengan pengucapan yang sempurna. Karena, hal tersebut merepresentasikan
bagaimana orang Arab terdahulu berbicara. Oleh karena itu, qiraat Al-Qur’an dan
lahjah memiliki hubungan yang kuat. Dan hal ini merupakan taysir
(kemudahan) yang diberikan khusus dari Allah Swt kepada umat ini dalam membaca Al-Qur’an.




Comments
Post a Comment