Islam, Akal dan Filsafat

(Source; Pinterest) 

Oleh: Abdul Mughni Mukhtar, Lc


Antara Islam dan Akal

Akal adalah salah satu nikmat yang Allah Swt. berikan kepada manusia. Dengan akal, manusia dapat membedakan antara yang baik dan buruk, benar dan salah. Islam merupakan agama yang mendorong para penganutnya untuk senantiasa menggunakan akalnya dalam berpikir, menalar, dan mencari ilmu pengetahuan. Dengan penggunaan akal, manusia dapat memperoleh wawasan baru, serta banyak manfaat bagi kehidupan.

Allah Swt berfirman:

{وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا}

Sungguh kami telah memuliakan anak cucu Adam dan kami angkut mereka di darat dan laut. Kami anugerahkan kepada mereka rezeki dari yang baik dan kami muliakan di atas banyak makhluk dengan kelebihan yang sempurna.” (Al-Isra: 70)

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya Mara Labib li Kasyf Ma’na Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan keistimewaan yang banyak, salah satunya adalah akal dan kemampuan untuk berpikir dan menalar.

Di dalam perkara agama, selain bersandar pada dalil naqli, para ulama selalu menyertakan dalil akal untuk memperkuat argumentasi mereka. Dengan menyertakan dalil akal, objek sasaran dakwah Islam akan menjadi lebih luas bahkan menjangkau golongan yang tidak percaya terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.

Dr. Sulaiman Dunya dalam kitab Ad-Din wa Al-‘Aql menerangkan bahwa kedudukan antara agama dan akal seperti saudara yang berjalan beriringan pada satu arah, tidak ada pertentangan di antara keduanya. Dengan nikmat akal, manusia bisa mengetahui hubungannya dengan Tuhan, mengetahui hakikat diri, dan kedudukan manusia di muka bumi. Lebih jauh lagi, akal membuat manusia mampu untuk menyingkap banyak hal di realita kehidupan.

Allah Swt berfirman:

{قُلِ انْظُرُوْا مَاذَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَمَا تُغْنِى الْاٰيٰتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَّا يُؤْمِنُوْنَ}

Katakanlah (Nabi Muhammad): “Perhatikanlah apa saja yang ada di langit dan di bumi!” Tidaklah berguna tanda-tanda (kebesaran Allah) dan peringatan-peringatan itu (untuk menghindarkan azab Allah) dari kaum yang tidak beriman.” (Yunus: 101)

{اَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فِيْ مَلَكُوْتِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ وَّاَنْ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ قَدِ اقْتَرَبَ اَجَلُهُمْۖ فَبِاَيِّ حَدِيْثٍ ۢ بَعْدَهٗ يُؤْمِنُوْنَ}

"Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang Allah ciptakan dan kemungkinan telah makin dekatnya waktu (kebinasaan) mereka? Lalu, berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percayai?"  (Al-A’raf: 185)

Al-Qur’an menegaskan peran penting akal sebagai alat untuk berpikir, serta tolak ukur aib dan kekeliruan seperti yang terjadi pada kaum musyrikin. Ketika kaum musyrikin diajak untuk mengikuti ajaran Allah Swt. mereka menyangkal dan lebih memilih mengikuti kepercayaan dari nenek moyang mereka. Sebagaimana firman Allah Swt:

{وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ} 

Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)

 

Islam dan Filsafat

Filsafat memiliki ragam definisi karena cakupannya yang luas. Al-Kindi mendefinisikan filsafat sebagai ilmu untuk mengetahui hakikat dari sesuatu dengan seluruh kemampuan dari manusia. Sedangkan Ibnu Bajah menyebut bahwa filsafat merupakan gambaran dari penalaran dan analisis terhadap sesuatu sebagaimana adanya.

Dari kedua definisi tersebut, dapat dipahami bahwa filsafat bertujuan menemukan hakikat dari segala sesuatu. Dengan memahami sesuatu dengan baik, seseorang akan mendapatkan gambaran yang lebih baik dan menyeluruh terhadap sesuatu tersebut.

Di dalam konteks Islam, terdapat beberapa titik persamaan dan titik perbedaan antara agama dan filsafat. Keduanya sama-sama bertujuan untuk memahami realitas, hakikat kehidupan, dan makna dari keberadaan manusia. Hanya saja agama bersandar pada wahyu dan iman, yang mengajarkan nilai-nilai spiritual dan moral. Adapun filsafat menggunakan akal dan logika untuk mencari penjelasan rasional tentang dunia dan keberadaan.

Dari segi objek pembahasan, filsafat berupaya untuk mencari tahu hakikat dari Tuhan, manusia, dan alam semesta tiga aspek yang juga menjadi inti ajaran islam. Hanya saja, perbedaannya terletak pada perangkat yang digunakan untuk menelaahnya.

Lantas dengan keserupaan di atas, apakah filsafat bertentangan dengan agama? Atau justru keduanya saling melengkapi satu sama lain. Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, dan cendekiawan muslim yang lain mengatakan bahwa tidak ada pertentangan di antara keduanya, melainkan saling melengkapi.

Filsafat dalam Peradaban Islam

Sejak abad ke-8, dunia Islam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai disiplin ilmu. Terutama pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), ketika dimukai penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mendapatkan dukungan dari para khalifah dinasti Abbasiyah seperti Al-Mansur, Harun Al-Rasyid, dan Al-Ma’mun.  Pada masa ini pula dibangun lembaga penelitian dan penerjemahan yang dikenal dengan Baitul Hikmah.

Dari penerjemahan besar-besaran ini, para cendekiawan muslim mulai mempelajari beragam disiplin ilmu. Tentu saja, para ulama tidak serta-merta menerima ajaran tersebut dengan mentah. Akan tetapi, mereka menganalisis dan meneliti ilmu yang didapatkan terlebih dahulu, agar ilmu tersebut bisa sejalan dengan nas dan ajaran dasar  Islam.

Salah satu disiplin ilmu yang dikembangkan para cendekiawan muslim pada masa itu adalah filsafat. Filsafat sebagai mother of science (ibu dari ilmu pengetahuan) dinilai punya banyak manfaat bagi kehidupan. Ilmu kedokteran, biologi, kimia, logika, dan beberapa disiplin ilmu lainnya justru merupakan hasil dari pengembangan filsafat.

Seperti ilmu logika (mantik) merupakan salah satu cabang filsafat yang punya peranan penting bagi kehidupan manusia. Dengan ilmu ini, seseorang dapat membedakan penalaran yang benar dan salah.

Dari perkembangan keilmuan pada masa ini, lahirlah banyak cendekiawan muslim di berbagai bidang, di antaranya:

1. Al-Kindifilsuf Muslim pertama yang mencoba menyelaraskan filsafat Yunani dengan Islam. Ia juga seorang matematikawan, astronom, dan dokter. Karyanya meliputi De Aspectibus (tentang optik) dan Al-Falsafah Al-Ula (tentang penyelarasan filsafat dengan agama serta membahas hakikat keberadaan dan ketuhanan, Risalah fi Al-‘Aql dan berbagai risalah dalam logika, metafisika, dan kedokteran).

2. Al-Farabi Filsuf dan ahli logika yang dijuluki “Guru Kedua” setelah Aristoteles. Di antara karya beliau; Al-Madina Al-Fadila (Kota Utama), Kitab al-Huruf (tentang logika), serta berbagai komentar atas karya Aristoteles dan Plato. Sebenarnya, Al-Farabi merupakan filsuf muslim yang mengagumi Aristoteles dan Plato, bahkan ia mencoba menggabungkan pemikiran keduanya. Namun di sela-sela hal itu, ia juga memberikan kritik dan reinterpretasi terhadap gagasan Yunani agar sesuai dengan Islam.

3. Ibn Sina Ilmuwan ensiklopedis yang berjasa dalam kedokteran, filsafat, dan logika. Beliau berperan penting sebagai ilmuwan yang banyak mengembangkan dan menemukan obat dari berbagai ragam penyakit tubuh dan jiwa. Berdasar pada keimanannya bahwa Allah Swt menciptakan obat pada segala penyakit. Ibn Sina mengembangkan, meneliti, dan mendalami ilmu dengan metode mantik dan filsafat. Karyanya antara lain, Al-Qanun fi al-Tibb (perihal kedokteran) yang menjadi salah satu rujukan para ilmuwan Eropa dalam bidang kedokteran sampai akhir abad ke-17. Ibn Sina menerima banyak gagasan dari Aristoteles dan Galen dalam filsafat dan kedokteran, tetapi ia juga melakukan modifikasi dan koreksi berdasarkan eksperimen dan ajaran Islam.

Kesimpulan

Masuknya filsafat dengan penerjemahan buku-buku dari Yunani ke dalam peradaban Islam memberikan dampak yang begitu besar dalam perkembangan keilmuan dunia Islam. Kendati demikian, para ulama tidak serta-merta menerima semua ajaran tersebut secara keseluruhan. Ilmu yang didapatkan tersebut harus terlebih dahulu diteliti, dikritisi, dan didalami dengan baik sehingga bisa selaras dengan prinsip dasar keyakinan dalam agama Islam.

 

Sumber:

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya Mara labib li kasyf ma’na Al-Qur’an Al-Karim, cetakan dar kutub ilmiah,  jilid 1, hal 632.

Dr Sulaiman Dunya di dalam kitabnya Ad-Din wa Al-‘Aql, hal 57, 92.

Dr Mahmud Hamdi Zaqzuq dan Dr. Jamaluddin Afifi, Qadhaya Tamhidiyah lil Dirasat Al-Falsafiah, hal 21, 142

Dr Muhammad Al-Anwar Hamid ‘Isa, Nazharat fi Al-Mantiq Al-Hadis wa Manahij Al-Bahs, hal 17.

Comments