Mengenal Hermeneutika, Kajian Ilmiah Kemanusiaan dan Kehidupan Batiniah
(Source; Pinterest)
Oleh: Muhammad Ichsan Semma
Kesepahaman merupakan hal yang selalu ingin dicapai dalam setiap fenomena sosial. Hal ini berlaku dalam setiap ruang lingkup masyarakat. Kita dapat melihatnya dari skala yang paling kecil sesederhana komunikasi dengan teman dan lingkungan sekitar hingga yang paling besar dan rumit, seperti komunikasi sosial antar suku atau umat beragama.
Dalam ranah filsafat, kesepahaman juga menjadi sebuah pembahasan yang dibahas secara intens. Salah satu cabang utama yang membicarakan perihal kesepahaman ini adalah hermeneutika, atau seni memahami yang pertama kali dibawakan oleh Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834). Dengan seni memahami yang ia bawa, Scheielmacher menjadikan topik usaha kesepahaman menjadi sebuah keahlian penting dalam diskurses filsafat, teologi, dan ilmu-ilmu kemanusiaan.
Salah satu titik fokus pembahasannya dijelaskan dalam buku karya F. Budi Hardiman yang berjudul Seni Memahami, terkait membedah konsep perjalanan pemahaman itu sendiri. Seperti menggali perbedaan antara “pengetahuan” dan “pemahaman”, dan mengkaji setiap kasus dimana tidak semua yang kita tahu, berarti kita pahami. Apalagi jika telah bersinggungan dengan sesuatu yang kompleks seperti persona manusia.
Melalui pembahasan sejarah hermeneutika modern dalam buku tersebut, Budi Hardiman mengenalkan konsep hermeneutika yang awalnya berfokus pada pembedahan interpretasi teks sebagai bahasan utama untuk mengeluarkannya dari belenggu literalisme. Konsep tersebut pun berkembang hingga menyentuh ranah yang lebih luas daripada teks, yakni manusia itu sendiri.
Dalam napak tilas sejarahnya, seperti yang penulis paparkan secara singkat di atas, sederhananya, hermeneutika Schleiermacher membahas tentang usaha pemahaman teks tidak hanya dari apa yang tergambarkan oleh teks tersebut secara denotatif, dimana kebanyakan upaya penafsiran di masa itu memang hanya berfokus pada aspek literal saja, tanpa ada perhatian kepada aspek lain yang terkandung pada ranah teks yang lebih dalam.
Salah satu contoh sederhana yang Budi Hardiman jadikan acuan adalah pengkajian terhadap buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya Raden Adjeng Kartini yang diterbitkan J.H Abendanon. Saat membacanya, akan ada beberapa kesulitan yang kita dapati untuk memahami teks tersebut, seperti kesenjangan waktu antara kita dan si penulis, bahasa yang dipakai, konteks kebudayaan, juga pengalaman-pengalaman subjektifnya. Kesenjangan serta perbedaan ini secara tak langsung pasti menimbulkan jarak yang cukup signifikan antara Kartini sebagai pengarang dan kita sebagai penafsir, diperlukan usaha lebih lanjut bagi penafsir untuk memahami pengarang lebih daripada sekadar membaca teks terkait saja. Lebih dari itu, penafsir perlu mencoba mengenal karakter Kartini lebih dalam, memahami proses tumbuh kembangnya, kebudayaan daerah tempat ia tumbuh, dan sebagainya.
Oleh karena itu, proses pemahaman yang kita lakukan terhadap buku tersebut tidak akan pernah mengalami langkah lebih jauh. Selama kita tidak mencoba melebur dan juga ikut masuk kepada sisi kepenulisan Raden Adjeng Kartini, perkembangan terkait pemahaman kita terhadap teks tidak akan tercapai. Untuk mewujudkan usaha memahami dengan seimbang, Scheielmacher membedakan usaha interpretasi menjadi dua bagian, yaitu interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis.
Interpretasi gramatis sendiri adalah proses memahami sebuah teks yang berfokus pada bahasa, struktur kalimat, dan hubungan antara suatu teks dengan karya-karya lainnya. Dalam kasus buku R.A. Kartini tadi, kita tidak hanya harus membaca buku R.A. Kartini berulang kali, tapi juga membaca referensi lain yang memengaruhi pemikirannya, mencari tahu akar pikirannya secara gramatikal, ke arah mana dan ingin ke mana ia bawakan pemikiran tersebut. Di sisi lain, interpretasi psikologis memusatkan perhatian pada sisi subjektif teks, yakni dunia mental penulisnya, mulai dari individualitas si pengarang hingga karakter kejeniusannya. “Rekonstruksi pengalaman mental pengarang” adalah istilah yang biasa dipakai. Menelusuri kembali perjalanan hidup R.A. Kartini, meneliti segala pengalaman subjektif yang bisa dideteksi, mencari titik tolak pemikiran yang hadir dari pergolakan mental pengarang.
Perlu diketahui bahwa usaha interpretasi psikologis ini, jelas Scheielmacher, targetnya bukanlah emosi, alih-alih menempatkan pertanyaan pada apa sebenarnya yang dirasakan Kartini, kita bertanya perihal apa yang dipikirkan olehnya di balik untaian kalimat tersebut. Pemikiran yang tersembunyi di balik perasaan itulah yang relevan untuk menimbulkan sebuah pemahaman. Menyelam lebih dalam agaknya adalah istilah yang cukup cocok untuk menggambarkan apa yang dibawakan oleh Scheielmacher ini. Tentunya dalam hal ini, Sceielmacher juga membekali konsep menyelam tersebut dengan berbagai kaidah dan langkah agar kita tidak tenggelam terlalu dalam. “Penafsir harus menempatkan dirinya baik secara objektif maupun subjektif dalam posisi pengarang,” demikian ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, penerapan konsep hermeneutika pun mengalami perkembangan mulai dari segi kualitas hingga ruang lingkupnya. Dalam hal ini adalah Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911) yang kemudian mengembangkan hermeneutika modern Scheielmacher yang berfokus pada teks, menjadi lebih fokus pada dinamika eksistensi manusia. Tujuannya tetap sama, jika yang ingin diberantas dalam hermeneutika Scheielmacher adalah literalisme, permasalahan yang mirip juga muncul dalam pemaknaan interpretasi kemanusiaan, yang memandang manusia dan masyarakat dari sisi lahiriah dan materialnya saja. Pemikiran ini biasa dikenal dengan sebutan positivism, diusung oleh August Comte.
Mengkritik pola pikir positivisme tersebut, Dilthey akhirnya menciptakan sebuah konsep hermeneutika bertajuk sosial yang bernama lebensphilosophie, atau dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai secara sederhana sebagai “filsafat kehidupan”. Para penganut filsafat kehidupan ini menganut prinsip untuk mengedepankan kehidupan batiniah dan pengalaman manusiawi dengan mengkritik kecenderungan untuk menyempitkan hidup pada unsur-unsur yang bisa dihitung secara objektif dan mekanistis. “Pikiran kita tidak dapat bergerak ke balik kehidupan itu sendiri,” ungkap Dilthey.
Aliran ini menjelaskan bahwa dasar utama serta tujuan pemikiran adalah kehidupan itu sendiri. Sementara kehidupan itu dipahami sebagai segala aspek batiniah manusia, terutama sisi irasionalnya, seperti nafsu dan perasaan. Hal ini ditujukan untuk mengenal dan menyelami kompleksitas kemanusiaan dengan lebih dalam. Memasukkan hal-hal irasional tadi dalam konsep interpretasi manusia, baik atas eksistensi diri sendiri, maupun pada manusia yang lainnya, juga dapat melahirkan pemaknaan yang lebih adil terhadap kehidupan yang dijalani, sebab ikut mempertimbangkan apek-aspek penyokong kompleksitas tersebut, yang tentunya meskipun irasional, tetap merupakan sesuatu yang niscaya adanya.
Tujuan utama yang ingin dicapai Dilthey dalam konsep hermeneutikanya adalah justifikasi rasional. Sama seperti bagaimana kita mengenal dan mengkaji kebenaran sebuah ilmu alam seperti gravitasi, elektrisitas, dan reaksi kimia, Dilthey mencoba melakukan pendekatan khusus dari segi kemanusiaanya semisal bagaimana kita mengenal istri, anak, maupun kawan kita. Untuk sampai ke tahap pengenalan itulah dibutuhkan keilmuan yang berada di tingkatan sama dengan ilmu alam tadi, dengan objek kajian yang berbeda, seperti psikologi, sosiologi dan sebagainya.
Pada tahap ini, Dilthey ingin menerapkan proses memahami manusia dengan benar secara utuh, dan ini hanya bisa diwujudkan dengan kedalaman pemahaman seseorang terhadap ilmu sosial-kemanusiaan. Sebab untuk mengetahui orang secara benar, kita tidak dapat hanya menginspeksinya dari luar, baik itu secara fisik maupun perlakuannya yang terlihat oleh kita, itu dikarenakan apa yang kita lihat bisa jadi masih bersifat lahiriah, atau kurangnya kedalaman pengetahuan kita terkait ilmu sosial-kemanusiaan, khususnya psikologi.
Lantas bagaimana sebenarnya definisi memahami manusia dengan benar. Dilthey menjelaskan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki innerleben (kehidupan batiniah), dan setiap orang memiliki potensi untuk dapat mengakses innerleben-nya sendiri, juga orang lain. Pengaksesan innerleben inilah yang mesti diusahakan oleh setiap orang, baik pada diri sendiri, maupun pada orang lain. Pertanyaan selanjutnya adalah perihal bagaimana kita bisa mengakses innerleben orang lain. Apa saja faktor yang dapat menjadi ukuran bagaimana kita dapat memahami seseorang dengan benar, sebab tentu saja dengan alur hidup yang berbeda, prosesnya tidak akan semudah kita memahami innerleben kita sendiri.
Dilthey menjawab pertanyaan ini dengan menerapkan warisan hermeneutika Scheielmacher. Dimana ia menerapkan konsep “rekonstruksi” tadi pada manusia itu sendiri secara langsung, bukan lagi teks. Menurutnya ada dua hal yang bisa dipakai untuk menstimulasi akses kita kepada innerleben orang lain.
Pertama adalah konteks yang sama, dalam hal ini yang dimaksud adalah persamaan kita dengan orang lain tersebut secara sosial-historis, seperti cara berpikir dan latar belakang hidup yang akhirnya berpengaruh pada kesamaan cara kita menghayati hidup. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa faktor ini sering kita dapati dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita dapat lebih mudah dan peka menangkap apa yang dirasakan oleh kolega kita, teman sedaerah kita, atau mungkin bisa saja teman yang memiliki luka batin yang sama dengan kita. Kemudian yang kedua adalah empati, atau dalam sebutan Scheielmacher bernama nacherleben, mengalami kembali. Mencoba mengalami kembali kehidupan batiniah orang lain, menjelajahi lebih dalam dunia mentalnya.
Penerapan kedua hal di atas, meskipun memiliki hubungan erat, bisa dibilang juga mempunyai karakter yang berbeda. Ketika kita secara kebetulan memiliki kesamaan sosial-historis dengan seseorang, penjelajahan dunia batin seseorang bisa saja terjadi secara langsung, usaha pemahaman bisa terjadi tanpa usaha sedikitpun sebab persamaan tadi. Sayangnya, tidak semua yang kita alami pernah dialami oleh orang lain, begitu pun sebaliknya. Kemungkinan tersebut pun mau tidak mau membawa kita untuk menerapkan yang kedua, yakni empati. Dimana kita harus berusaha, mendengar terlebih dahulu, menyimak semua detail, dan memosisikan diri sebagai orang tersebut, mencoba memahaminya.
Pembahasan perihal usaha untuk menjelajahi dunia batin seseorang inilah yang kemudian akan bersambung dengan catatan Dilthey selanjutnya. Dimana perlu digarisbawahi dalam penerapan konsep ini bahwa Dilthey memberikan batasan dalam penjelajahan batin seseorang dengan sifat psikologistis, atau introspektif. Menurutnya, memahami orang lain dengan merenungkan pengalaman kita sendiri, atau membayangkan diri kita seutuhnya adalah orang itu tidak dapat dilakukan, sebab akan kembali merusak proses pemahaman kita dengan komparasi yang jauh dari kata adil, antara diri kita dengan orang yang ingin kita pahami.
Di bagian inilah biasanya kita sering tersesat dalam banyak hal, salah satunya dalam perbandingan luka kita dengan luka orang lain yang meskipun sama, tapi sensitivitas perasaannya bisa saja berbeda, atau mungkin juga tekanannya berbeda, belum lagi jika memperhitungkan aspek psikoanalitif. Penilaian dengan jalan tersebut tak ayal akan menimbulkan kembali benih-benih positivisme yang terbalut dalam lebenphilopie terapan kita. Menjadi paradoks yang seringkali tak terdeteksi sebab penjelajahan batin yang kita jalani malah menjadi hal lahiriah baru yang tidak kita sadari.
Dalam ruang lingkup sosial, khususnya pada skala besar, salah satu ulama kontemporer yang bisa penulis klaim memiliki kesadaran terkait usaha kesepahaman ini adalah Prof. Quraish Shihab. Dimana dalam sebuah sesi tanya jawab dengan judul besar Keberagaman Di Atas Keberagamaan. ia menjelaskan bahwa ketika kita melihat orang-orang yang berbeda agama sebagai kafir dan berniat menyelamatkan mereka dari kekafiran tersebut, sesungguhnya di mata mereka, kita adalah yang kafir, dan mereka pun ingin menyelamatkan kita. Dari sudut pandang ini, dari sebuah perselisihan kepercayaan, bisa kita dapati titik tolak yang sama, yaitu kasih sayang. Sesederhana kekhawatiran akan ketidakselamatan kawan kita yang berbeda agama di akhirat nanti, sungguh absurd jikalau perselisihan yang ternyata didasari rasa kasih sayang ini malah berujung pada perseteruan.
Hal yang sama pun berlaku pada ranah sosial yang lebih kecil. Kita seringkali mengalami persilangan perspektif dalam banyak hal dengan teman atau pun keluarga. Tentang keputusan yang harus diambil, bagaimana kita melihat dan dilihat oleh orang-orang, ketidakcocokan karakter dan sebagainya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana agar kita tetap berusaha untuk melahirkan justifikasi rasional untuk setiap orang, melahirkan empati yang sehat lalu membagikannya kepada setiap yang membutuhkan, pada orang-orang yang sebenarnya hanya butuh untuk dipahami. seperti yang menjadi tujuan dari hermeneutika Dilthey dengan segala kaidah pemikirannya. Dan tentunya selalu berhati-hati agar tidak sampai melahirkan justifikasi yang irasional, menilai sesuatu hanya dari yang lahiriah, tanpa ada usaha untuk membedahnya secara batiniah. Menjadi adil sejak dalam pikiran, baik untuk diri sendiri, maupun untuk orang di sekitar kita.
Editor: Andi Tenri M.U




Comments
Post a Comment