Ru'yatullah dalam Perspektif Mu'tazilah dan Ahlussunnah Wal Jama'ah
Oleh: Nurul Natiqah Kamal
St. Aisyah HS
Salah satu permasalahan yang menjadi perdebatan panas oleh dua kelompok aliran kalam yaitu Mu’tazilah dan Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah masalah mengenai mungkin atau tidaknya melihat Allah atau ru’yatullah.
Ru’yatullah tersusun dari dua kata bahasa Arab yaitu ru’yah dan Allah. Ru’yah adalah bentuk masdar dari “ra’ȃ, yarȃ wa ru’yah”. Ru’yah secara bahasa adalah “al-nadzr bi al-‘ayn aw bi al-qalb” yang artinya melihat dengan mata atau dengan hati. Dalam pengucapan orang-orang Arab, lafaz ru’yah bi al-‘ayn ada yang menggunakan hamzah dan segolongan kecil tidak menggunakan hamzah. Adapun dalam Al-Quran, lafaz ra’ȃ semua menggunakan hamzah. Dengan demikian, maka ru’yatullah berarti melihat Allah dengan penglihatan mata atau penglihatan hati.
Dalam hal ini, aliran Mu’tazilah berpegang pada lima ajaran pokok yang disebut al-ushûl al-khamsah. Dengan berpegang pada lima asas tersebut, Mu’tazilah secara tegas mengatakan bahwa melihat Allah itu merupakan sesuatu yang mustahil. Adapun salah satu argumentasi mereka yaitu pada surah Al-A’raf ayat 143
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى وَلَـٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّۭا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًۭا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَـٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman"
Menurut Mu’tazilah, kata “lan tarȃnȋ” (Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku) diartikan sebagai “lan” lita’bȋd al-nafy (peniadaan untuk selamanya) baik di dunia maupun di akhirat. Dan jika Allah Swt tidak dapat dilihat oleh Nabi Musa selama-lamanya, maka begitu juga selamanya Allah tidak dapat dilihat para nabi lainnya dan orang-orang mukmin. Penolakan tersebut dimaknai berlaku sampai kepada masa yang akan datang. sebagaimana ungkapan: “saya tidak melakukannya besok” dan jika kamu memberikan penekanan ketidakmungkinan tersebut maka anda mengatakan “aku sekali-kali tidak melakukannya besok”.
Selain itu, Mu’tazilah juga tidak membolehkan ru’yatullah dengan alasan ru’yah itu akan mengurangi kesempurnaan Allah. Mereka mengatakan bahwa, seandainya Allah bisa dilihat, maka Allah akan muqȃbalah atau berhadapan dengan orang yang melihatnya. Jika demikian, maka Allah bertempat dan bertempatnya Allah adalah sebuah kebatilan. Maka melihat Allah juga batil dan yang benar adalah Allah tidak bisa dilihat baik di dunia maupun di akhirat. Dan masih banyak lagi argumen yang mereka gunakan dalam menguatkan pendapat mereka.
Sama halnya dengan Mu’tazilah, Ahlussunnah juga memiliki pokok-pokok ajaran tersendiri dalam aliran mereka hal ini membuatnya berbeda dengan Mu’tazilah. Ayat yang digunakan oleh Mu’tazilah sebelumnya untuk menafikan ru’yah, juga digunakan oleh Ahlussunnah untuk menetapkan ru’yatullah. Ahlussunnah membantah argumen Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa kalimat “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” tidak menunjukkan Allah tidak boleh untuk dilihat, namun sebaliknya. Jika melihat Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi, sudah pasti Allah akan berfirman innȋ lȃ urȃ (Sesungguhnya Aku tidak terlihat). Namun kenyataannya dalam ayat ini Allah berfirman lan tarȃnȋ dengan memakai lafaz lan, ini menunjukkan bahwa Allah bisa saja untuk dilihat. Untuk lebih jelasnya, misalkan kita sedang menggenggam sebuah batu. Lantas dari kejahuan seseorang menyangka apa yang kita genggam adalah makanan, lalu ia mengatakan; “beri aku makanan itu!”. Pasti kita akan menjawab “sungguh benda ini tidak dapat dimakan”. Namun, jawaban kita akan berbeda jika apa yang kita genggam tadi adalah makanan sungguhan, akan tetapi orang yang memintanya tidak dapat memakannya karena satu alasan tertentu. Maka kita akan mengatakan “engkau tidak akan memakannya!”. Sehingga secara redaksional, ayat ini menunjukkan Allah sebagai zat yang dapat dilihat akan tetapi Nabi Musa tidak mampu melihat-Nya pada saat itu karena alasan tertentu.
Adapun bantahan Ahlussunnah terhadap argumen Mu’tazilah selanjutnya yaitu memang benar, ketika kita melihat makhluk lain, sesuatu yang dilihat itu biasanya harus berada di hadapan kita. Akan tetapi, penglihatan tersebut terjadi antar sesama makhluk dan tidak ada halangan secara akal untuk Allah menciptakan penglihatan kepada-Nya tanpa adanya muqȃbalah. Sebagaimana Nabi Saw berkata kepada sahabatnya yang ingin salat: “Luruskan saf kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”. Hadis tersebut menunjukkan bahwa ru’yah telah terjadi pada Nabi tanpa adanya muqȃbalah.
Dari argumen di atas, tampak bahwa masing-masing kelompok baik Mu’tazilah maupun Ahlussunnah memiliki pandangan yang berbeda tentang ru’yatullah. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan ajaran-ajaran pokok pada masing-masing aliran. Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa manusia dapat melihat Allah Swt baik di dunia ataupun di akhirat. Di sisi lain, Mu’tazilah malah menyatakan bahwa manusia tidak akan mungkin dapat melihat Allah Swt baik di dunia maupun di akhirat. Demikianlah sebuah permasalahan teologis dalam Islam di mana para Teolog Muslim telah berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut, meskipun pada akhirnya mereka tidak meraih kesimpulan yang sama dari masalah yang sama. Wallaahu a’lam bi al-Shawab.




Comments
Post a Comment