Butuh Karena Rapuh
Oleh : Sofiah Najihah
Di bawah sinar bulan dan di tengah kebisingan suara jangkrik yang menghiasi jalan, seorang pemuda berjalan menunduk, air matanya pun tak henti membasahi pipinya. Ia berteriak kencang dalam hati sekaligus marah atas apa yang ia telah perbuat. Perasaan kecewa terhadap dirinya karena telah menuruti hawa nafsunya berupa kebiasaan maksiat yang hampir setiap hari ia lakukan yang sulit ia tinggalkan. Namun ada perasaan penyesalan yang teramat mendalam tiap kali ia lakukan, sambil memohon ampunan dan kasih sayang Tuhannya. Kebiasaan maksiat yang rutin ia lakukan pun membuatnya hampir putus asa.
Di tengah
perjalanan pemuda itu yang entah arahnya kemana, ia bertemu dengan kakek tua di
tumpukan sampah yang sibuk memilah milih sampah plastik.
"Pak tolong hukum sajalah aku, aku sudah muak dan lelah atas maksiat yang berulang kali kulakukan dan sulit kutinggalkan."
Kakek tua itu terdiam, dan berkata "Pulang lah nak, temui keluarga mu yang sudah menunggu mu di rumah"
"Percuma pak, aku sudah tidak punya keluarga lagi, ayah ku pergi meninggalkanku sejak bayi, bahkan wajahnya pun tak pernah tergambar di dalam ingatan. Ibu ku meninggal 15 tahun yang lalu, dan tidak ada satupun keluarga ku yang datang saat itu, bahkan aku sudah mulai lupa bagaimana suara ibu. Satu-satunya yang teringat adalah nasihat beliau kepada ku sewaktu kecil yang selalu menyuruh ku memohon ampun kepada Tuhan tiap telah melakukan kesalahan, karena katanya Tuhan itu Maha Pengampun. Hanya itu pesan yang masih tersisa di kepala ku pak, tapi aku juga sudah mulai bosan atas kebiasaan maksiat yang kulakukan dan setelah itu bertaubat lagi. Aku malu kepada Tuhan yang datang berulang kali dengan mengadu kesalahan yang sama. Mungkin Tuhan sudah bosan mendengar keluhan ku pak, sehingga membiarkan ku hidup seperti ini."
Kakek tua itu melanjutkan "Nak jangan pernah samakan Tuhan mu dengan manusia yang mudah bosan ketika kamu selalu datang dan senantiasa meminta hal yang sama. Justru Tuhanmu senang ketika kamu datang dan butuh kepada-Nya, walaupun dengan permohonan yang sama tiap harinya. Bukankah sebagai hamba sudah seharusnya kita selalu merasa rendah, hina, dan butuh dihadapan Allah?"
Kisah ini selaras dengan hikmah ke 95 & 96 dari hikam Imam Ibnu Athoillah As-Sakandari:
ربما فتح الله لك باب الطاعة، وما فتح لك باب القبول، وربما قضى عليك بالذنب فكان سببا فى الوصول
"Boleh jadi Allah membukakan kepada mu pintu ketaatan, tapi Allah tidak membukakan pintu penerimaan kepadamu, dan boleh jadi Allah menakdirkan kepadamu untuk berbuat dosa dan itu menjadi sebab sampai kepada Allah"
معصية أورثت ذلا وافتقارا خير من طاعة أورثت عزا واستكبارا
"Maksiat yang mewariskan perasaan kehinaan dan butuh (kepada Allah) lebih baik daripada ketaatan yang mewariskan perasaan mulia dan sombong"
Sejatinya sifat mulia, tinggi, dan sombong merupakan sifat ketuhanan. Terkadang Tuhan menguji kita dengan kemaksiatan agar kita kembali pada-Nya, juga supaya kita tidak mengandalkan diri dan tidak bergantung kepada amal baik yang dilakukan. Perasaan merasa lebih baik dan bangga ketika telah melakukan ketaatan terkadang muncul dalam hati. Padahal sering kali kita lupa bahwa yang menghendaki kita melakukan kebaikan juga Tuhan, lantas apa yang harus dibanggakan?
Jangan sampai kita terlalu berlebihan menghakimi orang yang melakukan kesalahan, padahal itu merupakan cara Tuhan agar hambanya kembali lebih dekat dengan-Nya.
انكسار العاصي خير من صولة المطيع
Kesedihan orang
yang bermaksiat lebih baik daripada kesombongan orang yang taat.




Comments
Post a Comment